Kategori: Politik

  • Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

    Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

    Indodian.com – Di era modern ini, banyak negara yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi sebagai landasan pemerintahan mereka. Gagasan tentang pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah menarik minat banyak negara untuk mengadopsi sistem ini. Seturut data yang dipublikasikan oleh Pewresearch, hingga tahun 2017, sekitar 57% atau 97 dari 196 negara-negara di dunia sudah menggunakan sistem demokrasi sebagai asas pemerintahannya. Ini merupakan angka yang cukup menggembirakan, di mana hal ini menunjukkan adanya aspirasi universal untuk pemerintahan yang lebih terbuka, partisipatif, dan akuntabel.

    Namun, seiring dengan berkembangnya demokrasi, muncul tantangan-tantangan kompleks yang menimbulkan adanya ketidakpuasan terhadap sistem ini. Salah satu isu aktual yang mencuat belakangan ini adalah terkait dengan kebebasan beragama dalam konteks demokrasi. Peristiwa pelarangan penggunaan hijab bagi anggota Paskibraka di Ibu Kota Nusantara (IKN) beberapa waktu lalu menjadi sorotan publik.

    Kebijakan ini memicu beragam reaksi dan pertanyaan. Banyak pihak menilai bahwa kebijakan tersebut mengindikasikan adanya sikap anti-agama dalam tubuh pemerintahan kita yang katanya demokratis. Jika kita telisik lebih dalam, peristiwa IKN ini seakan mengisyaratkan adanya pandangan bahwa agama dan negara adalah dua entitas yang saling bertentangan. Pandangan ini seolah menggemakan narasi kuno tentang perang antara agama dan rasionalitas, antara iman dan ilmu pengetahuan. Namun, benarkah agama dan negara harus selalu berada pada posisi yang berseberangan?

    Pertanyaan ini membawa kita pada pemikiran seorang pengamat tajam demokrasi, Alexis de Tocqueville. Dalam pengamatannya terhadap masyarakat Amerika Serikat pada abad ke-19, Tocqueville menemukan peran krusial agama dalam menopang demokrasi. Lantas, apa yang sebenarnya dilihat oleh Tocqueville? Dan bagaimana pandangannya dapat memberikan kita pemahaman yang lebih mendalam tentang hubungan antara agama, negara, dan demokrasi di Indonesia dewasa ini? Untuk lebih jelasnya, mari kita simak terus uraian berikut ini.

    Tocqueville dan Democracy in America

    Pada tahun 1831, Alexis de Tocqueville, seorang aristokrat Prancis, melakukan perjalanan ke Amerika Serikat untuk mempelajari demokrasi. Dia melihat beberapa hal positif dalam demokrasi, tetapi juga mencatat beberapa kekurangan, seperti tirani mayoritas, individualisme, dan materialisme. Dia mengklaim bahwa agama sangat penting untuk mencegah bahaya-bahaya itu.

    Alexis de Tocqueville adalah seorang diplomat yang dikirim oleh pemerintah Prancis untuk mempelajari sistem penjara di Amerika. Saat berada di sana, dia memanfaatkan kesempatan untuk menyelidiki masyarakat Amerika secara keseluruhan dan menulis karyanya yang paling terkenal, Democracy in America. Dalam buku itu, De Tocqueville menulis:

    “Di Amerika, saya melihat lebih dari sekadar Amerika… Saya mencari gambaran demokrasi itu sendiri, dengan kecenderungan, karakter, prasangka, dan keinginannya.” (De Tocqueville, Vol. I, 1831 [2002]: 24)

    Dengan tujuan utama untuk memahami prinsip-prinsip yang mendasari masyarakat demokratis, Tocqueville melakukan pengamatan yang mendalam terhadap berbagai aspek kehidupan di Amerika Serikat, mulai dari sistem politik, sosial, hingga budaya. Berpergian di masa puncak revolusi industri, De Tocqueville percaya bahwa demokrasi dan industrialisasi saling terkait—demokrasi Amerika adalah perwujudan dari penyatuan ini. Dia menggambarkan Amerika sebagai “revolusi demokratis yang disebabkan oleh industrialisasi.”

    Dalam pengamatannya terhadap kehidupan sosial-politik Amerika, De Tocqueville percaya bahwa ketika industrialisasi mengurangi kesenjangan ekonomi antara kelas-kelas sosial, revolusi politik yang menuntut “kesetaraan” akan muncul secara alami. Jika tidak ada perbedaan ekonomi antara bangsawan, orang kaya, dan rakyat biasa, maka perbedaan politik juga akan hilang. Inilah kondisi yang memungkinkan lahirnya demokrasi. Namun, faktanya, AS adalah republik, dan bukan demokrasi. De Tocqueville mengamati bahwa meskipun Amerika adalah republik di atas kertas, ia lebih berfungsi seperti demokrasi. Namun, semokrasi ini pun bukanlah demokrasi murni, sebab menurutnya, demokrasi di Amerika adalah bentuk pemerintahan mayoritas. Dia menulis:

    “Meskipun bentuk pemerintahannya representatif … di Amerika Serikat, mayoritaslah yang memerintah…” (hlm.193)

    Tirani Mayoritas

    Sebagaimana yang ditampilkan dalam kutipan di atas, De Tocqueville berpendapat bahwa demokrasi memiliki potensi untuk menghasilkan bentuk penindasan yang disebut “tirani mayoritas.” Dalam konteks demokrasi, tirani mayoritas memiliki kekuasaan yang sangat besar untuk menentukan kebijakan publik. Namun, kekuasaan mayoritas yang tidak terkendali ini dapat menjadi ancaman bagi hak-hak minoritas. Karena semua tingkat pemerintahan dibentuk oleh pendapat mayoritas, tidak ada entitas yang bisa dijadikan tempat untuk mengajukan banding ketika seseorang mengalami ketidakadilan dari pemerintah itu sendiri. Dia menulis:

    “Ketika seseorang atau sebuah golongan menderita ketidakadilan di Amerika Serikat, kepada siapa mereka ingin mereka mengajukan banding? Kepada opini publik? Itu adalah mayoritas. Kepada badan legislatif? Itu mewakili mayoritas… Kepada polisi? Polisi adalah… mayoritas yang bersenjata.” (De Tocqueville, Vol. II, 1835 [2010]: 93)

    Tocqueville melihat bahwa dalam sistem demokrasi, di mana mayoritas memiliki kekuasaan mutlak, kelompok minoritas sangat rentan terhadap penindasan. Tanpa adanya mekanisme yang efektif untuk melindungi hak-hak minoritas, mayoritas dapat dengan mudah membuat kebijakan yang merugikan kelompok-kelompok tertentu. Menurut De Tocqueville, di sinilah agama mendapat perannya untuk menjegal tirani mayoritas dengan membela hak-hak minoritas.

    Atomisasi Individu

    Selain tirani mayoritas, De Tocqueville juga mencatat bahwa demokrasi dapat menyebabkan atomisasi individu dalam masyarakat. Hal itu terjadi karena demokrasi mengikis ikatan sosial—tidak ada kewajiban timbal balik antara warga negara yang mengikat mereka secara bersama.

    Menurut Tocqueville, bentuk pemerintahan lain seperti aristokrasi memiliki kewajiban yang harus dipenuhi oleh kelas-kelas sosial satu sama lain—bangsawan bersumpah untuk melindungi rakyat sementara rakyat biasa bersumpah setia kepada para bangsawan. Dalam aristokrasi, ikatan keluarga sangat penting karena kekuasaan dan tanah diwariskan melalui garis keturunan.

    Di sisi lain, dalam demokrasi, tidak ada kewajiban timbal balik antara orang-orang. Setiap orang adalah unit politiknya sendiri, dan keluarga tidak begitu penting karena setiap orang bisa menjadi “mandiri.” De Tocqueville memperingatkan bahwa faktor-faktor ini dapat menyebabkan isolasi setiap individu dari individu lain.

    Materialisme

    Akhirnya, De Tocqueville juga memperingatkan bahwa dari individualisme akan muncul sebuah patologi lain, yakni materialisme. Dalam masyarakat yang individualistis, orang lebih fokus pada kekayaan pribadi daripada kepentingan bersama. Demokrasi, khususnya, mendorong “selera untuk kepuasan fisik” yang membuat orang percaya “bahwa segala sesuatu hanyalah materi.”

    De Tocqueville menyebut bahwa materialisme adalah “penyakit berbahaya dari pikiran manusia” yang dapat menggantikan keyakinan spiritual dan mengarah pada hedonisme yang melahirkan pikiran dan perbuatan jahat. Oleh karena itu, pria Prancis ini berpendapat bahwa demokrasi harus tetap berpegang pada agama mereka untuk mengatasi jebakan materialisme.

    Agama sebagai Penjaga Demokrasi

    Dari analisis panjang yang ia lampirkan dalam bukunya, De Tocqueville melihat agama sebagai benteng kuat yang dapat menjaga demokrasi dari berbagai bahaya yang dapat mengancam masyarakat politik, seperti tirani mayoritas, atomisasi individu, dan materialisme. Dalam pengamatannya, agama di Amerika memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap masyarakat, yang dia yakini berperan penting dalam keberhasilan sistem pemerintahannya.

    Di Indonesia atau di negara-negara lain yang menganut sistem demokrasi, hal ini sebetulnya sangat relevan untuk dipelajari. Sebagai contoh konkret, dalam menghadapi tirani mayoritas, agama sering kali menjadi suara moral yang menentang ketidakadilan, bahkan ketika mayoritas masyarakat mendukung kebijakan yang tidak adil. Gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat, yang dipimpin oleh tokoh-tokoh agama seperti Martin Luther King Jr., menunjukkan bagaimana agama dapat menjadi kekuatan yang menantang keputusan mayoritas yang tidak adil. King menggunakan ajaran agama untuk memobilisasi dukungan dan menuntut perubahan. Hal ini menunjukkan bahwa agama dapat menjadi alat untuk melindungi hak-hak minoritas dalam demokrasi.

    Selain itu, agama dapat mengatasi atomisasi individu dengan memperkuat ikatan sosial dan menciptakan komunitas yang saling mendukung. Gereja, masjid, pura, sinagoga, dan tempat ibadah lainnya sering menjadi pusat kegiatan sosial dan komunitas, di mana orang-orang dari berbagai latar belakang dapat berkumpul, berbagi nilai, dan mendukung satu sama lain. Hal ini sangat membantu untuk mengurangi isolasi individu atau individualisme dengan menciptakan rasa keterikatan dalam masyarakat.

    Dalam menghadapi materialisme, agama juga sering menekankan nilai-nilai spiritual dan kebajikan di atas kepuasan material. Misalnya, banyak agama yang mengajarkan pentingnya kemurahan hati, pengorbanan, dan pelayanan kepada sesama, yang bertentangan dengan kecenderungan materialistis dalam demokrasi modern. Melalui ajaran ini, agama dapat mengarahkan perhatian masyarakat dari kesejahteraan pribadi menuju kesejahteraan bersama, yang pada akhirnya menguatkan demokrasi dengan menjaga fokus pada kepentingan umum.

    Dari narasi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa Alexis de Tocqueville melihat agama sebagai pilar penting dalam menopang demokrasi. Agama, menurutnya, bukan hanya sekadar institusi, tetapi juga sebagai kekuatan moral yang mampu membendung potensi negatif dari demokrasi seperti tirani mayoritas, atomisasi individu, dan materialisme. Agama berperan sebagai penyeimbang yang mengingatkan masyarakat akan nilai-nilai luhur seperti keadilan, persaudaraan, dan spiritualitas.

    Namun, peran agama dalam demokrasi bukanlah tanpa tantangan. Di zaman modern ini, sekularisme dan pluralisme semakin menguat. Hal ini menghadirkan pertanyaan mendasar: Bagaimana kita dapat mengharmonisasikan nilai-nilai agama dengan prinsip-prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan individu dan kesetaraan? Peristiwa pelarangan penggunaan hijab di IKN menjadi contoh nyata dari kompleksitas isu ini. Untuk menjawab tantangan tersebut, diperlukan dialog yang terus-menerus antara agama dan negara, serta antara berbagai agama dan kepercayaan. Agama jangan sampai dipahami sebagai ancaman terhadap demokrasi, tetapi sebagai mitra yang dapat memperkaya kehidupan berbangsa. Dengan demikian, kita dapat membangun masyarakat yang inklusif, di mana semua warga negara memiliki tempat untuk berkontribusi demi membangun masa depan yang lebih baik.

  • DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

    DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

    Indodian.com – Dalam beberapa waktu terakhir, Indonesia sedang diguncang oleh sebuah krisis konstitusional yang sangat mengkhawatirkan. Sebagaimana kita ketahui, di tengah riuh rendah politik Indonesia, peristiwa pembangkangan konstitusi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhir-akhir ini kembali menjadi sorotan tajam publik.

    Keputusan kontroversial DPR yang memilih untuk mengabaikan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) demi melanggengkan dinasti politik Jokowi, khususnya demi memuluskan jalan anaknya untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah, telah memicu gelombang demonstrasi besar-besaran di seluruh Indonesia pada hari Kamis, 22 Agustus 2024 kemarin. Ribuan masyarakat pun turun ke jalan demi mempertahankan nasib demokrasi Indonesia yang kini berada di ujung tanduk.

    Pembangkangan Konstitusi oleh DPR

    Sejak awal, dinamika politik Indonesia memang tidak pernah sepi dari manuver-manuver elite yang seringkali mengabaikan kepentingan rakyat. Namun, kali ini, langkah DPR yang terang-terangan memilih untuk mengabaikan Putusan MK dalam Revisi Undang-Undang Pilkada demi kepentingan segelintir elite politik menjadi bukti nyata betapa rapuhnya demokrasi di negeri ini.

    Dalam rapat yang digelar pada 21 Agustus 2024, Badan Legislasi (Baleg) DPR dan Panitia Kerja (Panja) sepakat untuk mengacu pada putusan Mahkamah Agung (MA) ketimbang MK terkait batas usia calon kepala daerah untuk Pilkada 2024. Keputusan ini dianggap kontroversial karena MK, sebagai lembaga yang bertugas menafsirkan konstitusi, telah dengan tegas memutuskan batas usia tersebut. Namun, DPR memilih jalan berbeda, yang dinilai banyak pihak sebagai upaya untuk membuka jalan bagi Kaesang, anak bungsu Presiden Jokowi, agar bisa mencalonkan diri sebagai gubernur.

    Peringatan Darurat Garuda Biru

    Keputusan ini memicu gelombang protes dari berbagai elemen masyarakat. Aksi-aksi demonstrasi yang menuntut keadilan dan penegakan konstitusi berlangsung di berbagai daerah. Salah satu gerakan yang paling menonjol adalah gerakan “Kawal Putusan MK”. Gerakan ini muncul sebagai respon atas viralnya “Peringatan Darurat Garuda Biru,” sebuah video berdurasi kurang dari satu menit di berbagai media sosial. Video ini menyerukan kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk mengawal Putusan MK dan memastikan jalannya Pilkada 2024 berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.

    Peringatan Darurat Garuda Biru pada hakikatnya bukan sekadar simbol protes; ia adalah refleksi kekecewaan mendalam masyarakat terhadap DPR yang dinilai telah mengkhianati konstitusi. Dalam situasi di mana hukum dan demokrasi dipertaruhkan, aksi ini menjadi simbol perlawanan terhadap segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang berpotensi menghancurkan fondasi demokrasi di Indonesia.

    Apakah Demokrasi Sudah Mati?

    Pertanyaan besar yang muncul dari krisis ini adalah: apakah demokrasi di Indonesia telah mati? Pembangkangan DPR terhadap Putusan MK menimbulkan kekhawatiran serius tentang masa depan demokrasi di Indonesia. Ketika lembaga legislatif yang seharusnya menjadi representasi rakyat justru memilih untuk menabrak konstitusi demi kepentingan segelintir elite, maka jelas ada yang salah dalam sistem demokrasi kita.

    Jika demokrasi dibiarkan mati, apa yang akan terjadi dengan Indonesia? Demokrasi yang mati akan membuka pintu bagi lahirnya oligarki, di mana kekuasaan terkonsentrasi di tangan segelintir orang yang berkuasa. Peristiwa ini juga akan mengingatkan kita pada peringatan Hannah Arendt, filsuf yang pernah menjadi korban rezim Nazi di Jerman, tentang bahaya totalitarianisme. Menurutnya, ketika prinsip-prinsip dasar demokrasi seperti supremasi hukum dan demokrasi terkikis, maka pintu bagi munculnya pemerintahan otoriter terbuka lebar. Hal ini tentu akan mempengaruhi masa depan bangsa, di mana kebebasan akan tercekik, penegakan hukum akan tunduk pada penguasa, dan keadilan sosial akan menjadi mimpi yang tak pernah terwujud.

    Mampukah Indonesia Bangkit?

    Dari rentetan krisis politik yang telah bergulir sejak awal ia berdiri, Indonesia telah menunjukkan bahwa demokrasi tidak dapat mati dengan mudah. Gelombang aksi demonstrasi yang meluas di seluruh negeri menjadi bukti bahwa rakyat tidak akan diam ketika demokrasi diinjak-injak. Di bawah tekanan kuat dari rakyat yang bersatu dalam aksi-aksi demonstrasi, DPR akhirnya dipaksa untuk membatalkan niat jahatnya kemarin. Ini adalah kemenangan yang tidak hanya menggagalkan upaya melanggengkan dinasti politik, tetapi juga menegaskan bahwa nasib demokrasi ada di tangan rakyat.

    Aksi demonstrasi ini membuktikan bahwa ketika rakyat bersatu, kekuatan mereka tak bisa diremehkan. Demokrasi Indonesia telah diuji, dan rakyatlah yang menjadi penentu keberlangsungannya. Dalam momen ini, kita belajar bahwa demokrasi bukan sekadar kata-kata yang tercantum dalam konstitusi; ia hidup dalam tindakan, keberanian, dan suara-suara yang menolak tunduk pada tirani. Masa depan demokrasi Indonesia kini berada di persimpangan yang cerah, bukan gelap. Dengan keberanian yang telah ditunjukkan, rakyat Indonesia telah mengirim pesan yang jelas: demokrasi akan terus hidup selama ada mereka yang berani melawan ketidakadilan. Dan selagi rakyat terus memegang kendali, demokrasi Indonesia akan tetap berdiri kokoh.

  • Menanti Keberanian PDI Perjuangan Berada di Luar Pemerintahan

    Menanti Keberanian PDI Perjuangan Berada di Luar Pemerintahan

    Indodian.com-Demokrasi kita sedang tidak baik-baik saja. Duit rakyat tengah dirampas dengan dalih tabungan perumahan. Ruang gerak pers dipersempit melalui RUU Penyiaran yang melarang penayangan jurnalisme investigatif.

    Persyaratan umur calon pemimpin (penguasa) diutak-atik. Batas usia pensiun Kapolri direncanakan untuk diperpanjang. Berbarengan dengan itu, masa jabatan hakim Mahkamah Konstitusi yang berintegritas hendak dipangkas.

    Jumlah kementerian direncanakan untuk ditambah dari 34 menjadi 40 biji. Mahasiswa dijerat lehernya dengan keputusan menaikkan uang kuliah tunggal, walaupun belakangan tidak jadi dieksekusi.

    Semua ini dilakukan dengan mengubah Undang-Undang yang mengaturnya, tanpa melibatkan publik secara memadai.

    Berbagai kejadian ini menyadarkan kita bahwa pemerintah perlu dikontrol dan diawasi pergerakan dan kebijakan-kebijakannya. Kehadiran oposisi yang memainkan peran check and balance terasa kian mendesak.

    PDI Perjuangan, partai pemenang Pemilu Legislatif, diharapkan berani mengemban tugas berat ini.

    Di luar pemerintahan

    Karena menganut sistem presidensial, kita tidak mengenal istilah oposisi. Posisi politik yang bisa diambil partai-partai sekarang adalah berada di dalam atau di luar pemerintahan.

    Partai-partai yang kalah di Pilpres 2024, terutama PDI Perjuangan, diharapkan berani mengambil posisi politik berada di luar pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming.

    Keberanian ini kian mendesak di tengah kecenderungan politik balas budi yang tengah terjadi saat ini. Tuntutan mutlak partai-partai koalisi pemenang Pilpres untuk mendapat kue kekuasaan membuat kebutuhan dan permintaan masyarakat dikesampingkan.

    Kekuatan penyeimbang dibutuhkan untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat yang tidak semuanya selaras dengan kepentingan pemerintah dan barisan oligarki di belakangnya.

    Budaya persatuan dan gotong royong yang selama ini diagung-agungkan sebagai kekayaan bangsa kita, perlu diseimbangkan dengan kebutuhan akan adanya kekuatan penyeimbang kekuasaan.

    Persatuan dan gotong royong tidak sama dengan berada dalam satu gerbong kereta yang sama. PDI Perjuangan (dan PKS) tidak perlu masuk dalam gerbong gendut koalisi Prabowo-Gibran untuk membawa bangsa ini terus maju.

    Persatuan, gotong royong, dan kerja sama merupakan nilai-nilai yang sangat penting. Akan tetapi, dalam konteks pemerintahan, penekanan yang terlalu berlebihan pada nilai-nilai ini akan menghambat ruang gerak oposisi yang diperlukan bagi demokrasi yang sehat.

    Tanpa penyeimbang yang efektif, risiko munculnya pemerintahan yang sewenang-wenang dan seenak jidat, sangat mungkin terjadi. Tanda-tanda itu makin jelas terlihat akhir-akhir ini.

    Menuju 2045

    Indonesia emas adalah kita. Tanggung jawab membawa negara ini pada level negara maju dan sejahtera pada usianya yang ke seratus tahun pada 2045 mendatang, ada di tangan kita semua.

    Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah menyebut, salah satu tantangan terberat bangsa ini dalam mencapai cita-cita Indonesia Emas itu adalah masalah demokrasi (Detik, 20/5/2024).

    Pada Era Jokowi, indeks demokrasi Indonesia cenderung menurun. Dalam data yang dirilis tahun 2022, The Economist Intelligence Unit mengkategorikan Indonesia sebagai negara dengan demokrasi cacat.

    Salah satu penyebab adalah minimnya oposisi apalagi setelah Prabowo Subianto bergabung dalam pemerintahan Jokowi-Ma’ruf pasca Pilpres 2019.

    Gaya kepemimpinan yang tidak menghendaki adanya oposisi rupanya akan terus dilanggengkan capres-cawapres terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming.

    “Saya akan terus berjuang bersama semua kekuatan yang mau diajak kerja sama. Tapi kalau sudah tidak mau diajak kerja sama, ya jangan ganggu,” kata Prabowo awal Mei lalu, beberapa waktu setelah terpilih jadi Presiden.

    Cita-cita Indonesia Emas 2045 tidak akan tercapai tanpa keseriusan memperbaiki dan membawa kembali demokrasi kita ke koridor yang benar.

    Peran dan fungsi parlemen sebagai lembaga pengawas eksekutif harus diperkuat. Independensi partai-partai di DPR diperlukan untuk memastikan kebijakan pemerintah dievaluasi secara kritis.

    Peran ini tidak akan berjalan maksimal jika semua partai di parlemen masuk dalam koalisi pendukung pemerintah. Ini bisa dihindari jika PDI Perjuangan berani mengambil posisi tegas berada di luar pemerintahan.

    Di tengah penyakit korupsi yang kian mengakar, kekuatan besar di luar pemerintahan diperlukan untuk mendesak aparat penegak hukum mengambil tindakan segera dan terukur.

    Nepotisme yang belakangan ditunjukkan dengan terang-terangan perlu dilawan dengan gerakan yang masif. Jika tidak dilawan, watak otoritarian pemerintah kita semakin menjadi-jadi.

    Partisipasi publik dalam mengawasi kerja pemerintah juga perlu ditingkatkan melalui diskusi dan debat yang setara. Partisipasi publik harus difasilitasi kekuatan politik di luar pemerintahan.

    Partai wong cilik

    Dalam pidato politik di momen HUT ke-51 PDI Perjuangan Januari lalu, Megawati Soekarnoputri kembali menegaskan pesan moral terpenting tentang jati diri PDI Perjuangan sebagai partai wong cilik.

    Sebagai partai yang seutuhnya menyatu dengan rakyat, sikap dan identitas PDI Perjuangan harus selaras dengan kepentingan rakyat kecil.

    Di saat pemerintah menjadi terlalu haus kekuasaan dan terang-terangan mengutamakan kepentingan keluarga dan oligarki, nasib dan kesejateraan rakyat kecil pasti ditinggalkan.

    Inilah saat yang paling tepat buat PDI Perjuangan untuk berada di barisan wong cilik, sesuai dengan jati diri partai.

    Dan yang paling penting, dengan berada di luar pemerintahan, PDI Perjuangan menunjukkan keseriusan dan bukti nyata dari permintaan maaf kepada rakyat Indonesia karena telah menghasilkan kader yang “melakukan pelanggaran konstitusi dan demokrasi.”

    Permintaan maaf itu disampaikan oleh Puan Maharani, dengan air mata bercucuran, beberapa waktu lalu.

    “Sehubungan dengan adanya perilaku kader partai yang tidak menjunjung tinggi etika politik, tidak disiplin, dan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ideologi, serta melakukan pelanggaran konstitusi dan demokrasi, Rakernas V Partai menyampaikan permintaan maaf kepada seluruh rakyat Indonesia,” ucap Puan.


  • Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

    Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

    Indodian.com – Seiring berkembangnya zaman, ruang publik di bidang politik makin tergeser. Mulanya komunikasi politik secara langsung, kini bertransformasi ke komunikasi lewat layar. Dengan kehadiran gawai yang dilengkapi berbagai fitur-fitur media sosial, proses politik konvensional menjelma online politic atau politik maya. Perkembangan teknologi komunikasi yang berdampak dalam kehidupan politik di berbagai belahan dunia bermula ketika pada abad 18, Edison menemukan alat yang menghasilkan efisiensi dalam proses politik di Amerika.

    Saat ini, Indonesia tidak hanya berhadapan dan beradaptasi dengan perkembangan media elektronik dan media cetak. Teknologi komunikasi multimedia berbasis internet juga kian menjamur. Ruang publik menjadi semakin terbuka lebar. Berbagai proses dan dinamika politik tidak hanya tersampaikan melalui berbagai media konvensional, tetapi lambat-laun mulai masuk ke ranah digital yang langsung menyasar para khalayak secara personal.

    Kehadiran internet dan media sosial mengubah pola interaksi antara masyarakat dengan para politisi maupun calon politisi di era demokrasi. Masyarakat dapat dengan mudah memberikan respons atau berinteraksi dengan para politisi atau kandidat partai lewat layanan komentar atau pesan di media sosial. Tidak ada elemen gatekeeper di antara keduanya, layaknya institusi media, wartawan, atau editor. Hal ini membuat masyarakat (warganet) merasa bahwa proses interaksi sepenuhnya dalam kontrol mereka. Lewat media sosial, masyarakat merasa memiliki akses riil terhadap para politisi. Media sosial juga memberikan ruang bagi para warganet untuk terkoneksi dengan warganet lain yang mengidolakan atau mendukung politisi dan calon politisi tertentu.

    Namun, kalau berbicara soal isu politik, khususnya Pemilu, media sosial menjadi tempat sampah bagi segala misinformasi, disinformasi, dan ujaran kebencian. Dengan berbagai kecanggihannya, media sosial menjadi ruang yang memungkinkan semua orang bebas berekspresi tanpa terkendala hierarki. Semua orang bisa mengutarakan pendapat, pandangan, dan wacana bak ahli dan pakar. Tak adanya proses moderasi dan verifikasi seperti di media massa adalah persoalan yang membuat media sosial sebagai ruang serba bebas dan liar.

    Tom Nichols dalam bukunya yang berjudul “Matinya Kepakaran”, menjelaskan bahwa sebagian konflik di wilayah publik merupakan keributan yang diperkuat oleh internet dan media sosial. Internet mengumpulkan factoid (pernyataan palsu yang disajikan sebagai fakta atau berita yang sebenarnya) dan gagasan setengah matang, lalu disebarluaskan melalui perangkat elektronik. Di media sosial, tak ada mekanisme tepat untuk menyaring konten yang mengandung disinformasi, misinformasi, permusuhan, dan ujaran kebencian. Dalam tataran yang lebih kompleks, hal ini menyebabkan surplus dan defisit fakta yang membawa masyarakat pada ambang kehancuran intelektual.

    Jagat maya adalah jagat yang merefleksikan minat, selera, dan kecenderungan penggunanya, sebagaimana dipaparkan oleh Cass Sunstein (2017) dalam bukunya “Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media”. Sunstein berpandangan bahwa melalui kurasi algoritmis, seseorang terhindar dari paparan konten yang berseberangan dengan keyakinan dan pahamnya. Misalnya, seseorang yang menyukai sosok kandidat ‘A’, hanya akan terus disuguhi informasi tentang kandidat ‘A’, seolah-olah tak membutuhkan informasi lain. Dampaknya, seseorang akan semakin fanatik dan menolak pandangan berbeda. Secara perlahan dan tanpa sadar juga membuat orang-orang membentuk kelompok dengan individu yang pahamnya serupa, pandangan jadi terseragamkan, dan secara politis menarik diri dari kelompok lain.

    Persoalan lain akibat lingkaran setan kurasi algoritma adalah hilangnya kepercayaan terhadap ahli, pakar, dan sumber kredibel. Konten dari akun anonim di media sosial dianggap sebagai raja dan sumber kebenaran, sedangkan para pakar, ahli, dan sumber terpercaya dianggap sebagai musuh. Konten-konten dari akun anonim dijadikan sebagai sumber pengetahuan yang sah. Fenomena ini menjadikan dialog dengan berdasarkan rasionalitas, daya kritis tidak lagi dianggap penting. Diskusi yang seharusnya dilandaskan pada fakta dan analisis yang objektif berubah menjadi pertarungan antara kebenaran ilmiah dan keyakinan pribadi yang tidak beralasan.

    Betapa mudahnya terlena dalam jaringan informasi palsu yang diproduksi oleh para pembuat konten tanpa identitas yang mengincar perhatian dengan sensasi dan provokasi, tanpa pertimbangan terhadap kebenaran atau akibatnya. Seiring dengan popularitas akun anonim yang semakin membesar, kepercayaan pada institusi dan individu yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang suatu subjek malah semakin menurun. Bukti ilmiah dan data yang diperoleh melalui riset yang cermat dianggap sebagai fitnah atau omong kosong belaka oleh mereka yang terjerat dalam fanatisme semu.

    Demokrasi dengan ruang publiknya yang berisik selalu menghadirkan tantangan bagi berbagai sumber pengetahuan. José Ortega y Gasset, seorang filsuf Spanyol pada 1930 juga melayangkan kritik pada keangkuhan intelektual. Menurut Gasset, di dalam kehidupan intelektual yang mensyaratkan keahlian, yang nampak justru kemenangan intelektual semu, tidak layak, tidak dapat dipertanggungjawabkan, dan bahkan tidak memenuhi syarat. Hal ini mengakibatkan seseorang membaca atau menyimak bukan karena peduli pada isu atau memiliki keinginan belajar, melainkan untuk menghakimi informan jika pendapatnya tidak sejalan dengan paham yang dianutnya.

    Realitas yang dikritisi Gaseet sejalan dengan dinamika yang terjadi di Indonesia, terutama dalam kontestasi Pemilu 2024. Penolakan terhadap pengetahuan, fakta, dan data yang dipaparkan oleh sumber terpercaya, sialnya, didominasi oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi, berasal dari kalangan mapan, dan memiliki privilese untuk mengakses berbagai medium dan sumber belajar. Berbagai privilese tersebut, idealnya menjadi alat untuk meningkatkan pemahaman dan kedewasaan intelektual. Sayangnya, akses dan kemewahan tersebut digunakan untuk membenarkan pandangan diri sendiri yang bahkan tidak didukung oleh fakta dan data ilmiah.

    Lingkaran setan  kurasi algoritma akan membuat pandemi kebodohan semakin mewabah, terlebih di saat daya kritis mulai tumpul dan menghilang. Lingkaran setan algoritma merupakan fenomena yang dapat mempersempit pandangan, menyuburkan atmosfer konflik sosial, membatasi akses informasi, dan menghambat dialog yang sehat. Dalam konteks demokrasi, hal ini dapat mengancam kebebasan berpendapat, memperkuat filter bubble, dan bahkan memicu polarisasi yang merusak.

    Makanya, penting sekali untuk memelihara daya kritis, menjaga  akal sehat, dan merawat demokrasi di era digital ini. Untuk membangun sikap kritis dan menghindari jebakan bias yang merusak, pendekatan konkret perlu diterapkan. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil untuk melakukan validasi dan verifikasi informasi dengan bijak.

    Pertama, cari tahu apakah sumbernya kredibel dan memiliki reputasi yang baik dalam menyediakan informasi yang akurat? Sumber-sumber berita yang kredibel, seperti lembaga media resmi, jurnal ilmiah, pandangan ahli/ pakar, atau organisasi terpercaya, seringkali menjadi pilihan yang lebih baik daripada sumber yang kurang dikenal atau memiliki agenda tersembunyi.

    Kedua, jangan terburu-buru percaya pada satu sumber saja. Lakukan cross-checking (pemeriksaan silang) dengan mencari informasi yang sama dari beberapa sumber berbeda. Jika informasi tersebut konsisten dan didukung oleh berbagai sumber yang independen, kemungkinan besar informasi tersebut lebih dapat dipercaya.

    Ketiga, memperhatikan ciri-ciri konten yang mencurigakan atau tidak kredibel, seperti judul yang sensasional, gambar yang diedit secara mencolok, atau klaim yang tidak didukung oleh bukti yang kuat. Berhati-hatilah terhadap konten yang dimaksudkan untuk memicu emosi daripada memberikan informasi yang faktual.

    Keempat, memeriksa konteks dari informasi yang diterima. Kadang-kadang, potongan klip video atau kutipan teks yang diambil dari konteks aslinya dapat mengubah maknanya secara signifikan. Mencari informasi tambahan atau melihat konteks yang lebih luas dapat membantu untuk memahami konteks secara utuh.

    Terakhir, menafsirkan informasi dengan menyadari dan mengevaluasi kemungkinan adanya bias. Setiap sumber memiliki potensi untuk memiliki sudut pandang atau agenda tertentu, baik secara politik, ideologis, atau komersial. Mengidentifikasi dan memahami bias yang mungkin ada dalam informasi yang diterima dapat membantu menilai informasi secara lebih kritis.

    Hanya dengan kesadaran diri setiap individu untuk coba menerapkan hal-hal kecil seperti yang disebutkan di atas, maka lingkaran setan ini perlahan dapat diputus. Dengan demikian, iklim dialog jadi lebih berwarna dan lingkar setan algoritma tak lagi mengikis demokrasi.

  • Demokrasi dan Kritisisme

    Demokrasi dan Kritisisme

    Indodian.com – Indonesia baru saja melaksanakan Pemilu yang berlangsung pada 14 Februari 2024.  Khusus untuk pilpres, hasil sementara dari hitung cepat (quick count) oleh Litbang Kompas, Kamis (15/2/2024), telah mengklaim pasangan Prabowo-Gibran sebagai pemenang unggul 58,60 persen. Sementara itu, pasangan capres-cawapres nomor urut 01, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, mendulang 25,26 persen suara dan pasangan capres-cawapres nomor urut 03, Ganjar Pranowo-Mahfud MD mendapatkan 16,14 persen suara (Fitria C. Farista, Kompas.com-15/02/2024).

    Namun, data ini bersifat “sementara” dan belum pasti karena masih menunggu hasil resmi dari KPU. Meski belum dipastikan siapa presiden dan wakil presiden, namun pada dasarnya Indonesia telah melaksanakan perhelatan Pemilu. Siapa pun presiden dan wakil presiden yang terpilih, semua pihak mesti menerima secara rasional. Sebab, mereka tetaplah pemimpin kita yang punya tugas melayani kepentingan warga negara.

    Tujuan Pemilu bukan hanya soal siapa presiden yang layak, melainkan bagaimana ia menjalankan pemerintahan secara demokratis. Karena itu, tugas warga negara ialah terus mengawal roda pemerintahan yang dijalankan Presiden terpilih agar selalu berjalan dalam koridor demokrasi. 

    Pemilu memang salah satu bagian dari dinamika demokrasi, sebab saat itulah momentum yang tepat bagi rakyat menggunakan hak politiknya. Namun dalam demokrasi, partisipasi rakyat tidak hanya tunggu Pemilu, melainkan sepanjang demokrasi itu berjalan. Karena itu, siapa pun presiden yang terpilih hak warga untuk berpolitik tetap menjadi keniscayaan.

    Untuk itulah Indonesia menganut sistem demokrasi dengan konsekuensinya ialah kebebasan rakyat untuk berserikat, berpendapat, berkumpul dan berpartisipasi dalam urusan politik dijamin secara konstitusional. Roda pemerintahan tidak hanya dijalankan oleh elit politik tetapi semua warga negara dilibatkan dalam budaya diskursus sehingga kebijakan politik selalu didasarkan atas deliberasi publik.

    Kebijakan politik di Indonesia pertama-tama harus dimulai dengan deliberasi. Istilah deliberasi berasal dari kata Latin deliberatio, lalu diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi deliberation. Istilah ini berarti ‘konsultasi”, “menimbang-nimbang” atau- kita telah memiliki kosa kata politik ini- “musyawarah” (Hadirman, 2009; 128). Demokrasi deliberasi menjadi elemen penting sebagai ajang warga negara untuk berkonsultasi dan menimbang dengan penguasa terkait keputusan politik. Deliberasi berupaya mencari titik temu antara berbagai perbedaan pandangan politik sehingga memungkinkan keputusan politik yang diambil dapat menguntungkan semua pihak.

    Teori demokrasi deliberatif merupakan salah satu pemikiran filosofis Jurgen Habermas. Menurut Habermas, deliberasi lebih menekankan pada prosedur formasi opini dam aspirasi secara demokratis. Dengan ungkapan lain, legitimitas keputusan politik tidak terletak pada hasil komunikasi politik, melainkan pada prosesnya. Semakin diskursif proses itu, yakni semakin rasional dan terbuka terhadap pengujian publik, semakin legitim pula hasilnya (Hardiman, 2009:130). Deliberasi tidak menuntut supaya suara otoritas dianggap legitim sehngga harus dijalankan, tetapi suara otoritas diuji secara publik melalui diskursus yang panjang.

    Melalui deliberasi, suara-suara kritis publik diberi kesempatan bukan untuk menghilangkan kebijakan politis tetapi memberi basis agar keputusan politik sesuai dengan tuntutan konteks dan budaya masyarakat. Karena itu, dalam deliberasi yang dikedepankan adalah rasionalitas komunikatif dengan basis argumentatif tanpa harus menggunakan sentimen yang berujung pada brutalitas. Lemahnya budaya deliberasi membuat keputusan politik memicu sikap saling serang di antara berbagai pihak.

    Barangkali untuk dijadikan contoh di sini ialah konflik di Rempang, Kepulauan Riau, di mana terjadi bentrokan antara masyarakat dengan aparat keamanan. Menariknya presiden Jokowi menilai kericuhan di Pulau Rempang terjadi karena ada komunikasi yang kurang baik. Menurut Presiden, kericuhan yang terjadi saat warga unjuk rasa memprotes proyek Rempang Eko City di kawasan pulau itu, semestinya tidak akan terjadi sekiranya warga diajak bicara dan diberikan solusi (Cyprianus A. Saptowalyno, Kompas, 12/9/2023). Masalah di Rempang kiranya menjadi preferensi bagi para pengambil kebijakan betapa keputusan politik harus dimulai dengan proses deliberasi agar suara-suara kritis diengarkan. Demokrasi hanya bisa bertumbuh jika suara kritis publik dihargai.

    Demokrasi dan Semangat Kritisisme           

    Demokrasi merupakan ruang inklusif yang menjamin setiap warga negara agar dapat berpartisipasi di setiap kebijakan politik. Demokrasi sebagai ruang partisipasi mengandaikan aspirasi rakyat diberi jaminan sehingga tidak ada lagi roda pemerintahan yang dijalankan secara otonom oleh penguasa. Setiap kebijakan mesti dipertimbangkan di dalam ruang deliberasi karena kebijkan politik pertama-tama didasarkan atas pertarungan ide yang konstruktif yang melibatkan masyarakat sipil dan pemerintah. Oleh karena itu, sikap kritik yang dilontarkan masyarakat sipil terhadap pemerintah tidak harus dinilai sebagai ancaman, sebaliknya suatu upaya konsolidasi demokrasi demi terciptanya kebijakan yang fair dan diterima oleh semua pihak.

    Demokrasi akan bertumbuh bila kritisisme dijamin karena lajunya roda pemerintahan tidak bisa tanpa dikendalikan oleh masyarakat sipil. Ibarat sebuah kapal, ia akan berlayar dengan baik ketika ada nakhoda yang mengendalikannya sehingga menyelamatkan banyak orang. Demikian dalam demokrasi kekuasaan tidak akan menjadi otoriter sejauh masyarakat sipil terus mengontrolnya. Karena itu, kontrol masyarakat pertama-tama harus dimulai dengan berani untuk bersikap kritis terhadap penguasa. 

    Kritisisme berasal dari kata “kritika” yang merupakan kata kerja dari “krinein” yang artinya memeriksa dengan teliti, menguji, membeda-bedakan (Udo Z Karzi, 2021; 235). Berpikir kritis berarti tidak mudah menerima kebenaran dari luar, sebaliknya terus menimbang, mengevaluasi dan menguji sampai kebenaran itu berpuncak pada kepastian dan mendapat legitimasi secara universal. Masyarakat sipil harus berada dalam posisi ini. Memang terkesan imperatif namun amat penting sebagai upaya menciptakan negara demokratis.

    Selain itu, dalam demokrasi menjadi penguasa (pemerintah, pemimpin) artinya mengambil konsekuensi untuk siap dikritisi. Sebab, dalam setiap kebijkan yang ditelurkan para pemimpin tetap harus berpegang pada prinsip fabilisme yang terus diterapkan demi memproduksi kebijakan yang bermutu (Karzi, 2021; 235). Sebab, kebijakan politik selalu mengandaikan kehendak bersama sehingga tidak ada lagi korban yang merasa rugi sebagai dampak dari kebijakan tersebut. Peran serta masyarakat kecil setidaknya meminimalisasi dampak destruktif dari kebijakan politik, seperti tidak ada lagi masyarakat adat yang kehilangan hak tanahnya akibat penggusuran secara massif, krisis ekologi, pemanasan global dan dampak lainnya.

    Pertanyaannya ialah, siapa saja yang berpartisipasi di dalam sikap kritisisme itu? Peran serta semua masyarakat adalah jawabannya. Namun, beberapa institusi berikut menurut penulis mesti berperan dengan militan dalam mengawal demokrasi. Pertama, kampus. Kritisisme kampus dapat kita baca secara historis terutama pada gerakan reformai tahun 1998, di mana mahasiswa tampil dengan militan melawan kediktatoran Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto. Kekuatan mahasiswa berhasil menumbang kekuasaan otoriter Soeharto yang berlangsung selama 32 tahun. Kebangkitan gerakan ini tentu lahir dari sikap kritis mahasiswa terhadap rezim yang penuh bermuatan otoritarianisme.

    Selain gerakan reformasi, akhir-akhir ini sejumlah media tanah air baik media sosial maupun media mainstream menyajikan informai seputar aksi guru besar, dosen dan mahasiswa dari berbagai kampus di Indonesia, seperti Universitas Gadjah Mada, Universitas Islam Indonesia, Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran dan beberapa kampus lainnya yang amat getol dan militan mengkritik presiden Jokowi yang diklaim telah menggerus citra demokrasi.

    Seruan beberapa kampus ini lahir dari rasa keprihatinan terhadap kondisi demokrasi yang mengalami kemunduran selama masa pemerintahan presiden Jokowi. Presiden dianggap telah melakukan kecurangan dalam kontestasi Pemilu 2024 dan dinilai tidak netral dengan menyalahgunakan kekuasaan untuk mendukung calon tertentu (Koran Tempo 5/2/2024).

    Petisi beberapa kampus tersebut sebagai suatu kegembiraan bahwa kampus memang masih menamaikan entitasnya sebagai komunitas akademik yang kritis. Hal ini patut diapresiasi sebab dengan kritisisme, kampus tidak mudah terjinak oleh hegemoni elit politik yang membuat kampus enggan untuk bersikap kritis. Namun di sisi lain, perlu diberikan catatan kritis bahwa suara kritisisme kampus mesti tidak mengenal waktu. Suara kritisisme kampus tidak harus tunggu demokrasi sebentar lagi terjatuh ke dalam jurang. Sebaliknya, kritisisme kampus harus terus mengawali roda kekuasaan supaya kekuasaan tidak bertendensi menjadi otoritarianisme.

    Namun, menjadi paradoks ketika mahasiswa sebagai agent of changes tidak berani mendengungkan suara kritis, tetapi lebih suka sensasi terhadap atraksi elit politik di media sosial ketimbang menjeli lebih jauh substansi dari gagasan dan kebijkan politiknya. Kalaupun ada suara kritis, itu mungkin hanya sebatas wacana dengan tidak mengkontektualisasi di tengah kegaduhan politik. Inilah yang menjadi autokritik terhadap diri mahasiswa agar lebih mencirikan entitasnya sebagai kaum muda yang progresif dan revolusioner.

    Kedua, organisasi masyarakat (selanjutnya disebut ormas). Tujuan utama pembentukan ormas adalah bagaimana mengontrol kekuasaan negara agar dapat berjalan sesuai dengan amanat konstitusi (Mohammad Muliyadi, 2018; 47). Dalam bidang sosial politik, kemunculan ormas dinilai sebagai respon atas kebijakan politik yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Lahirnya ormas merupakan upaya untuk berkonfrontasi terhadap kebijakan pemerintah yang melanggar perintah konstitusi agar kembali kepada koridor demokrasi, yakni membawa rakyat kepada kemakmuran, keadilan dan kesejahteraan.

    Ketiga, dalam demokrasi keberadaan oposisi juga amat urgen dan menjadi keniscayaan. Kehadiran oposisi tidak harus dinilai sebagai ancaman, namun amat mutlak diperlukan sebagai pengontrol jalannya roda kekuasaan. Keterpautan antara oposisi dan demokrasi sesungguhnya tidak lepas dari prinsip yang mendasarinya, yakni penghargaan yang tinggi atas perbedaan. Dalam demokrasi, perbedaan bukan barang haram yang harus dimusuhi atau dijauhi, melainkan merupakan bata merah yang tidak terpisahkan dari bangunan demokrasi (Juliantara, 1998; 78).

    Dalam peranannya bagi demokrasi, oposisi menurut Juliantara (1998) paling tidak mengandung dua unsur berikut. Pertama, independen. Suatu oposisi tentu saja bukan menjadi bagian dari kekuasaan, melainkan harus mengambil jarak agar dapat melakukan check and balance secara bebas. Kedua, merepresentasikan kepentingan masyarakat luas. Karena itu, oposisi harus memiliki akses yang luas ke masyarakat. Ini penting agar suara oposisi bukan sekadar kepentinagn segelintir orang, melainkan wakil dari kepentingan banyak orang.

    Akhirnya selain keterlibatan dari ketiga lembaga di atas, kontrol terhadap kekuasaan juga tidak lepas dari peran masyarakat sipil yang lebih luas. Artinya, kontrol terhadap pemerintah tidak harus melalui organisasi yang telah terinstitusional. Siapa saja dapat mengontrol rezim sejauh pro-demokrasi. Mari mengawal demokrasi dengan membangun semangat kritisisme!

  • Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

    Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

    Indodian.com – Tulisan ini beranjak dari diskusi penulis dengan Sarnus Joni Harto di kolom komentar Facebook. Dengan begitu kritis, kawan baik saya ini mengutarakan pernyataan demikian “Saya berbeda pendapat pada bagian gerakan kritis kampus yang akhir-akhir ini berebut panggung. Bagi saya, semua petisi itu tanda kritisisme musiman dan oportunisme kampus”. Lebih lanjut, Sarnus berujar “Saya lebih setuju jika gerakan semacam itu dilakukan tepat sehari setelah MK menetapkan batas minimum usia Cawapres”.

    Tentu, ucapan ini juga ‘menggugat’ kesadaran saya. Bagaimana mungkin kampus terkesan bergerak di ‘garis akhir’? Apa yang menyebabkan kalangan intelektual terkesan ‘lamban’ bergerak, padahal mereka memiliki kecakapan epistemik dalam melacak geliat ‘kuasa’ Jokowi?

    Membawa Api Kebenaran

    Seperti bola api yang menggelinding seketika, belakangan ini protes kalangan intelektual di beberapa kampus membuncah dengan sangat cepat. Setelah segenap sivitas akademika UGM meminta, mendesak, dan menuntut penegak hukum, pejabat negara dan aktor politik  yang berada di belakang Presiden Joko Widodo, termasuk Presiden sendiri, untuk segera kembali pada koridor demokrasi” (Kompas, 31 Januari 2024), beberapa kampus kemudian turut terlibat menyatakan ‘sikap’. Bahkan terkini, seluruh Sekolah Tinggi Filsafat se-Indonesia juga turut ‘turun’ gunung menyampaikan kritik terhadap Jokowi (https://www.cnnindonesia.com).

    Kita tentu perlu menyambut baik ‘bisingan’ kaum intelektual. Sebab sebagaimana Ikrar Nusa Bhakti, bagaimanapun suara mereka adalah sebentuk penegasan sikap bahwa apa yang telah dilakukan Jokowi tidak sesuai dengan etika dan moral politik yang terkandung dalam ‘Pancasila’ (‘Ketika Kampus Mulai Bersuara’, Kompas, 9 Februari 2024). Kehadiran kaum intelektual adalah sebentuk ‘sikap tanggap’ bahwa skema politik Jokowi memang mencederai prinsip konstitutif demokrasi. Mereka bersuara, menggugat, dan mengambil sikap dengan maksud ‘agar ‘kebenaran demokratis’ dapat kembali ‘pulang’.

    Maka, bagi  penulis, reaksi beberapa kampus sejauh ini merupakan tanda keterlibatan kaum intelektual yang ‘berorientasi pada nilai’. Menyitir Noam Chomsky, filsuf sekaligus profesor linguistik Amerika Serikat, corak intelektual seperti ini adalah mereka yang mampu bercakap dan bersuara. Mereka bahkan tak segan mengajukan keberatan terhadap pemerintah. Tanpa mesti takut, mereka mengabdikan diri untuk ‘melecehkan’ pemimpin dan menantang otoritas (Chomsky, 2016:4-5).

    Intelektual seperti ini hadir dengan satu sikap dasar “Aku ada untuk kebenaran”. Maka wajar kalau mereka bergerak. Sebab mereka menentang otoritas untuk menegakkan kebenaran. Karena itu, kalau selama ini Jokowi mematikan prinsip demokratis, maka kritikan kaum intelektul seperti ini adalah ‘jalan pulang’ untuk membalikan kebenaran. Mereka hidup untuk kebenaran. Itu sebabnya jika ada ‘tabiat’ tak benar, mereka mengkritiknya dengan keras. Sehingga, kalau dalam kisah klasik Yunani, ada seorang dewa bernama Promoteus yang membawa api di tengah ‘kegelapan’. Maka saat ini, publik mesti bersyukur sebab di saat demokrasi sedang dilandang ‘kabut kegelapan’, kaum intelektual justru menunjukkan tanda terang. Demikian, di tengah ekskalasi kekuasaan Jokowi, kaum intelektual justru berupaya mengembalikan cita rasa ‘demokrasi bersama’.

    Paradoks Keterlibatan

    Anehnya, keterlibatan kaum intelektual sejauh ini ‘dirasa’ cukup problematis. Dalam diskusi kami, misalnya, Sarnus berujar “Akhir-akhir ini, banyak Perguruan Tinggi yang berebut peluang untuk menulis petisi/surat pernyataan. Buat diskusi dadakan lalu di ujung kegiatan mereka luncurkan sikap tertentu. Isinya tentu saja mengutuk praktik politik Jokowi. Unik. Juga aneh”.

    Pernyataan ini pun tentu menggugah saya:‘Mengapa gerakan seperti ini justru ramai terjadi belakang ini?’ Tanpa meremehkan gerakan kritis kampus, penulis berpikir bahwa keterlibatan dunia kampus sejauh ini cenderung paradoksal. Kampus adalah rumah pertarungan akal sehat. Ia menjadi ladang kritis-epistemik. Karena itu, kampus seharusnya sudah lama menjadi tempat pertama untuk mendeteksi dan mengonstruksi counter hegemonic atas gejolak otoritarianisme Jokowi.

    Jika boleh jujur, gejolak otoritarianisme Jokowi tentu sudah lama diselidiki dalam literatur akademisi. Tom Power, peneliti Australia, misalnya, bahkan sudah lama menegaskan bahwa era politik Jokowi cenderung otoritarianik. Dalam tulisannya berjudul Jokowi’s Authoritarian Turn and Indonesia’s Democratic Decline, ia bahkan dengan lugas menegaskan bahwa pada akhir masa jabatan pertama Jokowi, terjadi penurunan kualitas demokrasi di Indonesia. Hal itu beriringan dengan pengarusutamaan dan legitimasi Islam politik yang konservatif dan anti-pluralistik; manipulasi partisan terhadap lembaga-lembaga penting negara; dan semakin terbukanya penindasan dan pemberdayaan oposisi politik.  Bagi Power, tren-tren ini telah menyebabkan ketidakseimbangan dalam arena demokrasi, membatasi pilihan demokrasi, dan mengurangi akuntabilitas pemerintah (2018:307).

    Selain itu, suara kritis atas kekuasaan Jokowi juga tertuang dalam kajian para ilmuwan semisalnya dalam buku Demokrasi di Indonesia: dari Stagnasi Menuju Regresi (2020) dan Demokrasi Tanpa Demos (2021). Bahkan kajian ini juga didukung riset Ecnomist Intelligence Unit (EIU) yang menegaskan bahwa Indeks Demokrasi Indonesia pada tahun 2022 hanya meraih skor 6,71. Skor tersebut sama dengan nilai yang diperoleh Indonesia pada indeks Demokrasi 2021, dan masih tergolong sebagai demokrasi cacat (flawed democracy) (bdk. https://data.tempo.co/data/1624/indeks-demokrasi-indonesia-2022).

    Karena itu, hal ini menjadi tanda bukti bahwa peringatan akan kebusukan Jokowi memang sudah ‘jauh-jauh’ hari disampaikan dalam lingkaran menara ‘gading intelektual’. Namun sayang, di tengah beredarnya kajian serius tentang Jokowi, kaum intelektual sepertinya lamban untuk mengonstruksi gerakan masif seperti sekarang ini. Terkesan, kaum intelektual bergerak dengan cara kerja ‘palang merah’, bukannya ‘palang pintu’. Mereka bergerak tatkala mendatangkan ‘korban’ dan enggan berikhtiar untuk meredam sejak ‘awal’.

    Ini adalah paradoks keterlibatan kaum intelektual. Padahal menurut Daniel Dhakidae, kaum intelektual (cendikiawan) memiliki kekuasaan atas bahasa dan pengetahuan (2003:55-56), lalu mengapa sejak awal kuasa pengetahuan tidak dipakai sebagai pijakan untuk membrendel Jokowi?. Bukankah sudah banyak kajian, tulisan ataupun diskusi perihal kebusukan Jokowi yang terjadi dalam lingkungan kampus? Namun mengapa gerakan besar-besaran baru terjadi belakangan ini.

    Saya membayangkan, jika gugatan beberapa ilmuwan yang mengkritik keras rezim pemerintahan Jokowi ditanggapi dengan cepat oleh sebagian besar kampus, maka demokrasi kita tidak akan berada pada titik stagnan. Jika gerakan masif kaum intelektual sudah jauh-jauh hari dikumandangkan, maka Jokowi tentu ‘gertak’. Pun, kalau seandaianya petisi dan gerakan ‘pernyataan sikap’ sudah lama dikonstruksi oleh kaum akademisi, maka demokrasi sudah lama menjadi pulih.

    Risiko Politik Memabukkan

    Memang keterpilihan Jokowi sebagai Presiden dalam konstitusi politik 9 Juli 2014, diiklaim sebagai indikasi bahwa demokrasi bisa berjalan lebih baik. Pasalnya, sebagaimana Ahmad Sahide, kala itu, Jokowi dinilai sebagai Presiden pertama yang terpilih dari figur yang bukan ketua umum parpol atau elite parpol. Ia juga dianggap sebagai Presiden yang merepresentasi kalangan pinggiran (‘Jokowi, dari Kesempurnaan Demokrasi Menuju Politik Dinasti’, Kompas, 3 November 2023).

    Hanya saja, pemakluman seperti ini mengantarkan  publik pada pengkultusan Jokowi. Jokowi kemudian dipersonifikasi seolah-olah ia adalah pemimpin yang tidak pernah berbuat salah. Ia diklaim sebagai pemimpin yang benar. Karena itu, Jokowi selalu diidentikan dengan kebenaran.

    Tentu, pengkultusan semacam ini juga merasuki nalar dunia akademisi. Di UGM, misalnya, beberapa akademisi mengakui bahwa dahulu mereka memuji-muji cara kepemimpinan Jokowi di tingkat nasional. Bahkan,  Koentjoro, Guru Besar UGM pun turut mengakui bahwa ia dulu berkiblat pada Jokowi. “Betul-betul (kecewa) sekali”, demikian Koentjoro,“Kalau dulu kan kita puja-puja. Barangkali kesalahan fatal kita terlalu menempatkkan dia terlalu tinggi sehingga dia (merasa) tidak pernah salah” (https://amp.kompas.com).

    Karena itu, ini adalah tanda bukti bagaimana dunia kampus dirasuki nalar ‘pengkultusan’ Jokowi. Hanya sayang, pengkultusan semacam ini memformat rasionalitas politik kritis-demokratis. Kaum intelektual serasa ‘tak berdaya’. Atau bisa saja ‘dininabobokan’ sejenak. Dalam pusaran kemabukkan seperti ini, hiperbolisasi Jokowi membuat kaum intelektual enggan cepat tanggap.

    Karena itu, kalaupun mereka memiliki kesanggupan epistemik untuk melacak gejala otoritarianisme Jokowi, hanya saja ‘nalar pengkultusan’  terhadap Presiden ‘Wong Cilik’ tersebut membuat gerakan kaum intelektual menjadi ‘vakum’. Menyitir Chantal Mouffe, dalam kondisi semacam ini, mereka belum menemukan ‘momen politis’ untuk dijadikan sebagai pijakan kolektif dalam melakukan perlawan terhadap musuh bersama (common enemy). Kesadaran kolektif dicekik oleh daya tawar sesaat politik yang meyakinkan. Pun konsientisasi kolektif diperlemah oleh sikap politik Jokowi yang terkesan ‘merakyat’.

    Tanpa malu dan ragu, dalam nalar pengkultusan semacam ini pun,  mereka bersimpati mendukung Jokowi. Mereka menaruh kepercayaan penuh atasnya. Dalam keadaan inilah ia dipersonofikasi sebagai ‘pembawa berkat’ atas krisis yang terjadi dalam tubuh demokrasi. Karena itu, wajar kalau gerakan kaum intelektual terkesan lamban. Sebab, saking mengkultuskan pejabat, kaum intelektual serasa ‘apatis’ dan cenderung  memaklumkan ‘kekeliruannya. Demikian pula, wajar kalau gerakan masif seperti saat ini tidak menguat sejak lama, sebab dalam nalar pengkultusan, mereka rela mereduksi diri sebagai intelektual teknokrat: ‘hamba pelayan’ kebijakan.

    Catatan Reflektif

    Kita perlu mengapresiasi pernyataan ‘sikap kritis’ beberapa kampus yang santer terjadi belakangan ini. Kalaupun sedikit gelisah, karena kaum intelektual berjalan ‘lamban’, hanya saja demokrasi saat ini butuh ‘obat penawar’. Saat nalar warga dijejali pengkultusan Jokowi, kita justru butuh alarm keras dunia intelektual semacam ini.

    Namun demikian, kegelisahan atas sikap kaum intelektual seperti saat ini mestinya menjadi otokritik. Kritisisme memang perlu dirawat. Demikian, kecakapan nalar mesti terus dijaga. Hanya saja, kaum intelektual mesti berdistansiasi dengan kekuasaan. Siapa pun pejabatnya, kaum intelektual selalu bersuara. Selain itu, kritisisme kampus mesti menderang setiap waktu. Sebab, jika tidak demikian, menyitir Sarnus, bisa saja kehadiran kaum intelektual hanya sekadar ‘tanda kritisisme musiman’

  • Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

    Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

    Indodian.com – Pada Sabtu, 3 Februari 2024, Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero menggelar diskusi politik mahasiswa bertajuk “Dinamika Politik Indonesia dan Kontestasi PILPRES 2024”. Setelah diskusi politik, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) bersama seluruh mahasiswa IFTK Ledalero turut menyampaikan pernyataan sikap. “Kami melawan segala bentuk tindakan yang mencederai demokrasi dan melanggar konstitusi”, demikian kutipan pernyataan yang dibacakan Max Gepa, ketua BEM IFTK Ledalero.

    Tentu, IFTK Ledalero tidak sendiri. Pasalnya pernyataan sikap semacam ini juga disampaikan beberapa kampus di Indonesia. Di UGM, misalnya, segenap sivitas akademika meminta, mendesak, dan menuntut penegak hukum, pejabat negara dan aktor politik  yang berada di belakang Presiden Joko Widodo, termasuk Presiden sendiri, untuk segera kembali pada koridor demokrasi” (Kompas, 31 Januari 2024). Atau di Universitas Islam Indonesia, segenap sivitas akademika bahkan dengan lugas menyatakan “Ketika hasil perjuangan dinodai dan dihina, maka tidak ada lagi yang bisa kita serukan kecuali, lawan” (Kompas, 1Februari2024).

    ‘Pernyataan sikap’ beberapa kampus di Indonesia tentu beralasan. Pasalnya seruan semacam itu bertumbuh di tengah kekhawatiran publik akan cita rasa demokrasi. Dunia akademik mensinyalir bahwa saat ini demokrasi sedang tersandera dalam jeruji ‘kepentingan penguasa’. Kekuasaan politik dipakai Jokowi untuk mengintervensi kontestasi politik pada 14 Februari 2024.

    Demokrasi Serasa Mati di Tangan Jokowi

    “Apakah demokrasi kita dalam bahaya?”, demikian gugatan awal Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam karya mereka berjudul “How Democracie Die”. Kedua ilmuwan politik Amerika Serikat ini mengklaim bahwa demokrasi saat ini sedang dilanda bahaya. Hanya saja proses kematiaan demokrasi agak berbeda. Kalau dulu demokrasi bisa mati di tangan jenderal, namun sekarang ia mati di tangan pemimpin terpilih (Levitsky dan Ziblat, 2019:ix).

    Rupanya seruan Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt amat relevan untuk konteks Indonesia. Meski dipilih secara demokratis, namun selama menjabat, sikap anti-demokratis Jokowi sangat kentara. Bahkan geliat sikap semacam itu semakin kentara di akhir masa jabatannya. Menurut Wijayanto, perilaku anti-demokratis Jokowi nampak dalam pengingkaran aturan main demokratis, wacana amandemen konstitusi untuk memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga periode, dan ‘utak-atik’ keputusan MK demi memuluskan langkah Gibran (‘Memperkuat Demokrasi Kita’, Kompas, 18 Januari 2024).

    Selain itu, dalam laporan bertajuk “Stagnasi HAM Menjelang Satu Dekade Jokowi”, Setara Institute mencatat semasa rezim Jokowi, indeks  HAM mengalami stagnasi. Dalam catatan setara institusi, keadaan ini diperparah dengan banyaknya kekerasan terhadap jurnalis, kriminalisasi berdasarkan UU ITE, represi aparat terhadap massa, pembubaran diskusi publik, pembatasan kebebasan akademik,  kekerasan berbasis orientasi, identitas, dan ekspresi gender, ataupun perampasan wilayah adat atas nama Proyek Strategis Nasional (https://setara-institute.org/stagnasi-ham-menjelang-satu-dekade-jokowi).

    Alarm sikap anti-demokratis Jokowi sebetulnya sudah lama disampaikan Thomas Power dan Eve Warbuton. Dalam tulisan berjudul “Kemunduran Demokrasi Indonesia”, sebagaimana termuat dalam buku Demokrasi di Indonesia: dari Stagnasi Menuju Regresi, kedua ilmuwan politik ini menegaskan bahwa saat ini demokrasi Indonesia terancam punah. “Analis politik yang pernah memuji Indonesia sebagai mercusuar demokrasi di wilayah yang bermasalah”, demikian Power dan Warbuton, “kini sebagian besar setuju bahwa demokrasi Indonesia sedang mengalami kemunduran”. Bagi mereka, memburuknya demokrasi di masa Jokowi diperparah dengan mobilisasi populis, perkembangan intoleransi dan menguatnya sektarianisme, nirfungsi lembaga pemilihan dan perwakilan, memburuknya kebebasan sipil,  dan penggelembungan kekuasaan eksekutif untuk membungkam kritik dan menekan oposisi dengan cara otoriter (2020:1).

    Karenannya, menyitir gugatan Levitsky dan Ziblatt, apakah demokrasi kita dalam bahaya? Tentu ia. Sebab saat ini demokrasi dibajak secara halus dalam kerangka kepentingan rezim politik Jokowi. Bayangkan saja, di genggaman Jokowi, seturut riset yang dilakukan Ecnomist Intelligence Unit (EIU), Indeks Demokrasi Indonesia pada tahun 2022 hanya meraih skor 6,71. Skor tersebut sama dengan nilai yang diperoleh Indonesia pada indeks Demokrasi 2021, dan masih tergolong sebagai demokrasi cacat (flawed democracy) (bdk. https://data.tempo.co/data/1624/indeks-demokrasi-indonesia-2022). Karenanya, di tangan Jokowi, demokrasi tidak lagi sekadar stagnasi. Pelan, tapi pasti, ia mengalami regresi, lalu mati. Ia mati bukan saja semasa pra-reformasi, namun terkini di masa Jokowi. Ia mati bukan di tangan jenderal militer, namun di genggaman seorang Presiden.

    Rasa Panik Melahirkan Politik Dinasti

    Memang keterpilihan Jokowi sebagai Presiden dalam konstitusi politik 9 Juli 2014, diklaim sebagai indikasi bahwa demokrasi bisa berjalan lebih baik. Pasalnya, sebagaimana Ahmad Sahide, kala itu, Jokowi dinilai sebagai Presiden pertama yang terpilih dari figur yang bukan ketua umum parpol atau elite parpol. Ia juga dianggap sebagai Presiden yang merepresentasi kalangan pinggiran (‘Jokowi, dari Kesempurnaan Demokrasi Menuju Politik Dinasti’, Kompas, 3 November 2023). Hanya sayang harapan semacam itu sekadar ilusi politik. Sebab selepas menjabat, Jokowi malah memperparah keadaan. Alih-alih diklaim sebagai ‘agen pembebas’, malahan ia begitu haus kekuasaan.

    Jika ditelisik lebih dalam, geliat kekuasaan Jokowi  beriringan dengan rasa panik politik. Jokowi panik, sebab dalam masa kepemimpinan, ia amat ambisius merealisasikan agenda pembangunan. Bayangkan saja, semasa memimpin, ia amat gencar mengedepankan hilirisasi dan industrialisasi sumber daya alam, optimalisasi sumber energy bersih dan peningkatan ekonomi hijau, penguatan perlindungan hukum, sosial, politik, dan ekonomi untuk rakyat, melanjutkan digitalisasi ekonomi agar usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) Indonesia segera naik kelas, serta keberlanjutan IKN dan program PSN lainnya (https://www.ksp.go.id/2023-ksp-siap-mengawal-5agenda-prioritas-presiden-jokowi.html).

    Jelas, ini merupakan agenda pembangunan yang luar biasa. Hanya sayang dalam rasa panik yang menggebu gebu, ia takut untuk tersingkir. Ia takut kalau-kalau ambisi kekuasaan tidak mencapai ‘kesempurnaan’. Ia takut jikalau realisasi pembangunan tidak mencapai target. Karenanya, dalam rasa panik yang menggebu, ia membangun ‘tembok’ kekuasaan. Ia menata sejumlah taktik guna menghindari bisingan publik. Ia mau agar realisasi pembangunan jauh dari kritikan banyak orang.

     Karenanya seruan Wolfgang Sofsky benar. Bahwa dalam rasa panik, manusia tidak menjadi tuan atas rasionya. Rasio tidak dapat begitu saja mengusir rasa cemasnya. Justru sebaliknya rasa cemas itu mendikte rasionya (Hardiman, 2011:123). Sehingga, dalam kepanikan, Jokowi menyingkirkan rasionalitas demokratis. Malahan, sebagaimana Azyumardi Azra, demi menyelematkan pembangunan, Jokowi mengedepankan penggunaan intimidasi, koersi, persekusi, dan kekerasan yang cenderung tidak terukur (‘Pembangunan dan Perdamaian’, Kompas, 24 Februari 2022).

    Tidak sampai di situ. Sesungguhnya menjelang masa akhir jabatan, rasa panik politik Jokowi kian bergejolak. Gejolak kepanikan terbaca dalam keputusan MK yang memberi ruang bagi Gibran Rakabuming, anak kandung Joko Widodo, menjadi calon wakil presiden. Publik menilai keputusan ini problematik. Sebab diduga kuat, Jokowi terlibat ‘mengutak-atik’ keputusan demi memuluskan langkah Gibran. Setelah wacana ‘Presiden 3 Periodel’ gagal diakomodasi, Jokowi akhirnya ‘main kuasa’: mengintervensi keputusan MK demi mewariskan kekuasaan pada sang putra.

    Jelas dalam situasi ini, Jokowi menyembunyikan kepanikan politik. Ia panik kalau-kalau yang menjabat Presiden selanjutnya amat kontra-produktif dengan agenda pembangunan Jokowi. Ia panik jika yang ‘menjadi penggantinya’ membatalkan rencana kerja politik yang dibangun. Makanya, dalam kepanikan ini, Jokowi mengorbitkan anak kandung. Walaupun mengangkangi etika politik, Jokowi memuluskan langkah Gibran dengan harapan agar ia meneruskan agenda pembangunan. Maka dalam rasa panik politik, Jokowi mereduksi demokrasi dalam framing politik dinasti. Kecemasan justru tidak lagi memantapkan pembangunan. Malahan, rasa panik semacam itu, membawa demokrasi dalam biang kehancuran.

    Berlaku Demokratis Sejak dalam Pikiran

    Kita perlu menyambut baik pernyataan sikap beberapa kampus di Indonesia. Walaupun terkesan lambat, hanya saja pernyataan kaum intelektual mestinya menjadi ‘alarm’ publik bahwa ‘demokrasi kita sedang sakit’. Pernyataan sikap semacam itu harus menjadi refleksi kolektif agar masyarakat mesti mengayun perahu demokrasi menuju tepian yang lebih sehat.

    Jika kita punya niat untuk menyelamatkan demokrasi, mulailah menatah keberpihakan sejak dalam pikiran. Jangan mudah terbuai dengan citra politik pembangunan. Sebab kalau sejak dini prinsip demokrasi dilanggar, maka itu jadi tanda bahwa demokrasi sedang digerogoti kepentingan. Maka, kalau pikiran sudah ditahta untuk menjadi semakin demokratis, beranilah untuk menyatakan keberpihakan di bilik suara. Sebab kata Franz Magnis Suseno, “Pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, tapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa”. Maka, langkah yang pas untuk menjegal pemimpin yang haus kuasa, ada di bilik suara.

  • Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

    Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

    Indodian.com- Para pasangan calon dalam debat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 sejak ronde pertama hingga ronde keempat kerap menggunakan istilah asing daripada bahasa Indonesia. Istilah asing yang sering disebut, misalnya green economy, carbon capture, tax ratio, green jobs, greenflation, dan sebagainya. Fenomena kebahasaan ini dikenal sebagai xenoglosofilia. Xenoglosofilia merupakan kecenderungan menggunakan bahasa atau istilah asing daripada menggunakan bahasa ibu atau bahasa Indonesia.

    Seiring dengan laju globalisasi, penggunaan istilah asing telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Maraknya media sosial juga berpengaruh besar dalam kebiasaan para penggunanya untuk menggunakan istilah asing, baik secara daring maupun luring. Istilah asing bahkan dicampur-adukkan dengan bahasa nasional.

    Dunia politik pun tidak luput dari pengaruh ini, di mana para pemimpin dan calon pemimpin cenderung menggunakan istilah asing dalam memberikan pertanyaan atau menanggapi argumen lawan. Namun, dalam konteks debat Pilpres, patut dipertanyakan apakah penggunaan istilah asing ini memudahkan atau malah menghambat para pemilih untuk memahami gagasan dan argumentasi yang dipaparkan setiap pasangan calon?

    Bahasa merupakan alat utama dalam menyampaikan ide dan gagasan. Dalam konteks politik, terutama dalam debat Pilpres, kejelasan dan komprehensibilitas bahasa menjadi kunci untuk memastikan pesan yang disampaikan dapat diterima dan dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat. Penggunaan bahasa Indonesia yang baik tidak hanya mencakup penggunaan kata-kata yang sederhana, tetapi juga penjelasan yang memadai terkait konsep-konsep kompleks yang mungkin dibahas dalam debat.

    Ada sejumlah faktor yang bisa saja memicu maraknya fenomena kebahasaan ini. Penggunaan istilah asing dirasa dapat memberikan kesan modern, terhubung dengan isu-isu global, dan menunjukkan bahwa calon pemimpin memiliki wawasan internasional. Calon pemimpin mungkin percaya bahwa penggunaan istilah asing akan meningkatkan daya tarik mereka terhadap pemilih yang lebih terdidik. Tidak menutup kemungkinan juga jika penggunaan istilah asing menjadi bagian dari strategi komunikasi politik untuk menciptakan kesan tertentu di antara pemilih atau untuk membedakan diri dari pesaing.

    Banyak juga istilah asing yang digunakan oleh para pasangan calon tidak memiliki padanan dalam bahasa Indonesia. Jika ada, seringkali kurang dikenal oleh masyarakat umum. Hal ini menciptakan kesenjangan pemahaman antara para pemilih dan para calon pemimpin. Masyarakat yang kurang terbiasa dengan istilah asing atau tidak memiliki latar belakang pendidikan tertentu mungkin merasa terpinggirkan atau merasa bahwa calon pemimpin tidak memperhatikan kebutuhan dan aspirasi mereka. Ini dapat menciptakan kesan bahwa politik adalah urusan elit yang hanya dapat dipahami oleh segelintir orang yang memiliki pengetahuan khusus.

    Penggunaan istilah asing berpotensi mereduksi kualitas debat. Seharusnya, debat Pilpres adalah wadah di mana ide dan gagasan dari kandidat yang bersaing dapat disajikan dengan jelas dan dimengerti oleh seluruh pemilih. Namun, penggunaan istilah asing dapat mengaburkan esensi perdebatan dan menggeser fokus dari substansi ke bentuk bahasa yang kompleks. Penggunaan istilah asing dalam debat Pilpres dapat menjadi pisau  bermata dua.

    Meskipun tampak modern, fenomena ini memiliki risiko besar. Ketika debat terpusat pada penggunaan istilah asing yang kompleks, risiko terbesar adalah hilangnya makna substansial dari pesan yang ingin disampaikan kepada para pemilih. Padahal, jika mengutamakan kejelasan dan keterbacaan pesan, para calon pemimpin dapat memastikan bahwa debat Pilpres tetap menjadi wadah untuk para pemilih memahami dan mengevaluasi visi, kebijakan, dan program kerja setiap kandidat, bukan sekadar permainan kata atau pencitraan linguistik.

    Penggunaan istilah asing tak selamanya buruk, jika digunakan dengan bijaksana dan sesuai konteks. Namun, harus ada kesadaran bahwa debat Pilpres adalah panggung nasional di mana bahasa Indonesia memiliki peran kunci untuk menjadikan debat sebagai forum yang inklusif.  Ini menjadi sangat penting dalam konteks demokrasi, di mana setiap suara memiliki nilai yang sama.

    Penggunaan bahasa Indonesia yang baik juga mencerminkan penghormatan terhadap masyarakat yang memiliki beragam latar belakang. Ketika calon pemimpin mampu menyampaikan pesan dengan bahasa yang dapat dipahami oleh pekerja, petani, pelajar, dan berbagai kelompok sosial lainnya, mereka memberikan ruang yang setara bagi semua pihak untuk terlibat dalam proses politik.

  • Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

    Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

    Indodian.com-Media informasi (televisi, surat kabar, media online,) adalah salah satu pilar demokrasi. Sebagai pilar demokrasi, media informasi mesti bersikap independen, tidak terikat oleh intervensi lembaga apapun. Media informasi mesti dimengerti sebagai representasi dari demokrasi itu sendiri sebagaimana demokrasi memfasilitasi kebebasan kepada individu atau komunitas apapun untuk mengungkapkan kebebasan berpendapat sejauh tidak mendestruksikan tatanan sosial-kemasyarakatan.

    Penjaminan kebebasan berpendapat sebenarnya telah dikonstitusional melalui Pasal 28 E ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Inilah kiranya menjadi basis legitimasi bagi kebebasan media untuk memproduksi dan menyebar informasi. Namun, kebebasan media yang dimaksud tidak bersifat absolut.

    Kebebasan media informasi ada batasnya karena ia mesti sesuaikan dengan tuntutan hukum normatif. Hukum normatif yang dimaksud lebih erat berhubungan dengan etika publik (di mana media itu beraktivitas). Hukum normatif juga menuntut media supaya bagaimana seharusnya memproduksi dan menyiarkan informasi. Sebab, aktivitas media menjangkau secara publik dan karena itu, media harus mengikuti etika yang berlaku secara publik. 

    Kebebasan media yang tidak absolut artinya aktivitas media mesti selalu mengikuti prinsip-prinsip internal di dalam media itu sendiri terutama bertautan dengan etika dan tanggung jawab sosial. Ini ada hubungan dengan upaya meningkatkan kepercayaan masyarakat publik terhadap media.

    Rusdiana dalam buku Etika Komunikasi Organisasi (2021), menjelaskan, untuk dapat memenuhi ekspektasi dan kepercayaan masyarakat, para pelaku jurnalisme merumuskan sendiri sejumlah prinsip yang dijadikan sebagai panduan mereka dalam beraktivitas. Prinsip-prinsip itu menurut Rusdiana adalah :(1) akurasi; (2) independensi; (3); objektivitas (sering disebut juga balance); (4) fairness; (5) imparsialitas kepada publik (Rusdiana, 2021:331).

    Rusdiana kemudian menjelaskan lebih komprehensif prinsip-prinsip di atas. Menurutnya prinsip akurasi berarti substansinya, fakta-faktanya, dan penulisannya benar, berasal dari sumber yang otoritatif dan kompeten, serta tidak bias. Prinsip objektivitas, berarti harus bebas dari obligasi atau kepentingan apapun selain hak publik untuk mengetahui informasi, serta menghindari conflict of interest baik yang nyata maupun yang dipersepsikan (perceived). Prinsip fairness adalah peliputan yang transparan, terbuka, jujur dan adil yang didasarkan pada dealing yang langsung (transparant, open, honest and fair coverage based on straight dealing). Sedangkan prinsip akuntabilitas mengharuskan para jurnalis untuk senantiasa akuntabel dalam proses dan produk yang dihasilkan dalam melakukan aktivitas jurnalisme (Rusdiana, 2021: 331).

    Netralitas media dan Pemilu 2024 yang bersih

    Di samping memenuhi tuntutan hukum, media harus membangun prinsip yang lebih penting, yakni bersikap netral. Netral dalam artian bahwa media tidak memihak kepada pihak tertentu dengan memojokkan pihak lain. Hal inilah yang diharapkan pada perhelatan Pemilu 2024 nanti. Media mesti bersikap netral terhadap setiap calon atau partai entah dalam kontestasi Pilpres maupun legislatif. Media diharapkan untuk tidak berikhtiar mementingkan calon tertentu atau berupaya menggiring opini publik untuk menghasut calon lain.   

    Dalam masa persiapan menuju Pemilu 2024 seperti saat ini media sebagai sumber informasi tidak bisa terhindar dari perhatian masyarakat publik. Sebab, masyarakat publik sekarang identik dengan masyarakat informasi sebab hari-harinya haus akan informasi, apalagi menjelang perhelatan pemilu, masyarakat tentu terdorong untuk mengetahui perkembangan politik terkini dan media adalah penyalur utamanya. Dengan demikian, kita memahami masyarakat publik ini sebagai masyarakat informasi.

    Masyarakat informasi ini mesti kita bedakan lagi menjadi dua golongan. Golongan pertama biasanya tergambar dalam masyarakat yang mampu berpikir kritis terhadap informasi. Dengan kata lain, masyarakat yang tidak mudah mengafirmasi informasi sebagai satu tolak ukur untuk mengklaim sebagai suatu kebenaran. Informasi palsu dan ujaran kebencian biasanya sulit diterima oleh masyarakat ini. Dampaknya pun dapat menguntungkan bagi demokratisasi dengan terciptanya masyarakat yang damai dan sejahtera karena yang dikedepankan bukan sentimentalitas, melainkan argumentasi yang rasional.

    Golongan kedua biasanya masyarakat informasi yang kurang berpikir kritis dan lebih mudah mengafirmasi informasi tanpa harus menimbang dan menilai secara objektif sehingga informasi yang salah sekalipun dapat masuk. Masyarakat jenis ini mudah terobsesi, terhasut dan terprovokasi oleh informasi sehingga hoax dan hate speech menjadi makanan empuk yang selalu dikonsumsi. Dampaknya pun dapat memicu demokrasi yang terkontaminasi, polarisasi besar-besaran karena yang dikedepankan bukan rasionalitas argumen, melainkan sentimentalitas yang emosional. Konsekwensi lanjutnya menyisakan ruang publik yang berantakan. Masyarakat yang terakhir inilah yang menuntut cara kerja media untuk selalu menyajikan infomarsi yang kredibel dan netral. Kredibel, atinya media harus menjadi satu-satunya sumber informasi yang terpercaya. Media menjamin bahwa tidak ada polarisasi antara masyarakat.  

    Menjelang pemilu 2024 netralitas media sangat penting sebagai upaya menciptakan pemilu yang bersih dan sehat. Pemilu 2024 menjadi ajang bagi media apapun untuk menampilkan entitasnya sebagai media berkualitas, kredibel dan paling penting adalah media yang menjunjung tinggi netralitas. Netralitas media ditunjukkan melaui penyajian informasinya yang tidak mementingkan calon atau partai tertentu.

    Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Nezar Patria, ada tiga peran media yang mampu menghadirkan praktik demokrasi yang sehat. Pertama, sebagai penyedia informasi penting kepada pemilih, kedua watchdog publik, dan ketiga, menjadi ruang terbuka untuk publik dalam menyuarakan pendapat. Berkaitan dengan peran sebagai Watchdog publik, Nezar Patria mengidentifikasi kemampuan media dalam mengekspos bentuk-bentuk pelanggaran pemilu, mampu menjaga integritas, transparansi, dan akuntabilitas proses pemilu, (dikutip dari laman resmi Kominfo).

    Untuk mewujudkan media yang independen dan netral pada proses Pemilu, dibutuhkan regulasi yang tepat dari luar untuk terus mendukung kenetralan media. Negara sebenarnya telah berupaya mendorong kenetralan media melalui regulasi yang tertuang dalam perundang-undangan. Regulasi terkait netralitas media pada saat Pemilu sudah diatur dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang pemberitaan, penyiaran dan iklan kampanye pemilu, secara khusus telah diatur pada pasal 287-297 (ibid).

    Regulasi tersebut menjadi amanat bagi media untuk bersikap netral pada proses Pemilu 2024. Secara internal, media mesti tidak terjebak dalam permainan logika pasar yang menghalalkan segala cara hanya demi meraih profit semata dengan mengabaikan prinsip primer dari media itu sendiri. Artinya media tidak boleh berorientasi pada nilai keuntungan pasar semata, tetapi secara prinsipil ia adalah penyalur informasi yang netral, yakni menguntungkan sebanyak mungkin orang. Secara eksternal, media bersifat bebas dan bisa berdiri sendiri sesuai dengan hakekat dasarnya. Media tidak boleh tunduk pada otoritas atau partai tertentu yang berujung pada media hanya sebatas intrumen dari pihak luar.

    Media massa sebagai media mainstream harus tetap mempertahankan netralitasnya sebagai ruang deliberasi publik di tengah tantangan arus disinformasi melalui media sosial. Sebab, media sosial mutakhir yang gratis seperti hari-hari ini memudahkan masyarakat memproduksi dan mengonsumsi informasi secara bebas tanpa pertimbangan secara rasional sehingga menyebabkan pudarnya deliberasi publik yang demokratis. Di tengah tantangan tersebut, media massa dituntut untuk berkontribusi menyediakan platform diskusi bagi masyarakat luas serta tidak membiarkan pandangannya diinstrumentalisasi untuk kepentingan kekuasaan (Bdk. Otto Gusti Madung, 2021: 897)

    Lebih jelas, media tidak mudah dipolitisasi demi menguntungkan pihak tertentu. Tugas utama media adalah menyebarkan informasi yang benar, faktual dan objektif terkait penyelenggaraan Pemilu. Selain itu, media harus menjadi ruang yang inklusif, yakni memfasilitasi semua pihak untuk bisa mengeluarkan pendapat. Media harus hindar dari sikap sensasional, yaitu hanya tertarik pada kubu tertentu dengan membangun provokasi untuk menggerus kubu lain. Ketika media memenuhi semua kiteria tersebut, otomatis media mendapat kredibelitas yang tinggi dari publik.

  • Pemimpin: Integritas, bukan Popularitas

    Pemimpin: Integritas, bukan Popularitas

    Indodian.com – Pemilihan umum (pemilu) adalah sesuatu hal yang penting dalam suatu negara, terlebih khusus pada negara liberal. Pemilu menjadi kesempatan bagi masyarakat untuk memilih para pemimpin yang berintegritas. Saat ini Indonesia sedang heboh dengan isu tentang para artis yang terjun ke dunia politik. Tak sedikit artis yang terjun ke dunia politik saat ini. Bahkan ada juga artis yang terjun ke dunia politik dan menjadi pemimpin.

    Penulis melihat bahwa kemenangan para artis, bukan karena kualitas gagasan tetapi karena diminati oleh masyarakat mengingat profesi mereka yang suka bersandiwara. Banyaknya artis yang terjun ke dunia politik menjadi sorotan publik. Ada satu hal menarik bahwa hadirnya para artis ke dunia politik, mengindikasikan bahwa politik itu menjadi milik publik bukan hanya dimiliki oleh satu orang atau kaum politisi saja.

    Dunia politik adalah dunia untuk semua orang tanpa ada ikatan oleh aturan tertentu. Dunia politik adalah milik publik, melalui politik orang bisa mengekspresikan diri mereka, baik pengetahuan, maupun kecerdasan sosial. Ruang politik adalah ruang yang bersifat netral, orang mempunyai hak untuk berlabuh ke dunia politik.

    Kemenangan para artis dalam pemilihan daerah, tak lain karena popularitas mereka dalam masyarakat. Mereka memanfaatkan sandiwara mereka di atas panggung untuk memikat hati masyarakat. Masuknya artis dalam dunia politik, berawal dari ketidakpercayaan mereka terhadap pemimpin yang rakus dan secara kasat mata mempertontonkan kebijakan yang tidak adil.

    Akan tetapi, kecemasan terbesar penulis melihat keterlibatan para artis dalam dunia politik adalah soal kualitas kepemimpnan dari para artis. Kehadiran para artis ke dunia politik tidak menjadi persoalan, tetapi yang menjadi persoalannya adalah ketika artis yang dipilih menjadi pemimpin itu tidak memiliki kualitas dan integritas. Tentunya dunia politik hanya dijadikan sebagai panggung untuk bersandiwara. Menjadi pemimpin karena popularitas, bukan karena integritas akan menghancurkan suatu bangsa.

    Keterlibatan para artis ke dunia politik berawal dari pemilu pada tahun 2004. Saat itu ada 38 artis yang mencalonkan diri untuk berpartisipasi dalam pemilu. Pada tahun 2009 tercatat artis yang ikut dalam pemilu adalah 61 orang. 2014 artis yang ikut dalam pemilu ada 71 orang, pada tahun 2019 ada 91 artis yang mencalonkan diri. Dan pemilu tahun 2024 mendatang tercatat artis yang ikut dalam pemilu adalah 61 orang (Kompas, 22 Mei 2023).

    Data di atas menunjukkan bahwa partisipasi artis dalam kontestasi politik mengalami peningkatan yang signifikan. Ini adalah sesuatu hal yang baik, tetapi jangan sampai bangsa ini dipimpin oleh orang yang menjadikan panggung politik sebagai ajang untuk mementaskan sandiwara mereka, dan pemimpin yang tidak memiliki integritas. Di tengah berkembangnya arus globalisasi, yang dituntut adalah skil dan pengetahuan yang mapan, dengan tujuan agar bisa membedah semua persoalan yang datang silih berganti.

    Berpijak dari realitas ini, hemat penulis untuk menjadi pemimpin harus memiliki realitas sosial yang baik dan mempunyai integritas yang tinggi bukan popularitas. Sehubungan dengan ini, Rocky Gerung pernah menjelaskan bahwa kualitas yang mendongrak elektabilitas, bukan popularitas. Pemimpin yang bermodal popularitas akan berdampak buruk pada kinerja kepemimpinan, karena tidak diimbangi dengan pengetahuan yang mapan akan realitas sosial.

    Lucky Hakim salah seorang artis yang pernah menjadi pemimpin, ia mengundurkan diri karena tidak bisa menjalankan semua program yang ia sampaikan pada saat berkampanye (Kompas, 07/03/2023). Dari data ini, hemat penulis bahwa popularitas belum bisa menjamin seorang artis terjun ke dunia politik, jika tidak diimbangi pengetahuan. Pengetahuan sangat dibutuhkan dalam ranah politik.

    Ada dua hal yang menjadi dasar penulis menilai bahwa para artis belum mampu menjadi pemimpin. Pertama, profesi dari para artis. Artis memiliki tugas utama yaitu sebagai seni dalam melakoni sebuah drama di atas panggung. Hal ini akan berdampak pada sistem kepemimpinan pada suatu bangsa yang hanya menjadikan ruang politik sebagai tempat untuk mementaskan drama. Jangan sampai pemimpin berlabuh di antara dua karang, yang berarti di satu sisi sebagai artis dan di sisi lain sebagai pemimpin. Tentunya ini akan berdampak pada kinerja dari pemimpin, seperti Lucky Hakim yang mengundurkan diri dari jabatannya karena tidak memiliki integritas.

    Kedua, minim integritas. Seorang artis dipilih menjadi menjadi pemimpin hanya karena dikenal oleh masyarakat, dan karena banyak diminati oleh banyak orang. Negara tidak membutuhkan “tong kosong”, tetapi negara membutukan orang yang betul-betul memahami realitas sosial yang tinggi. Popularitas tidak dibutuhkan dalam negara. Banyak orang yang tidak memiliki popularitas tetapi memiliki integritas, itulah yang dibutuhkan oleh negara, bukan semata-mata karena diminati oleh banyak orang. Untuk menjadi pemimpin hal utama yang harus dimiliki adalah integrits, dan popularitas adalah hal yang kedua. Ibarat membangun rumah yang menjadi utama dan pertama adalah dasar (fundasi). Fundasi itu adalah integritas.

    Dari problem ini penulis menawarkan dua solusi. Pertama, membatasi para artis yang terlibat dalam dunia politik. Kenapa? Karena artis memiliki profesi yang tetap seperti yang sudah dijelaskan penulis sebelumnya. Yang menjabat sebagai pemimpin diutamakan pada masyarakat yang tidak memiliki popularitas tetapi memiliki integritas.

    Kedua, partai politik tidak boleh merekrut para artis. Hal ini akan berdampak pada integritas bangsa. Saat ini tidak sedikit partai politik yang merekrut para artis, sebab para artis memiliki popularitas dari masyarakat sehingga para artis diperalat oleh partai politik untuk meraih keuntungan. Melihat realitas ini, pemerintah harus membuat kebijakan agar partai politik tidak merekrut para artis. Jangan sampai partai politik didominasi oleh para artis dan pemimpin juga didominasi oleh para artis, sehingga yang ada hanya orang buta menuntun orang buta.