Masyarakat yang Terburu-buru

- Admin

Sabtu, 16 Desember 2023 - 18:31 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Todas las cosas bajo el sol tienen un tiempo y un momento.
¿Qué ganancia saca el trabajador de sus fatigas?
(Eclesiastés, 3:1;9)

Indodian.com-Semua manusia di bawah matahari harus kerja, kerja, dan kerja. Manusia adalah pekerja, termasuk waktu istirahat kerja, tidur, pesta, berdoa, meditasi, dan kontemplasi. Konsekuensi dari kelahiran ialah bekerja, dan akibat dari kemalasan ialah kematian. Apa pun pekerjaan kita, kita harus bekerja! Kalau kita tidak bekerja, siapa yang akan memberikan kita makan-minum, dan rumah gratis? Kalau kita berani tidak kerja, kita akan menggadai kehidupan kita atau mempercepat kematian kita. Karena itu, sekali lagi, apa pun pekerjaan kita, kerjakanlah! Sesungguhnya kita sedang hidup di dunia yang terburu-buru, di mana kita tidak diatur oleh waktu.

Sejak lama para filsuf merefleksikan dan memberi pemahaman tentang waktu sesuai ritme zamannya. Ada yang mengatakan waktu berjalan sirkular. Ada pula yang berpendapat bahwa waktu berjalan linear. Ada yang mendefinisikan waktu sebagai yang berlari, tetapi ada juga yang memahaminya sebagai yang tetap. Selain itu ada juga yang memahaminya sebagai kesinambungan antara masa lalu, masa depan dan masa sekarang. Akan tetapi, bagi saya, waktu tidak lagi berkesinambungan: waktu meretakkan perpautan kisah masa lalu dan masa depan, dan menelantarkan kita dalam ketidakpastian. Kita akan lihat dalam penjalasan berikut ini.

Selama ini kita yakin, kita memiliki waktu dan karena itu kita bebas mengaturnya. Keyakinan kita terbukti salah, ketika kita pelan-pelan masuk ke dalam pemikian ini. Sebelum kita tidur malam di tempat tidur, kita harus memikiran dan menyiapkan apa yang mesti kita lakukan esok dan apa yang tidak boleh dibuat. Persiapan kita menentukan proses kita. Proses kita menentukan apa yang harus dibuat, siapa yang terlibat, kapan itu mungkin terjadi, di mana sebaiknya dilakukan, apa saja yang dibutuhkan, dan bagaimana ide/pemikiran/konsep yang telah disiapkan dieksekusi.

Sampai di sini, kita belum mencapai hasil. Karena itu kita belum berhak bebas dari kontrol konsep kita. Kalau kita belum bebas, kita tidak mungkin bahagia. Ketika kita merasa belum bahagia, kita tidak bisa tidur dengan nyaman. Mengapa itu terjadi? Karena kita tidak sedang menyusun rencana demi kebebasan dan kebahagiaan kita sendiri, akan tetapi kita berusaha melawan waktu yang telah ditentukan.

Kalau kita sebagai pekerja di lembaga pemerintah ataupun swasta, kita harus menyerahkan diri kepada waktu yang telah ditentukan bagi kita. Kalau kita berani melanggar atau melawan waktu kerja, maka upah kita akan dipotong, dan nilai kinerja kita berkurang. Kalau upah dan kinerja kita dipotong beberapa persen, itu akan memengaruhi seluruh kehidupan keluarga kita, termasuk biaya sekolah anak-anak, persiapan liburan, acara keluarga, upacara kebudayaan, bahkan biaya pensiunan kita. Waktu kerja tidak mengizinkan kita bebas dan bahagia.

Baca juga :  Mengapa harus ada Negara?

Apabila kita ingin mendapatkan upah lebih, kita harus bangun lebih awal dan mengisi waktu luang secara efektif: Kita harus bangun pagi-pagi untuk bangunkan anak-anak, siapkan mereka sarapan, antar mereka ke sekolah dengan risiko macet di tengah jalan, pulang mandi, sarapan, dan siap-siap berangkat ke tempat kerja. Setelah pulang kerja, kita harus menjemput anak-anak, menyiapkan makanan, menemani mereka belajar, dan seterusnya.

Pemilik tempat kerja kita menginvestasikan modal dan keuntungan mereka dalam bentuk waktu kerja dan kinerja kita. Sementara itu kita mengivestasikan waktu kita hanya kepada anak-anak yang belum tentu serius belajar, dan mungkin tidak akan memperhatikan/menghormati kita suatu saat nanti. Di sinilah waktu mesti dipahami sebagai alat kontrol dan kuasa-kendali hidup.

Byung-Chul Han mengatakan bahwa “waktu istirahat sebagai jeda kerja tidak menandai waktu yang berbeda. Ini tidak lebih dari fase waktu kerja. Sekarang ini kita tidak punya waktu lain selain kerja.” Waktu kerja tidak memberikan kita kesempatan berkomunikasi dan mengisahkan cerita tentang nilai-nilai luhur kehidupan dengan keluarga kita di rumah. Waktu kerja mengosongkan makna terdalam dari rumah; kamar tidur, meja makan, dapur, dan ruang tamu. Waktu kerja mengubah rumah menjadi hotel, tempat nginap sementara untuk melepas lelah sebelum esok kita harus menyerahkan diri lagi kepada waktu kerja. Penghapusan tindakan komunikatif dan rekreasi keluarga memungkinkan perkembangan telepon cerdas tanpa kendali lagi.

Telepon cerdas memfasilitasi komunikasi digital tanpa henti lewat pesan teks, pesan suara, gambar, foto, selfi, video, dan emotikon. Komunikasi digital tanpa henti menguntungkan perusahan platform digital, dan merugikan keluarga kita karena harus selalu beli pulsa sebagai denyut jantung telepon cerdas. Padahal tindakan komunikasi empat mata itu gratis, dan senyuman jasmani lebih indah daripada emotikon. Namun apa yang terjadi, emotikon menggantikan semuanya itu. Perlu dipahami, emotikon adalah bukti muka seribu manusia yang bisa berubah dalam waktu sesingkat-singkatnya.

Ketika emotikon dan stiker pesta menggantikan kesempatan untuk pesta, di sanalah waktu kerja dan kerja menciptakan paradoks dalam hidup Kita: alih-alih membahagiakan penerima pesan, emotikon dan stiker pesta justru terjebak dalam ketidakpastian. kita merindukan kehidupan keluarga yang lebih baik, damai, harmonis dan tenang, namun Kita justru melemparkan bola api panas emotikon dan stiker. Atau kalau pun kita benar-benar merayakan pesta bersama, sesungguhnya kita tidak sedang memulihkan diri dari kepenetan dan kesibukan kerja. Byung-Chul Han bilang begini: “waktu pesta bukanlah waktu pemulihan atau istirahat kerja… Waktu pesta bertentangan dengan waktu kerja.” Paradoks demi paradoks menimbulkan ketidakpastian.

Baca juga :  Neoliberalisme, Krisis Multidimensi dan Transformasi Paradigma Pembangunan

Seperti yang dikatakan Byung-Chul Han, “sekarang ini kita sedang membawa dalam diri kita waktu kerja tidak hanya waktu kita libur, tetapi juga ketika kita mau tidur. Karena itu kita tidur hari ini dengan tidak gelisah…. Lihatlahlah demikian, istirahat tidaklah berbeda dengan kerja tetapi sebuah fenomenanya.” Mengapa demikian? Karena sekalipun kita sedang berada dalam waktu istirahat kerja, kita pun tetap bekerja dengan pekerjaan-pekerjaan yang belum tuntas atau berbicara tentang pekerjaan atau juga saat menggunakan telepon cerdas.

Ketika menggunakan telepon cerdas saat istirahat kerja, kita pun sedang kerja; kita berkomunikasi dengan keluarga, kenalan, atau memanfaatkan telepon cerdas untuk berbisnis supaya bisa mendapatkan keuntungan lebih. Lebih dari itu, Yuval Noah Harari dalam bukunya 21 lecciones para el siglo XXI menjelaskan bahwa kita harus bekerja tidak hanya untuk bertahan hidup, tetapi juga kita juga harus bersaing dengan teknologi-teknologi yang tak terkendali diciptakan ini.

Kemajuan Kecerdasan Buatan (AI) dapat melampui kecerdasan manusia dan mempermainkan pilihan rasional manusia. Inilah tantangan besar kita tidak hanya di dunia kerja, tetapi juga di dunia kelurga kita. Setiap anggota keluarga sibuk bekerja dengan jari-jarinya di layar sentuh telepon cerdas dan mengabaikan cinta kasih keluarga tanpa layar. Pembungkaman cinta kasih dalam keluarga sesungguhnya membiarkan mentalitas algoritmis bertumbuh dan berkembang biak.

Apabila semua anggota keluarga sibuk dengan telepon cerdasnya masing-masing di ruang tamu atau di kamarnya masing, rumah tidak lebih dari rumah sakit jiwa dan penjara digital. Seketika ada keluarga yang tiba-tiba sakit, keluarga bukan lagi tempat penyembuhan pertama, melainkan rumah sakit. Inilah fenomena masyarakat smombi. Masyarakat smombi melihat sakit, kemalangan, penderitaan dan kematian hanya sebagai persoalan teknis; semuanya bisa disembuhkan oleh perangkat-perangkat teknologis.

Baca juga :  G.W.F. Hegel: Negara dan Sittlichkeit

María Novo mengatakan, inilah wajah masyarakat yang terburu-buru (la sociedad de las prisas, 2023). Kita merindukan kualitas hidup yang lebih baik, jedah dari pengejaran kita akan pekerjaan dan waktu kerja, meningkatkan kualitas relasi kita dengan diri sendiri dan sesama, akan tetapi waktu kerja memerintah kita untuk menjadi yang terburu-buru.

Di sisi lain, kita mengharapkan negara menjamin keadilan, kebebasan, kemerdekaan, kelestarian ekologis, justru kita dihadapkan dengan persoalan-persoalan kemanusiaan, krisis ekologis, perubahan iklim, sampah, kontaminasi, polusi, bunuh diri, aborsi, dll. Sekali lagi, paradoks demi paradoks selalu menghasilkan ketidakpastian. Dan yang sangat merasakan ketidakpastian ini adalah kelompok masyarakat rentan.

Sekarang ini, seperti kata Byung-Chul Han, “informasi yang berlimpah ruah, transparansi, dan tontonan telah membawa kita kepada waktu yang tidak dapat diam atau menyimpulkan proses apa pun, waktu yang tidak lagi mengembuskan aroma apa pun. Akan tetapi pemikian tidak mungkin tanpa keheningan. Agar dapat berpikir dan menyimpulkan, harus mampu menutup mata dan berkontemplasi.” Tidak hanya Byung-Chul Han, dan María Novo, tetapi juga Yuval Noah Harari mengajak kita untuk bermeditasi, dan berkontemplasi perjalanan kita sejauh ini: Jangan sampai algoritma teknologi memberitahu siapa kita dan memutuskan apa yang harus kita lakukan untuk kehidupan kita.

Seperti Byung-Chul Han, María Novo, dan Yuval Noah Harari, kecemasan saya ialah kemunduran kecerdasan alami dan nurani kemanusiaan kita di tengah kemajuan kecerdasan buatan dan algoritma.

Daftar Pustaka:

Byung-Chul Han, por favor, cierra los ojos. A la búsqueda del tiempo diferente terj. Raúl Gabás (Barcelona: Herder Editorial, 2016)

Byung-Chul Han, Capitalismo y pulsión de muerte, terj. Alberto Ciria (Barcelona: Herder Editorial, 2022)

Byung-Chul Han, el aroma del tiempo. Un ensayo filosófico sobre el arte de demorarse, terj. Paul Kuffer, (Barcelona: Herder Editorial, 2022)

Byung-Chul Han, Infocracia. La digitalización y la crisis de la democracia, terj. Joaquín Chamorro Mielke, (Barcelona: Penguin Random House Grupo Editorial, S.A.U, Cet. 4, 2022)

Byung-Chul Han, La Sociedad del Cansancio, terj. Arantzazu Saratxaga Arregi dan Alberto Ciria (Barcelona: Herder Editorial, cet., 4. 2023)

María Novo, la sociedad de las prisas, (Barcelona: Ediciones Obeliso, 2023)

Yuval Noah Harari, 21 lecciones para el siglo XXII, terj. Joandomènec Ros (Barcelona: Penguin Random House Grupo Editorial, 2023).

María Novo,  “la sociedad de las prisas”, dalam Ethic, https://ethic.es/2023/11/la-sociedad-de-las-prisas/ diakses pada 9 Desember 2023.

María Novo, «Cuando nos roban tiempo, nos están robando libertad», dalam Ethic, https://ethic.es/2023/12/entrevista-maria-novo/ diakses pada 9 Desember 2023.

Komentar

Penulis : Melkisedek Deni (Tinggal di Madrid, Spanyol)

Berita Terkait

Tolong, Dengarkan Suara Hati! (Subjek Cinta dan Seni Mendengarkan)
Apakah Aku Selfi Maka Aku Ada?
Autoeksploitasi: Siapa yang Membunuh Sang Aku?
Masyarakat Smombi
Masyarakat Telanjang
G.W.F. Hegel: Negara dan Sittlichkeit
Emotikon, Krisis Perhatian dan Filsafat Teknologi
ChatGPT dan Tugas Filsafat Teknologi
Berita ini 226 kali dibaca

Berita Terkait

Sabtu, 14 Oktober 2023 - 22:46 WITA

Seni Homiletika: Tantangan Berkhotbah di Era Revolusi Sibernetika

Berita Terbaru

Politik

Menanti Keberanian PDI Perjuangan Berada di Luar Pemerintahan

Selasa, 25 Jun 2024 - 08:31 WITA

Berita

SD Notre Dame Puri Indah Wisudakan 86 Anak Kelas VI

Jumat, 21 Jun 2024 - 12:13 WITA

Pendidikan

Menyontek dan Cita-Cita Bangsa

Jumat, 14 Jun 2024 - 10:52 WITA

Berita

SMP Notre Dame Wisudakan 70 anak Kelas IX

Kamis, 13 Jun 2024 - 18:26 WITA

Pendidikan

Sastra Jadi Mata Pelajaran

Rabu, 12 Jun 2024 - 20:39 WITA