Era digital menghadirkan dua realitas sekaligus. Di satu sisi, ia memungkinkan efektivitas dan efisiensi dalam berkomunikasi, pula ketersediaan pengetahuan secara melimpah. Pada prinsipnya, semua dapat diakses; semua dapat mengakses. Dunia digital beserta isinya terbuka untuk semua tanpa batasan usia, gelar akademik atau status sosial. Yang dibutuhkan hanyalah sebuah alat bernama ponsel cerdas (smartphone) dan sedikit kemampuan untuk menggunakan alat tersebut. Jika kedua syarat ini sudah dipenuhi, dunia digital berada di genggaman tangan. Ia dapat berkelana di dalam jagat digital itu tanpa batasan waktu.
Di sisi lain, era digital mencabut manusia dari kehidupan yang sarat akan kekeluargaan, relasi interpersonal, dan interkonektivitas serta intersubjektivitas. Sebagai gantinya, era digital menghantar kita pada fenomena kesadaran teknologis. Relasi manusia yang satu terhadap yang lain tidak lagi berwujud personal, melainkan impersonal. Saat ini, kita berelasi dan berinteraksi secara virtual.
Baca Juga : TWK dan Skenario Pelemahan KPK
Baca Juga : Tuhan dalam Tiga Unsur Rumah Adat Ende Lio
Orang hanya mengenal atau dikenal melalui gambar yang hanya mempresentasikan bagian tubuh tertentu, seperti muka. Lagi pula, komunikasi tidak lagi melalui kontak fisik-batin, tetapi melalui tanda dan simbol yang secara bergantian dikirim dan diterima oleh pelaku chatting (obrolan). Perasaan tidak lagi terwakilkan melalui gestur atau sikap tubuh, tetapi melalui emotion-icon (emoticon). Walaupun sedang dalam kesusahan, kita dapat mengirim emoticon senyum kepada rekan obrolan.
Simpati dan empati menjadi sebuah realitas tekstual: hanya berwujud dalam kata dengan alamat yang anonim. Menariknya, orang mengira saling mengenal satu sama lain hanya karena keseringan mengobrol via media sosial. Faktanya, intensitas obrolan berbanding terbalik dengan dalamnya pengenalan dan pemahaman akan yang lain. Dalam hal ini, benarlah pernyataan Marshall McLuhan bahwa media (digital) sedang mendeterminasi kehidupan kita. “Societies have always been shaped more by the nature of the media by which men communicate than by the content of the communication” (McLuhan, 2001: 9). Sebab itu, di dalam jagat digital, kita lebih banyak menjadi korban eksploitasi terselubung daripada sebagai pengguna produktif.
Di dalam budaya teknologis tersebut, manusia berubah menjadi manusia mesin (l’homme-machine) yang praksis hidupnya selalu membutuhkan rangsangan eksternal. Sehari saja tanpa menggunakan media sosial, ia merasakan suatu penyesalan luar biasa, sebab ia ketinggalan berita selebriti atau produk fasion yang terbaru. Ke mana pun, di mana pun, dan dengan siapa pun berada, ponsel cerdas tetap menjadi pendamping setia.
Baca Juga : Berani untuk Percaya Diri?
Baca Juga : Apa yang Anda Ketahui tentang Kebenaran?
Jika pada era sebelumnya, orang takut kehilangan dompet, maka saat ini manusia lebih takut kehilangan ponsel cerdas. Kondisi masyarakat dalam peradaban teknologi ini didefinisikan oleh Jacques Ellul sebagai ‘masyarakat teknologis’ (technological society). Oleh sebab itu, melalui artikel ini, penulis berusaha mengeksplorasi pemikiran Ellul dan mengkontekstualisasikannya dengan kondisi masyarakat digital sekarang.
Masyarakat Teknologis
Istilah masyarakat teknologis pertama kali diperkenalkan oleh Jacques Ellul, seorang filsuf, teolog, dan sosiolog berkebangsaan Prancis, melalui buku berjudul The Technological Society. Ellul sendiri menggunakan istilah ‘Technicist Society’ (masyarakat teknisis). Dalam perkembangan selanjutnya, pemikirannya banyak diterjemahkan menjadi ‘Technological Society’ (masyarakat teknologis). Namun, sebenarnya, kedua istilah ini mengacu pada pengertian yang sama sebagaimana dimaksudkan oleh Ellul. Dalam tulisan ini, penulis menggunakan istilah yang banyak dipakai, yakni ‘masyarakat teknologis’.
Menurut Ellul, masyarakat teknologis adalah masyarakat yang kehidupannya banyak dipengaruhi oleh teknik (technique) dan karakteristik teknologi, seperti rasionalisasi, kecepatan, universalisme, monisme, dan argumentasi diri. Hal ini menjadikan teknologi bukan sebagai instrumen netral atau benda ‘mati’ yang menunggu untuk digunakan manusia, melainkan sebagai kekuatan transformatif baru. Dikatakan demikian, sebab teknologi telah mentransformasi setiap aspek kehidupan kita, “mulai dari bidang politik, ekonomi, manajemen, psikologi, dan obat-obatan, hingga makanan, pendidikan, olahraga, petualangan, dan waktu luang kita” (John Paul Russo, 2005: 8).
Menariknya, Ellul menolak mengidentikkan teknik dan teknologi. Teknologi adalah mesin, sedangkan teknik adalah totalitas mekanisme atau proses yang bekerja di balik teknologi. Teknik adalah pemrograman otomatisasi dan mekanisasi untuk mencapai tujuan yang dirancang secara rasional. Teknik itu sendiri didefinisikan Ellul sebagai “totalitas metode yang dicapai secara rasional dan memiliki efisiensi absolut (untuk tahap perkembangan tertentu) di setiap bidang aktivitas manusia” (Jacques Ellul, 1954: xxv).
Baca Juga : Apa yang Anda Ketahui tentang Kebenaran?
Baca Juga : Reformasi Dikorupsi dan Gerakan Kaum Muda Progresif
Menurut Ellul, kecanduan terhadap teknologi mengubah manusia yang kodratnya sosial menjadi manusia mesin (l’homme-machine), sebab kesadaran dan praksis hidupnya dideterminasi oleh alat-alat teknologi dan media-media digital. Hal ini membawa manusia pada kesadaran palsu (false conciousness) baru, yakni kesadaran teknisis, suatu situasi dimana mekanisme teknis menguasai dirinya. Sebab itu, menurut Ellul, sekarang teknik telah menjadi tatanan dan lingkungan baru yang di dalamnya manusia dituntut untuk mengadaptasikan dan mendefinisikan dirinya.
Di dalam masyarakat teknologis itu, terjadi modifikasi lingkungan dan ruang (modification of milieu and space). Media digital memodifikasi ruang interaksi dan kehidupan lama yang serba nyata, real, atau konkret. Lingkungan dan ruang baru hadir dalam bentuk virtual yang melayani permintaan manusia secara otomatis dalam waktu yang relatif cepat. Fenomena teknologis ini juga ditandai dengan teknik propaganda (propaganda) dan teknik hiburan (amusement) serta pengalihan. Teknik propaganda memanipulasi manusia melalui sajian-sajian menarik dalam TV, radio, dan sekarang ponsel pintardengan berbagai platform media sosial di dalamnya. Ketika propaganda semakin kuat, daya kritis semakin menurun, sebab manusia tidak dapat lagi sadar akan praktik eksploitasi yang bekerja di balik media-media digital (Ellul, ibid., 363-375).
Hal yang sama juga terjadi dengan teknik hiburan. Meskipun kedua teknik ini memiliki hubungan yang dekat, menurut Ellul, keduanya tetap berbeda. Perbedaan utama antara keduanya berhubungan dengan spontanitas. Teknik propaganda bersifat taktis, sebab dilakukan dengan sengaja untuk mencapai tujuan tertentu. Sementara itu, teknik hiburan bersifat spontan dan non-deliberalitf, sebab pengguna sendiri yang mencari hiburan. “Yang pertama adalah hasil keputusan penyelenggara; yang terakhir, berasal atau hasil dari kebutuhan massa,” demikian Ellul (Ibid., hlm. 375-376).
Baca Juga : Tak Ada Mimpi Yang Ketinggian
Baca Juga : Cerita Seorang Pembohong
Dalam hal ini, propaganda diperankan oleh aktor media melalui tayangan-tayangan yang sudah terencana, sedangkan teknik hiburan atau pengalihan merupakan teknik yang dikehendaki sendiri oleh massa. Pengalihan yang dimaksudkan di sini adalah pengalihan perasaan atau pikiran. Dengan menonton TV dan siaran media digital lainnya manusia mengalihkan ketakutannya akan persoalan hidup yang mereka hadapi.
Distorsi Komunikasi Interpersonal
Budaya masyarakat teknologis berdampak serius terhadap pola komunikasi interpersonal, yang bagi Habermas merupakan tindakan fundamental sebagai manusia. Komunikasi atau interaksi yang manusiawi sebenarnya terarah pada kesepemahaman (mutual understanding) dan emansipasi. Ketika ruang komunikasi membuahkan pemahaman akan yang lain, di sana akan ada gerakan dan usaha untuk mengemansipasi. Ketika ‘aku’ mengenal dan memahami penderitaan orang lain yang berbagi cerita denganku, aku bertanggungjawab untuk membebaskannya dari penderitaannya. Namun, dalam budaya masyarakat teknologis, komunikasi interpersonal menjadi dangkal, sehingga pemahaman dan tanggungjawab etis terhadap orang lain menjadi kabur.
Baca Juga : Bias Urban dan Desa sebagai Subjek Media
Baca Juga : Zen, sebuah Agama Baru?
Kembali mengutip Ellul, kemunduran komunikasi interpersonal itu berhubungan langsung dengan logika dan mekanisme teknologi yang “mengintervensi, memperbaiki segalanya, dan menciptakan dunia di mana semuanya bekerja dengan baik, atau cukup baik” (Ellul, op.cit., hlm. 387). Di hadapan media digital, manusia tidak lagi mampu mendistansiasi diri melalui kesadaran reflektif, sebab kesadarannya telah dibentuk oleh logika teknik-digital.
Sebab itu, dalam era digital ini, setiap individu mengadaptasikan dirinya dengan mekanisme teknologi digital. Alih-alih mengendalikan teknologi, mereka (atau kita) sebenarnya dikendalikan oleh teknologi. Sebagai akibatnya, individu, sebagaimana diungkapkan Richard Stivers (2004: 141), mengalami “kesepian kronis, kurangnya spontanitas, kurangnya pengaruh, dan kehilangan realitas (untuk penderita skizofrenia, hampir total)”.
Menurut Ellul, fenomena masyarakat teknologis paling banyak terjadi di dalam ruang komunikasi keluarga. Intimitas relasi menjadi dangkal, sebab pasangan suami-istri lebih banyak mengalokasikan waktu untuk berselancar di internet dan media sosial daripada membangun komunikasi satu sama lain. Akhirnya, mereka memang dekat secara fisik, tetapi sebenarnya mereka tidak mengenal satu satu sama lain. Hubungan keduanya lebih didasarkan pada kontrak, bukan sebuah komitmen untuk ‘ada’ bagi yang lain. Ketika mengalami kesepian, mereka mencari hiburan di media sosial.
Baca Juga : Pernikahan Dini: Pandemik Yang Belum Juga Berakhir
Baca Juga : Cerita Wartawan di NTT Dapat Sinyal 4G di Pohon Jambu
Dengan sangat lihai dan cekatan, produsen konten media digital membaca dan memahami gelaja psikotis ini. Media-media digital menawarkan tayangan-tayangan menarik yang tidak hanya inspiratif, tetapi juga humoris dan bahkan membawa manusia pada keadaan ekstase. Akibatnya, ketika menonton tayangan media-media digital ia memproyeksikan citra seksualnya, dan pada saat yang sama, sajian media digital mengonstruksi ulang imajinasi tentang suami atau istri yang ideal. Dalam dunia rekaan itu, “film membuatnya tertawa, menangis, heran, dan kagum. Ia pergi tidur dengan bayangan wanita terkemuka, membunuh penjahat, dan menguasai absurditas kehidupan. Singkatnya, ia menjadi pahlawan. Hidup tiba-tiba bermakna” (Ellul, ibid., hlm. 377).
Distorsi Ruang Publik
Ellul sendiri hidup sebelum media-media digital menguasai dunia. Buku The Technological Society diterbitkan pada tahun 1954. Saat itu, TV dan radio adalah media teknologi yang akrab dengan Ellul. Namun, spekulasinya tetap berhubungan dengan era digital. Jauh sebelum hadirnya media-media digital, Ellul sudah memprediksi kondisi masyarakat di dalam era digital itu sendiri. Dengan demikian, teori masyarakat teknologis memiliki hubungan yang erat dengan kondisi masyarakat digital sekarang. Justru di dalam era digital, kondisi masyarakat teknologis itu semakin akut.
Baca Juga : Media Siber dan Demokrasi di Era Milenial
Baca Juga : Wajib Tahu! Enam (6)Tahap Penting dalam Menulis
Saat ini, wajah masyarakat teknologis itu ditandai dengan menguatnya fenomena distorsi ruang publik melalui penyebaran hoax, fake news, pengerahan buzzer and mass influencer, dan kontrol massa (netizen). Menurut Ellul, rentetan fenomena ini merupakan manifestasi konkret dari praktik propaganda dan manipulasi massa. Keduanya tidak hanya bertujuan untuk mendistorsi ruang komunikasi interpersonal, tetapi juga ruang atau tatanan publik, mulai dari sistem sosial, politik, agama, budaya, maupun pandangan dunia (worldview). Dengan demikian, dalam masyarakat teknologis, pengontrolan individu bertautan erat dengan praktik pembodohan massa. Di sini, teknik propaganda dan manipulasi menjadi senjata utama.
Ellul (1954: 363-372) mengatakan bahwa praktik pembodohan massa melalui media, terutama televisi dan radio telah dimulai oleh Amerika Serikat, Rusia, dan Jerman (Nazi). Pemerintahan AS baik selama maupun sesudah PD I dan II, menggunakan taktik propaganda untuk mendulang partisipasi publik dalam perang. Untuk tujuan ini, pemerintah memasang poster, mengadakan acara publik, pertemuan akbar, dan siaran heroik melalui televisi, radio, dan surat kabar.
Mekanisme yang sama digunakan regim fasisme Jerman, Nazi. Kepada masyarakat Jerman, Paul Joseph Goebells, otak propaganda Nazi, menyerukan perang terhadap musuh ras Aria, yaitu kaum Semit (Yahudi). Sementara itu, di Uni Soviet (sekarang Rusia) pemerintahan komunis memanipulasi publik (terutama kaum buruh) bahwa negara sedang berada dalam masa revolusi. Sebab itu, kaum buruh mesti terus bekerja keras sampai revolusi tuntas. Untuk tujuan ini, pemerintah Uni Soviet memanfaatkan radio untuk menyebarkan berita palsu (fake news).
Baca Juga : Sore Nanti, Kita ke Pantai
Baca Juga : Metafora Perang dalam Penanganan Covid
Hingga kini, pemanfaatan media digital untuk tujuan manipulasi massa dan propaganda politik berkembang semakin cepat. Bahkan, polanya semakin sistematis, masif, dan terstruktur. Aktor dan motivasi di balik praktik manipulasi dan propaganda juga semakin kompleks. Saat ini, keduanya tidak hanya digunakan untuk tujuan politik kekuasaan, tetapi juga untuk tujuan ekonomi, sosial, dan ideologi.
Tingginya praktik manipulasi massa dan propaganda dalam jagat digital ternyata berkorelasi erat dengan penetrasi digital, khususnya dengan jumlah pengguna internet dan media sosial. Secara global, menurut data Hootsuite-We are Social (https://datareportal.com/, diakses pada 26 April 2021), hingga April 2021, dari 7,85 miliar populasi dunia, pengguna internet sebesar 60,1 persen (4,73 miliar), sedangkan pengguna media sosial sebanyak 50,1 persen (4,33 miliar). Sementara itu, di tingkat domestik, dari 272,1 juta total populasi, sebanyak 65 persen (175,4 juta) adalah pengguna internet, sedangkan pengguna media sosial sebesar 59 persen (160 juta). Menariknya, Indonesia menempati posisi ke-8 sebagai negara dengan total waktu terbanyak berselancar di internet (8 jam) dan media sosial (3 jam) per hari.
Data ini menjadi kondisi potensial untuk praktik pembodohan publik. Sebelum kehadiran internet dan media sosial, praktik destruktif tersebut diperantarai radio, televisi, dan surat kabar. Namun, efektivitas dan efisiensinya jauh lebih rendah dibandingkan dengan era digital saat ini. Untuk mengendalikan ketiga media konvensional tersebut, dibutuhkan modal, waktu, dan kerja keras. Lagi pula, sebelum tahun 2000-an, ketiga media tersebut hanya dimiliki oleh segelintir orang, sehingga hasilnya kurang memuaskan. Namun, di era digital, hal ini jauh lebih mudah. Hanya dalam hitungan detik, konten propaganda dapat mencapai sasaran. Bahkan, konten propaganda dapat dimodifikasi dan direproduksi tanpa batasan waktu.
Baca Juga : Mencintai Wanita dengan Tanda Lahir di Bibir
Baca Juga : Malia
Hingga saat ini, praktik propaganda dan manipulasi massa yang paling sering terjadi adalah penyebaran hoax.Hoax digunakan untuk mempengaruhi opini publik, untuk tujuan bisnis, dan kampanye hitam (demagogi). Ketiga tujuan sesat ini beresonansi dengan mentalitas massa yang mudah percaya dan senang mendapat berita heboh, dan kurangnya tindakan hukum. Hal ini telah dibuktikan oleh Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) melalui survei bertajuk “Wabah Hoax Nasional” pada tahun 2019. Menurut Mastel (https://mastel.id/, diakses pada 25 April 2021), media sosial (87,50 persen) dan internet atau website (28,20 persen) adalah dua media utama penyebaran hoax.
Dari 941 responden, sebanyak 44,30 persen masyarakat mengaku menerima hoax setiap hari, 17,20 persen lebih dari sekali sehari, 29,60 persen seminggu sekali, dan 8,70 persen sebulan sekali. Konten hoax biasanya tersebar dalam bentuk tulisan (70,7%), foto dengan caption palsu (66,3%) dan Berita/foto/video lama diposting ulang (69,2%).Adapun konten hoax yang paling sering diterima masyarakat, yaitu isu sosial politik, isu SARA, dan pemerintahan.
Menurut Ellul, disinformasi melalui hoax merupakan ancaman langsung terhadap formasi opini publik (the formation of public opinion) yang merupakan prinsip konstitutif dalam sistem demokratis. Hal ini disebabkan masifnya praktik kristalisasi opini publik melalui taktik setting wacana oleh media yang bekerja sama dengan elit penguasa dan pengusaha. Publik hanya memberikan respons terhadap isu atau wacana rekaan yang ditayangkan media. Ketika publik berkonsentrasi pada isu rekaan ini, elit pengusaha dan penguasa diam-diam bersekongkol untuk menyepakai kebijakan politik yang tidak mewakili kepentingan rakyat.
Baca Juga : Desa: Sentra Budaya dan Peradaban
Baca Juga : Zidane, Tuchel, dan Tuhan
Agar proses ini berjalan lancar, buzzer politik dan intelektual tukang dikerahkan untuk mengalihkan kritisisme publik melalui teknik propaganda dan manipulasi yang baru. “Akibatnya, dalam masyarakat besar di mana propaganda sedang bekerja, opini tidak lagi dapat terbentuk dengan sendirinya kecuali melalui media informasi yang tersentralisasi,” demikian Ellul (Propaganda: The Formation of Men’s Attitudes, 1973: 2003). Dengan demikian, dalam masyarakat teknologis apa yang disebut opini publik sebenarnya tidak lebih dari sekadar konstruksi media. Sayangnya, hal ini jarang disadari sebab kesadaran masyarakat telah dikuasai oleh mekanisme teknologis yang menekankan kecepatan, bukan proses menuju pemahaman.
Rasionalisme Kritis
Di hadapan dominasi budaya teknologis itu, apa yang dapat kita lakukan agar manusia tetap menjadi tuan atas teknologi? Untuk menjawab pertanyaan ini, Ellul menggunakan contoh tentang televisi. Menurut Ellul (Perspectives on Our Age, 1981: 24), untuk menjawab pertanyaan “Bisakah seseorang lepas dari pengaruh televisi? Bisakah kita menguasai televisi?”, kita tidak dapat menempatkan televisi sebagai fenomena yang terpisah dari ‘aku’. Tindakan demikian hanya akan memperburuk dominasi teknologi terhadap manusia, sebab kita tidak berhasil memahami sistem teknik dan diri kita sendiri yang dipengaruhi sistem yang sama.
Baca Juga : Korupsi dan Ketidakadilan Gender
Baca Juga : Milenial dan Pendidikan Vokasi
Untuk memahami televisi, kita perlu menempatkannya dalam suatu sistem teknik yang saling berhubungan satu terhadap yang lain. Ellul menjelaskan bahwa televisi bertautan erat dengan periklanan, dengan konteks hidup manusia, dan dengan rekayasa gaya hidup baru, seperti konsumerisme. “Ini adalah dunia yang sama di mana saya diwajibkan oleh kelompok tempat saya tinggal untuk selalu mengetahui apa pun yang terjadi” (Ellul, loc.cit). Dengan demikian, hanya dengan mengakui dan menyadari teknologi dan budaya teknisis sebagai fenomena yang mempengaruhi ‘aku’ dan konteks hidupku, kita bisa keluar dari perangkap masyarakat teknologis. Pengakuan dan kesadaran akan interkonektivitas antara manusia dan teknologi merupakan jalan masuk bagi manusia untuk memahami budaya teknologis sekaligus menyelamatkan dirinya sendiri, demikian Ellul.
Untuk menunjang proses tersebut, rasionalisme kritis merupakan sebuah kenisyacaan. Sebab itu, meskipun Ellul menonjolkan determinasi sistem teknologis, ia juga percaya akan instansi akal budi manusia. Sebagaimana diungkapkan Karl Popper, rasionalisme kritis berarti pengujian kritis terhadap segala fenomena dan klaim kebenaran. Tanpa rasionalisme kritis, manusia berhenti pada fakta dan menerimanya begitu saja (taken for granted), sedangkan akar persoalan tetap tersembunyi dan diam-diam merusak manusia. Namun, Popper juga menegaskan bahwa rasionalisme kritis tidak hanya tertuju pada sesuatu di luar ‘aku’. Bersikap kritis juga mesti terarah pada si aku, sebab jika ia tidak mengkritisi dirinya sendiri, ia menjadi totaliter. Dengan terlebih dahulu kritis terhadap diri sendiri, manusia dapat bersikap terbuka pada kemungkinan kebenaran baru tentang sesuatu (Mikhael Dua, 2007: 56-57).
Baca Juga : Kemenangan Barcelona di Mata Seorang Madridista Setengah Moderat
Baca Juga : Perjalanan Panjang El Barca Sebelum Buka Puasa di La Cartuja
Dalam konteks masyarakat teknologis, rasionalisme kritis membantu manusia dalam memahami sistem kerja teknologi, memahami posisi manusia di dalamnya, memahami interkonektivitas antara keduanya, dan akhirnya mampu mengantisipasi penindasan manusia oleh mekanisme teknologis. Pada tataran konkret, rasionalisme kritis membantu manusia dalam merumuskan kebijakan dan pendekatan baru demi terciptanya tananan sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang lebih manusiawi.
Dengan proses yang sama, manusia dapat kembali kepada pola interaksi dan komunikasi interpersonal yang otentik, bukan artifisial. Hal yang sama juga membantu manusia untuk mampu membedakan kebenaran dari kepalsuan, sehingga di tengah tsunami informasi, ia tidak menjadi korban manipulasi dan propaganda. Akhirnya, konsistensi dalam bernalar secara kritis merupakan kebutuhan mutlak di tengah budaya masyarakat teknologis saat ini. Inilah ikhtiar kolektif masyarakat global saat ini. Tanpa bersikap kritis, kita menjadi sasaran empuk praktik manipulasi dan propaganda.