Indodian.com – Hampir setiap hari kita berhadapan dengan aneka pernyataan yang berhubungan langsung dengan topik tentang kebenaran: ‘Itu salah!’; ‘Itu benar’; atau ‘Kamu keliru’. Bagaimana kita dapat menyebut sesuatu sebagai benar atau salah? Proses-proses manakah yang kita lalui untuk memperoleh putusan tentang kebenaran? Apakah kebenaran itu tunggal? Siapakah atau adakah otoritas yang menentukan sesuatu itu benar atau salah? Jika hanya terdapat benar atau salah, mengapa pula kita menyebut ‘kamu keliru’? Bisakah menyebut sesuatu itu setengah benar atau setengah salah?
Dalam tradisi filosofis, kebenaran – bersama pengetahun – ditelaah secara khusus melalui epistemologi dan logika. Namun, saya tidak perlu menyajikan kembali jawaban-jawaban atas pertanyaan di atas dari perspektif epistemologis-logis. Saya hanya akan menyajikan beberapa hal penting tentang kebenaran yang dibicarakan dalam epistemologi atau logika. Prinsip logika – yang dikembangkan sejak Aristoteles dan kemudian dibakukan melalui filsafat Skolastik – menguji kebenaran dengan membuat skema penalaran yang di dalamnya terdapat tiga unsur, yaitu premis mayor (P1), premis minor (P2), dan simpulan (S).
Baca Juga : Reformasi Dikorupsi dan Gerakan Kaum Muda Progresif
Baca Juga : Tak Ada Mimpi Yang Ketinggian
Sebagai contoh, manusia tidak dapat terbang (P1), dan Anton adalah manusia (P2), maka Anton tidak dapat terbang (S). Tentu, klaim logis ini memiliki sejumlah dampak destruktif terhadap kehidupan manusia. Namun, agar pembicaraan kita lebih proporsional, saya lebih banyak berbicara tentang klaim epistemologis.
Sampai saat ini, salah satu klaim epistemologis yang paling banyak dikenal orang adalah ‘kebenaran sebagai persesuaian antara realitas dan intelek atau budi’ (veritas est adaequatio rei et intellectus). Inilah teori kebenaran korespondensi. Menurut teori, sesuatu itu benar jika putusan akal budi (intelek) sesuai dengan realitas. Sebagai contoh, mengatakan kuda sebagai monyet tidak benar, sebab monyet berbeda dari kuda sekalipun keduanya adalah hewan bertulang belakang. Dalam konteks yang cenderung ‘hitam putih’ (mudah dipisahkan antara yang benar dan salah, atau dalam kasus sederhana), klaim ini mudah berterima.
Baca Juga : Cerita Seorang Pembohong
Baca Juga : Bias Urban dan Desa sebagai Subjek Media
Namun, dalam konteks yang lebih kompleks, klaim tersebut cukup problematis. Kita mengambil contoh tentang seorang siswa sekolah dasar. Ketika seorang siswa menyebut ruangan kelas sebagai sebuah rumah, seorang guru akan mengatakan bahwa jawaban itu salah, sebab ruangan kelas memang bukan rumah. Andaikata ruangan kelas adalah rumah, tentu di sana akan ada tempat tidur, ruang tamu, kasur, bantal, dapur, tungku api, perlengkapan makan minum, kamar mandi, dan sebagainya. Jika merujuk pada klaim kebenaran sebagai persesuaian antara intelek dan realitas, tentu, jawaban siswa tersebut sulit diterima.
Klaim epistemologis ini perlu kita kritisi. Realitas manakah yang kita bicarakan? Apakah realitas itu semata-mata tentang sesuatu yang dapat diindrai (visible), atau juga termasuk realitas yang tidak dapat diindrai (invisible)? Kembali pada contoh siswa sekolah dasar di atas. Benar bahwa di dalam ruangan kelas itu, kita tidak menemukan syarat empiris-visual yang menjadikannya layak disebut sebagai rumah. Namun, secara hermeneutis dan dengan menggunakan pisau bedah psikoanalisis, menyebut ruangan kelas sebagai rumah tetap mengandung ‘sesuatu’yang bukan tidak termasuk dalam kebenaran.
Baca Juga : Zen, sebuah Agama Baru?
Baca Juga : Pernikahan Dini: Pandemik Yang Belum Juga Berakhir
Dalam contoh ini, siswa tersebut menyebut ruangan kelas sebagai rumah bukan karena secara fisik-visual, terdapat kursi, meja, dinding, pintu, atau jendela, melainkan karena atmosfer di dalam ruangan kelas itu menyerupai ‘rumah’. Di sini, rumah tidak lagi didefinisikan secara empiris, tetapi secara psikologis. Menyebut ruangan kelas sebagai rumah berarti terdapat elemen tertentu di dalam ruangan kelas itu yang menjadikan si siswa mendefinisikannya sebagai rumah. Misalnya, jika di rumahnya sendiri, siswa tersebut mendapat perhatian cinta yang baik dari ibunya dan ia kerasan tinggal di rumah, maka ketika mengalami perhatian dan perlakuan penuh keibuan dari gurunya, ia akan menyebut ruangan kelas itu sebagai ‘rumah’.
Bertolak dari pengandaian di atas, kita akhirnya sadar bahwa tidak mudah menyebut sesuatu itu sebagai benar atau salah. Lalu, kebenaran itu tidak dapat direduksi sekadar sebagai korespondensi antara realitas-empiris dan intelek(akal budi) yang membuat putusan tentang status dari realitas tersebut. Klaim demikian hanya berlaku dalam konteks tertentu, misalnya kalkulasi matematis.
Baca Juga : Cerita Wartawan di NTT Dapat Sinyal 4G di Pohon Jambu
Baca Juga : Media Siber dan Demokrasi di Era Milenial
Namun, klaim itu tidak dapat diterapkan untuk setiap realitas. Hal ini terjadi karena realitas pada dirinya sendiri adalah sesuatu yang lebih dalam, luas, dan kabur. Di sisi lain, kemampuan intelek manusia untuk membuat putusan bersifat terbatas. Lagipula, yang kita tangkap dari realitas adalah elemen tertentu, atau fenomena (phenomenon), sedangkan realitas yang lebih dalam (noumenon) tetaplah sebuah misteri.
Namun, klaim itu sudah terlampui hegemonik, sehingga menimbulkan akibat yang sulit disembuhkan lagi. Saya hanya menyebut beberapa konsekuensi. Pertama, konsekuensi terhadap iman atau beragama. Jika kebenaran hanya berurusan dengan persesuaian antara realitas dan intelek, maka klaim agama atau iman menjadi tidak relevan, sebab Tuhan adalah sesuatu yang melampui rasio atau indra. Peristiwa-peristiwa biblis (penciptaan, mujizat, Yesus berjalan di atas air) menjadi suatu mitos yang melawan prinsip kebenaran.
Baca Juga : Wajib Tahu! Enam (6)Tahap Penting dalam Menulis
Baca Juga : Sore Nanti, Kita ke Pantai
Hal yang sama juga berlaku untuk keyakinan akan transubstansiasi dalam Ekaristi (pengubahan roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus). Dengan demikian, jika kebenaran hanya ditinjau dari perspektif epistemologis-logis, keyakinan iman merupakan suatu kebohongan dan umat beragama adalah orang-orang yang tidak waras alias irasional.
Kedua, hegemoni sains-teknologi. Selain berdampak buruk terhadap keyakinan tentang realitas transenden (metafisis), klaim epistemologis demikian juga melegitimasi daya hegemonik sains dan teknologi terhadap kehidupan. Dengan menganggap kebenaran hanya sebagai dialektika antara realitas dan intelek, kaum saintis-teknologis akan dengan mudah mengeksploitasi alam dan manusia. Sejauh tambang bermanfaat bagi manusia, meningkatkan perekonomian, menambah lapangan kerja atau menurunkan tingkat pengangguran, maka tidak ada yang salah dengan tambang.
Baca Juga : Metafora Perang dalam Penanganan Covid
Baca Juga : Mencintai Wanita dengan Tanda Lahir di Bibir
Aborsi diterima begitu saja, sebab toh ibu dari bayi tersebut adalah korban pemerkosaan, atau bahwa si perempuan dan lelakinya tidak menghendaki anak itu ketika mereka ‘berdekatan’. Euthanasia dibenarkan, sebab secara empiris, si pasien tidak dapat lagi bertahan hidup dalam penderitaannya yang begitu dasyat. Karena itu, euthanasia adalah benar karena mengurangi penderitaannya.
Ketiga, pengalaman-pengalaman batin, rasa cinta, atau syukur menjadi tidak relevan. Jika kebenaran adalah semata-mata tentang persesuaian antara realitas dan intelek, tentu, pengalaman atau rasa batin jauh dari prinsip quantifibility (dapat diukur dengan ukuran tertentu, seperti skala numerik). Dengan demikian, siapa pun yang ngotot memperjuangkan apa yang diyakininya atau memperjuangkan realitas batinnya yang mendorongnya untuk beramal kasih, maka kita melihatnya sekadar sebagai gerakan neuron yang bekerja di balik otak!
Itulah sebabnya, akhir-akhir ini, untuk menciptakan rasa bahagia, para ahli neurosains menciptakan alat khusus yang akan mengaktifkan neuron atau saraf tertentu di bagian otak jika seseorang mengalami rasa sedih dan ingin terhindar dari kesedihan. Dengan demikian, rasa bahagia bukan lagi sesuatu yang bersumber dari luar manusia, seperti dari Tuhan, melainkan dari prinsip mekanis-biologis tubuh manusia sendiri. Bahkan metode ini lebih efektif dan efisien, sebab manusia tidak perlu lagi berdoa sepanjang hari untuk memperoleh kebahagiaan. Dengan hanya mengaktifkan ‘saraf bahagia’, kita menjadi bahagia.
Baca Juga : Malia
Baca Juga : Desa: Sentra Budaya dan Peradaban
Tidak hanya berurusan dengan rekayasa bahagia, selama beberapa tahun terakhir, para ahli sains dan teknologi berusaha mengendalikan hidup manusia: umur panjang, kebal penyakit. Di hadapan fenomena ini, orang-orang beriman yang mengimani ‘kebenaran’ bahwa kehidupan dan kematian ada di tangan Tuhan, dituntut untuk ‘memikirkan kembali’ identitasnya sebagai orang beriman. Jika kembali merujuk pada prinsip epistemologis-logis di atas, tentu karya mereka adalah bagian dari dialektika antara realitas dan intelek.
Itulah sebabnya, di negara-negara sekular, orang-orang yang menyebut dirinya beragama semakin berkurang, sebab mereka bekerja dan hidup dengan prinsip rasionalitas tertentu: empirisisme, rasionalisme, teknosentrisme, dan sebagainya. Teknologi canggih menjamin kesehatan mereka. Jaminan hidup mereka terletak dan bersumber pada kemajuan peradaban, sehingga tidak perlu lagi dicari di surga sana. Inilah kebenaran.
Sementara di negara-negara miskin atau berkembang, orang-orang beragama relatif meningkat karena agama menjamin hidup mereka: mendatangkan penghiburan, melegakan dahaga. Mereka tidak dapat berharap banyak pada teknologi medis, sebab teknologi transportasi saja tidak ada. Bagi mereka, percaya pada penyelenggaraan Ilahi dan pada agama adalah kebenaran yang menyelamatkan.
Baca Juga : Zidane, Tuchel, dan Tuhan
Baca Juga : Korupsi dan Ketidakadilan Gender
Lantas, apakah berbicara tentang kebenaran itu masih relevan? Tentu masih sangat relevan, bahkan kita tidak dapat hidup tanpa kebenaran. Yang perlu diantisipasi adalah dogmatisasi klaim kebenaran. Hingga saat ini, kaum fundamentalis dan radikalis baik yang berafiliasi dengan agama maupun dengan aliran sekular, menganggap dirinya sebagai pemilik kebenaran dan bahwa kebenaran tersebut bersifat definitif. Klaim demikian bertendensi totaliter, sebab klaim kebenaran tunggal selalu sensitif terhadap klaim kebenaran di luar ‘aku’, ‘kami’ atau ‘kita’.
Dalam situasi ini, hanya ada dua pilihan: atau percaya pada kebenaran yang ‘mereka’ yakini atau memaksa ‘mereka’ menerima kebenaran yang ‘kami’ atau ‘kita’ yakini. Pilihan pertama mensyaratkan keberanian dan pengosongan diri. Tentu, hal itu sangat sulit terjadi. Sejauh ini, pilihan kedua adalah primadona. Tidak mengherankan bila sampai saat ini masih terjadi penindasan berkedok ideologis.
Kembali pada uraian di atas, kebenaran tidak sekadar interrelasi antara realitas dan intelek. Karena realitas selalu cair, rumit, dan luas, maka klaim kebenaran hanyalah pancaran atau tampilan sebagian dari realitas. Dalam situasi ini, yang kita lakukan adalah membiarkan diri dilebur dalam ‘pembauran horizon’ (fusion of horizon) agar wawasan kita bertambah melalui dialektika atau dialog dengan yang lain.