Neoliberalisme, Krisis Multidimensi dan Transformasi Paradigma Pembangunan

- Admin

Selasa, 28 Maret 2023 - 11:01 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com – Neoliberalisme merupakan sistem ekonomi paling hegemonik dewasa ini. Ia telah berekspansi ke negara-negara dunia ketiga dan bahkan telah menjadi paradigma mainstream dalam sistem pembangunan. Di Indonesia misalnya, tanpa disadari, paradigma pembangunan a la neoliberalisme sudah digencarkan sejak lama. Namun yang menjadi pertanyaanya ialah, apakah sistem ini telah membawa kesejahteraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?

Pertanyaan ini sulit dijawab mengingat relitas ambivalensi yang sering dipertontonkan neoliberalisme. Alih-alih membawa bonum commune, namun dalam praksisnya, sangat meresahkan. Tulisan ini hendak membongkar kedok sistem ekonomi neoliberalisme. Tesis yang dibangun ialah sistem ini telah membawa sejumlah krisis. Karena itu, transformasi paradigma pembangunan adalah conditio sine qua non.

Memahami Neoliberalisme

Sistem ekonomi neoliberalisme sejatinya merupakan bentuk baru dari sistem ekonomi kapitalis liberal klasik Adam Smith. Dalam bukunya yang berjudul The Wealth of Nation, Smith berbicara tentang masyarakat pasar. Smith melihat bahwa “pasar” dan “pembagian kerja” adalah tonggak penting yang dapat membuat masyarakat pasar menjadi lebih rasional.[1]

Tentang pembagian kerja, Smith mengikuti John Locke. Ia menegaskan, pembagian kerja meyebabkan kemajuan sosial dalam peradaban modern. Kemajuan ini dapat dijelaskan dengan tiga fenomena:[2] Pertama, pembagain kerja meningkatkan kerajinan pada setiap pekerja khusus, yang pada gilirannya membuat kondisi hidup mereka menjadi lebih baik. Kedua, pembagian kerja menyebabkan effisiensi waktu. Ketiga, pembagian kerja mendorong munculnya sejumlah mesin baru yang digunakan untuk mempercepat proses produksi, menghemat tenaga dan mengurangi para pekerja.

Kemudian tentang pasar, Smith bertolak dari realitas yang dialami masyarakat Skotlandia. Dalam pada itu, ia melihat bahwa masyarakat Skotlandia yang berprofesi sebagai pembuat keju awalnya mengalami kesulitan menjual hasil produksinya karena pasar masih relatif kecil. Namun ketika perdagangan antardaerah dan antarnegara mulai dibuka, tingkat produksi dan distribusi barang-barang sangat cepat. Atas dasar itu, Smith mengatakan bahwa selain pembagian kerja (spesialisasi), pasar juga merupakan faktor kedua yang mendorong terciptanya kemakmuran rakyat.[3] 

Lantas apa yang dimaksud pasar bebas? Pemikiran Smith tentang pasar bebas menyentuh dua dimensi, yakni filosofis dan ekonomi.[4] Secara filosofis, Smith melihat pasar bebas sebagai perwujudan kebebasan kodrati manusia dalam bidang ekonomi. Setiap individu secara bebas memutuskan bagi dirinya sendiri apa yang ingin dilakukannya, dan keputusannya itu pada giliranya sebisa mungkin akan menyumbang terwujudnya suatu masyarakat yang lebih baik dan lebih makmur.[5]

Kemudian dari segi ekonomi, Smith menegaskan bahwa perdagangan bebas akan menguntungkan setiap negara yang terlibat di dalamnya, karena perusahaan di dalam negara tidak hanya menjual barang-barang mereka di dalam negari, tetapi juga di arena internasional. Produktivitas dalam negeri akan dengan sendirinya meningkat karena dipasarkan secara luas.[6]

Dengan argumentasi ini Smith secara tidak langsung mengkritik padangan kaum merkantilis yang menghendaki adanya pembatasan dalam perdagangan dengan pajak yang lebih tinggi untuk melindungi produsen domestik. Smith, sebaliknya mengatakan bahwa justru dengan perdagangan bebas, ekonomi dalam suatu negara akan mengalami keuntungan, karena dapat menjual barang-barang dengan jumlah yang banyak, membangun spesialisasi kerja yang terfokus, dan memproduksi barang dengan tenaga kerja yang sama.[7]

Baca juga :  Jacques Ellul tentang Masyarakat Teknologis

Logika ekonomi kapitalis liberal Smith pada gilirannya diterima khalayak umum dan dijadikan sebagai sistem ekonomi dominan. Namun apesnya, dalam praksis, sistem ekonomi pasar bebas yang mengusung moto “kompetisi dan laissez-faire” telah memicu lahirnya bencana berskala gigantis, yakni keruntuhan ekonomi yang melanda Eropa Barat dan Amerika Utara, antara tahun 1920-an hingga tahun 1930-an, yang juga memicu lahirnya perang dunia II.[8]

Vis a vis realitas tersebut, jajaran para penguasa Amerika Serikat dan Eropa mencoba merestrukturisasi bentuk-bentuk negara dan relasi internasional untuk mencegah terjadinya bencana-bencana serupa. Dalam pada itu, mereka mencoba membentuk tatanan ekonomi baru yang disebut New World Economic Order yang ditandai dengan berdirinya Bank Dunia, IMF dan GATT/WTO.[9] Tujuannya ialah untuk menciptakan ekonomi dunia yang seadil-adilnya supaya di masa depan tidak terjadi lagi perang besar di pelanet bumi.[10]

Akan tetapi pasca-pembentukkan tata ekonomi baru, benturan antaranegara (Blok Barat vs Blok Timur) kembali terjadi. Benturan antara keduanya kemudian menciptakan perang dingin dari tahun 1946 hingga keruntuhan Uni Soviet tahun 1989.[11] Pasca-keruntuhan Uni Soviet, secara diam-diam, sistem ekonomi kapitalis liberal dihidupkan kembali dengan nama baru neoliberalisme. Neo artinya bentuk baru, dan liberal artinya kebebasan.

Neoliberalisme, dengan demikian, adalah kebebasan bentuk baru. Kebebasan bentuk baru yang dimaksud ialah kembalinya kekuasaan pasar (fundamentalisme pasar). Kebebasan individu di arena pasar tidak boleh diintervensi oleh negara. Intervensi negara, seturut kacamata Friedrich A. Hayek, dianggap membahayakan pasar dan kebebasan politik.[12] Karena itu, harus ditolak dan dibendung supaya sirkulasi modal dan keuntungan terus meningkat. Sistem baru ini kemudian dijadikan sebagai kebijakan ekonomi politik oleh Amerika Serikat, Inggris dan beberapa negara industri maju lain.

Neoliberalisme dan Krisis Multidimensi

Bangkitnya sistem ekonomi neoliberalisme telah membawa sejumlah perubahan besar. Perubahan tersebut tidak hanya dirasakan oleh negara-negara Barat (industri maju), tetapi juga oleh negara-negara dunia ketiga. Akselerasi pembangunan di negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia misalnya, tidak terlepas dari geliat sistem ekonomi neoliberalisme yang sudah menghegemoni dan mendominasi ruang-ruang hidup manusia.

Namun demikian, sistem ekonomi neoliberalisme yang diterima sebagai paradigma mainsream dalam sistem pembangunan bukan tanpa implikasi. Sistem ini ternyata turut membidani lahirnya persoalan bersklala gigantis di negara-negara dunia ketiga. Alih-alih mengejar ketertinggalan, memberantas kemiskinan dan kebodohan, mengakselerasi pembangunan serta meningkatkan kesejahteraan, namun dalam realitasnya, sistem ekonomi neoliberalisme ternyata menelurkan sejumlah krisis.  

Pertama, krisis ekologi. Kebijakan pembangunan yang mengikuti paradigma sistem ekonomi neoliberalisme turut memicu lahirnya masalah ekologis. Bumi tempat tinggal segala mahluk, dewasa ini, menghadapi tantangan yang cukup serius. Bumi semakin hancur akibat eksplorasi dan eksploitasi yang melampaui batas. Logika neoliberalisme, “akumulasi keuntungan sebanyak-banyaknya” telah mendestruksi tatanan ekosimtem alam. Demi mencapai keuntungan besar, perut bumi dirobek tanpa memperhitungkan kehidupan jangka panjang.

Kedua, krisis budaya.  Noam Comsky ketika diminta menjelaskan neoliberalisme oleh Robert McChesney, mengatakan neoliberalisme, alih-alih menghasilkan ikatan kewargaan, ia menghasilkan konsumerisme. Alih-alih menghasilkan tatanan kemasyarakatan, ia menghasilkan pusat perbelanjaan. Hasil akirnya ialah masyarakat tercerabut dari akar dan individu-individu yang kehilangan moral, mereka secara sosial tidak berdaya.[13]

Baca juga :  Perlunya Keindahan dalam Ekonomi

Afirmasi Comsky ini hemat penulis bukan bertolak dari sesuatu yang abstrak melainkan dari realitas-empiris. Neoliberalisme memang menyebabkan kemelut, khususnya menyangkut moralitas. Hal ini, sangat relevan dalam konteks Indonesia. Kepribadian bangsa semakin merosot lantara tatanan nilai-nilai budaya yang menjiwai hidup bangsa Indonesia semakin tergerus oleh geliat neoliberalisme.

Ketiga, krisis politik. Kebijakan pembangunan yang mengikuti paradigma neoliberalisme juga turut berkontribusi dalam memberangus citra politik. Marwah politik menjadi buram lantaran politik disulap mejadi ladang basah yang bisa menghasilkan keuntungan ekonomi bagi segelintir orang. Ranah politik akhirnya disesaki kaum oligarki yang korup, egois, dan opurtunis. Mereka berlomba-loba membangun kerajaan pribadi dengan mengais sumber-sumber kekayaan negara. Alhasil politik kehilangan essensinya yakni, bonum commune. 

Keempat, krisis ekonomi. Salah satu dampak gigantis dari kebijakan yang mengikuti paradigma sistem ekonomi neoliberalisme adalah terjadinya krisis ekonomi. Negara Indonesia, dalam 25 tahun terakhir, menurut Sry Muliyani Indrawati, mengalami tiga kali krisis ekonomi, yakni pada tahun 1997-1998 atau dikenal dengan nama krisis moneter, krisis finansial global pada tahun 2008 dan di tahun 2020.[14] Rentetan krisis ini, tidak terlepas dari geliat sistem ekonomi neoliberalisme yang sudah menjadi paradigma dalam pembangunan (ekonomi politik). Kebijakan ekonomi politik yang bercorak neoliberal telah membawa keresahan karena dampak yang ditimbulkannya. Masyarakat akar rumput mengalami penderitaan lantaran terjadi defisit dan disparitas ekonomi yang sangat tajam.

Kelima, krisis kemanusiaan. Dampak paling terasa akibat kebijakan yang mengikuti paradigma sistem ekonomi neoliberalisme adalah terhadap martabat manusia. Kejahatan terhadap kemanusiaan dewasa ini tidak hanya dilakukan oleh kekuasaan politik, tetapi juga oleh kekuasaan bisnis atau pasar yang saat ini menghegemoni segala bidang kehidupan manusia. Dalam bidikan kaca mata neoliberalisme, manusia bukan subjek pembangunan, melainkan objek pembangunan. Implikasinya martabat dan hak-hak asasi manusia (khususnya masyarakat akar rumput atau masyarakat adat) dilecehkan. Masyarakat akar rumput bak robot, yang mudah dikendalikan, ditipu, dan dieksploitasi.

Signifikansi Transformasi Paradigma Pembangunan

Menyadari besarnya dampak destruktif paradigma pembangunan a la neoliberalisme, maka Negara Indonesia perlu melakukan upaya transformasi paradigma kebijakan pembangunan, yakni dari neoliberalisme ke paradigma Pancasila. Pancasila sejatinya merupakan dasar, pandangan hidup, dan ideologi Negara Indonesia.

Sebagai dasar, Pancasila berfungsi sebagai fondasi bagi berdirinya bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian, sebagai pandangan hidup, Pancasila berfungsi sebagai kompas atau petunjuk arah bagi bangsa Indonesia dalam menjalani aktivitasnya di setiap dimensi kehidupan, baik sosial, politik, budaya maupun ekonomi. Sementara, sebagai idiologi, Pancasila berfungsi untuk mendeterminasi masa depan Negara Indonesia.

 Peran krusial Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mesti diakomodasi. Karena itu, Pancasila seyogianya menjadi paradigma dalam sistem pembangunan, baik dalam kancah lokal maupun nasional. Founding fathers, sejak awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, mengafirmasikan bahwa Pancasila sejatinya merupakan paradigma pembangunan yang ideal dan relevan untuk Indonesia sebab ia berorientasi pada bonum commune.

Senada dengan itu, Aleksander Jebadu, dalam bukunya, menjelaskan, sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi campuran, sistem demokrasi ekonomi atau sistem ekonomi jalan tengah di antara dua sistem yang saling berseberangan satu sama lain, yakni kapitalis liberal Adam Smitt yang mengadopsi nama baru sistem ekonomi neoliberalisme dan sistem ekonomi sosialis/komunis.[15] Namun berbeda dengan sistem ekonomi neoliberalisme – yang menghendaki liberalisasi pasar tanpa kendali negara – dan sistem ekonomi sosialis/komunis – yang kebijakan perekonomiannya dimonopoli negara – sistem ekonomi Indonesia (sistem ekonomi Pancasila) adalah sistem ekonomi kesejahteraan yang mengakomodasi kepentingan semua warga negara.[16]

Baca juga :  Ponsel, Phubbing dan Membaca Etika Tanggung Jawab Emmanuel Levinas  

Selain mengakomodasi bonum commune, sistem ekonomi Pancasila juga mengakomodasi pembangunan yang memperhitungkan kondisi alam, budaya, dan kemanusiaan. Karena itu, bangsa Indonesia tidak akan mengeluh mengenai ketidakadilan karena pembangunan mulai berorientasi pada bonum commune. Alam pun tidak akan menangis dan memuntahkan virus yang mematikan (seperti virus corona), sebab orang mulai memperhitungkan orientasi pembangunan berkelanjutan, suistinable development. Martabat manusia pun tetap pada fitrahnya, sebab manusia tidak lagi dilihat sebagai objek pembangunan, tetapi sebagai subjek pembangunan. Nilai-nilai budaya pun akan tetap terjaga dengan baik, karena spirit Pancasila mengakomodasi kekayaan khazanah budaya lokal dan nasional.

            Sistem ekonomi neoliberalisme, yang dewasa ini telah menjadi paradigma dominan dalam sistem pembangunan sesungguhnya hadir dengan wajah ambivalen. Alih-alih memberantas kemiskinan dan kebodohan, mengakselerasi pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan bersama, namun dalam realitas empiris, sangat meresahkan karena telah menghalalkan segala cara. Demi mencapai effisiensi dan profit, semua hal dijustifikasi. Implikasinya muncul sejumlah krisis dalam sendi-sendi kehidupan manusia. Di tengah realitas ini, upaya transformasi paradigma pembangunan: dari paradigma neoliberalisme ke Pancasila adalah sesuatu yang niscaya demi mewujudkan tatanan hidup yang lebih baik, beradab, dan bermartabat.

Daftar Rujukan


[1]Mikael Dua, Filsafat Ekonomi Upaya Mencari Kesejahteraan Bersama (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 43.

[2]Ibid., hlm. 45.

[3]Ibid., hlm. 51.

[4]Ibid.

[5]Ibid., hlm. 52.

[6]Ibid.

[7]Ibid., hlm 53.

[8]Aleksander Jebadu, Drakula Abad 21 Membongkar Kejahatab Sistem Ekonomi Pasar Bebas Tanpa Kendali Sebagai Kapitalisme Mutakhir Berhukum Rimba Dan Ancamannya Terhadap Sistem Ekonomi Pancasila (Maumere: Penerbit Ledalero, 2020). 176.

[9]Ibid.

[10]Ibid.

[11]Ibid., hlm. 287.

[12]Coen Husain Pontoh dan Arianto Sangadji, Neoliberalisme: Konsep dan Praktiknya di Indonesia (Pustaka IndoPROGRESIF, 2021), hlm. 121.

[13]Bagus Pradana, “Mematahkan Cengkeraman Drakula Neoliberalisme”, dalam https://mediaindonesia.com/ weekend/291649/mematahkan-cengkeram-drakula-neoliberalisme, diakses pada 17 Desember 2021.

[14]https://newssetup.kontan.co.id/news/cerita-sri-mulyani-soal-tiga-krisis-ekonomi-dan-jurus-untuk-menanga ni?page=all.> diakses pada 16 Desember 2021.

[15]Alexander Jebadu, op.cit., hlm. 293.

[16]Hal ini secara gamblang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 1, bahwa “perekonomian disusun berdasarkan usaha bersama dengan asas kekeluargaan. Bdk. Republik Indonesia, Undang-undang Dasar 1945, Pasal 33 .

Komentar

Berita Terkait

Tolong, Dengarkan Suara Hati! (Subjek Cinta dan Seni Mendengarkan)
Apakah Aku Selfi Maka Aku Ada?
Autoeksploitasi: Siapa yang Membunuh Sang Aku?
Masyarakat yang Terburu-buru
Masyarakat Smombi
Masyarakat Telanjang
G.W.F. Hegel: Negara dan Sittlichkeit
Emotikon, Krisis Perhatian dan Filsafat Teknologi
Berita ini 139 kali dibaca

Berita Terkait

Sabtu, 14 Oktober 2023 - 22:46 WITA

Seni Homiletika: Tantangan Berkhotbah di Era Revolusi Sibernetika

Berita Terbaru

Politik

Menanti Keberanian PDI Perjuangan Berada di Luar Pemerintahan

Selasa, 25 Jun 2024 - 08:31 WITA

Berita

SD Notre Dame Puri Indah Wisudakan 86 Anak Kelas VI

Jumat, 21 Jun 2024 - 12:13 WITA

Pendidikan

Menyontek dan Cita-Cita Bangsa

Jumat, 14 Jun 2024 - 10:52 WITA

Berita

SMP Notre Dame Wisudakan 70 anak Kelas IX

Kamis, 13 Jun 2024 - 18:26 WITA

Pendidikan

Sastra Jadi Mata Pelajaran

Rabu, 12 Jun 2024 - 20:39 WITA