TWK dan Skenario Pelemahan KPK

- Admin

Selasa, 1 Juni 2021 - 00:19 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi

Ilustrasi

Indodian.com – Nasib Komisi Pemberantasan Korupsi berada di ujung tanduk. Agenda reformasi untuk menuntaskan korupsi hanya menjadi hiasan sejarah. Bangsa ini kembali mendaur ulang kesalahan masa silam dalam menghidupi negara patrimonial dengan tendensi korupsi, kolusi dan nepotisme yang pekat. Sejumlah pejabat kini berlomba-lomba membangun istana korupsi. KPK yang menjadi benteng terakhir pemberantasan korupsi dikebiri. Bahkan, sejumlah regulasi telah dirancang secara terang-terangan untuk memangkas ruang gerak KPK dalam menjerat koruptor.

Setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membenarkan dan meloloskan revisi UU KPK yang kontroversial dan menuai penolakan publik, kali ini terdapat 75 pegawai KPK dinyatakan tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Hal ini cukup memprihatinkan mengingat 75 pegawai KPK tersebut saat ini menjabat sebagai penyelidik dan penyidik andal dan pegawai yang tengah menangani kasus korupsi besar.

Baca Juga : Tuhan dalam Tiga Unsur Rumah Adat Ende Lio
Baca Juga : Berani untuk Percaya Diri?

Sebelum kita menelusuri lebih jauh upaya pelemahan KPK, kita perlu memiliki konsep yang sama mengenai TWK. Kita semua pasti mengamini bahwa tes wawasan kebangsaan menjadi sebuah kebutuhan mendesak bagi setiap aparatur negara. Setiap warga negara yang ingin bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) memiliki wawasan kebangsaan yang memadai tentang Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, Nasionalisme dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tetapi, format TWK perlu mempertimbangkan beberapa hal penting. Pertama, soal TWK tidak boleh bertentangan dengan kebebasan berpikir. Kedua, pelbagai pertanyaan TWK memiliki hubungan dengan visi dan misi lembaga bersangkutan. Ketiga, narasi kebangsaan bersifat umum dan substansial.

Ketika menganalisis beberapa soal TWK, tampak ada beberapa keanehan dan kejanggalan.  Beberapa pertanyaan misalnya apakah bersedia lepas jilbab, apakah bersedia menjadi istri kedua, apakah ketika salat subuh membaca doa kunut, dan apakah pernah atau tidak pernah mengikuti demo menolak Firli Bahuri saat menjadi pemimpin KPK? Model pertanyaan ini tidak bersentuhan dengan visi dan misi lembaga dan tidak berhubungan dengan materi narasi kebangsaan.

Baca juga :  Berkomunikasi dalam Masyarakat Pasca-Kebenaran

Mari kita mencoba menelisik alasan Ketua KPK menyelenggarakan TWK dan beberapa kejanggalan dalam TWK. Sekurang-kurangnya terdapat 4 alasan. Pertama, Pimpinan KPK terlibat dalam memperlambat jalannya perkara yang sedang ditangani KPK. Dari 75 orang yang dinyatakan tidak lolos TWK, terdapat beberapa penyelidik dan penyidik yang tengah menangani kasus besar antara lain, Novel Baswedan, penyidik perkara korupsi KTP elektronik dan suap serta gratifikasi; Praswad Nugraha, penyidik perkara korupsi bantuan sosial di Kementerian Sosial; dan penyidik kasus suap ekspor benih lobster pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Baca Juga : Apa yang Anda Ketahui tentang Kebenaran?
Baca Juga : Reformasi Dikorupsi dan Gerakan Kaum Muda Progresif

Pemberhentian penyidik dan penyelidik ini berpengaruh terhadap keberlangsungan kasus yang sedang mereka tangani. Jika hal ini terjadi, maka kasus-kasus besar tersebut akan diberhentikan proses penyelidikannya. Berita ini memberikan kabar sukacita bagi koruptor. Bersoraklah para koruptor.

Kedua, Ketua KPK menilai peserta yang tidak lolos TWK masuk dalam kelompok radikal. Pernyataan ini membunuh karakter 75 pegawai KPK dengan isu Taliban. Para pegawai yang tidak lolos TWK telah bertahun-tahun bekerja di KPK. Mereka telah mendedikasikan rasa cinta terhadap NKRI dengan menangani kasus korupsi. Tetapi, sosok-sosok yang gigih memerangi korupsi dihentikan dengan model TWK yang kontroversial. Lebih memprihatinkan lagi, mereka yang gigih memberantas korupsi kemudian diberi stigma radikal. Mereka harus disingkirkan dari KPK.

Penyebaran informasi hasil TWK ini dan perkembangan isu Taliban di KPK didukung oleh Buzzer istana. Isu ini dinilai cukup laku membuat rakyat kebanyakan menyetujui pemberhentian 75 pegawai KPK. Padahal, menurut Busyro Muqoddas, mantan pimpinan KPK, tidak ada pegawai KPK yang memiliki fanatisme agama tertentu atau kelompok Taliban. Menurut dia, delapan dari 75 pegawai KPK yang tidak lolos wawasan kebangsaan beragama Kristen dan Budha.

Baca juga :  Perempuan dan Pemilu Serentak 2024

Ketiga, Pimpinan KPK berencana untuk mengganti posisi jabatan strategis dalam tubuh KPK.  Dari 75 pegawai yang tidak lolos TWK, ada beberapa yang sedang memegang jabatan penting seperti Chandra Sulistio, Kepala Biro Sumber Daya Manusia; Giri Suprapdiono, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi; serta Rasamala Aritonang, Kepala Bagian Perancangan dan Produk Hukum  (Koran Tempo, 17 Mei 2021).

Baca Juga : Tak Ada Mimpi Yang Ketinggian
Baca Juga : Cerita Seorang Pembohong

Ada indikasi bahwa Pimpinan KPK, Firli secara sengaja memaksakan TWK untuk mencari cara melalui perancangan regulasi yang kontroversial untuk menggantikan beberapa posisi penting ini dengan “orang-orangnya” Firli. Jika posisi strategis ini bisa diganti maka usaha perancangan produk UU kontroversial dan pelemahan KPK semakin mulus.

Keempat, Pimpinan KPK menyelenggarakan TWK tanpa mematuhi perintah undang-undang. TWK bermasalah secara hukum. Pelaksanaan TWK sejak awal telah bertentangan dengan dengan hukum karena tidak pernah diamanatkan baik oleh UU KPK maupun PP No. 41/2020. Lagi pula, putusan Mahkamah Konstitusi atas pengujian UU No. 19/2019 menyebutkan, proses peralihan status ini tidak boleh sampai merugikan hak pegawai.

Berhadapan dengan polemik ini, Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan telah hadir dengan menekankan dua hal penting. Pertama, hasil tes tidak serta merta dijadikan dasar untuk memberhentikan pegawai KPK. Kedua, hasil tes itu cukup menjadi bahan perbaikan institusi dan individu KPK. Pertimbangan Jokowi ini menjadi sebuah kemustahilan sebab 75 penyidik dan penyelidik KPK ialah tokoh-tokoh penting yang gigih memperjuangkan semangat antikorupsi di Indonesia.

Baca juga :  Waspada Terhadap Bandit Demokrasi

Saat ini, KPK menjadi satu-satunya benteng terakhir dalam memberantas korupsi. Pelbagai manuver revisi UU KPK hingga skenario TWK memperlihatkan secara terang-terangan  pelemahan terhadap KPK. Tampak sebuah usaha sistematis dalam membawa pulang Indonesia pada era gelap Orde Baru yang otoriter. Negara seolah-olah milik per orang yang bisa diatur dan dikelola sesuka hati. 

Baca Juga : Bias Urban dan Desa sebagai Subjek Media
Baca Juga : Zen, sebuah Agama Baru?

Mengenai polemik TWK ini, Yudi Latif, mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang menulis di harian Kompas, 6 Mei 2021 menulis; “Para pemimpin datang membuat kecewa; mulai mengemudi dengan menyalakan lampu sein ke kiri, tetapi di persiapan belok ke kanan. Penguasa silih berganti, tetapi politik di negeri ini hanya satu rencana: rencana berkhianat”.

Boleh jadi ini adalah seruan perwakilan dari rakyat Indonesia yang kecewa dengan KPK. Kemudian dia lanjut menulis; “Kita perjuangkan reformasi dengan misi besar membasmi korupsi, kolusi dan nepotisme. Sekarang begitu tega kita lumpuhkan kembali Komisi Pemberantasan Korupsi”.

Kini, keputusan berada di tangan pimpinan KPK, apakah tetap menyingkirkan pegawai yang tidak lolos ujian wawasan kebangsaan atau mau menguatkan wawasan kebangsaannya dan mengizinkan untuk ikut “remedial” agar bisa memenuhi syarat. MK dan Presiden Republik Indonesia berpendapat, apapun keputusan tidak boleh merugikan pegawai yang sudah berjasa. Dalam penafsiran lain, para pegawai KPK yang telah mengungkapkan kasus dan kini menangani kasus-kasus besar sebenarnya sudah berbuat untuk negerinya.

Jika keputusan TWK tetap diberlakukan, maka ada dua kemungkinan. Pertama, tes semacam ini telah dan akan diterapkan di banyak prosedur birokrasi dalam menyingkirkan tokoh-tokoh yang kritis. Kedua, keputusan ini akan membuat KPK semakin lumpuh dan pelan-pelan mati.

Bersoraklah wahai para koruptor.

Komentar

Berita Terkait

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi
Demokrasi dan Kritisisme
Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?
Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?
Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit
Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024
Pemimpin: Integritas, bukan Popularitas
Politik dan Hukum Suatu Keniscayaan
Berita ini 4 kali dibaca
Tag :

Berita Terkait

Selasa, 28 November 2023 - 23:35 WITA

Fakultas Filsafat Unwira Adakan Seminar Internasional sebagai Bentuk Tanggapan terhadap Krisis Global    

Sabtu, 11 November 2023 - 11:33 WITA

Tujuan Politik adalah Keadilan bagi Seluruh Rakyat

Jumat, 23 Juni 2023 - 07:01 WITA

Komunitas Circles Indonesia: Pendidikan Bermutu bagi Semua

Rabu, 17 Mei 2023 - 11:05 WITA

Mencerdaskan Kehidupan Bangsa melalui Kelas Belajar Bersama

Kamis, 4 Mei 2023 - 14:47 WITA

Mahasiswa Pascasarjana IFTK Ledalero Mengadakan PKM di Paroki Uwa, Palue   

Sabtu, 25 Maret 2023 - 06:34 WITA

Masyarakat Sipil Dairi Mendesak Menteri LHK Cabut Izin Persetujuan Lingkungan PT. DPM  

Sabtu, 21 Januari 2023 - 06:50 WITA

Pendekar Indonesia Menggelar Simulasi Pasangan Calon Pimpinan Nasional 2024

Selasa, 17 Januari 2023 - 23:01 WITA

Nasabah BRI Mengaku Kehilangan Uang di BRImo

Berita Terbaru

Pendidikan

Kaum Muda dan Budaya Lokal

Jumat, 15 Mar 2024 - 19:27 WITA

Politik

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Rabu, 21 Feb 2024 - 19:07 WITA

Politik

Demokrasi dan Kritisisme

Minggu, 18 Feb 2024 - 16:18 WITA