Indodian.com – Uraian tentang Zen dalam tulisan ini berangkat dari beberapa pertanyaan pokok seperti; apa itu Zen? Bagaimana Zen itu memainkan peran penting dalam Buddhisme sehingga berkembang subur di Jepang? Apa saja ajaran pokok dari Zen? Pertanyaan-pertanyaan di atas menjadi dasar sekaligus menjadi batasan bagi saya dalam menguraikan pokok tentang Zen dan perkembangannya.
Zen dan Perkembangannya1
Secara etimologis, Zen berasal dari kata Mandarin “chan” yang berarti meditasi. Kata ini juga berasal dari bahasa sansekerta “dhyana”. Kalau ditelusuri lebih jauh, kata Zen ini merupakan produk dari agama Buddhisme India awal. Dalam Buddhisme India awal telah diperkenalkan meditasi yang disebut sebagai Samadhi. Samadhi itu sendiri merupakan salah satu komponen penting yang mesti dikuasai oleh seorang Buddhis.
Ajaran Zen pertama kali dibawa ke Tiongkok pada awal abad ke-6, oleh seorang pendeta India yang bernama Bodhidharma (470-543). Bodhidarma adalah seorang pendeta yang mengajarkan meditasi dalam Buddhisme yang bertujuan untuk mencapai nirvana (pencerahan). Zen berkembang di Tiongkok dari masa dinasti T’ang sampai dinasti Sung dan Yuan (618-1279). Lalu, pada abad ke- 8, Zen master ke-6, Hui Neng (638-713), meresmikan serta memantapkan ajaran Zen. Hal ini kemudian diteruskan oleh murid-muridnya yang bernama Huai Jang (740) dan Hsing Ssu (775). Kedua tokoh ini masing-masing memiliki murid yang hebat bernama Ma Tsu (788) dan Shi Tou (700-790).
Dari kedua tokoh ini muncul pula murid-murid yang melahirkan kelima aliran dalam Zen yakni, Lin Chi, Tsao Tung, I Yang, Yun Men, dan Fa Yen. Namun, kelima aliran ini kemudian dilebur menjadi dua aliran penting. Oleh karena itu, di dalam Zen sendiri terdapat dua aliran yakni Soto (Tsao Tung) dan Rinzai (Lin Chi). Sejak awal abad ke-13, ajaran Zen di Tiongkok mulai hilang, dan para master Zen Jepang membawa serta meneruskan tradisi Zen ini di Jepang. Ajaran Zen ini pun berkembang dan bertumbuh subur di Jepang.
Baca Juga : Pernikahan Dini: Pandemik Yang Belum Juga Berakhir
Baca Juga : Cerita Wartawan di NTT Dapat Sinyal 4G di Pohon Jambu
Zen sebagai Agama Baru?
Menurut D. T. Suzuki, Zen bukanlah sebuah agama dalam arti istilah yang dipahami secara populer saat ini. Zen tidak memiliki Tuhan untuk disembah. Zen merupakan bagian dari Buddhisme yang dipraktikkan sebagai kekayaan ritual dalam Budhisme. Zen bebas dari semua aspek dogmatis dan lebih menekankan aspek religius.2 Karenaitu,Zendisatusisitetapmerupakan bagian dari Buddhisme, tetapi disisi lain Zen itu sendiri memiliki pengaruh tersendiridalamBuddhismesehingga diikutidan dipraktikanoleh banyakorang dalamagama Buddha.
Penekanan utama dalam Zen sebagaimana artinya sendiri adalah meditasi. Meditasi ini terkenal dengan bentuk lotus, yaitu sebuah posisi meditasi dengan duduk bersila. Orang-orang yang sering melaksanakan Zen disebut sebagai “zazen”. Zen pada dasarnya adalah sebuah seni untuk melihat kodrat diri sendiri yang bertujuan untuk mencapai Buddha.3 Selain itu, yang ditekankan dalam Zen adalah mengarahkan seseorang untuk mendapatkan pencerahan melalui dirinya sendiri. Zen tentunya menolak setiap metode seperti buku-buku, ritual atau sembahyang di Kuil. Sebagai gantinya, Zen menekankan praktik meditasi dan pengembangan kebijaksanaan intiutif (prajna).4
Meditasi ini harus dipersiapkan secara matang. Persiapan ini melibatkan pelatihan seluruh pribadi atau “kultivasi diri” (shugyo) yakni suatu praktik untuk mengoreksi modalitas pikiran seseorang dan mengoreksi modalitas tubuh seseorang. Dalam hal ini, praktik (praksis) didahulukan daripada teori (theoria). Ajaran Zen yang berkembang di Jepang bukan hanya untuk memperkaya kehidupan rohani orang Jepang, tetapi juga sangat berpengaruh pada kehidupan militer serta karya seni, bahkan dalam kehidupan sehari-hari orang Jepang.
Baca Juga : Media Siber dan Demokrasi di Era Milenial
Baca Juga : Wajib Tahu! Enam (6)Tahap Penting dalam Menulis
Aliran-aliran dalam Zen Buddhisme
Pertama, Soto (Tsao Tung). Aliran ini pertama kali dibawa oleh Dogen dari Tiongkok ke Jepang. Aliran ini hendak memberikan pengajaran untuk tidak bergantung pada sistem koan5 yang rumit untuk belajar menjadi Zen, tetapi sebaliknya mengikuti metode “duduk” (shikan taza). Aliran ini mengutamakan praktik meditasi yang tekun dan hening, tanpa terusik oleh berbagai gangguan yang datang dari luar dirinya.
Soto adalah metode meditasi yang didasarkan pada keyakinan bahwa praktisi Zen terlibat dalam latihan di tengah-tengah pencerahan asli. Atau dalam istilah Dogen, orang yang memperkenalkan soto ini yakni metode “praktik-realisasi.” Praktik-realisasi ini menekankan dua unsur yakni praktik dan realisasinya. Dalam aliran Soto ini keduanya tidak dapat dipisahkan.6
Teks utama bagi aliran soto Zen adalah lankavatara sutra. Lankavatara sutra menekankan “kesatuan” (oneness). Aliran ini memang tidak terlalu sulit dipratikkan. Pertama- tama seorang murid harus mendapatkan ajaran verbal dari seorang guru Zen yang berpengalaman. Setelah itu, seorang murid dapat bermeditasi dengan mengamati pikirannya dalam keadaan tenang (mo chao).7
Kedua, Rinzai (Li Chi). Berbeda dengan aliran Soto, aliran ini melakukan pendekatan lewat koan (Hua Tou). Pendekatan lewat koan ini menekankan bahwa para murid dilatih untuk mencari solusi atas masalah atau pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa diselesaikan. Teks utama bagi aliran Rinzai ini adalah Diamond Sutra. Diamond Sutra ini berisi tentang doktrin kekosongan (emptiness, sunyata).8 Selain itu, aliran Rinzai ini juga merangkum proses pengolahan diri dalam empat motto.
Motto-motto itu antara lain: Pertama, menjadi pribadi yang mampu mengolah diri secara khusus di luar ajaran dari tulisan-tulisan suci. Kedua, tidak memiliki ketergantungan pada kata- kata dan huruf. Ketiga, menunjuk langsung ke pikiran manusia (seseorang). Keempat, melihat ke dalam diri tentang sifat dan kemampuan pribadi untuk menjadi seorang Buddha.
Dua poin pertama di atas menekankan sekaligus menunjuk pada fakta menemukan realitas ekstra-linguistik yang secara alami terbuka dalam pengalaman meditasi. Selain itu, mengartikulasikannya secara linguistik dengan cara yang baik, sesuai dengan kapasitas seorang praktisi individu. Sedangkan dua poin terakhir menunjukkan sekaligus menekankan pada konkretisasi pencerahan asli (hongaku) pada praktisi Zen, di mana pencerahan asli berarti bahwa manusia secara bawaan memiliki kemungkinan untuk menjadi seorang Buddha.
Meskipun, terdapat perbedaan yang mencolok dari kedua aliran sebagaimana yang telah digambarkan di atas, kedua aliran ini tetap memiliki kesamaan. Kesamaannya terletak pada cara memahami Nirvana. Nirvana itu identik dengan suatu substansi orisinil (asli) bodhicitta (Buddha-nature). Menurut keyakinan mereka, Buddha-nature tersebut ada dalam setiap diri manusia yang berkepercayaan Buddhis, sehingga semua pengikutnya pun memperoleh kesempatan untuk dapat mencapai pencerahan dan menjadi Buddha.9
Baca Juga : Sore Nanti, Kita ke Pantai
Baca Juga : Metafora Perang dalam Penanganan Covid
Ajaran-Ajaran pokok dalam Zen
Pertama, Satori. Satori dalam ajaran Zen adalah suatu seni melihat inti diri dan menjadi Buddha. Satori ini dapat dipahami sebagai suatu bentuk kesadaran baru dalam upaya meninggalkan konsep lama dalam diri para pengikutnya. Dari hal inilah, timbul suatu cara pandang baru yakni memandang ke dalam inti diri.10
Selain itu, satori dapat didefenisikan sebagai intiuisi. Bentuk intuisi ini tentunya sebagai sebuah perlawanan atau kontradiksi akan pemahaman secara intelektual dan logis. Tanpa adanya satori ini, Zen tidak memiliki artinya sama sekali. Satori dapat dikatakan sebagai raison d’etre (keutamaan) dari Zen. Karena itu setiap penemuan, disiplin atau doktrinal tertentu selalu diarahkan menuju satori.11 Sebab, dalam pemahaman Zen ajaran doktrinal tidak memberikan efektivitas bagi praktisi Zen. Hal utama yang ditekankan adalah meditasi Zen itu sendiri.
Kedua, Metode Koan. Koan secara harafiah berarti “dokumen pubik”, sebuah istilah yang muncul menjelang akhir zaman Dinasti Tang. Akan tetapi, istilah sekarang merujuk pada beberapa anekdot kuno para master, atau dialog antara master dan biarawan, atau pertanyaan- pertanyaan yang diajukan oleh seorang guru Zen. Semua hal ini digunakan sebagai sarana untuk membuka pikiran seseorang terhadap kebenaran Zen. Pada awalnya, tidak ada koan seperti yang kita pahami sekarang. Koan ini semacam proses atau buatan yang dirancang dengan sepenuh hati. Dengan maskud bahwa koan ini menjadi sarana untuk kesadaran pikiran para murid dalam mengikuti Zen ini.12
Koan sebagai “dokumen publik” atau teks (literatur) ini kemudian digunakan oleh para aliran Rinzai dalam Zen di Jepang. Hal yang ditekankan dalam koan ini adalah meditasi berupa persoalan yang diberikan oleh guru Zen kepada para murid-muridnya.13 Di sini para murid dilatih untuk menyelesaikan sendiri persoalan yang dihadapi berdasarkan petunjuk yang diberikan oleh guru Zen dari teks-teks yang dipelajari tersebut. Pemecahaannya tentu saja bukan berdasarkan pada penalaran logis, tetapi berdasarkan penghayatan atas tema itu sendiri.14
Ketiga, Zendo. Zendo dipahami sebagai tempat didik para praktisi Zen. Zendo ini adalah sebuah institusi yang unik dan menarik, di mana sebagian besar tempat utamanya sekarang berada di Jepang. Merujuk pada sejarahnya, sistem Zendo ini didirikan oleh master Zen China, Hyakujo (Pai-chang, 720-814), lebih dari seribu tahun yang lalu.15 Zendo atau tempat meditasi seorang Zen, diyakini tidak akan terpengaruh oleh gangguan dari lingkungan luar. Sebab, dalam ruang ini, terdapat ruang panjang dengan platform luas di kedua sisinya.
Selain itu, ruangan ini juga berfungsi sebagai tempat untuk tidur dan meditasi para praktisi Zen16 Di sini diperlihatkan bahwa praktisi Zen hidup dalam sebuah ritme yang senantiasa mengarahkan mereka untuk dapat dengan mudah mencapai penerangan itu sendiri.
Di rumah meditasi ini sendiri muncul suatu tata tertib hidup para praktisi Zen. Menurut Mudji Sutrisno, zendo sebagai tata tertib hidup bertujuan untuk membina dan mengakartumbuhkan keutamaan, ketaatan, kesahajaan, kerendahan hati serta keutamaan khas yang disebut sebagai keutamaan “rahasia”. Keutamaan khas dari Zendo ini maksudnya adalah sebuah usaha untuk melakukan kebaikan tanpa pamrih atau tanpa menghiraukan hasilnya bagi dirinya sendiri. Cara hidupnya diarahkan oleh semangat Zen secara ketat dan teratur.17
Sesuai dengan semangat pendirinya, Hyakujo (Pai-chang, 720-814) , dalam Zendo ini terdapat pepatah yang terkenal yang senantiasa menjadi acuan dalam semangat para praktisi Zen yakni “hari tanpa kerja adalah hari tanpa makan,” Pepatah ini mengandung arti bahwa tiada makan tanpa bekerja.18 Secuil pepatah ini menunjukan bahwa selain bermeditasi sebagai ajaran utama dalam Zen, para praktisi Zen ini juga senantiasa diajak untuk bekerja dalam kehidupan sehari-hari. Perpaduan kerja ini dengan cara hidup merupakan bagian dari ajaran Zen untuk mencapai penerangan atau menjadi Buddha.
Keempat, Zazen. Dalam konteks sekarang bahkan perkembangannya sampai saat ini, praktik zazen ini menjadi praktik yang paling terkenal dan digunakan dalam dua aliran dalam Zen, baik Soto maupun Rinzai.19 Zazen ini umumnya dianggap sebagai instrumen teknik yang bertujuan untuk memperoleh mental atau spiritual yang tinggi. Bahkan dianggap sebagai metode untuk menginduksi “pencerahan” dramatis sebuah pengalaman. Memang harus diakui pula bahwa di beberapa cabang tradisi Zen, Zazen (meditasi duduk Zen) telah dilihat bukan hanya sebagai sarana untuk mencapai beberapa hasil, tetapi sebagai pengesahan dan ekspresi ritual untuk membangun suatu kesadaran.20
Bagi Dogen, seorang yang berpengaruh pada perkembangan Zen di Jepang melihat bahwa zazen bukanlah suatu tahap untuk menunggu sebuah pencerahan, tetapi Zazen ini dilihat sebagai sebuah latihan dari Zen Buddhis. Praktek ini juga bukan untuk mendapatkan sesuatu di waktu yang akan datang atau dalam kondisi waktu yang begitu lama. Bagi Dogen, praktik Zazen ini adalah suatu pencerahan atau realisasi sekarang.21 Karena itu, dampak dari praktik itu sendiri berkaitan langsung dengan para praktisi Zen.
Baca Juga : Mencintai Wanita dengan Tanda Lahir di Bibir
Baca Juga : Malia
Relevansi Ajaran dalam Zen
Berdasarkan uraian di atas, saya melihat bahwa Zen merupakan salah satu aliran dalam Buddisme yang amat berkembang sampai saat ini. Meskipun dalam dalam perkembangannya,muncul berbagai aliran (Soto dan Rinzai), tetapi Zen tetap memiliki keutamaan yang sama. Keutamaan pokok Zen sebagaimana artinya meditasi telah menawarkan sisi lain dalam kehidupan Buddhisme. Melalui Zen, orang atau para praktisi Zen diarahkan untuk mencapai suatu pencerahan atau menjadi Buddha.
Praktik-praktik yang diajarkan dan ditawarkan dalam Zen memberikan suatu insight (wawasan) bagi kehidupan kita. Dalam hal ini, Zen memberi sebuah pelajaran yang amat berharga bagi perkembangan kehidupan kita. Meskipun, tidak harus menguasai ajaran-ajaran pokok seperti yang diikuti oleh para praktisi Zen, namun bagi saya Zen dapat menjadi salah satu contoh yang dapat menginspirasi kita dalam perjalanan berada dan bersatu dengan Allah yang kita imani.
Meditasi yang diajarkan dalam Zen seperti ketenangan, konsentrasi menjadi suatu metode yang dapat membantu kita. Realitas dunia sekarang ini, termasuk ingar-bingar yang dihasilkannya mesti dilawan dengan spirit Zen itu sendiri. Karena itu, saya melihat bahwa gagasan Zen dalam Buddhisme ini amat relevan dengan kehidupan kita. Tentu saja, saya tidak sedang mengadopsi nilai-nilai Zen untuk dipraktikkan dalam iman kita, lalu serentak menghilangkan makna dan praktik iman kita sendiri.
Zen bukanlah sebuah agama baru. Zen memberikan suatu cara pandang sekaligus menjadi inspirasi bagi kita untuk mengimani Allah kita masing-masing. Bagi saya, jalan dan praktik hidup keagamaan kita memang berbeda, tetapi tujuan kita tetap satu. Maka, dalam hal ini amat penting bagi kita untuk menghormati dan mendalami setiap spirit filosofis dan teologis suatu agama sebagai suatu kekayaan yang mesti kita hargai.
Referensi
1https://stanford.library.sydney.edu.au/entries/japanese-zen/, diakses pada Rabu, 17 Juni 2020 dan Matius Ali, Filsafat Timur: Sebuah Pengantar Hinduisme dan Buddhisme, (Jakarta: Sanggar Luxor, 2013), hlm. 239.
2Carl Cung (trans.), An Intoduction to Buddhism, (New York: Grove Press, 2007), 39.
3 Mudji Sutrisno, Zen Buddhis: Ketimuran dan Paradoks Spiritualitas, (Jakarta: Obor, 2002), 48.
4 Matius Ali, op.cit., hlm. 238.
5 Tema meditasi berupa persoalan yang diberikan guru kepada muridnya untuk dipecahkan.
6 https://stanford.library.sydney.edu.au/entries/japanese-zen/ diakses pada Rabu, 17 Juni 2020.
7 Matius Ali, op.cit., hlm. 239.
8 Loc.cit., hlm. 239.
9 Ibid., hlm. 240.
10 Mudji Sutrisno, op.cit., hlm. 55.
11 Carl Cung, op.cit., hlm. 88-95.
12 Ibid., hlm.102-103.
13 Steven Heine, cs (eds.), Zen Ritual: Studies of Zen Buddhist Theory of Practice, (Oxford: University Press, 2008), 128-129.
14 Mudji Sutrisno, op.cit., hlm. 59.
15 Carl Cung, op.cit., hlm. 118.
16 Alan Watts, The Way of Zen, (New York: Vintage Book, 1985), 174.
17 Mudji Sutrisno, op.cit., hlm. 62-63.
18 Carl Cung, loc.cit.
19 Alan Watts, op.cit., hlm. 172.
20 Steven Heine, cs (eds.), op.cit., hlm. 167.
21 Ibid., hlm. 177-178.