Oleh Tommy Duang
Inodian.com – Selain Manchester City, Chelsea adalah satu-satunya klub yang berhasil membangun stabilitas luar biasa musim ini. Atas nama stabilitas ini, saya—penggemar berat Madrid yang dibantai Chelsea di semifinal—mengakui dengan bangga bahwa Chelsea adalah tim yang paling layak bermain kontra Manchester City di Istanbul 25 Mei nanti.
Selamat untuk Manchester City, selamat untuk Chelsea. Final yang akan ditampilkan nanti adalah final ideal, final antara dua tim yang punya kelas masing-masing, tim dengan tingkat stabilitas, efisiensi, dan efektivitas yang tak terbantahkan.
Baca Juga : Korupsi dan Ketidakadilan Gender
Baca Juga : Milenial dan Pendidikan Vokasi
Lolos dengan agregat meyakinkan, perjalanan kedua raksasa Inggris ini terlihat mudah. Namun ternyata, proses meraih agregat itu tidak sesederhana kelihatannya. Ada usaha keras meracik strategi, memetakan kekuatan tim dan mempelajari pola permainan lawan. Dan yang paling penting kegigihan mempertahankan gaya, kekhasan dan stabilitas.
Kegigihan semacam inilah yang hilang dari Real Madrid di Stamford Bridge. Madrid kehilangan gaya, kekhasan, dan stabilitas dalam laga ini. Zinedine Zidane sepenuhnya bertanggungjawab.
Zidane dan Dua Kekeliruannya
Di tangan Tuchel, laju Real Madrid terhenti. Permainan Chelsea memang sangat mengagumkan; mereka layak menang, bahkan dengan jumlah gol lebih dari dua, tapi Zidane berkontribusi besar atas lolosnya Chelsea ke Istanbul.
Sekurang-kurangnya, Zidane membuat dua kekeliruan fatal dalam laga semifinal ini.
Baca Juga : Kemenangan Barcelona di Mata Seorang Madridista Setengah Moderat
Baca Juga : Perjalanan Panjang El Barca Sebelum Buka Puasa di La Cartuja
Pertama, secara mengejutkan Real Madrid tampil mendominasi, dalam arti berlama-lama memegang bola (Enam puluh dua persen dan untuk tim seperti Real Madrid presentase itu kadang seperti bunuh diri). Ini jelas keliru sebab dengan demikian efektivitas dan efisiensi permainan mereka menurun. Dengan mendominasi penguasaan bola, esensi permainan Madrid lenyap.
Mereka tidak lagi efektif. Padahal efektivitas adalah adalah satu-satunya kualitas yang menghantar mereka sampai di Stamford Bridge—juga dalam dua kemenangan di El Clasico musim ini.
Zidane mencoba berjudi, saya kira, menukarkan efektivitas itu dengan permainan indah. Seperti Barcelona, para pemain Madrid, setidaknya dalam laga ini, mulai mendewakan perpindahan bola dari kaki ke kaki sembari mengincar peluang untuk satu, dua atau tiga gol cantik.
Baca Juga : Catatan Pendek Pasca Pekan Berat Real Madrid
Baca Juga : Pengorbanan Melahirkan Kehidupan
Tapi mereka bukan Barcelona dan barisan pertahanan Chelsea terdiri dari tiga lapis; ada Kante yang menutupi seluruh lapangan (Bumi ditutupi enam puluh persen air dan sisanya ditutupi Ngolo Kante), dan di belakang dia ada tiga tembok sejajar ditambah penjaga gawang super tangguh. Masalahnya di situ.
Berlama-lama dengan bola hanya akan membuat tiga barisan pertahanan ini memperketat penjagaan. Madrid belum cukup teruji membongkar pertahanan dengan tingkat konsentrasi tinggi semacam itu.
Maka satu-satunya cara adalah membiarkan Chelsea memegang bola, mengkoordinasi serangan dan kemudian sedikit melonggarkan pertahanan—seperti yang dilakukan Livepool dan Barcelona. Dengan demikian Kecepatan Vinicius dan Hazard dalam urusan serangan balik dapat dimanfaatkan. Namun sayang sekali, Zidane tidak membiarkan itu terjadi.
Kekeliruan kedua ada pada pergantian pemain. Sisi kiri pertahanan Madrid baik-baik saja ketika masih dijaga Ferland Mendy. Memang pemain Prancis itu masih dalam tahap pemulihan, tapi pertahanan kiri Madrid menjadi kocar-kacir ketika dia ditarik keluar.
Baca Juga : Menikmati Wisata Kopi Detusoko
Baca Juga : Masyarakat Risiko, Terorisme, dan Kemanusiaan Kita
Bahkan seharusnya—Saya awam bola, silahkan bantah analisis ini—Zidane menarik keluar Eder Militao dan memasukkan Fede Valverde lebih awal. Duet Militao-Nacho memang telah terbukti tangguh, tapi itu sebagai pemain bertahan di tengah, bukan sayap. Dan terlihat, dalam laga ini kontribusi bek sayap dalam urusan menyerang sangat minim—sama halnya ketika bertahan.
Kekeliruan rotasi yang lain, misalnya dengan memasukkan Rodrygo Goes dan menarik keluar Casemiro. Rupanya pertanyaan provokatif Netizen +62,“Panik nggak?” telah sampai di telinga pelatih berpaspor Prancis itu. Pergantian ini, sorry, murni lahir dari situasi keterpaksaan.
Casemiro adalah tulang punggung, titik tengah, dan penjaga keseimbangan permainan tim. Menarik keluar Casemiro untuk memberi tempat pada pemain seperti Rodrygo Goes yang tidak punya kemampuan “menabrak tembok,” seperti berjudi pada balapan kuda di mana engkau bertaruh pada kuda kaki pincang—yang sedang sesak napas. Peluang menangnya di bawah nol.
Baca Juga : Merawat Simpul Empati
Baca Juga : Colin Crouch tentang Post-Demokrasi
Akan tetapi amat tidak adil bila menimpahkan semua tanggung jawab ini pada Zidane. Dia pelatih hebat—siapa pun tidak meragukan itu—hanya saja Tuchel dan Chelseanya telah menjadi jauh lebih hebat. Seperti telah dikatakan di atas, Chelsea layak menang, mereka berhasil menunjukkan kelasnya. Dengan atau tanpa kekeliruan Zidane, mereka akan tetap terbang menuju Istanbul.
Zidane, Tuchel dan Tuhan
Ini bagian yang sama sekali lain. Ketika menulis analisis di atas, saya melihat story WA Achen da Cruz dan Ando Sola (Warga Catalonia kelahiran Mataloko, Ngada dan tadi malam bermigrasi ke London). Itu foto hasil tangkapan layar kisah rekaan—entah ditulis siapa—yang diberi judul “Zidane dan Tuchel di Penghakiman Terakhir.”
Percakapan itu kira-kira begini.
Tuchel: Lapor, Tuan. Ja’o (saya) telah kembangkan talenta yang Tuan beri. Hasilnya, ja’o memperoleh laba dua talenta. Terimalah ini sebagai hasil persembahan ja’o. Anggap ini sebagai pengganti koro (lombok).
Tuhan: Bagus kerjamu, bro. Mantap, mantap. So, Nong yang di sebelah, bagaimana?
Zidane: Hehehe, Tuan. Aman le. Sepanjang pertandingan kami lebih banyak kuasa bola. Sampe 62% ni …
Tuhan: Bagus, bagus, Zi … Terus?
Zidane: Aihh, Tuan buka Google saja leee. Trending tu…
Tak terbayangkan (bisa suruh Tuhan buka google ni). Ini sisi lain dari sepak bola, terutama kalau engkau hidup di daratan Flores dan memuja Madrid, atau Barcelona. Kutipan di atas adalah bagian paling kreatif dari olok-olokan yang muncul setelah kekalahan salah satu dari keduanya.
Kecil kemungkinan olok-olokan kreatif di atas berasal dari pendukung Chelsea. Itu (pasti) dari penggemar dadakan, atau dalam istilah konjak oto kol di Manggarai Timur, para penumpang jalan. Biasanya penumpang jalan atau penggemar dadakan ini adalah cules, penggemar Barcelona yang tidak kuat jantung melihat Madrid berjaya.
Tapi tidak semua mereka mau disebut penggemar dadakan. Ada yang dengan terang-terangan mengakui bahwa dirinya adalah pembenci Madrid. Teman saya, misalnya, menulis di dinding facebook dan story WA begini,
“Kami bereuforia bukan atas kemenangan Chelsea, melainkan atas kekalahan Real Madr-id. Team apa pun yang menang, intinya Real Madrid kalah. Itulah alasan kami bereuforia. Jadi stop menuduh kami fans dadakan Chelsea. Kami bukan fans dadakan Chelsea, melainkan haters Real Madrid.”
Inilah indahnya dunia bola di luar lapangan sepak bola. Saya bisa saja menulis kalimat atau paragraph yang sama (saya pernah melakukannya) saat Barcelona kalah. Itu terasa nikmat, dan olok-olokan di luar lapangan, telah menjadi semacam nyawa cadangan bagi jagat raya sepak bola.
Nyawa cadangan. Sebagai bagian penting dari dunia sepak bola, kita—Madridista yang sedang berduka dan Cules yang sedang berbahagia di atas penderitaan dan kejayaan orang—hidup juga dari nyawa cadangan ini.
Di tengah teror kematian random oleh Covid-19, kita butuh sedikit hiburan dan goncangan tambahan. Dunia bola adalah salah satu sumbernya.
Terima kasih Real Madrid, terima kasih Barcelona dan profisiat untuk dua tim yang akan berlaga di Istanbul 25 Mei mendatang.
Persetan! Siapa pun dari antara kamu dua yang angkat piala, saya tidak peduli. Yang penting bukan Barcelona!