Blog

  • Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

    Indodian.com – Sri Paus Fransiskus telah telah menyelesaikan kunjungan apostoliknya di Indonesia. Kunjungan ini bukan atas nama kepentingan ekonomi politik, melainkan kemanusiaan. Sri Paus tidak hanya mengunjungi Indonesia, tetapi juga membawa terang pengharapan bagi masa depan seluruh masyarakat Indonesia. Kita semua percaya Spes non confundit, “Pengharapan tidak Mengecewakan” (Rm. 5:5).

    Paus Fransiskus menetapkan tema Yubilium 2025 yakni Peregrinos de Esperanza, “Para Peziarah Berpengharapan”. Paus Fransiskus memilih teks Rm. 5:5 untuk menjadi dasar teologis merefleksikannya. Roh pengharapan menggerakan Rasul Paulus menuju jemaat di Roma. Bagi Rasul Paulus, pengharapan adalah hasil pembenaran iman, karena “kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus” (Rm. 5:1).

    Pembenaran iman Rasul Paulus ini meyakini bahwa Yesus Kristus adalah pintu keselamatan (Yoh. 10:7-9), dan karena Dia “kita juga beroleh jalan masuk oleh iman kepada kasih karunia ini. Di dalam kasih karunia ini kita berdiri dan kita bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah” (Rm. 5:2).

    Ada tiga inti dari penjelasan di atas yakni iman, kasih, dan pengharapan. Namun demikian, kita tidak boleh lupa bahwa kesengsaraan tidak bisa terhindarkan dalam menghayati iman, kasih, dan pengharapan. Itulah sebabnya Rasul Paulus mengemukakan bahwa “kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan” (Rm. 5:3-5).

    Tantangan pengharapan

    Namun apakah pengharapan masih ada di tengah peperangan, drama kemiskinan, imigran, perdagangan manusia, kejahatan seksual, kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, aborsi, eutanasia, bunuh diri, penolakan terhadap orang-orang yang berkebutuhan khusus, teori peralihan kecenderungan seks, kekerasan digital, dan kejahatan lainnya? Inilah soalnya. Bagi orang yang tidak mengalami langsung amat mudah menjelaskan pentingnya pengharapan. Namun bagi orang yang sedang mengalaminya tentu sangat sulit, juga ketika hidup di bawah tekanan, dan ketidakpastian.

    Bagaimana kita berdiri tegak di bawah pengharapan ketika kita terus ditindas, direpresi, dan diakumulasi? Ketidakpastian menghambat tumbuhnya pengharapan. Ketidakpastian bertolak belakang dengan iman dan kasih. Ketidakpastian diciptakan secara sistematis oleh penguasa ekonomi dan politik. Ketidakpastian tidak memungkinkan kebebasan dan keadilan. Ketidakpastian menormalisasi kejahatan dan kekerasan. Ketidakpastian adalah musuh terkuat kebenaran.

    Ketidakpastian mengacaubalaukan sistem sosial kemasyarakatan yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan kedaulatan. Ketidakpastian diperkenalkan dan diabadikan oleh  rezim neoliberal. Ketidakpastian tampak ketika masyarakat harus buru-buru mengejar waktu yang hilang di tempat kerja dan ruang yang tak terbatas lagi di media sosial—ruang abstrak yang dimanfaatkan sebagai pasar baru. Masyarakat dibuat buru-buru oleh sistem kerja dan upah di bawah rezim neoliberal. Semakin tepat waktu masuk dan keluar kerja, upah semakin naik dengan presentasi tertentu. Semakin tidak tepat waktu masuk dan keluar kerja, semakin dekat terima surat PHK.

    Lagi pula, tiap hari begitu banyak pelamar kerja melamar pekerjaan atau rezim sudah menyiapkan tenaga kerja cadangan yang abstrak. Pemilik pekerjaan tidak akan mengalami kerugian apabila banyak pekerja di-PHK, karena mereka tidak melihat kemanusian pekerja, tetapi tenaganya. Tenaga pekerja dilihat sebagai modal yang bisa dibeli dengan uang untuk mendapatkan uang lebih banyak.

    Masyarakat buru-buru yang dikendalikan oleh rezim neoliberal sulit mencari waktu untuk bertemu, berkumpul dan bersenda gurau dengan keluarga. Masyarakat buru-buru sulit menemukan waktu hening, merefleksikan, mengontemplasi, dan mempertimbangkan pilihan bijak untuk kehidupan selanjutnya. Masyarakat buru-buru tidak punya waktu mendengarkan suara hatinya, dan panggilan nurani kemanusiaan dari kaum tertindas, para korban kebijakan rezim politik, dan mereka yang hasrat seksualnya diperdagangkan.

    Masyarakat buru-buru dilatih untuk menormalisasikan kejahatan, hoaks, dan peperangan. Masyarakat buru-buru tidak memiliki kesabaran, keuletan dan kemurahan hati. Masyarakat buru-buru “diajarkan” untuk mendewakan pekerjaan daripada beriman kepada Tuhan dan percaya kepada agama.

    Ketika nilai-nilai luhur keagamaan, norma-norma sosial, kebutuhan-kebutuhan metafisis, estetika, demokrasi, dan penghayatan keimanan kepada Tuhan dikosongkan dari batok kepala masyarakat buru-buru, di sanalah kejahatan terhadap kemanusiaan sangat rentan, dan penghancuran ekologi makin membrutal. Masyarakat buru-buru, seperti zombi, hidup hanya dengan “mengisap” darah (upah) pekerjaaan; ia makin hidup kalau makin banyak darah/upah yang di-“isapkan”-nya. Akan tetapi, berbeda dengan zombi sesungguhnya, masyarakat buru-buru masih mempunyai secercah pengharapan akan hidup yang lebih baik lewat pekerjaan-pekerjaan yang lebih manusiawi.

    Alih-alih menanam dan merawat pengharapan, rezim ketakutan-lah yang mendominasi. Paus Fransiskus mengutarakan beberapa kejahatan serius dalam Declaración del Dicasterio para la Doctrina de la Fe “Dignitas infinita sobre la dignidad humana” pada 8 April 2024. Sebab pokok adalah tekanan dan tuntutan rezim neoliberal. Byung-Chul Han dalam bukunya El Espiritu de la Esperanza (2024) mengatakan bahwa “rezim neoliberal adalah sebuah rezim ketakutan”.

    Ketakutan timbul ketika pengharapan tidak terwujud, dan rezim neoliberal semakin mengontrol roda kehidupan. Byung-Chul Han menjelaskan bahwa rezim neoliberal “mengisolasi orang-orang, mengubahnya menjadi pengusaha dirinya sendiri”. Hal ini disebabkan oleh “kompetensi sembarangan dan desakan untuk membayar kadang-kadang melemahkan masyarakat”.

    Pengusaha diri sendiri membuat orang terisolasi dengan orang lain. Kalau pun ia berkontak dengan yang lain, itu karena didesak oleh kepentingan. Tanpa kepentingan, ia tidak punya kesabaran untuk ada-bersama dan membangun relasi kesalingan-setimpal dengan yang lain. Ini makin menguatnya kebebasan pribadi yang narsistik.

    Bagi Byung-Chul Han, “kebebasan pribadi yang narsistik menimbulkan kesendirian dan ketakutan”. Apabila kesendirian dipupuk terus-menerus, maka ketakutan tidak lagi dimunculkan dari luar, tetapi dari dalam diri sendiri. Tingkah laku kadang-kadang ditandai oleh ketakutan: “ketakutan akan gagal, ketakutan akan tidak hidup sesuai dengan yang diharapkannya, ketakutan akan tidak mampu menjaga ritme atau ketakutan akan ditinggalkan”. Ketakutan dan keputusasaan adalah pasangan sejati.

    Ketakutan dan keputusasaan selalu melahirkan kecapaian dan keletihan. Kecapaian memukul fisik dan mental, tetapi keletihan menyerang psikis, rasionalitas, emosional, dan spiritualitas. Pada rezim neoliberal ini, masyarakat tidak hanya mengeluh kecapaian karena pekerjaan, tekanan kebudayaan, adat-istiadat, kebijakan ekonomi politik, pendidikan, hukum, dan keagamaan, tetapi juga keletihan disebabkan oleh pasangan, keluarga, orang-orang yang dikasihi, dan kehilangan orientasi hidup dalam diri sendiri. Kehilangan orientasi hidup dalam diri sendiri mempersulit menentukan arah petualangan dan tujuan perziarahan hidup.

    Ketika spiritualitas redup, pengharapan enggan menampakkan auranya, dan di situlah keletihan eksistensial menyiksa seseorang. Keletihan eksistensial menutup pintu refleksi diri: “siapakah aku ini?”, “dari manakah aku berasal?”, “mengapa aku harus hidup?”, “mengapa dan untuk apa aku ada di sini”, dan “ke manakah aku harus melangkah?”. Keletihan spiritual memblokir permenungan: “Siapakah Tuhan bagiku?”, “apakah Tuhan ada untukku?”, “mengapa dan untuk apa aku butuh Tuhan?”, “dapatkah aku bayangkan aku hidup di luar Tuhan?”, “untuk apakah aku diciptakan Tuhan dan ke manakah kakiku harus melangkah?”.

    Keletihan eksistensial dan keletihan spiritual dapat mengebalkan egosentrisme dan individualisme. Keduanya menolak motivasi, inspirasi, dan nasihat-nasihat dari orang lain, dan menghindari campur tangan dari Tuhan. Tuhan sangat enggan masuk dan berdialog dengan orang yang egosentrisme dan individualismenya akut. Makin hari, ia makin mengeluh tentang dirinya sendiri, dan menyalahkan orang-orang dan keadaan di luar dirinya.

    Iman: Pengharapan sudah ada

    Bertolak dari Rasul Paulus, Paus Fransiskus dalam Spes non Confudit (4) mengajak semua manusia untuk menemukan kembali pengharapan yang sempat dikekang oleh egoisentrisme, individualisme, dan tekanan rezim neoliberal. Paus Fransiskus mengimbau agar semua manusia membangun kembali “kesabaran untuk mengutamakan pentingnya ketekunan dan kepercayaan yang di dalamnya Allah yang telah berjanji kepada kita, yang di atas semuanya tentang kesaksian bahwa Allah adalah Dia yang sabar dengan kita, karena Dia adalah ´sumber ketekunan dan penghiburan´ (Roma, 15:5)”.

    Bagi Paus Fransiskus, “kesabaran, yang juga merupakan buah Roh Kudus, menjaga pengharapan tetap hidup dan memperkuatnya sebagai keutamaan dan corak hidup”. “Jalinan kesabaran dan pengharapan”, kata Paus Fransiskus, “menunjukkan secara jelas bagaimana kehidupan kristiani adalah sebuah jalan, yang juga membutuhkan saat-saat yang kuat untuk memupuk dan memperkuat pengharapan, pendamping yang tak tergantikan yang memungkinkan untuk melihat tujuan: pertemuan dengan Tuhan Yesus” (5). Paus Fransiskus menekankan pentingya “menetapkan jalan adalah langkah khas dari mereka yang mencari makna hidup”.

    Para peziarah yang mencari makna hidup senantiasa melihat masa depan dengan penuh pengharapan. Kita menyaksikan begitu banyak orang yang lebih suka tenggelam dalam penderitaan dan kesengsangsaraannya daripada menemukan kembali pengharapan. Hal ini menimbulkan apa yang dikatakan oleh Paus Fransiskus dengan hilangya kerinduan untuk mengubah hidup (9).

    Masyarakat buru-buru sibuk mengubah diri agar sesuai dengan sistem kerja saat ini dan kini. Masyarakat buru-buru adalah masyarakat konsumtif yang tidak bisa melihat masa depan. Menurut Byung-Chul Han, “para konsumer tidak mempunyai pengharapan. Satu-satunya yang mereka miliki adalah keinginan dan kebutuhan. Mereka tidak membutuhkan masa depan. Ketika konsumsi diabsolutkan, waktu direduksi menejadi kekininan yang tetap dari kebutuhan dan kecukupan”.

    Bagi Byung-Chul Han, “kemewaktuan pengharapan adalah yang masih tidak ada. Dia terbuka bagi yang akan datang, kepada yang masih tidak ada. Dia adalah suatu sikap spiritual, sebuah temperamen kesabaran yang mengangkat kita di atas apa yang sudah diberikan, terhadap apa yang sudah ada.”

    Dari refleksi filosofis Byung-Chul Han, bila dilihat dari perspektif iman kristiani, Yesus-lah pengharapan, karena Dia adalah “yang datang dalam nama Tuhan” (Mzm. 118:26; Mat. 21:9.23_39; Mrk. 11:9; Luk.13:35; 19:38; dan Yoh.12:13). Untuk membuktikan itu, Yesus sendiri berkata: “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yoh. 10:10). Di bawah terang pengharapan itu, Rasul Paulus mewartakan: “Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa! Bantulah dalam kekurangan orang-orang kudus, dan usahakanlah dirimu untuk selalu memberi tumpangan!” (Rm. 12:12-13). Pengharapan, iman dan amal kasih adalah tiga keutamaan teologis yang harus dilaksanakan oleh umat kristiani.

    Yesus mati dan bangkit adalah inti iman umat kristiani. Santo Paulus mewartakan empat kata inti dalam pengharapan umat kristiani: “Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, Ia dikuburkan, Ia telah dibangkitkan pada hari yang ketiga, dan Ia telah menampakkan diri kepada Kefas dan kedua belas murid-Nya” (1Kor.15.3-5).

    Kalau Yesus adalah sumber dan tujuan pengharapan, umat kristiani dan semua manusia hendaknya tidak kehilangan kerinduan untuk mengubah hidup, tetapi sebaliknya berdao kepada Allah, sumber pengharapan memenuhinya dengan segala sukacita dan damai sejahtera dalam imannya, dan supaya oleh kekuatan Roh Kudus kita berlimpah-limpah dalam pengharapan (Rm. 15:13).

    Semua manusia seharusnya tidak perlu lagi menunggu Sang Pengharapan Baru datang dari masa depan (adventus) untuk menyelamatkannya dan memberikan kebebasan baru karena Yesus, yang datang dalam nama Tuhan sudah datang. Rasul Paulus mengungkapkannya dengan sangat jelas: “Sebab kita diselamatkan dalam pengharapan. Tetapi pengharapan yang dilihat, bukan pengharapan lagi; sebab bagaimana orang masih mengharapkan apa yang dilihatnya?” (Rm. 8:24).

    Paus Fransiskus mengajak, dengan pengharapan yang berlimpah-limpah, “kita dapat memberi kesaksian yang menarik dan dapat dipercaya iman dan kasih yang kita bawa dalam hati; agar iman menjadi sukacita dan amal kasih bertekun; agar setiap orang mampu memberikan walaupun sekadar seuatas senyuman, sebuah gerakan keramahtamaan, tatapan persaudaraan, pendengaran yang tulus, pelayanan gratis, yang di dalam Roh Yesus, ini dapat berubah menjadi benih yang subur dalam pengharapan bagi dia yang menerimanya.” Kelimpahan pengharapan tampak dalam sikap hidup selalu memberi tumpangan. Dan pengharapan memang tidak mengecewakan!

  • Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

    Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

    Indodian.com – Di era modern ini, banyak negara yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi sebagai landasan pemerintahan mereka. Gagasan tentang pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah menarik minat banyak negara untuk mengadopsi sistem ini. Seturut data yang dipublikasikan oleh Pewresearch, hingga tahun 2017, sekitar 57% atau 97 dari 196 negara-negara di dunia sudah menggunakan sistem demokrasi sebagai asas pemerintahannya. Ini merupakan angka yang cukup menggembirakan, di mana hal ini menunjukkan adanya aspirasi universal untuk pemerintahan yang lebih terbuka, partisipatif, dan akuntabel.

    Namun, seiring dengan berkembangnya demokrasi, muncul tantangan-tantangan kompleks yang menimbulkan adanya ketidakpuasan terhadap sistem ini. Salah satu isu aktual yang mencuat belakangan ini adalah terkait dengan kebebasan beragama dalam konteks demokrasi. Peristiwa pelarangan penggunaan hijab bagi anggota Paskibraka di Ibu Kota Nusantara (IKN) beberapa waktu lalu menjadi sorotan publik.

    Kebijakan ini memicu beragam reaksi dan pertanyaan. Banyak pihak menilai bahwa kebijakan tersebut mengindikasikan adanya sikap anti-agama dalam tubuh pemerintahan kita yang katanya demokratis. Jika kita telisik lebih dalam, peristiwa IKN ini seakan mengisyaratkan adanya pandangan bahwa agama dan negara adalah dua entitas yang saling bertentangan. Pandangan ini seolah menggemakan narasi kuno tentang perang antara agama dan rasionalitas, antara iman dan ilmu pengetahuan. Namun, benarkah agama dan negara harus selalu berada pada posisi yang berseberangan?

    Pertanyaan ini membawa kita pada pemikiran seorang pengamat tajam demokrasi, Alexis de Tocqueville. Dalam pengamatannya terhadap masyarakat Amerika Serikat pada abad ke-19, Tocqueville menemukan peran krusial agama dalam menopang demokrasi. Lantas, apa yang sebenarnya dilihat oleh Tocqueville? Dan bagaimana pandangannya dapat memberikan kita pemahaman yang lebih mendalam tentang hubungan antara agama, negara, dan demokrasi di Indonesia dewasa ini? Untuk lebih jelasnya, mari kita simak terus uraian berikut ini.

    Tocqueville dan Democracy in America

    Pada tahun 1831, Alexis de Tocqueville, seorang aristokrat Prancis, melakukan perjalanan ke Amerika Serikat untuk mempelajari demokrasi. Dia melihat beberapa hal positif dalam demokrasi, tetapi juga mencatat beberapa kekurangan, seperti tirani mayoritas, individualisme, dan materialisme. Dia mengklaim bahwa agama sangat penting untuk mencegah bahaya-bahaya itu.

    Alexis de Tocqueville adalah seorang diplomat yang dikirim oleh pemerintah Prancis untuk mempelajari sistem penjara di Amerika. Saat berada di sana, dia memanfaatkan kesempatan untuk menyelidiki masyarakat Amerika secara keseluruhan dan menulis karyanya yang paling terkenal, Democracy in America. Dalam buku itu, De Tocqueville menulis:

    “Di Amerika, saya melihat lebih dari sekadar Amerika… Saya mencari gambaran demokrasi itu sendiri, dengan kecenderungan, karakter, prasangka, dan keinginannya.” (De Tocqueville, Vol. I, 1831 [2002]: 24)

    Dengan tujuan utama untuk memahami prinsip-prinsip yang mendasari masyarakat demokratis, Tocqueville melakukan pengamatan yang mendalam terhadap berbagai aspek kehidupan di Amerika Serikat, mulai dari sistem politik, sosial, hingga budaya. Berpergian di masa puncak revolusi industri, De Tocqueville percaya bahwa demokrasi dan industrialisasi saling terkait—demokrasi Amerika adalah perwujudan dari penyatuan ini. Dia menggambarkan Amerika sebagai “revolusi demokratis yang disebabkan oleh industrialisasi.”

    Dalam pengamatannya terhadap kehidupan sosial-politik Amerika, De Tocqueville percaya bahwa ketika industrialisasi mengurangi kesenjangan ekonomi antara kelas-kelas sosial, revolusi politik yang menuntut “kesetaraan” akan muncul secara alami. Jika tidak ada perbedaan ekonomi antara bangsawan, orang kaya, dan rakyat biasa, maka perbedaan politik juga akan hilang. Inilah kondisi yang memungkinkan lahirnya demokrasi. Namun, faktanya, AS adalah republik, dan bukan demokrasi. De Tocqueville mengamati bahwa meskipun Amerika adalah republik di atas kertas, ia lebih berfungsi seperti demokrasi. Namun, semokrasi ini pun bukanlah demokrasi murni, sebab menurutnya, demokrasi di Amerika adalah bentuk pemerintahan mayoritas. Dia menulis:

    “Meskipun bentuk pemerintahannya representatif … di Amerika Serikat, mayoritaslah yang memerintah…” (hlm.193)

    Tirani Mayoritas

    Sebagaimana yang ditampilkan dalam kutipan di atas, De Tocqueville berpendapat bahwa demokrasi memiliki potensi untuk menghasilkan bentuk penindasan yang disebut “tirani mayoritas.” Dalam konteks demokrasi, tirani mayoritas memiliki kekuasaan yang sangat besar untuk menentukan kebijakan publik. Namun, kekuasaan mayoritas yang tidak terkendali ini dapat menjadi ancaman bagi hak-hak minoritas. Karena semua tingkat pemerintahan dibentuk oleh pendapat mayoritas, tidak ada entitas yang bisa dijadikan tempat untuk mengajukan banding ketika seseorang mengalami ketidakadilan dari pemerintah itu sendiri. Dia menulis:

    “Ketika seseorang atau sebuah golongan menderita ketidakadilan di Amerika Serikat, kepada siapa mereka ingin mereka mengajukan banding? Kepada opini publik? Itu adalah mayoritas. Kepada badan legislatif? Itu mewakili mayoritas… Kepada polisi? Polisi adalah… mayoritas yang bersenjata.” (De Tocqueville, Vol. II, 1835 [2010]: 93)

    Tocqueville melihat bahwa dalam sistem demokrasi, di mana mayoritas memiliki kekuasaan mutlak, kelompok minoritas sangat rentan terhadap penindasan. Tanpa adanya mekanisme yang efektif untuk melindungi hak-hak minoritas, mayoritas dapat dengan mudah membuat kebijakan yang merugikan kelompok-kelompok tertentu. Menurut De Tocqueville, di sinilah agama mendapat perannya untuk menjegal tirani mayoritas dengan membela hak-hak minoritas.

    Atomisasi Individu

    Selain tirani mayoritas, De Tocqueville juga mencatat bahwa demokrasi dapat menyebabkan atomisasi individu dalam masyarakat. Hal itu terjadi karena demokrasi mengikis ikatan sosial—tidak ada kewajiban timbal balik antara warga negara yang mengikat mereka secara bersama.

    Menurut Tocqueville, bentuk pemerintahan lain seperti aristokrasi memiliki kewajiban yang harus dipenuhi oleh kelas-kelas sosial satu sama lain—bangsawan bersumpah untuk melindungi rakyat sementara rakyat biasa bersumpah setia kepada para bangsawan. Dalam aristokrasi, ikatan keluarga sangat penting karena kekuasaan dan tanah diwariskan melalui garis keturunan.

    Di sisi lain, dalam demokrasi, tidak ada kewajiban timbal balik antara orang-orang. Setiap orang adalah unit politiknya sendiri, dan keluarga tidak begitu penting karena setiap orang bisa menjadi “mandiri.” De Tocqueville memperingatkan bahwa faktor-faktor ini dapat menyebabkan isolasi setiap individu dari individu lain.

    Materialisme

    Akhirnya, De Tocqueville juga memperingatkan bahwa dari individualisme akan muncul sebuah patologi lain, yakni materialisme. Dalam masyarakat yang individualistis, orang lebih fokus pada kekayaan pribadi daripada kepentingan bersama. Demokrasi, khususnya, mendorong “selera untuk kepuasan fisik” yang membuat orang percaya “bahwa segala sesuatu hanyalah materi.”

    De Tocqueville menyebut bahwa materialisme adalah “penyakit berbahaya dari pikiran manusia” yang dapat menggantikan keyakinan spiritual dan mengarah pada hedonisme yang melahirkan pikiran dan perbuatan jahat. Oleh karena itu, pria Prancis ini berpendapat bahwa demokrasi harus tetap berpegang pada agama mereka untuk mengatasi jebakan materialisme.

    Agama sebagai Penjaga Demokrasi

    Dari analisis panjang yang ia lampirkan dalam bukunya, De Tocqueville melihat agama sebagai benteng kuat yang dapat menjaga demokrasi dari berbagai bahaya yang dapat mengancam masyarakat politik, seperti tirani mayoritas, atomisasi individu, dan materialisme. Dalam pengamatannya, agama di Amerika memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap masyarakat, yang dia yakini berperan penting dalam keberhasilan sistem pemerintahannya.

    Di Indonesia atau di negara-negara lain yang menganut sistem demokrasi, hal ini sebetulnya sangat relevan untuk dipelajari. Sebagai contoh konkret, dalam menghadapi tirani mayoritas, agama sering kali menjadi suara moral yang menentang ketidakadilan, bahkan ketika mayoritas masyarakat mendukung kebijakan yang tidak adil. Gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat, yang dipimpin oleh tokoh-tokoh agama seperti Martin Luther King Jr., menunjukkan bagaimana agama dapat menjadi kekuatan yang menantang keputusan mayoritas yang tidak adil. King menggunakan ajaran agama untuk memobilisasi dukungan dan menuntut perubahan. Hal ini menunjukkan bahwa agama dapat menjadi alat untuk melindungi hak-hak minoritas dalam demokrasi.

    Selain itu, agama dapat mengatasi atomisasi individu dengan memperkuat ikatan sosial dan menciptakan komunitas yang saling mendukung. Gereja, masjid, pura, sinagoga, dan tempat ibadah lainnya sering menjadi pusat kegiatan sosial dan komunitas, di mana orang-orang dari berbagai latar belakang dapat berkumpul, berbagi nilai, dan mendukung satu sama lain. Hal ini sangat membantu untuk mengurangi isolasi individu atau individualisme dengan menciptakan rasa keterikatan dalam masyarakat.

    Dalam menghadapi materialisme, agama juga sering menekankan nilai-nilai spiritual dan kebajikan di atas kepuasan material. Misalnya, banyak agama yang mengajarkan pentingnya kemurahan hati, pengorbanan, dan pelayanan kepada sesama, yang bertentangan dengan kecenderungan materialistis dalam demokrasi modern. Melalui ajaran ini, agama dapat mengarahkan perhatian masyarakat dari kesejahteraan pribadi menuju kesejahteraan bersama, yang pada akhirnya menguatkan demokrasi dengan menjaga fokus pada kepentingan umum.

    Dari narasi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa Alexis de Tocqueville melihat agama sebagai pilar penting dalam menopang demokrasi. Agama, menurutnya, bukan hanya sekadar institusi, tetapi juga sebagai kekuatan moral yang mampu membendung potensi negatif dari demokrasi seperti tirani mayoritas, atomisasi individu, dan materialisme. Agama berperan sebagai penyeimbang yang mengingatkan masyarakat akan nilai-nilai luhur seperti keadilan, persaudaraan, dan spiritualitas.

    Namun, peran agama dalam demokrasi bukanlah tanpa tantangan. Di zaman modern ini, sekularisme dan pluralisme semakin menguat. Hal ini menghadirkan pertanyaan mendasar: Bagaimana kita dapat mengharmonisasikan nilai-nilai agama dengan prinsip-prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan individu dan kesetaraan? Peristiwa pelarangan penggunaan hijab di IKN menjadi contoh nyata dari kompleksitas isu ini. Untuk menjawab tantangan tersebut, diperlukan dialog yang terus-menerus antara agama dan negara, serta antara berbagai agama dan kepercayaan. Agama jangan sampai dipahami sebagai ancaman terhadap demokrasi, tetapi sebagai mitra yang dapat memperkaya kehidupan berbangsa. Dengan demikian, kita dapat membangun masyarakat yang inklusif, di mana semua warga negara memiliki tempat untuk berkontribusi demi membangun masa depan yang lebih baik.

  • DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

    DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

    Indodian.com – Dalam beberapa waktu terakhir, Indonesia sedang diguncang oleh sebuah krisis konstitusional yang sangat mengkhawatirkan. Sebagaimana kita ketahui, di tengah riuh rendah politik Indonesia, peristiwa pembangkangan konstitusi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhir-akhir ini kembali menjadi sorotan tajam publik.

    Keputusan kontroversial DPR yang memilih untuk mengabaikan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) demi melanggengkan dinasti politik Jokowi, khususnya demi memuluskan jalan anaknya untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah, telah memicu gelombang demonstrasi besar-besaran di seluruh Indonesia pada hari Kamis, 22 Agustus 2024 kemarin. Ribuan masyarakat pun turun ke jalan demi mempertahankan nasib demokrasi Indonesia yang kini berada di ujung tanduk.

    Pembangkangan Konstitusi oleh DPR

    Sejak awal, dinamika politik Indonesia memang tidak pernah sepi dari manuver-manuver elite yang seringkali mengabaikan kepentingan rakyat. Namun, kali ini, langkah DPR yang terang-terangan memilih untuk mengabaikan Putusan MK dalam Revisi Undang-Undang Pilkada demi kepentingan segelintir elite politik menjadi bukti nyata betapa rapuhnya demokrasi di negeri ini.

    Dalam rapat yang digelar pada 21 Agustus 2024, Badan Legislasi (Baleg) DPR dan Panitia Kerja (Panja) sepakat untuk mengacu pada putusan Mahkamah Agung (MA) ketimbang MK terkait batas usia calon kepala daerah untuk Pilkada 2024. Keputusan ini dianggap kontroversial karena MK, sebagai lembaga yang bertugas menafsirkan konstitusi, telah dengan tegas memutuskan batas usia tersebut. Namun, DPR memilih jalan berbeda, yang dinilai banyak pihak sebagai upaya untuk membuka jalan bagi Kaesang, anak bungsu Presiden Jokowi, agar bisa mencalonkan diri sebagai gubernur.

    Peringatan Darurat Garuda Biru

    Keputusan ini memicu gelombang protes dari berbagai elemen masyarakat. Aksi-aksi demonstrasi yang menuntut keadilan dan penegakan konstitusi berlangsung di berbagai daerah. Salah satu gerakan yang paling menonjol adalah gerakan “Kawal Putusan MK”. Gerakan ini muncul sebagai respon atas viralnya “Peringatan Darurat Garuda Biru,” sebuah video berdurasi kurang dari satu menit di berbagai media sosial. Video ini menyerukan kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk mengawal Putusan MK dan memastikan jalannya Pilkada 2024 berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.

    Peringatan Darurat Garuda Biru pada hakikatnya bukan sekadar simbol protes; ia adalah refleksi kekecewaan mendalam masyarakat terhadap DPR yang dinilai telah mengkhianati konstitusi. Dalam situasi di mana hukum dan demokrasi dipertaruhkan, aksi ini menjadi simbol perlawanan terhadap segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang berpotensi menghancurkan fondasi demokrasi di Indonesia.

    Apakah Demokrasi Sudah Mati?

    Pertanyaan besar yang muncul dari krisis ini adalah: apakah demokrasi di Indonesia telah mati? Pembangkangan DPR terhadap Putusan MK menimbulkan kekhawatiran serius tentang masa depan demokrasi di Indonesia. Ketika lembaga legislatif yang seharusnya menjadi representasi rakyat justru memilih untuk menabrak konstitusi demi kepentingan segelintir elite, maka jelas ada yang salah dalam sistem demokrasi kita.

    Jika demokrasi dibiarkan mati, apa yang akan terjadi dengan Indonesia? Demokrasi yang mati akan membuka pintu bagi lahirnya oligarki, di mana kekuasaan terkonsentrasi di tangan segelintir orang yang berkuasa. Peristiwa ini juga akan mengingatkan kita pada peringatan Hannah Arendt, filsuf yang pernah menjadi korban rezim Nazi di Jerman, tentang bahaya totalitarianisme. Menurutnya, ketika prinsip-prinsip dasar demokrasi seperti supremasi hukum dan demokrasi terkikis, maka pintu bagi munculnya pemerintahan otoriter terbuka lebar. Hal ini tentu akan mempengaruhi masa depan bangsa, di mana kebebasan akan tercekik, penegakan hukum akan tunduk pada penguasa, dan keadilan sosial akan menjadi mimpi yang tak pernah terwujud.

    Mampukah Indonesia Bangkit?

    Dari rentetan krisis politik yang telah bergulir sejak awal ia berdiri, Indonesia telah menunjukkan bahwa demokrasi tidak dapat mati dengan mudah. Gelombang aksi demonstrasi yang meluas di seluruh negeri menjadi bukti bahwa rakyat tidak akan diam ketika demokrasi diinjak-injak. Di bawah tekanan kuat dari rakyat yang bersatu dalam aksi-aksi demonstrasi, DPR akhirnya dipaksa untuk membatalkan niat jahatnya kemarin. Ini adalah kemenangan yang tidak hanya menggagalkan upaya melanggengkan dinasti politik, tetapi juga menegaskan bahwa nasib demokrasi ada di tangan rakyat.

    Aksi demonstrasi ini membuktikan bahwa ketika rakyat bersatu, kekuatan mereka tak bisa diremehkan. Demokrasi Indonesia telah diuji, dan rakyatlah yang menjadi penentu keberlangsungannya. Dalam momen ini, kita belajar bahwa demokrasi bukan sekadar kata-kata yang tercantum dalam konstitusi; ia hidup dalam tindakan, keberanian, dan suara-suara yang menolak tunduk pada tirani. Masa depan demokrasi Indonesia kini berada di persimpangan yang cerah, bukan gelap. Dengan keberanian yang telah ditunjukkan, rakyat Indonesia telah mengirim pesan yang jelas: demokrasi akan terus hidup selama ada mereka yang berani melawan ketidakadilan. Dan selagi rakyat terus memegang kendali, demokrasi Indonesia akan tetap berdiri kokoh.

  • Menanti Keberanian PDI Perjuangan Berada di Luar Pemerintahan

    Menanti Keberanian PDI Perjuangan Berada di Luar Pemerintahan

    Indodian.com-Demokrasi kita sedang tidak baik-baik saja. Duit rakyat tengah dirampas dengan dalih tabungan perumahan. Ruang gerak pers dipersempit melalui RUU Penyiaran yang melarang penayangan jurnalisme investigatif.

    Persyaratan umur calon pemimpin (penguasa) diutak-atik. Batas usia pensiun Kapolri direncanakan untuk diperpanjang. Berbarengan dengan itu, masa jabatan hakim Mahkamah Konstitusi yang berintegritas hendak dipangkas.

    Jumlah kementerian direncanakan untuk ditambah dari 34 menjadi 40 biji. Mahasiswa dijerat lehernya dengan keputusan menaikkan uang kuliah tunggal, walaupun belakangan tidak jadi dieksekusi.

    Semua ini dilakukan dengan mengubah Undang-Undang yang mengaturnya, tanpa melibatkan publik secara memadai.

    Berbagai kejadian ini menyadarkan kita bahwa pemerintah perlu dikontrol dan diawasi pergerakan dan kebijakan-kebijakannya. Kehadiran oposisi yang memainkan peran check and balance terasa kian mendesak.

    PDI Perjuangan, partai pemenang Pemilu Legislatif, diharapkan berani mengemban tugas berat ini.

    Di luar pemerintahan

    Karena menganut sistem presidensial, kita tidak mengenal istilah oposisi. Posisi politik yang bisa diambil partai-partai sekarang adalah berada di dalam atau di luar pemerintahan.

    Partai-partai yang kalah di Pilpres 2024, terutama PDI Perjuangan, diharapkan berani mengambil posisi politik berada di luar pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming.

    Keberanian ini kian mendesak di tengah kecenderungan politik balas budi yang tengah terjadi saat ini. Tuntutan mutlak partai-partai koalisi pemenang Pilpres untuk mendapat kue kekuasaan membuat kebutuhan dan permintaan masyarakat dikesampingkan.

    Kekuatan penyeimbang dibutuhkan untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat yang tidak semuanya selaras dengan kepentingan pemerintah dan barisan oligarki di belakangnya.

    Budaya persatuan dan gotong royong yang selama ini diagung-agungkan sebagai kekayaan bangsa kita, perlu diseimbangkan dengan kebutuhan akan adanya kekuatan penyeimbang kekuasaan.

    Persatuan dan gotong royong tidak sama dengan berada dalam satu gerbong kereta yang sama. PDI Perjuangan (dan PKS) tidak perlu masuk dalam gerbong gendut koalisi Prabowo-Gibran untuk membawa bangsa ini terus maju.

    Persatuan, gotong royong, dan kerja sama merupakan nilai-nilai yang sangat penting. Akan tetapi, dalam konteks pemerintahan, penekanan yang terlalu berlebihan pada nilai-nilai ini akan menghambat ruang gerak oposisi yang diperlukan bagi demokrasi yang sehat.

    Tanpa penyeimbang yang efektif, risiko munculnya pemerintahan yang sewenang-wenang dan seenak jidat, sangat mungkin terjadi. Tanda-tanda itu makin jelas terlihat akhir-akhir ini.

    Menuju 2045

    Indonesia emas adalah kita. Tanggung jawab membawa negara ini pada level negara maju dan sejahtera pada usianya yang ke seratus tahun pada 2045 mendatang, ada di tangan kita semua.

    Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah menyebut, salah satu tantangan terberat bangsa ini dalam mencapai cita-cita Indonesia Emas itu adalah masalah demokrasi (Detik, 20/5/2024).

    Pada Era Jokowi, indeks demokrasi Indonesia cenderung menurun. Dalam data yang dirilis tahun 2022, The Economist Intelligence Unit mengkategorikan Indonesia sebagai negara dengan demokrasi cacat.

    Salah satu penyebab adalah minimnya oposisi apalagi setelah Prabowo Subianto bergabung dalam pemerintahan Jokowi-Ma’ruf pasca Pilpres 2019.

    Gaya kepemimpinan yang tidak menghendaki adanya oposisi rupanya akan terus dilanggengkan capres-cawapres terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming.

    “Saya akan terus berjuang bersama semua kekuatan yang mau diajak kerja sama. Tapi kalau sudah tidak mau diajak kerja sama, ya jangan ganggu,” kata Prabowo awal Mei lalu, beberapa waktu setelah terpilih jadi Presiden.

    Cita-cita Indonesia Emas 2045 tidak akan tercapai tanpa keseriusan memperbaiki dan membawa kembali demokrasi kita ke koridor yang benar.

    Peran dan fungsi parlemen sebagai lembaga pengawas eksekutif harus diperkuat. Independensi partai-partai di DPR diperlukan untuk memastikan kebijakan pemerintah dievaluasi secara kritis.

    Peran ini tidak akan berjalan maksimal jika semua partai di parlemen masuk dalam koalisi pendukung pemerintah. Ini bisa dihindari jika PDI Perjuangan berani mengambil posisi tegas berada di luar pemerintahan.

    Di tengah penyakit korupsi yang kian mengakar, kekuatan besar di luar pemerintahan diperlukan untuk mendesak aparat penegak hukum mengambil tindakan segera dan terukur.

    Nepotisme yang belakangan ditunjukkan dengan terang-terangan perlu dilawan dengan gerakan yang masif. Jika tidak dilawan, watak otoritarian pemerintah kita semakin menjadi-jadi.

    Partisipasi publik dalam mengawasi kerja pemerintah juga perlu ditingkatkan melalui diskusi dan debat yang setara. Partisipasi publik harus difasilitasi kekuatan politik di luar pemerintahan.

    Partai wong cilik

    Dalam pidato politik di momen HUT ke-51 PDI Perjuangan Januari lalu, Megawati Soekarnoputri kembali menegaskan pesan moral terpenting tentang jati diri PDI Perjuangan sebagai partai wong cilik.

    Sebagai partai yang seutuhnya menyatu dengan rakyat, sikap dan identitas PDI Perjuangan harus selaras dengan kepentingan rakyat kecil.

    Di saat pemerintah menjadi terlalu haus kekuasaan dan terang-terangan mengutamakan kepentingan keluarga dan oligarki, nasib dan kesejateraan rakyat kecil pasti ditinggalkan.

    Inilah saat yang paling tepat buat PDI Perjuangan untuk berada di barisan wong cilik, sesuai dengan jati diri partai.

    Dan yang paling penting, dengan berada di luar pemerintahan, PDI Perjuangan menunjukkan keseriusan dan bukti nyata dari permintaan maaf kepada rakyat Indonesia karena telah menghasilkan kader yang “melakukan pelanggaran konstitusi dan demokrasi.”

    Permintaan maaf itu disampaikan oleh Puan Maharani, dengan air mata bercucuran, beberapa waktu lalu.

    “Sehubungan dengan adanya perilaku kader partai yang tidak menjunjung tinggi etika politik, tidak disiplin, dan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ideologi, serta melakukan pelanggaran konstitusi dan demokrasi, Rakernas V Partai menyampaikan permintaan maaf kepada seluruh rakyat Indonesia,” ucap Puan.


  • SD Notre Dame Puri Indah Wisudakan 86 Anak Kelas VI

    SD Notre Dame Puri Indah Wisudakan 86 Anak Kelas VI

    Indodian.com-Sebanyak 86 siswa kelas VI Angkatan ke 31 Sekolah Dasar Notre Dame, diwisuda pada Rabu (19/6/2024). Acara wisuda ini digelar di Auditorium St. Julia Biliart Lt. 4 Sekolah Notre Dame, Kembangan, Jakarta Barat. Hadir dalam acara ini orang tua dari para wisudawan, guru-guru dan beberapa tamu undangan.

    “Terimakasih kepada para guru untuk semua upaya, cinta, dan komitmen kalian dalam membimbing siswa-siswi kita untuk menemukan potensi terbaik dalam diri mereka,” ujar kepala SD Notre Dame Sr. Maria Yanitha, SND

    “Juga kepada orang tua, untuk semua dukungan, pengorbanan, dan kasih sayang dari kalian sehingga anak-anak bisa bertransformasi menjadi seperti sekarang ini.”

    Kepada para wisudawan Sr. Maria berpesan agar terus belajar agar tetap bertumbuh menjadi anak-anak yang baik, yang siap menghadapi tantangan masa depan. “Saya berharap kalian tetap menjadi anak-anak yang terus belajar, bertumbuh dan berubah menjadi individu yang lebih baik dan lebih siap menghadapi tantangan di masa depan.”

    Rosa Lusi, dalam sambutannya mewakili orang tua menyampaikan terima kasih kepada Sr SND dan para guru yang telah berjuang dan bekerja keras dalam mendidik anak-anak mereka menjadi anak-anak yang cerdas, kreatif dan dewasa dalam cara bertindak, bertutur kata, dan berpikir.

    “Kita mungkin masih ingat dulu kita mengantar anak-anak ke SD Notre Dame saat mereka masih kecil dan tidak mengerti apa-apa. Tetapi saat ini, kita melihat anak-anak kita sudah mengalami transformasi dalam banyak hal.”

    “Kita bisa melihat saat ini mereka bukan hanya bertransformasi secara fisik, tetapi dari cara mereka berbicara, bertindak dan juga cara mereka berpikir. Karena itu, mewakili orang tua kami berterima kasih kepada SD Notre Dame yang sudah bekerja keras untuk mendidik dan membentuk anak-anak kami menjadi seperti sekarang ini.”

    Zefa Zefanya Winarto, dalam sambutannya mewakili para wisudawan menyampaikan terima kasih kepada para suster, bapak dan ibu guru yang telah mendidik mereka hingga diwisudakan pada hari ini.

    “Kami berterima kasih kepada para suster dan guru-guru yang telah mendidik kami dengan sabar. Di tempat ini kami sudah belajar banyak hal, mulai dari saling menolong, menghargai, saling menghibur dan saling mensuport satu sama lain.”

    Acara graduasi kali ini mengangkat tema Be Transformed, dan ayat Kitab Suci yang diambil dari Roma, 12: 2 “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah; apa yang baik, yang berkehendak kepada Allah dan yang sempurna”.

    Tema ini menyiratkan sebuah harapan agar ke 86 anak kelas VI SD yang diwisudakan hari ini mampu bertransformasi menjadi pribadi yang senantiasa dituntun dan dibimbing Allah, serta mengaplikasikan pendidikan yang mereka terima dalam kehidupan mereka setiap hari. Acara graduasi SD Notre Dame berjalan dengan lancar dan aman.

    Untuk diketahui, Yayasan Persekolahan Notre Dame sendiri merupakan lembaga pendidikan yang didirikan oleh Kongregasi Sr Notre Dame. Kongregasi Suster SND didirikan oleh Sr. Aloysia Wolbring, SND, dan berpusat di Roma.

    Kongregasi SND sudah berkarya di lebih dari 19 negara di seluruh dunia. Di Indonesia, sekolah Notre Dame sudah tersebar di beberapa wilayah, seperti di Puri Indah, Jakarta Barat, Grand Wisata Bekasi, Kupang NTT, Merauke, Tawangmangu, Pekalongan, Yogyakarta, Purbalingga dan di Palangkaraya.

    Visi utama sekolah Notre Dame ialah terwujudnya pelayanan Pendidikan yang unggul dan transformatif untuk menciptakan generasi bermartabat berlandaskan iman Katolik.

  • Menyontek dan Cita-Cita Bangsa

    Menyontek dan Cita-Cita Bangsa

    Indodian.com – Saat ini, menyontek sudah menjadi kebiasaan sebagian besar pelajar. Cara menyontekpun semakin ke sini semakin beragam dan canggih. Ada beragam alasan orang menyontek di antaranya tekanan mendapatkan nilai yang tinggi, kegagalan mengelola waktu, kurangnya motivasi belajar dan budaya tidak menghargai integritas akademik. Senada dengan data tersebut, professor of computer science, Erick Roberts seperti dilansir laman Stanford Report, mengatakan kegagalan mengolah waktu dan kurangnya motivasi belajar ditambah tekanan mendapat nilai tinggi membuat siswa stres dan membuat mereka melakukan berbagai cara untuk mendapat nilai dan salah satunya adalah menyontek.

    Tindakan menyontek akan menjadi sebuah kebiasaan bila tindakan tersebut mengalami keberhasilan pada percobaan perdana. Menurut Sarah Sparks dalam studies find cheaters overinflate academic ability, orang yang berhasil menyontek pada akhirnya akan menyontek lagi. Dengan alasan menenangkan hati, kebiasaan ini akan membuat seseorang mengalami ketergantungan dan dilakukan secara terus menerus dan kelak tindakan ini akan menjadi habitus.

    Konsekuensinya ialah degradasi moral pada seseorang yang sering menyontek. Kepekaan hati nuraninya akan tergerus. Rusaknya moral pada pelajar akan berdampak buruk bagi masa depan bangsa dan masa depan dunia pendidikan terutama integritas akademik, sehingga berdampak pada tergerusnya eksistensi cita-cita bangsa yang tertuang dalam undang-undang dasar tahun 1945 yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”.  

    Lalu bagaimana generasi atau pelajar saat ini bisa mencerdaskan kehidupan generasi bangsa yang akan datang, sedangkan menyontek sudah mengakar dalam tubuh generasi “pelajar” sekarang ini? Dilansir Verywellfamily, salah satu professor Rutgers University, Donald McCabe, melakukan survei yang melibatkan siswa sekolah menengah dan hasilnya 64% siswa mengaku menyontek saat ujian.

    Tindakan menyontek yang sudah mengakar dan perlahan menggerus eksistensi cita-cita bangsa akan merembes ke semua bidang hidupan baik ekonomi, politik dan lain sebagainya, karena dangkalnya  pemahaman akan ilmu pengetahuan. Tergerusnnya eksistensi cita-cita bangsa ini akan melahirkan masalah baru diantaranya; hilangnya rasa tanggung jawab, hilangnya rasa keadilan, hilangnya percaya diri yang akan berpengaruh juga pada moral dari orang yang manyontek tersebut.

    Dampak lain menyontek juga ialah berkurangnya daya kreativitas dalam diri, yang akan berdampak buruk bagi bangsa. Sumber daya manusia adalah hal yang vital bagi sebuah bangsa agar tetap terjaga persatuan dan kesatuannya. Tergerusnya eksistensi cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa akan menggerus juga cita-cita bangsa yang lain diantaranya menjaga kedamaian dan ketertiban dunia, karena mereka akan lebih mengandalkan otot daripada otak.

    Tergerusnya eksistensi cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa akan membuat bangsa ini kehilangnya arah. Hal ini berarti bahwa Indonesia akan kehilangan eksisistensinya jika nanti negara ini dipimpin oleh orang-orang tak bertanggung jawab seperti ini. Salah satu pengaruh dari menyontek ialah kurangnya daya kreativitas dan hilangnya rasa tanggung jawab.

    Rusaknya moral akibat menyontek akan berakibat fatal bagi sebuah negara karena sumber daya manusia yang tidak memadai yang akan merembes atau membias dan menimbulkan masalah-masalah  moral, seperti; orang lebih mengedepankan otot daripada otak (nalar), orang lebih memilih hal-hal yang bersifat instan tanpa berpikir matang-matang akan akibat dari perbuatan dan  orang yang  terbiasa menyontek akan mengabaikan suara hati.

    Mencerdaskan kehidupan bangsa akan sukar atau bahkan tidak dapat tercapai jika budaya menyontek tidak ditanggapi secara intens atau serius.  Karena sekolah-sekolah hanya menghasilkan benih-benih yang tidak baik, yang malah membuat bangsa dan generasi bangsa yang akan datang hancur dan kehilangan arah untuk melangkah mengapai cakrawala kesempurnaan terutama tercapainya cita-cita bangsa “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

    Oleh karena itu, pelajar perlu menghilangkan kebiasaan buruk ini dengan berani dan memulai langkah untuk keluar dari kenyamanan yang hanya sementara dengan bijak mengatur waktu belajar dan mengembangkan kreativitas dan daya pikir kritis.

  • SMP Notre Dame Wisudakan 70 anak Kelas IX

    SMP Notre Dame Wisudakan 70 anak Kelas IX

    Indodian.com-Sekolah Menengah Pertama (SMP) Notre Dame menyelenggarakan acara wisuda bagi 70 siswa angkatan ke-32 pada Rabu (12/6/2024). Puluhan lulusan ini diwisuda di Auditorium St. Julia Biliart Lt. 4 Sekolah Notre Dame, Kembangan, Jakarta Barat. 

    Kepada para wisudawan, Kepala SMP Notre Dame, Veronica Fanny Wijayanti, S.Pd, berpesan agar pendidikan yang telah diterima dimanfaatkan untuk terus meng-upgrade diri demi mempersiapkan masa depan yang cemerlang.

    “Mari kita terus membentuk pikiran, karakter, dan tindakan kita sesuai dengan nilai-nilai kebaikan, kebenaran, dan kasih agar kita menjadi agen perubahan di masa yang akan datang” ujarnya.

    Deni Tansil, perwakilan orangtua para wisudawan mengharapkan agar sekolah Notre Dame tetap mempertahankan kualitas sehingga terus menghasilkan generasi mendatang yang dapat diandalkan.

    “Saya mewakili orang tua mengucapkan terima kasih kepada kepala sekolah, guru-guru, dan pihak sekolah yang telah dengan sabar mendidik dan membimbing anak-anak kami sampai mereka lulus.”

    Kami sebagai orang tua terus berharap agar sekolah Notre Dame tetap mempertahan kualitasnya untuk menghasilkan generasi yang berkualitas,” lanjutnya.

    Senada, Jannya Wellen Chang yang mewakili para wisudawan juga menyampaikan terimakasih kepada para guru dan orang tua yang sudah mendidik dan mendukung mereka hingga bisa menyelesaikan jenjang pendidikan mereka di tingkat SMP.

    “Saya yakin, kami bisa sampai di tahap ini karena didikan dan dukungan dari para guru dan orang tua, lanjut Jannya.”

    Acara graduasi kali ini mengangkat tema Be Transformed, dan ayat Kitab Suci yang diambil dari Roma, 12: 2 “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah; apa yang baik, yang berkehendak kepada Allah dan yang sempurna”.

    Tema ini sejalan dengan visi dan misi dari sekolah Notre Dame yaitu mewujudkan pelayanan pendidikan yang unggul dan transformatif untuk menciptakan generasi bermartabat berlandaskan iman Katolik.

    Acara wisuda kali ini dimeriahkan dengan berbagai acara yang dibawakan oleh anak-anak SMP dan juga persembahan dari para wisudawan. Acara graduasi berjalan dengan lancar dan aman.

  • Sastra Jadi Mata Pelajaran

    Sastra Jadi Mata Pelajaran

    Indodian.com – Kalau saya ditanya, apa konsep atau desain saya tentang sastra masuk kurikulum (SD, SLTP, dan SLTA), maka kira-kira jawaban saya seperti ini.

    Hal awal yang perlu jelas adalah apa itu sastra dan apa yang akan ditransmisikan, “dikonstruksi-sosial”kan kepada anak didik (SD) dan pelajar remaja (SLTP dan SLTA). Kalau gitu, sastra yang dimaksud adalah sastra untuk anak didik SD dan sastra remaja (SLTP dan SLTA). Bukan sastra kanon orang dewasa, atau yang dianggap kanon.

    Katakanlah, sastra didefinisikan sebagai cerita/imajinasi/narasi/fiksi tentang kehidupan manusia dalam relasinya dengan lingkungannya. Memang, sastra mengandung berbagai dimensi tentang kehidupan yang kompleks.

    Dalam praktiknya, tujuan dari sastra anak dan sastra remaja adalah “untuk merebut” kesubjekan anak dan remaja. Subjek seperti apa yang diidamkan dari seorang anak dan remaja kelak ketika menjadi manusia dewasa.

    Biasanya sastra anak dan sastra remaja ditulis oleh orang dewasa. Memang ada juga yang dulis oleh anak-anak atau remaja, tapi biasanya juga melalui kurasi orang dewasa dan yang menerbitkan juga orang dewasa.

    Kita tahu, idaman bangsa, negara, masyarakat, orang tua, agama, biasanya tidak bisa persis sama. Baiklah, untuk keperluan ini, kita mungiin perlu berpihak untuk idaman bangsa, bukan negara, atau orang tua atau agama.

    Karena diharapkan, bangsa memiliki kekuatan dan kuasa tertentu untuk ikut memantau negara, orang tua, masyarakat, dan agama. Tapi, tetap negara (melalui pemerintah) yang menjadi motor penentunya.

    Misalnya, sebagai bangsa, subjek perlu tangguh moralnya, perlu punya wawasan (dan kesadaran) kebangsaan, perlu membuka keluasan imajinasi. Itu dulu, bisa ditambahkan lagi sesuai keperluan dan tujuan yang lebih beragam.

    Dengan demikian, dimensi dari definisi sastra yang perlu diartikulasikan adalah dimensi moral, yakni dan terkait dengan keteguhan “jiwa etis”, dalam prinsip kejujuran, keberanian, dan sportivitas.

    Sementara itu, wawasan kebangsaan meliputi semangat sejarah, legenda, mitos, dan ideologisasi yang kondusif bagi moral kebangsaaan dan (diharapkan) mendukung kehidupan bernegara. Dimensi dari definisi sastra yang perlu diartikulasikan adalah sastra dalam dimensi kebangsaan.

    Keluasan imajinasi terkait dengan kebebasan berpikir dan menjelajahi ruang-ruang yang beragam. Dengan kata lain, sastra perlu mengajarkan prinsip kemerdekaan berpikir dan kebebasan berpetualang. Dimensi dari definisi sastra yang perlu diartikulasikan adalah sastra yang membantu kebebasan berpikir dan menjadi petualang yang merdeka.

    Dari argumen di atas, baru kita memilih sastra yang direkomendasikan untuk dijadikan bahan pelajaran di kurikulum SD, SLTP, dan SLTA. Sebaiknya, memang sastra kanon yang hebat yang dipilih. Tentu sastra kanon yang sesuai dengan tujuan di atas.

    Hal yang lebih penting dari itu adalah berbagai sastra kanon itu perlu ditulis ulang untuk menjadi sastra anak dan sastra remaja. Untuk pelajar SLTA bisa secara bertahap dikenalkan langsung dengan karya sastra aslinya.

    Kenapa sastra kanon perlu ditulis ulang untuk dijadikan sastra anak atau remaja. Padahal, sastra anak dan remaja sudah sangat banyak. Dari sejumlah tesis dan disertasi tentang sastra anak/remaja yang sempat saya ikuti, terdapat tiga kesimpulan.

    Pertama, sastra anak dikembangkan dalam lorong agama tertentu, artinya bukan dalam koridor kebangsaan (dan nasionalisme). Kedua, adanya kekacauan antara jebakan kapitalisme dan Baratisasi di satu pihak, dan tradisionalisasi di sisi yang lain. Ketiga, banyaknya sastra anak adaptasi/semacam saduran bebas sastra dari luar Indonesia.

    Singkat kata, sastra anak yang banyak beredar tidak dalam anjungan moral, kebangsaan, dan keluasan imajinasi. Atau jika disatufrasekan, sastra anak tidak dalam moral kebangsaan yang imajinatif. Apalagi, sastra anak, dalam perjalanan sastra Indonesia, termasuk yang “diremehkan”, karena sastra Indonesia adalah sastra orang dewasa.

    Dengan demikian, sisi penting lain dari sastra masuk kurikulum adalah mengintegrasikan sastra anak sebagai sastra Indonesia. Atau, minimal membuat sastra anak/remaja berdasarkan hal-hal dan prinsip kanon, mengkanonisasi sastra anak. Prinsip integrasi menjadi penting.

    Penulisan ulang untuk sastra anak dan sastra remaja tersebut tentu secara teknis harus bisa dipertangungjawabkan dan diuji (dikuratori). Terlepas dari itu, penulisan ulang tersebut dengan mengartikulasikan tiga hal tersebut, dalam dimensi moral, wawasan kebangsaan, dan keluasan imajinasi.

    Sebagai misal, Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Belenggu, Bumi Manusia, Para Priyayi, dan berbagai sastra yang legendaris dan memenuhi syarat moral, wawasan kebangsaan, dan keluasan imajinasi, perlu ditulis ulang untuk versi sastra anak dan sastra remaja.

    Tidak tertutup kemungkinan bahwa kisah-kisah besar dalam sejarah Indonesia juga perlu ditulis ulang secara sastra, kisah para pahlawan nasional (bukan dalam perspektif lokal), dan berbagai kisah penting yang secara langsung berhubungan dengan keberadaan Republik Indonesia.

    Tidak semua sastra kanon dan peristiwa besar perlu ditulis ulang. Untuk sastra anak SD hingga kelas 3, cukup 10-15 karya, dan hingga kelas 6 ditambah lagi 10-15 karya. Untuk pelajar SLTP (sastra remaja), misalnya, 30 karya. Total sastra anak dan remaja yang ditulis ulang itu sekitar 50 hingga 60 karya.

    Seperti di atas, untuk SLTA bisa mulai diperkenalkan sastra aslinya. Tentu dengan berbagai pertimbangan yang matang. Kalau sekitar 60 karya yang bisa “dibakukan” itu bisa dipraktikkan secara maksimal, itu saja sudah banyak sekali.

    Mandat merebut subjek anak-anak (dan remaja) untuk diharapkan menjadi subjek seperti apa kelak tentu bernuansa semacam terjadinya kekerasan simbolik (termasuk kekerasan ideologis dan sosial). Akan tetapi, atas nama bangsa (dan negara) memang dimandatkan untuk mengurus itu.

    Sastra anak dan remaja itu juga akan bersaing dengan kekerasan simbolik dari masyarakat lokal-lokal yang bersikukuh membangun identitasnya. Identitas memang penting, tetapi bangsa (yang dimandatkan ke negara) justru perlu menjadi payung besarnya.

    Pemeluk agama, juga atas nama suku dan daerah, dapat diduga akan melakukan kekerasan simbolik dengan berbagai cerita dan wacananya sendiri-sendiri. Dalam hal ini, sastra masuk sekolah, atas nama moral, kebangsaan, dan keluasan imajinasi menjadi sangat penting.

    Peluang besar negara adalah negara memiliki sumber daya yang besar, mengendalikan hukum, dan kuasa administrasi dan birokrasi.  Dalam posisi ini, dan seperti telah menjadi peristiwa yang kita alami bersama, banyak kebijakan, strategi dan keputusan negara mendapat perlawanan dari masyarakat.

    Hal tersebut terjadi karena negara tidak memiliki konsep yang jelas dan matang, grusa-grusu, reaksional, dan yang paling memalukan adalah negara melakukan banyak politisasi dan manipulasi, termasuk terhadap sastra.

    Atau, dari kejadian yang baru saja bikin heboh, terlihat negara “baru sedikit tertarik” dengan kemungkinan (baru mungkin) perlunya sastra. Sastra sebagai media dan instrumentasi kehidupan berbangsa dan perlu terintegrasi dengan kurikulum.

  • Toleransi Melalui Dialog Antaragama Menuju Agama yang Moderat

    Toleransi Melalui Dialog Antaragama Menuju Agama yang Moderat

    Indodian.com – Sudah menjadi hal lumrah jika kita melihat fenomena tentang orang-orang yang secara terbuka menyampaikan ujaran kebencian terhadap agama lain dan bahkan dilakukan oleh petinggi agama tertentu, misalnya kasus penistaan agama, perusakan rumah ibadat dan ujaran kebencian. Aksi fanatisme ini sebenarnya sangat tidak sesuai dengan tujuan agama yang ideal, yaitu memperoleh kebenaran dan perdamaian (antara manusia dengan Tuhan yang Ilahi dan manusia dengan nomos). Perilaku seperti ini bermuara pada permusuhan antaragama serta penolakan total atau ekslusivisme.[1]

    Oleh karena itu, dibutuhkan perspektif dan cara baru bagi agama-agama di dunia untuk mencapai perdamaian antar agama dengan beragama secara moderat. Hal penting yang perlu dicapai sekarang adalah bagaimana agama-agama di dunia khususnya Indonesia mencari cara beragama yang benar, agama yang berusaha mencari keselarasan di tengah keberagaman agama. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai moderasi beragama. Dalam moderasi beragama ini, toleransi menjadi sebuah keniscayaan. Namun moderasi bukan hanya lahir begitu saja, dibutuhkan sebuah proses yang melibatkan seluruh institusi agama di dalamnya dan proses yang koheren adalah dialog antaragama.

    Moderasi : Beragama Sesuai Pancasila

    Kata moderasi berasal dari kata bahasa latin yakni “moderatio” yang berarti ke-sedang-an (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Dalam bahasa inggris, moderasi berarti moderation yang sering digunakan dalam istilah average (rata-rata) atau non-aliged  (tidak berpihak). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyediakan dua pengertian untuk istilah moderasi yaitu; pertama, pengurangan kekerasan; kedua, penghindaran keekstreman. Dapat disimpulkan bahwa moderasi berarti suatu sikap yang mengedapankan keseimbangan dalam hal keyakinan, moral, sikap dengan sebisa mungkin menghilangakan kekerasan dan keekstreman di dalamnya.

    Moderasi beragama sangat erat kaitannya dengan toleransi, karena moderasi menjamin terciptanya kerukunan dalam umat beragama, terutama dalam negara kita dengan realitas agama yang plural. Realitas yang harus diterima adalah bahwa negara kita merupakan negara yang hidup dalam keberagaman. Dalam hal ini, ada enam agama resmi yang diakui di Indonesia. Realitas  pluralistik agama sebenarnya menjadi mozaik yang memperkaya khazanah kehidupan keagamaan di Indonesia.[2]

    Dasar negara, Pancasila yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan mengharuskan setiap warga negara untuk bahu-membahu, secara bersama-sama menjaga agar keberagaman agama yang ada tidak menjadi pemecah bela bangsa. Di sisi lain realitas agama yang plural dengan segala kekhasannya juga mengandung potensi ancaman internal bagi NKRI (jika melihat kasus-kasus akibat dari lahirnya kelompok fundamentalisme agama tertentu). Karena itu, dalam meredam ancaman radikalisme, fanatisme dan ekstremisme yang lahir dari adanya paham fundamental, pemerintah mesti melibatkan peran aktif masyarakat hingga unit terkecil demi mewujudkan cita-cita Pancasila.

    Moderasi adalah suatu cara beragama yang berusaha menggali persamaan di antara agama-agama.  Memang benar bahwa semua agama itu sama, agama berasal dari Allah yang satu dan sama, maka mau tidak mau umat beragama pun harus terus memperjuangkan persatuan yang lestari.[3] Semua agama memiliki tujuan yang sama yakni mencari kebenaran dan bersama-sama berziarah pada Tuhan dalam kebenaran.

    Agama bukan dipandang sebagai tujuan, apalagi diidentikan dengan Tuhan, karena agama tidak bisa menyelamatkan orang melainkan iman akan Allah yang membuat kita selamat dan Allah itu kita jumpai dalam piranti yang kita sebut sebagai agama. Karena itu, sikap ekstremis yang mengklaim agamanya sebagai agama yang paling benar dan agama yang bisa mewakili otoritas Ilahi sungguh merupakan hal yang irasional, karena paham ini sungguh bertentangan dengan realitas agama sebagi piranti kepada Allah yang dicapai dalam damai.

    Dalam konteks ini, moderasi dipahami sebagai cara beragama yang menerima perbedaaan kepercayaaan yang dianut oleh agama lain sebagai suatu kebenaran. Wujud konkret dari moderasi beragama adalah lahirnya umat beragama yang saling menciptakan ruang bagi agama-agama lain agar mereka dapat mengekspresikan eksistensinya dengan leluasa kendatipun mereka itu agama minoritas.

    Menanggapi kenyataan bahwa semua agama itu benar, maka idealnya semua umat beragama harus menjalankan kehidupan agamanya secara benar. Agama-agama harus terbuka dengan ajaran agama lain, bukan berarti mencampuradukan agama mereka dengan agama lain, dan inilah yang dicapai oleh moderasi beragama. Moderasi dipandang sebagai cara baru yang sesuai dengan sila ketiga Pancasila bagi agama-agama dalam mempraktikan kehidupan religius terutama di era disrupsi, era yang menuntut kita semua untuk terbuka dengan perubahan. Konsep moderasi bukan hanya sebatas teori saja, akan tetapi perlu diwujudnyatakan dalam tindakan yang menjamin terwujudnya agama yang moderat, di sinilah lahir suatu metode pendekatan yakni dialog antaragama.

    Hakikat Dialog Antaragama

    Secarah terminologi, dialog berarti percakapan dua orang atau lebih dimana dilakukan pertukaran nilai-nilai yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Lebih lanjut dialog berarti pula pergaulan antar pribadi-pribadi yang selalu memberikan diri dan berusaha mengenal pihak lain sebagaimana adanya. Dalam konteks agama, dialog berarti pertemuan dan pembicaraan antar beberapa pemeluk agama yang membahas tentang masalah-masalah bersama baik mengenai teologi maupun non-teologi dengan perbedaan pandangan untuk memahami posisi orang lain. Dialog antaragama harus menjadi bagian agama-agama saat ini, dialog menjadi cara “berada agama” dalam kemajemukannya.

    Dialog adalah cara yang paling manusiawi untuk menjawab berbagai persoalan dan perbedaan dalam masyarakat. Dialog tidak menghilangkan perbedaan, akan tetapi menyadarkan dan mengajarkan kita akan adanya perbedaan dan menghargai serta menghormati perbedaan itu. Dialog bukan untuk membangun harmoni yang palsu, tetapi kebersamaan yang dinamis dan holistik.

    Indonesia di masa depan harus dibangun melalui dialog yang kreatif. Dialog tidak menghilangkan perbedaan, akan tetapi dialog menjadi ruang untuk menyumbangkan yang terbaik dalam khazanah iman untuk membangun peradaban manusia.[4] Dialog antaragama dipandang sebagai cara jitu untuk mengembalikan koeksistensi agama yang sebenarnya yakni mencari kebenaran dalam kedamaian.

    Dialog antaragama seperti yang telah disebutkan di atas mengandaikan dan mengharapkan adanya keterbukaan dan juga respek terhadap mitra dialog (umat beragama lain). Dialog tidak bisa berlansung jika pelaku tidak menerima kesetaraan mitra dialognya sebagai partner yang setara. Di dalam dialog tidak ada agenda terselubung, selain keterbukaan, hormat dan kasih.[5] Dialog menuntut sikap seimbang, sikap ikhlas dan keterbukaan terhadap pihak penganut  agama lain. Dialog bukan sekadar sebuah proses diskusi intelektual, melainkan lebih pada sebuah proses pembebasan dan sebuah pintu masuk ke dalam pengalaman religius, komitmen iman dan peribadatan serta mengadakan diri agama ke dalam lingkungan region kultural.

    Dialog yang Membumi

    Untuk mencapai tujuan seperti yang dicita-citakan, yakni terciptanya suatu agama yang moderat, dibutuhkan dialog yang membumi, realistik dan manusiawi. Dialog bukan menghasilkan suatu teori kerukunan atau persaudaraan di tengah pluralitas atau keadaan yang harmonis tetapi harus berdampak menciptakan suatu sikap penghargaan terhadap agama yang pluralis. Dialog harus nyata menyentuh kehidupan dan mengabdi kepentingan manusia banyak, bukan mengabdi suatu faham dan pemiliknya. Untuk menujuh ke arah itu, beberapa hal perlu dibangun.

    Pertama, membangun kembali konsep agama yang benar. Agama bukanlah suatu kendaraan yang penuh dengan perintah dan larangan yang akan mengantarkan pengikut yang taat kepada surga dan menghempaskan yang lain ke neraka. Agama harus dihayati sebagai suatu kesempatan mencintai yang Ilahi, yang mesti tidak dapat dipahami dan dijangkau dengan akal dan indera manusia tetapi selalu mendorong manusia untuk mencari dan mencintai.[6]

    Kedua, menyadari dan menerima kenyataan bahwa manusia adalah plural. Keberagaman manusia, termasuk dalam beragama adalah suatu fakta alami yang harus diterima dan diakui secara jujur dan ikhlas. Menerima orang lain apa adanya, juga dalam hal memeluk dan menjalankan suatu agama adalah bagian dari menerima pluralisme. Orang beriman dewasa adalah jika ia mampu keluar dan melampaui dirinya. Dengan begitu ia dapat memandang kepada semua, dapat semakin diperkaya dan didewasakan.

    Ketiga, mengembalikan agama pada tingkat kesadaran yang dibangun oleh pribadi yang otonom. Pada dasarnya beragama adalah suatu hak azasi manusia, yang pada akhirnya akan dipertanggungjawabkan secara pribadi pula oleh yang bersangkutan. Maka beragama adalah sebuah aksi pribadi, secara pribadi dengan yang pribadi.

    Keempat, memperdalam penghayatan hidup beragama baik dalam kaitan hubungan dengan Tuhan, juga dalam hubungan dengan manusia lainnnya. Menjalankan agama tidak berhenti pada kesadaran mentaati suatu perintah dan aturan tetapi harus menjangkau kesadaran yang dalam yakni mengimani Tuhan dengan segala perbuatan dan resikonya. Beragama harus pelan-pelan beriman. Manusia selamat bukan karena taat atas berbagai aturan dan bebas dari berbagai larangan melainkan kasih akan yang Ilahi.[7]

    Kelima, berani membangun kembali hubungan yang rusak antar penganut agama dengan suatu rekonsiliasi yang tulus. Keberanian memberi dan meminta maaf adalah suatu bagian upaya rekonsiliasi menyeluruh. Keberanian melihat lembaran hitam sejarah kehidupan beragama dimasa lalu, seperti berbagai pertikaian berdarah yang berlarut-larut, harus menjadikan pemeluk agama di masa kini berani membuka jendela paradigma baru beragama.

    Dialog Antaragama : Paradigma Etis Mencapai Agama yang Moderat

    Suatu hal yang menjadi pencarian semua masyarakat dunia saat ini adalah perdamaian. Salah satu ungkapan terkenal dari Hans Kung adalah “tidak ada perdamaian dunia tanpa adanya perdamaian antar agama (moderasi) dan tidak ada perdamaian antar agama tanpa melalui dialog antaragama”.[8] Konflik antaragama berdampak pada instabilitas politik yang bermuara pada kehancuran dunia. Dialog antaragama hadir dalam situasi ini dengan harapan agama-agama bisa bersama mencari keutamaan moral tertinggi (kebenaran) dan menghindari perdebatan tanpa makna yang lahir di antara agama.

    Agama yang moderat adalah beragama yang berdasar atas asas perdamaian. Beragama secara moderat menjamin terwujudnya perdamaian dunia dan moderasi itu mesti melalui pendekatan deduktif yaitu dialog antaragama. Dialog antaragama melahirkan gerakan solidaritas dan “prefential option of the poor and the opperessed” dan ini menjadi gerakan kolektif agama-agama.

    Melalui masalah sosial kemanusiaan yang pelik saat ini, seperti kemiskinan, ketidakadilan dan  marginalitas, masalah-masalah ini bukan menjadi masalah pribadi bagi agama tertentu yang bisa diselesaikan oleh satu agama saja, apalagi dengan membenarkan sikap fanatis yang mengklaim agama tertentu sebagai agama afdol untuk menyelesaikan masalah universal tersebut.

    Masalah kemiskinan, ketidakadilan dan marginalisasi justru akan menjadi masalah abadi jika agama-agama membangun sikap ekslusif dan paham fundamentalis. Persoalan kemanusiaan semestinya harus dipikirkan bersama-sama oleh agama-agama. Persoalan demikian mesti melibatkan seluruh agama dan perlu adanya dialog untuk mencapai tujuan itu. Persoalan kemanusiaan menjadi magnet yang menyatukan perbedaan antar agama dan mungkin setiap agama bisa duduk bersama dalam dialog dengan agama lain merancang gagasan-gagasan programatif mengatasi persoalan- kemanusiaan yang menggurita.[9] Keberhasilan agama dalam memecahkan problem sosial dapat mengembalikan entitas agama pada hakikat aslinya yakni membawa damai dan menemukan kebenaran hidup baik ragawi maupun rohani.

    Agama saat ini bukan lagi memikirkan pewartaan radikal agamanya kepada sesama umat yang sudah beragama, atau agama menjadi institusi yang otoriter serta bermisi secara “kasar”, akan tetapi sekarang soal bagaimana agama bereksistensi dalam keberagamannya dan mesti membangun dialog bersama agama lain agar bisa menyelesaikan masalah sosial universal yang merajam kemanusian. Dan inilah semestinya  dikenal sebagai beragama secara moderat, yang tidak mempersoalkan perbedaan teologi dalam agama akan tetapi agama bersatu dalam dialog untuk  mengembalikan agama pada hakikat sesungguhnya.

    Agama-agama adalah sebuah kekayaan rohani yang tak ternilai harganya. Di dalamnya mengandung pengalaman kerohanian yang telah mengarungi luasnya sejarah dan mengatasi batas-batas etnis dan budaya. Berhadapan dengan keberagaman agama, yang dibutuhkan adalah sebuah dialog yang dialogis dimana di dalamnya terdapat usaha saling memahami dan menyuburkan, yang mengarah kepada kesatuan dalam perbedaan atau unitas dalam pluralitas di mana antara agama-agama harus terjadi hubungan timbal balik yang saling membangun dan mendukung. Dialog yang dialogis mengandaikan setiap orang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang dalam dan luas mengenai agama partner dialog  sehingga tidak menafsirkan agama lain berdasarkan frame of referrencenya, tetapi berdasarkan frame of reference agama lain tersebut.[10]

    Sikap terbuka dan toleran dalam dialog menjadi kunci bangunan hubungan sejati dan berhasil antar agama-agama di dunia. Dialog antaragama sudah menjadi suatu yang urgen untuk dilakukan oleh agama-agama di dunia di era disrupsi ini. Dialog antaragama semestinya menjadi cara berada agama, melaui dialog akan tercapai pola pikir sekaligus pola tindak terwujudnya moderasi beragama, agama yang memahami masalah sosial universal masyrakat.

    Daftar Rujukan


    [1] Amalorpavadas, D.S. “ Kelompok FABC: Laporan Sidang Pleno” Dalam George Kirchberger Dan John Prior (eds), Antara Bahterah Nuh dan Kapal Karan Paulus, jilid I ( Ende : 1997, Nusa Indah ), hlm.22

    [2] Donatus Renggo, Pancasila dan Dialog Antaragama di Indonesia dalam EDUCARE Vol.II Edisi 2018. Hlm.172.

    [3] Ibid. Hlm.173.

    [4] George Kircherbrger, SVD & Jhon Mansford Prior, SVD (Editor), Antara Bahtera Nuh dan Kapal Karam Paulus Jilid II(Ende: 1997, Nusa Indah ), Hlm.217.

    [5] Ibid., hlm.9.

    [6] Agustinus, Pengakuan-Pengakuan (terj.:Ny. Winarsih Arifin & Dr. Th. Van den End. Yogyakarta: 2001, Kanisius dan Jakarta: BPK Gunung Mulia), hlm.287.

    [7] Caputo, John D. Agama Cinta, Agama Masa Depan (terj: Martin L. Sinaga. Bandung: 2003: Mizan), hlm.79.

    [8] Krispurwana Cahyadi SJ, Benediktus XVI ( Jakarta: 2019: Obor ), Hlm. 23.

    [9]Dr. Max Regus & Fidelis Den (Editor), Mengutip Frans Sales Lega, Dokumen Abu Dhabi dan Implikasinya Terhadap Dialog Interreligius di Indonesia, dalam Omnia In Caritate ( Jakarta: 2020: Obor), hlm. 306.

     

  • Tolong, Dengarkan Suara Hati! (Subjek Cinta dan Seni Mendengarkan)

    Tolong, Dengarkan Suara Hati! (Subjek Cinta dan Seni Mendengarkan)

    “Masuklah ke telingaku,” bujuknya.

    Gila:

    ia digoda masuk ke telinganya sendiri

    agar bisa mendengar apa pun

    secara terperinci – setiap kata, setiap huruf,

    bahkan letupan dan desis

    yang menciptakan suara.

    “Masuklah,” bujuknya.

    Gila! Hanya agar bisa menafsirkan sebaik-

    baiknya apa pun yang dibisikkannya

    kepada diri sendiri.

    (Sapardi Djoko Damono)

    Cinta sedang berada dalam kondisi krisis. Cinta diasingkan oleh pelbagai produk, iklan, merek, label, simbol, aplikasi filter telepon cerdas, manusia yang narisistik, konsumerisme, wabah pornografi, dan waktu yang padat. Cinta lebih mudah ditemukan dalam quotes, selfi, gambar, video, dan emoji/emotikon di dunia digital daripada di dunia nyata sehari-hari.

    Masyarakat sekarang ini lebih gandrung membagikan (share) cinta kepada sesama dalam bentuk quotes, selfi, gambar, video, dan emoji/emotikon daripada menjalani, dan berdialog dengannya. Ketika cinta berubah menjadi quotes, selfi, gambar, video, dan emoji/emotikon, maka cinta tidak lebih dari teks, gambar dan video yang berlalu-lalang di dunia digital. Hal ini disebabkan oleh beberapa penyebab seperti nomofobia, smombi, dan bailan, yang menjadi ciri masyarkat sekarang ini. Ketiga ciri masyarakat ini membuat waktu tidak lagi cair, tetapi padat.

    Waktu tidak bisa toleransi terhadap manusia yang malas, tidur-tiduran, suka pesta, dan tidak disiplin. Manusia harus bekerja keras, dan disiplin terhadap waktu yang dikendalikan oleh pemilik modal. Ketika waktu dikuasai dan dikontrol oleh pemilik modal, maka pekerja harus mengejar waktu dengan membeli/menjual tenaga kepada pemilik modal, dan mengisinya dengan pekerjaan-pekerjaan berat yang membuatnya dapat bertahan hidup.

    Pemilik modal menjual waktu kepada para pekerja dengan memproduksi produk-produk (kebutuhan-kebutuhan) yang sengaja diciptakan. Kalau para pekerja membeli waktu dengan menjadi pekerja di dalam perusahaan pemilik modal, para konsumen (dan juga para pekerja) membeli waktu yang dikendalikan pemilik modal itu dengan mengonsumsi produk-produk yang sengaja dibutuhkan itu.

    Para pekerja dan konsumen tidak hanya membeli waktu pemilik modal, tetapi juga menyerahkan diri kepada perampasan melalui waktu. Para pekerja bekerja untuk memproduksi barang dengan merek tertentu di perusahaan. Di ruang produksi, pekerja adalah pembeli waktu menjual tenaga. Akan tetapi di luar ruang produksi, pekerja adalah konsumen dari barang yang diciptakannya dengan modal pemilik modal di ruang produksi. Contohnya, para pekerja di pabrik Iphone; mereka adalah para pekerja yang membeli waktu dengan menjual tenaga di ruang produksi Iphone, tetapi untuk mendapatkan Iphone yang mereka hasilkan itu, mereka harus menyerahkan kembali upah yang sempat mereka dapatkan dari hasil pembelian waktu dengan menjual tenaga mereka di pabrik Iphone. Artinya, meskipun mereka adalah pekerja di ruang produksi Iphone, namun demikian mereka juga dalah para konsumen ketika berada di luar ruang produksi Iphone. Dua hal yang ditekankan di sini yakni kuasa-kendali pemilik modal lewat waktu dan produksi ruang. Di sini waktu berubah menjadi alat kontrol dan kuasa pemilik modal.

    Ketika waktu menjadi alat kontrol dan kuasa atas para pekerja, para pekerja tidak bisa mengekresikan kebebasannya. Kebebasan mereka yang tampak dalam menggunakan waktu luang di luar waktu produksi dan ruang produksi,  misalnya, bermain media sosial dengan Iphone, adalah keuntungan bagi perusahaan Iphone, karena mereka telah mengonsumsi barang yang dihasilkannya di ruang produksi Iphone. Sekalipun para pekerja tidak bekerja di ruang produksi Iphone untuk meningkatkan keuntungan Iphone, mereka tetaplah menjadi organ seksual yang mereproduksi Iphone ketika mereka menggunakan Iphone untuk mendapatkan keuntungan lebih—misalnya dengan membuat konten, game atau sekadar bermain media sosial dengan Iphone—di luar ruang produksi Iphone. Di sini para pekerja yang juga merupakan konsumen adalah tuan dan budak dalam dirinya sendiri.

    Waktu yang padat ini mengontrol dan mengatur cinta, erotisme, perhatian (suara hati), kepedulian (nurani kemanusiaan) dan penilain moral-etis dari para pekerja pada khususnya, dan konsumen pada umumnya. Akibatnya para pekerja tidak punya waktu untuk membagikan cinta, bahkan di rumahnya sendiri. Membagikan cinta berarti memberikan ruang hati yang luas kepada subjek-subjek yang membutuhkannya. Tindakan komunikatif “membagikan cinta” mengandaikan adanya ruang dialog terbuka tanpa syarat antara dua subjek yang saling mencintai: Ketika subjek yang satu membagikan cintanya kepada subjek yang lain, subjek yang lain menerima cinta itu dengan mendengarkannya.

    Mendengarkan berarti membiarkan cinta dari subjek yang satu masuk secara penuh ke dalam hati subjek yang lain. Saya tidak menggunakan term “objek” dalam hal cinta dan mencintai, karena cinta mengharuskan sikap kesalingan-setimpal. Cinta tidak memandang yang lain sebagai objek, karena ketika saya mengatakan saya mencintai Anda, saya sedang mengatakan saya mencintai diri saya sendiri. Sang subjek mencintai sang subjek, bukan sang subjek mencintai sang objek.

    Cinta tidak melihat ukuran yang diberikan subjek yang satu kepada subjek yang lain, karena seperti kata Santo Fransiskus dari Sales, “ukuran cinta adalah mencintai tanpa ukuran”. Subjek yang satu tidak bertanya kepada subjek yang lain, mengapa kamu mencintai saya, karena pertanyaan itu membutuhkan alasan, kriteria, dan persyaratan mencintai. Terhadap kedalaman dan keluasan cinta ini, saya teringat puisi Surat Cinta karya Goenawan Mohamad:

    Bukankah surat cinta ini ditulis

    ditulis ke arah siapa saja

    Seperti hujan yang jatuh ritmis

    menyentuh arah siapa saja

    Bukankah surat cinta ini berkisah

    berkisah melintas lembar bumi yang fana

    Seperti misalnya gurun yang lelah

    dilepas embun dan cahaya.

    Penyair memahami bahwa universalitas cinta melampaui sekat-sekat ukuran, kriteria, syarat-syarat dan alasan-alasan. Kita tidak bisa mempersoalkan dari mana saya mencintai Anda dan bukan dia, karena kita tidak tahu dari mana cinta datang. Tetapi hati saya begitu girang dan berdebar-debar ketika Anda berada di depan saya. Bahkan ketika orang-orang menyebut nama Anda saja, saya merasa Anda milik saya sepenuhnya.

    Saya tidak mau lagi ada yang datang mengganggu dan merusak Anda, karena itu tugas saya ialah menjaga dan melindungi Anda sebab di dalam hati Anda cinta saya bersemi dan bertembuh. Ketika Anda dirampas dan dihancurkan oleh orang lain, saya pun ikut terhancur, karena yang hancur bukan hanya Anda, melainkan juga saya yang hidup di dalam Anda. Karena itu, cinta sejati tidak akan saling mengobjekkan atau merampas atau merusak tubuh subjek yang lain.

    Pada 1864 Emily Dickinson melukiskan kesejatian cinta dengan amat dalam dalam puisinya:

    Love – is anterior to Life –

    Posterior – to Death –

    Initial of Creation, and

    The Exponent of Earth –

    Cinta tidak memperhitungkan pengorbanan demi pengorbanan, meskipun cinta sarat akan pengorbanan demi pengorbanan. Cinta tidak memperdagangkan waktu. Bagi dua subjek yang saling mencintai, cinta abadi, dan seperti kata Sapardi Djoko Damono, “yang fana adalah waktu”. Cinta memeluk dan mengatasi waktu kita secara penuh; ia memulihkan masa lalu, menyelamatkan masa depan, dan rela berkorban pada masa kini.

    Subjek yang mencintai tidak takut akan bahaya dan mati, karena “cinta itu lebih kuat daripada maut… Air yang banyak tidak dapat memadamkan cinta, sungai-sungai tidak dapat menghanyutkannya. Sekalipun orang memberi segala harta benda rumahnya untuk cinta, akan tetapi ia pasti akan dihina” (Kidung Agung, 8:6-7, versi Bahasa Spanyol). Pengorbanan cinta mengandaikan keterbukaan hati untuk diperkaya dengan hal-hal baru. Hati yang mencinta sarat akan kepedulian, kemurahan hati, kesabaran, keterbukaan, solidaritas, dan pengorbanan.

    Hati yang mencinta sangat peka terhadap realitas sosial yang bertentangan dengannya, seperti penindasan, perampasan, akumulasi, dan kejahatan-kejahatan lainnya. Karena itu suara hati berbisik kepada subjek yang mencintai subjek yang lain untuk mempersoalkan realitas sosial yang tampaknya baik-baik saja, tetapi ternyata sedang direkayasa oleh kekuatan-kekuatan besar.

    Suara hati tidak diciptakan. Suara hati tidak dapat dihadirkan. Suara hati lahir dalam diri subjek yang mencintai subjek yang lain, bukan dalam diri subjek yang merampasa dan mengakulasi subjek yang lain demi keuntungannya. Subjek yang mencintai subjek yang lain mampu mendengarkan dan merealisasikan isi suara hati itu. Itulah yang dapat disebut sebagai nurani kemanusiaan. Nurani kemanusiaan tidak mengotak-ngotakkan atau membagi masyarakat dalam kelas-kelas sosial berdasarkan kepentingannya masing-masing, karena kepentingannya adalah kemerdekaan kemanusiaan universal dan kelestarian alam semesta.

    Akan tetapi dengan timbul dan makin maraknya quotes, selfi, gambar, video, dan emoji/emotikon, suara hati makin tidak terdengar lagi, dan dengan demikian cita rasa kemanusiaan pelan-pelan menghilang. Kebutuhan dasar yakni dicintai dan didengarkan oleh subjek yang lain telah digantikan oleh quotes, selfi, gambar, video, dan emoji/emotikon yang beredar di media sosial. Semuanya itu telah menjadi opium yang meninabobokan masyarakat dari pelbagai kejahatan dan ketimpangan sosial. Itulah sebabnya masyarakat begitu mudah terpapar depresi dan bunuh diri. Depresi dan bunuh diri tidak lain merupakan puncak dari konsumerisme, dan pornografi (penelanjangan kemisterian dan kekudusan hidup). Masyarakat seperti itu sengaja diciptakan oleh kapitalisme neoliberal.

    Kapitalisme neoliberal memerintah masyarakat agar selalu bekerja, bekerja, dan bekerja. Kapitalisme neoliberal meningkatkan produktivitas produksi, kinerja pekerja yang lebih, tutuntan yang berlebihan dan informasi yang berlebihan dalam masyarakat. Kapitalisme neoliberal membuat masyarakat berkomunikasi secara berlebihan lewat emoji/emotikon, pesan suara, dan pesan teks digital, dan menghentikan komunikasi intersubjektivitas sehari-hari. Komunikasi lewat emoji/emotikon, pesan suara, dan pesan teks digital lebih berciri omniprensencia dan omnipotente daripada komunikasi verbal yang hanya dilihat sebagai ausencia.

    Kapitalisme neoliberal menciptakan sampah dalam cloud otak masyarakat digital, dan kemudian masyarakat digital bekerja keras membersihkan sampah itu dengan pulse yang disediakan oleh kapitalisme neoliberal sendiri. Kapitalisme neoliberal mengubah masyarakat menjadi apa yang disebut oleh Byung-Chul Han (2023) “masyarakat kelelahan”, karena tekanan kerja terus-menerus dan persaingan bebas tanpa kendali.

    Masyarakat kelelahan tidak punya waktu untuk membagi cinta dan mendengarkan subjek yang lain, sebab mereka sibuk bekerja, bekerja, dan bekerja supaya bisa bertahan hidup di tengah persaingan hidup yang ketat. Bagi mereka, waktu tidak lagi cair, tetapi padat yang mengontrol dan mengatur kebebasannya. Terhadap fenomena ini, Byung-Chul Han dalam bukunya La Expulsión de lo Distinto. Percepción y comunicación en la sociedad actual, terj. Alberto Ciria (2022) mengatakan, “pada masa mendatang akan ada, mungkin, sebuah profesi yang disebut pendengar. Dengan imbalan pembayaran, pendengar akan mendengarkan orang lain dengan memperhatikan pada apa yang dia katakan. Kita akan pergi ke pndengar karena, selain dia, hampir tidak akan ada orang lain yang tersisa untuk mendengarkan kita. Hari ini kita sedang kehilangan kemampuan untuk mendengarkan.”

    Itulah yang terjadi di rumah masyarakat sekarang ini. Masyarakat terutama yang hidupnya sibuk dengan telepon cerdas dan tidak lagi membagi cinta kepada sesamanya dengan mendengarkan adalah masyarakat smombi. Ketika rumah sudah dihuni oleh individu-individu smombi, nomofobia dan bailan, makan rumah itu serentak berubah menjadi rumah sakit jiwa digital dan penjara nurani kemanusian.

    Untuk mendapatkan kembali “rumah” dan cinta yang ditenggelamkan itu, subjek-subjek yang saling mencintai harus menutupkan mata, dan mendengarkan suara hati. Suara hati tidak membutuhkan headset, earphone, speaker aktif atau salon-salon besar, tetapi hati yang terbuka, mata yang tertutup, dan telinga yang mendengarkan. Suara hati tidak diciptakan, dan tidak juga dapat dihadirkan. Dan untuk membedakan antara suara hati nurani dan suara-suara lain yang narsistik, diharuskan untuk melakukan discernment.

    Ada begitu banyak orang di luar sana, dan mungkin Anda juga adalah korban dari perampasan melalui klik dan like ini, sebab klik dan like adalah alat kontrol dan kuasa-kendali atas kebebasan kita semua. Ketika Anda menutupkan mata, membuka hati, dan mendengarkan suara hati Anda, Anda tidak hanya sedang berkontemplasi tentang cinta dan hati nurani, tetapi lebih dari, Anda sedang berfilsafat (refleksi sitematis Anda atas hakikat realitas, keterpahaman realitas, dan sikap Anda terhadap realitas). Tolong, dengarkan suara hati Anda!