Kategori: Review Buku

  • Respons atas Buku “Filosofi Kematian: Rahasia Hidup Bahagia di Zaman Ini”

    Respons atas Buku “Filosofi Kematian: Rahasia Hidup Bahagia di Zaman Ini”

    Indodian.com – Apakah ada kaitan antara kesadaran akan kematian dengan kebahagiaan? Tampaknya sulit menemukan jawabannya dalam buku-buku filsafat yang sudah ada sekarang ini. Tapi, buku “Filosofi Kematian: Rahasia Hidup Bahagia di Zaman Ini” memberikan tawaran yang menarik. Kitab karya Dhimas Anugrah dan Jessica Layantara yang yang diterbitkan oleh Kanisius ini menilik pertanyaan mengenai hubungan antara kesadaran akan kematian dan kebahagiaan yang telah menjadi topik diskusi di berbagai bidang, termasuk filsafat, psikologi, dan antropologi.

    Sederet tokoh publik filsafat pun turut berkomentar tentang buku ini, sebut saja Prof. Peter Carey, Ayu Utami, Prof. Bambang Sugiharto, Dr. Fitzerarld Sitorus, dan RD. Dr. Simon P. Lili Tjahjadi. Dikatakan oleh Prof. Carey bahwa memang yang kita butuhkan adalah mengembangkan “energi kematian,” yaitu kesiapan dan keberanian menghadapi kematian setiap saat. Akademisi dari Universitas Oxford itu menambahkan, “Dalam tradisi Samurai Zen Jepang, hal ini merupakan esensi dari semangat pejuang. Terima kasih untuk buku yang bijaksana ini oleh Dhimas Anugrah dan Jessica Layantara yang telah mengingatkan kita akan kebenaran-kebenaran ini” (hal. 5).

    Respons Prof. Carey tampak selaras dengan tujuan buku ini ditulis, seperti yang dikemukakan oleh Jessica sendiri, di mana ia menggolongkan manusia dari responsnya terhadap kematian menjadi tiga: Pertama, yang melihat kematian sebagai sesuatu yang alamiah, yang tidak terelakkan. Kedua, yang melihat kematian dengan penuh ketakutan. Dan, ketiga: yang telah memahami benar bahwa mereka akan mati, dan juga telah dapat menerima kenyataan ini dengan terbuka. Tesis kedua penulis ini berniat mewujud-nyatakan manusia-manusia dalam golongan ketiga ini (hal. 17-19). Perbedaan golongan pertama dan ketiga adalah dalam bahwa golongan ketiga tidak hanya melihat kematian sebagai sesuatu yang alamiah, tapi juga terbuka kesadarannya untuk mengisi kehidupan secara rasional, elok, dan bajik (baca hal. 28).

    Dhimas menulis, “Dengan mengetahui kematian menanti di ujung hayat, kita dapat belajar memandang kematian sebagai pengingat kehidupan. Jika hari ini kematian belum tiba, berarti kita masih memiliki hari ini. Kita memiliki kesempatan atas hidup kita, atas tindakan kita, dan arah yang ingin kita tuju” (hal. 28). Filsuf muda in tepat, sebab setiap hari adalah kesempatan lain untuk mengambil tindakan dalam hidup kita dan berjalan di dalam kebajikan. Sejalan dengan pemikiran Seneca, bahwa hidup sejatinya adalah perjalanan menuju kematian, maka setiap orang perlu berlatih mempersiapkan kematian sepanjang hidupnya. “Perlu seumur hidup untuk belajar bagaimana menjelang ajal,” demikian Seneca berujar.

    Saya melihat, harapan para penulis adalah setelah membaca buku ini sidang pembaca akan mampu merangkai makna tentang kematian itu sendiri, dan akhirnya bisa menerima bahwa suatu hari ia akan berhadapan dengan kematian; entah itu kematiannya sendiri maupun kematian orang-orang di sekitarnya. Buku ini tampak secara filosofis mendorong penikmatnya melihat bahwa kesadaran akan kematian dapat mendorong seseorang mencari makna dalam hidupnya. Memahami keterbatasan waktu hidup dapat memotivasi seseorang memberikan nilai dan arti yang lebih besar pada pengalaman hidup mereka.

    Kesadaran akan kematian dapat membantu seseorang lebih memahami prioritas hidupnya. Dengan memahami prioritas hidup, maka seseorang dapat menjadi bahagia, yaitu dengan menerima realitasnya sekarang ini dan di tempat di berada. Kebahagiaan itu sekarang dan di sini, bukan nanti di sana. Maka tepatlah komentar Ketua STF Driyarkaya RD. Dr. Simon P. Lili Tjahjadi atas buku ini, “Tulisan menarik tentang kematian nanti untuk kehidupan kini.” Kesadaran akan hidup yang dimiliki saat ini dan akan kematian nanti memang dapat memotivasi seseorang lebih berpikir rasional dan memakna. Dengan menyadari bahwa hidup bersifat sementara, seseorang mungkin lebih cenderung menjalani hidup dengan penuh kehadiran dan kesadaran.

    Buku yang ditulis bersama oleh dua sahabat Dhimas Anugrah dan Jessica Layantara ini dengan gaya bahasa yang enak dibaca menunjukkan bahwa realitas kematian justru dapat mendorong seseorang berpikir rasional dan mengisi kehidupannya dengan memberikan makna hidup. Secara jeli novelis Ayu Utami berkomentar, “Buku ini, berisi renungan-renungan pendek tentang menyikapi kematian secara rasional dan filosofis, memang sangat dibutuhkan terutama di zaman yang telah kehilangan kesederhanaan.” Sementara Prof. Bambang Sugiharto menilai, “Buku karya Dhimas Anugrah dan Jessica Layantara ini berfokus pada sikap manusia terhadap kematian, bukan ihwal apa yang terjadi saat manusia mati. Tulisan dalam buku ini mendalam, tetapi juga realistis; tepat untuk membangun sikap yang autentik dalam hidup keseharian.”

    Beberapa orang yang telah menerima kenyataan kematian dapat merasa lebih damai dan bahagia karena mereka tidak lagi cemas terhadap aspek-aspek kehidupan yang di luar kendali mereka. Beberapa orang mungkin menemukan pemahaman ini membebaskan dan memberikan arti, sementara yang lain mungkin merasa cemas atau terbebani olehnya. Tipe orang yang manakah kamu? Buku “Filosofi Kematian” mungkin bisa membantumu merenungkannya. Fitzerald Sitorus berkomentar, “Buku tipis karya Dhimas Anugrah dan Jessica Layantara ini membawa kita lebih dekat ke fenomena kematian. Refleksi-refleksi yang disampaikan dengan jernih dan gamblang itu memungkinkan kita melihat dan memahami kematian.”

    Yang jelas, “Filosofi Kematian” bukanlah buku tentang apa yang terjadi setelah kematian, karena tidak ada seorang pun yang mengetahuinya secara empiris. Untaian aksara dalam buku ini lebih kepada menilik dialektika filosofis tentang kematian, juga duka yang mengikutinya, dan bagaimana itu terkait dengan kebahagiaan. Salut kepada penerbit Kanisius, sebuah penerbit di Yogyakarta yang buku-buku filsafatnya saya gemari sejak lama, karena telah menerbitkan buku yang super keren ini. Buku ini telah memberi manfaat bagi saya, bahkan menenangkan, jadi saya pun menyarankan Anda mulai perjalanan bersama “Filosofi Kematian” dan belajar menjadi manusia yang bahagia dari setiap halaman yang kamu baca. Buku dapat dipesan via WA di Kanisius: wa.me/62822374780

    No Wa: 082237478080

  • Perlawanan Tanpa Titik dalam Novel “Perempuan di Titik Nol”

    Perlawanan Tanpa Titik dalam Novel “Perempuan di Titik Nol”

    Judul               : Perempuan di Titik Nol

    Penulis             : Nawal El-Saadawi

    Penerjemah      : Amir Sutaarga

    Penerbit           : Obor

    Tahun terbit     : 2002

    Tebal                : 175 halaman

    Indodian.com-Hari itu 02 Oktober 2022, tepat hari Minggu menjadi momen yang tepat untuk beristirahat sejenak melepas kepenatan akibat kesibukan kuliah. Sebuah novel dengan sampul merah, setebal 175 halaman karya Nawal El-Saadawi kutarik dari tumpukan buku-buku. Entah mengapa dua hari sebelumnya ketika menelusuri rak-rak buku perpustakaan sekolah, novel yang lebih tepat untuk dikatakan sebagai diary (karena tipis) itu menarik perhatian. Mungkin karena penulisnya adalah seorang wanita Mesir, yang nekat meramu kisah tentang emansipasi perempuan di tengah hegemoni kaum lelaki Mesir yang sarkas dan arkais. “Wah, hebat benar orang ini. Mendaftar jadi mayat”, gumam-ku dalam hati.    

    Sebelum membaca novel itu, aku menelusuri beberapa informasi tentang Nawal yang rupanya adalah seorang dokter di Mesir dan sempat menjabat sebagai direktur kesehatan di sana. Kritiknya terhadap hegemoni patriarkal telah membuat dia harus lengser dari jabatan itu. Akibat peristiwa tersebut, Nawal kemudian semakin tergugah dan teguh untuk menjadi aktivis perempuan yang terus-menerus menyerukan perlawanan terhadap dominasi kaum pria lewat karya-karyanya, termasuk novel Perempuan di Titik Nol.

    Novel ini diangkat dari kisah nyata seorang narapidana perempuan yang hendak dihukum mati (namun tetap ditaburi “bumbu” fiksi). Ketika mengetahui informasi itu, aku mulai menduga “apakah kisah ini akan sama dengan perjuangan Max Havelaar karya Douwes Dekker? Tetapi barangkali bakal lebih rumit, karena Max Havelaar ditulis bukan dalam situasi konflik diri tingkat akut seperti yang dialami Nawal; ditulis oleh seorang wanita yang berada di tengah dominasi kaum pria, di antara pilihan pekerjaan dan harga diri, di antara nyawa dan revolusi.”

    Meski ada banyak hal menakjubkan yang telah kutemukan dalam praduga-praduga awal atas buku itu, tetap ada kesangsian akan seberapa kuatnya kisah yang bakal diciptakan. Tentang tokohnya, tentang suasananya, tentang alur, tentang penokohan, tentang penyingkapan judul yang “wow” pada tubuh tulisan, dan terutama tentang revolusi yang hendak dicapai hanya dalam 175 halaman saja. Bagi anda yang sudah membaca Max Havelaar, Tetralogi Pulau Buru, serta Sophismata yang ditulis lebih dari 200 halaman tentu bakal tersenyum geli melihat Novel Perempuan di Titik Nol. Jangan-jangan Nawal hanya akan menjadikan tokoh utamanya sebagai lelucon seperti yang dibuat Cervantes pada Don Quixotte. Namun, tangguhkan dulu asumsi itu, karena semuanya akan terhempas ketika anda mulai membaca Perempuan di Titik Nol.   

    Mochtar Lubis dalam pengantarnya menulis bahwa Novel Perempuan di Titik Nol adalah sebuah novel yang ditulis dengan bahasa yang keras dan pedas. Nawal nampaknya memang sengaja untuk menyampaikan pesan novel itu dengan gaya bahasa yang lugas dan sarkas. Baginya dengan sesuatu yang blak-blakan, akan mampu menyadarkan dunia betapa menderitanya perempuan Mesir pada masa ketika novel itu ditulis.

    Firdaus adalah tokoh utama novel ini. Saya sendiri menduga pemilihan nama Firdaus sengaja diangkat Nawal untuk membahasakan ironisnya menjadi perempuan; dianggap sebagai surga yang mampu melahirkan kehidupan, tetapi tidak diharapkan untuk hidup.

    Firdaus adalah seorang wanita cantik yang hidup di tengah sisi gelap inferiornya perempuan dunia Arab yang kental dengan budaya patriarki. Sejak kecil Firdaus harus hidup di tengah keluarga kecilnya yang sangat patriarkat. “Jika salah satu anak perempuan mati, ayah akan menyantap makan malamnya, Ibu akan membasuh kakinya, dan kemudian ia akan pergi tidur, seperit itu ia lakukan setiap malam. Apabila yang mati itu seorang anak laki-laki, ia akan memukul ibu kemudian makan malam dan merebahkan diri untuk tidur” (hlm. 26).

    Setiap hari Firdaus diperlakukan layaknya budak, meski dalam keluarganya sendiri, sebab dia adalah seorang perempuan. Perlakuan ini dialami Firdaus bukan hanya dalam keluarga kecilnya. Ketika beranjak remaja, Firdaus ingin sekali menuntut ilmu ke Kairo mengikuti jejak pamannya, tetapi tidak diperbolehkan hanya karena dia seorang perempuan. “El Azhar di Kairo merupakan suatu dunia yang mengagumkan dan hanya dihuni oleh laki-laki saja, dan paman merupakan salah seorang dari mereka. Dan dia adalah seorang laki-laki” (hlm. 30). Dari penggalan ini kita dapat membaca tentang nasib naas Firdaus yang telah terintimidasi sejak dalam pikiran.

    Penderitaan sepertinya memang adalah takdir Firdaus. Ketika dewasa, Firdaus mengalami penyiksaan yang lebih berat dalam kekerasan seksual yang dialami dalam petualangan hidupnya. Berkali-kali dia diperkosa, dijual sebagai budak, hingga dipaksa menjadi istri orang yang tak dicintainya. Menariknya Nawal menyajikan kesengsaraan ini sebegitu detail mulai dari perjumpaan di jalan hingga hubungan intim di kamar.

    Semuanya digambarkan tanpa terlewatkan sedikitpun, tentang niat para lelaki ketika pertama berjumpa Firdaus, tentang kekerasan dari pintu kamar hingga ke atas tempat tidur sebelum berhubungan intim, hingga tawaran bantuan yang tetap juga menyertakan kalimat pelecehan di dalamnya. Coba pikirkan betapa naasnya perempuan itu, bahkan untuk suatu tawaran bantuan, dia tetap harus mengalami pelecehan seksual.  

     Firdaus selalu mengalami pelecehan seksual lewat kata, pikiran, sentuhan fisik, hingga lewat tatapan mata. “Saya melihat mata paman melirik isi rok saya. Tangannya lalu bergerak-gerak dibalik buku yang sedang ia baca, menyentuh kaki saya. Saat berikutnya saya merasakan tangan itu menjelajahi paha saya.”(hlm.20). Hal yang semakin menyedihkan adalah meski sadar dirinya kerap dilecehkan oleh pamannya, Firdaus tetap menggantung harapan akan bantuan dari pamannya itu.

    Bukan karena dia orang yang dapat dipercaya, tetapi paling tidak pelecehan yang dilakukan pamannya tidak seburuk yang dialaminya ketika berjumpa orang lain. “Pada suatu peristiwa ia (suami) memukul badan saya dengan sepatunya. Suami saya memukul muka dan badan saya sehingga menjadi bengkak dan memar. Lalu saya pergi dari rumah dan kembali ke rumah paman.” (hlm.63). Betapa mencengangkan keputusan itu, mengingat pamannya sendiri yang demi uang rela menjual dan memaksa Firdaus menikah dengan seorang lelaki tua dan kikir yang berperingai kasar bernama Syekh Mahmoud.

    Menjadi pelacur “yang bebas” adalah sebuah solusi bagi Firdaus agar dapat sedikit memperoleh kehormatan. “Saya tahu bahwa saya menjadi pelacur karena seorang laki-laki. Karena saya seorang yang cerdas, saya lebih suka menjadi seorang pelacur yang bebas daripada menjadi istri yang diperbudak.” (h.133). Ya, baginya seorang pelacur tidak dieksploitasi begitu saja, tetapi ada harga yang dibayar sesuai permintaannya.

    “Ketika saya menjadi pelacur, saya tidak pernah memberikan sesuatu secara cuma-cuma, tetapi saya selalu mengambil sesuatu sebagai imbalan.” (hlm.140). Dan itu adalah satu-satunya cara mendapatkan kehormatan.

    Bagi anda yang sudah terbiasa membaca novel bergenre heroik atau inspiratif, proses menuju kematangan hidup adalah hal yang biasa. Dari pengalaman buruk seseorang akan belajar untuk mengarahkan pilihan hidup kepada hal yang baik. Namun, Nawal menyajikan hal berbeda; dari pengalaman buruk, seorang perempuan mengarahkan pilihan hidup kepada hal yang buruk, hanya agar dapat mengangkat martabatnya ke tingkat yang lebih baik. Setidaknya itu yang dialami Firdaus.

    Tak ada pilihan bagi Firdaus yang dapat membantunya mendapatkan rasa hormat sebagai manusia. Dalam situasi itu, dia terpaksa menjadi pelacur, suatu pekerjaan yang menjual kehormatan diri, hanya agar dapat menetapkan harga untuk dirinya. Itulah sebuah kehormatan dan prestasi bagi Firdaus; mampu mengendalikan dan mengatur pria yang hendak memakai jasanya. Suatu kehormatan yang ironis.

    Secara umum novel ini boleh dikatakan phobia lelaki. Tidak ada satupun yang baik dari seorang lelaki, bahkan juga mereka yang menawarkan bantuan, “Lelaki revolusioner yang berpegang pada prinsip-prinsip sebenarnya tidak banyak berbeda dari lelaki lainnya.” (hlm.145). Pengalaman akan ketertindasan wanita Mesir saat itu sepertinya benar-benar telah menjadi roh bagi isi novel ini. Semakin menarik karena Nawal menulis novel Perempuan di Titik Nol, tanpa terikat akan kebiasaan, adat istiadat dan hal-hal yang dianggap tabu dalam etiket masyarakat setempat.

     Bahasanya sangat tajam, juga terkadang agak menjijikan seperti kutipan berikut: “Lubang pada bisulnya sedang mengeluarkan tetesan nanah yang baunya bukan kepalang. Saya tidak memalingkan muka kali ini. Saya menyerahkan muka saya ke muka tubuhnya, pasif tanpa perlawanan tanpa suatu gerakan, seperti tidak bernyawa seperti batang kayu mati” (hlm. 71-72). Di balik itu semua Nawal ingin menggugah siapa saja untuk peduli pada ketertindasan wanita Mesir saat itu.

    Membaca buku ini akan menambah wawasan kita akan situasi sosial masyarakat Mesir saat itu. Namun lebih jauh, novel ini juga akan menyadarkan kita tentang hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari yang cenderung melecehkan perempuan. Barangkali hal-hal seperti praduga, lelucon-lelucon seksis, atau tentang body shaming yang secara laten melahirkan budaya misoginis kerap luput dari pandangan kita. Membaca buku ini akan mampu menyadarkan kita tentang betapa menderitanya wanita oleh hal-hal yang mungkin kita anggap “sepele” itu.  

    Setelah membaca sepenggal resensi tak berharga ini, bagi anda yang kemudian berminat membacanya, selamat berpetualang dalam kubangan kata-kata dan peristiwa yang begitu menjijikan, ironis, dan sarkas.

  • Kesederhanaan yang Megah dan Niat Baik Menyelamatkan yang Terbuang

    Kesederhanaan yang Megah dan Niat Baik Menyelamatkan yang Terbuang

    Judul             : Panggil Pulang yang Terbuang, Kumpulan Esai tentang Keseharian

    Penulis          : Reinard L. Meo

    Penerbit        : Penerbit Ledalero

    Tahun           : Juli 2021

    Setelah “Segala Detikmu” (2016), kini Reinard L. Meo hadir lagi dengan “Panggil Pulang yang Terbuang,” (2021) suatu kumpulan esai tentang sejumlah hal sederhana dan penting yang (mungkin) begitu gampang lolos dari perhatian kita.

    Dengan teknik penulisan yang megah dan “wah”, Reinard mengemas tema-tema sederhana itu dalam satu kesatuan yang megah. Ada niat baik di balik proyek berentang waktu lima tahun ini: niat menyelamatkan manusia-manusia yang terbuang.

    Tapi benarkah, tema-tema Reinard ini sederhana dan terlalu biasa? Bisa Ya, bisa Tidak. Reinard sendiri menganggapnya “sederhana dan biasa-biasa saja.” Anggapan itu saya pertahankan dalam keseluruhan tulisan ini, walaupun sedikit banyak saya menolaknya, karena bagi saya, tema-tema ini sama sekali tidak sederhana dan tidak biasa-biasa saja.

    Panggil Pulang yang Terbuang: “Saya” yang Terlempar

    Tiga esai pertama dalam buku ini (Saya, Facebook dan “Saya”; Daya Tarik; dan Budak Sosmed) mengangkat tema seputar pertalian antara manusia dan media sosial seperti Facebook, WhatsApp, Instagram, dan sejenisnya.

    Reinard menggunakan Saya dan “Saya” untuk membedakan diri saya yang hidup di dunia nyata dengan diri saya yang eksis di dunia maya. Garis batas itu ditarik karena terdapat perbedaan identitas yang tak dapat dibantah antara saya dalam ruang dan waktu riil dengan saya yang sedang berselancar dalam ruang dan waktu maya.

    “Saya menemukan,” tulis Reinard (hlm. 5), “di dunia maya terjadi apa yang boleh saya sebut sebagai ketercerabutan diri (self-deprivation). Dalam lain perkataan, saya yang berpindah menuju “saya”, membawa serta diri saya menjadi “diri saya” yang lain. Ada jurang antara saya dan “saya”.

    Melalui suatu analisis yang dalam, tajam, dan terukur, Reinard menyimpulkan bahwa arus perpindahan Saya ke “Saya” bermula dari kebiasaan ikut arus. Sejumlah daya tarik yang dimiliki berbagai jenis platform media sosial dan kenyataan bahwa banyak orang menggunakannya untuk berbagai kepentingan, membuat manusia serta merta mencemplungkan diri ke dalamnya tanpa pikir panjang.

    “Bermula dari ‘ikut arus’”, demikian Reinard (hlm. 4), “identitas saya juga turut dibentuk/terbentuk.” Identitas, bisa baik, bisa buruk. Saya yang berpindah ke “Saya”, bisa menjadi “Saya” yang lebih baik atau “Saya” yang lebih buruk.

    Dalam “Daya Tarik” dan “Budak Sosmed”, Reinard mengangkat dua contoh identitas baru itu, yaitu “saya” yang berdaya juang lemah dan “saya” yang membudakkan diri pada media sosial.

    Reinard adalah seorang katolik dan seorang guru. Sebagai seorang beragama yang memiliki tanggung jawab sosial, Reinard mengingatkan kita bahwa “ketergantungan yang berlebihan pada teknologi internet akan melemahkan daya juang, termasuk militansi dalam beriman.” (hlm. 9).

    Awasan ini dilatarbelakangi oleh keterpesonaan umat beriman pada kemudahan yang ditawarkan aplikasi-aplikasi digital seperti eKatolik, Alkitab PEDIA, Bible Offline, dan lain-lain.

    Sebagai seorang guru, Reinard mengingatkan anak-anak muridnya—kita semua—untuk tidak menjadi budak media sosial. “Bila kalian masih merasa bahwa sosmed adalah segala-galanya, paket data habis rasanya mau mati, ke mana-mana minta hotspot, dan galau berat ketika energi HP hampir habis, kalian adalah Budak Sosmed. Hendaklah kita menjadi tuan atas Sosmed kita masing-masing!”

    Pada titik ini saya teringat nasihat Gretchen Rubin, seorang penulis, blogger, dan motivator asal Missouri, USA, “Technology is a good servant, but a bad master.”

    Maka kini sampailah kita pada kesimpulan pertama bahwa kaum terbuang pertama yang dipanggil pulang adalah “Saya” yang terlempar dan terasing dalam jagat raya dunia maya. “Saya,” demikian Reinard (hlm. 6), “harus selalu kembali menuju saya.”

    Panggil Pulang yang Terbuang: Saya yang Tertidur

    “Mengingat Reinard adalah seorang guru (yang diharapkan tak tergoda menggurui),” tulis John Manford Prior dalam pengantar kumpulan esai ini, “tidak mengherankan ada esai yang membahas soal pendidikan.” Ada dua esai yang berbicara tentang pendidikan, yaitu Kaji Ulang Dinamika Pendidikan Kita dan Seandainya Buku Saya Dibajak.

    Dalam kedua esai ini, Reinard mencoba membangunkan kita yang sedang tertidur sehingga tidak menyadari bahwa dunia pendidikan dan literasi kita sedang dalam keadaan carut marut dan hampir tak berbentuk. Ajakannya memang berat: mengkaji ulang dinamika pendidikan dan memerangi pembajakan buku.

    Dalam proyek besar mengkaji ulang sistem pendidikan, Reinard mengajak kita berpaling pada John Holt (1923-1958) dan Aristoteles. Holt merekomendasikan Home Education sebagai tempat terbaik yang memungkinkan terjadinya proses belajar.

    Aristoteles membedakan tiga jenis sains: sains produktif yang berhubungan dengan teknologi; sains praktis yang berhubungan dengan tindakan-tindakan konkret; dan sains teoritis yang berhubungan dengan aktivitas kontemplatif untuk mencari kebenaran.  

    Penerapan yang seimbang antara ketiga jenis sains ini dalam dinamika pendidikan kita diharapkan “mampu membentuk kita menjadi manusia yang holistik,” (hlm. 18). Perlu diciptakan keseimbangan antara keahlian teknis dan usaha-usaha mencari makna hidup; antara pencarian ide-ide kebenaran dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.

    Keseimbangan itu, pada gilirannya akan menuntun anak-anak kita menemukan jati diri dan tujuan keberadaan mereka masing-masing. Pada titik ini, nasihat Ki Hadjar Dewantara perlu digemakan kembali.

    “Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidikan hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu” dan “setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.”

    Selain pada sistem pendidikan, permasalahan lain yang sedang kita alami ada pada dunia literasi. Banyak buku dibajak dan fenomena pembanjakan buku merupakan suatu kejahatan terhadap peradapan. Hal-hal seputar kejahatan model ini diatur oleh Undang-undang. Oleh karena itu, yang pertama-tama “dibangunkan” adalah Negara. Negara harus bertindak tegas.

    Akan tetapi, pertanyaan pengandaian Reinard, “Seandainya Buku Saya Dibajak”, tidak hanya diperuntukkan bagi Negara, penulis, dan pelaku kejahatan, melainkan juga bagi seluruh lapisan masyarakat. Ayo bangun, mari perangi pembajakan buku!

    Panggil Pulang yang Terbuang: Saya yang Berhasrat

    Pada bagian ini, Reinard berbicara tentang kekerasan dan perdamaian. Fenomena baku hantam di tempat pesta menjadi objek kajian untuk membongkar akar dan penyebab terjadinya kekerasan pada level dan konteks tertentu.

    Di tempat pesta, mengapa manusia suka baku injak? Sekurang-kurangnya ada empat alasan yang diangkat. Pertama, adanya dendam pribadi [Sebentar kalau sa lihat ada dia, asli, sa injak!]; Kedua, efek alkohol (bisa ditekan dengan meningkatkan kontrol diri dan menekan laju distribusi cerek dari dapur).

    Ketiga, baku senggol saat goyang dan puntung rokok yang bikin risih; dan Keempat soal salah paham (sa tida tau dansa, Kaka. Aduhh, sumpah demi demi, sa ti tau. A few moments later, Ade nona dansa den orang laen).

    Keempat alasan ini adalah sesuatu yang situasional. Perlu ditemukan akar terdalam dari setiap kekerasan yang terjadi. Untuk itu, Reinard mengajak kita berkenalan dengan pemikiran Erich Fromm.

    Menurut Fromm, pada manusia, hasrat untuk merusak (insting kematian), sama kuatnya dengan hasrat untuk mencintai (insting kehidupan, seksualitas). Rupanya insting kematian itulah yang mendominasi seluruh kepribadian manusia-manusia yang suka baku injak di tempat pesta.

    Panggil Pulang yang Terbuang: Saya yang BerTuhan

    Dunia kita tengah dilanda banyak jenis krisis, salah satunya adalah perang dan konflik antaragama. Esai “Quo Vadis Perdamaian” mengajak semua elemen masyarakat, baik komunitas religius maupun non-religius, untuk kembali secara serius memikul tanggung jawab untuk mewujudkan perdamaian.

    Reinard memperkenalkan kepada kita Etika Global yang diprakarsai oleh Hans Kung. Rumusan etika ini dihasilkan dari kesepakatan bersama para pemeluk agama-agama dan komunitas non-religius. Salah satu point penting yang diangkat adalah dialog. Perdamaian dunia akan tercipta lewat perdamaian antaragama, dan perdamaian antaragama hanya akan mungkin lewat dialog. 

    Ada tiga golongan yang secara khusus “dipanggil pulang” untuk mengupayakan perdamaian melalui dialog.

    Pertama, pemimpin agama-agama dan komunitas non-religius. Masing-masing diajak untuk selalu memberikan pencerahan, mengajak semua anggotanya untuk bersama para anggotanya mengusahakan perdamaian, dan membangun dialog dari hati ke hati.

    Kedua, para aktivis dialog dan akademisi. Kelompok ini diharapkan dapat menerjemahkan gagasan dialog kritis Hans Kung ke dalam bahasa yang dapat dipahami dengan mudah oleh kelompok awam.

    Ketiga, umat agama-agama dan komunitas non-religius. Lapisan inilah yang diharapkan mampu mempraktikkan etika global dengan tujuan menciptakan satu tatanan dunia baru yang sungguh-sungguh damai.

    Panggil Pulang yang Terbuang: Saya yang Terbatas

    Dua dari empat esai terakhir dalam kumpulan ini berbicara tentang keterbatasan dan kerentanan manusia. Di tengah kenyataan itu, manusia dituntut secara mutlak untuk bertahan hidup.

    Kematian, penderitaan, perjuangan, dan kesalahan, kata Karl Jaspers, adalah kenyataan-kenyataan yang inheren pada manusia.  Empat kenyataan itu disebut situasi batas.

    Jika ditangani dengan tepat, situasi batas itu dapat membuat manusia makin kuat dan maju. Sebaliknya, jika direspon dengan cara-cara yang tidak bijak, situasi itu akan membuat manusia semakin lemah dan mudah menyerah pada takdir.

    Kesadaran akan situasi batas membuat manusia bersolider dengan sesama. Salah satu sumber solidaritas, dalam refleksi teologis John Sobrino, adalah fakta kemalangan dalam hidup yang menuntut tanggung jawab bersama.

    Dalam gerakan kemasyarakatan bernama Arisan dan momen iman Kristiani bernama Natal, ada solidaritas yang tak terbantahkan.

    Arisan adalah solidaritas antarsesama manusia: secara ekonomis, kita secara bergilir membantu sesama yang membutuhkan. Natal adalah solidaritas Allah terhadap manusia: Tuhan menjadi manusia untuk merasakan pahit dan manisnya hidup ciptaan istimewa itu.

    Ketika Reinard Merokok

    Reinard merokok sejak masih kecil sampai sekarang. Apa yang dia pikirkan saat merokok? Dia memikirkan banyak orang dan hal.

    Dia berpikir tentang Immanuel Kant dan kenyataan bahwa mata kita tidak pernah menangkap suatu objek, melainkan hanya menangkap hal-hal yang ditampakkan oleh objek itu.

    Dia memikirkan Karl Jasper eksistensialis Jerman dan fakta bahwa manusia adalah misteri dan tak terselami bahkan oleh dirinya sendiri.

    Dia juga berpikir tentang Hannah Arendt Filsuf yang lebih nyaman dipanggil pemikir politik dan keberaniannya yang mencengangkan ketika mengatakan bahwa teori “manusia adalah makhluk politik” Aristoteles keliru.

    Reinard merokok sejak dia belum tahu bahwa nama “Fransiskus” itu ditulis dengan ef Floles, bukan ve Veronika. Ketika Reinard merokok, apa yang dia buat?

    Dia akan menyeduh kopi, entah itu kopi sachet entah itu kopi asli, mereguknya sebentar, lalu mulai menulis tentang apa saja.

    Di tangan Reinard, sebatang rokok tidak hanya mengepulkan asap dan menyebabkan kanker paru-paru, tapi juga ini yang paling penting melahirkan kreativitas bernama “Panggil Pulang yang Terbuang.”

  • Tubuh Dan Persetubuhan Itu Suci

    Tubuh Dan Persetubuhan Itu Suci

    Judul               : Eleven Minutes (Sebelas Menit)

    Penulis             : Paulo Coelho;

    Tebal               : 360 hlm

    Penerbit           : PT Gramedia Pustaka Utama

    Cetakan           : ke-6 tahun 2014

    Tulisan ini merupakan sebuah resensi novel Eleven Minutes karya novelis Brasil, Paulo Coelho. Keseluruhan bangunan resensi ini dibagi dalam empat pokok bahasan yaitu latar belakang penulisan novel, sinopsis, pesan dan kritikan.

    Latar Belakang Penulisan Novel

    Pada dasawarsa 1970-an, Irving Wallace (1916-1990) menulis sebuah buku tentang praktik penyensoran media massa di Amerika. Wallace membongkar kediktatoran pihak-pihak berwenang yang bersekongkol melarang penerbitan sebuah buku tentang seks yang berjudul The Seven Minutes. Paulo Coelho penasaran dengan buku yang tidak pernah diterbitkan itu dan berencana untuk menulisnya sendiri (Coelho, 2014:354).

    The Seven Minutes membangkitkan keinginan Paulo Coelho untuk menulis buku tentang seks yang kemudian diberi judul Onze Minutos (Eleven Minutes). Ada dua hal penting dalam The Seven Minutes yang menginspirasi Eleven Minutes, yaitu judul dan kesadaran akan pentingnya memperlakukan subjek seks secara serius. Paulo Coelho menulis,

    “Wallace banyak sekali menyebut-nyebut buku The Seven Minutes yang tak pernah ada itu, dan hal tersebut saya rasakan amat menghambat kreativitas saya, kalau tak bisa dikatakan memasungnya. Satu-satunya yang tersisa dan bisa saya kembangkan hanyalah judulnya (dan saya rasa Wallace terlalu konservatif dalam memperkirakan waktu yang dibutuhkan untuk menuntaskan sebuah percumbuan, sehingga saya memutuskan untuk menambah sedikit hitungan menitnya) dan kesadaran akan pentingnya memperlakukan subjek seks secara serius—seperti yang sudah dilakukan para penulis pendahulu saya (Coelho, 2014:355).

    Ketika berceramah di Mantua, Italia pada tahun 1997, Paulo Coelho mendapatkan sebuah manuskrip tentang kisah nyata seorang pelacur Brazil, tentang perkawinannya, masalah-masalahnya dengan dunia hukum dan berbagai macam petualangannya.

    Pada tahun 2000, Coelho bertemu dengan pelacur penulis manuskrip itu dan rekan-rekan seprofesinya di Langstrasse, Zurich. Saat itu Coelho sudah memutuskan untuk menulis buku tentang seks namun belum menemukan alur dan tokoh utamanya. Pertemuan di Langstrasse itu menyadarkan Coelho bahwa untuk bisa menulis tentang kesucian seks, seorang penulis terlebih dahulu harus mengerti alasan seks selalu dipandang najis (Coelho, 2014:356).

    Di Jenewa, Paulo Coelho bertemu dengan Antonella Zara. Nyonya Zara membagikan kisah hidupnya pada Paulo Coelho dan kisah itulah yang menjadi ilham utama Eleven Minutes. Dari kisah-kisah pribadi yang dipaparkan Nyonya Zara, Coelho mendapatkan benang merah yang merangkai seluruh kisah dalam novel ini (Coelho, 2014:357).

    Sinopsis

    Serentetan kegagalan yang dialami dalam merengkuh cinta sejati di masa muda membuat Maria, seorang gadis di pedalaman Brasil, kehilangan kepercayaan akan cinta. Pertemuan dengan pencari bakat asal Swiss di Rio de Janeiro membuat Maria memutuskan untuk merantau ke Jenewa untuk mencari uang dan ketenaran.

    Akan tetapi Maria mengalami kegagalan besar dalam pekerjaannya sebagai penari. Untuk bertahan hidup, ia terpaksa menjadi pelacur. Dalam perjalanan waktu, profesi itu tidak hanya menghasilkan uang bagi Maria, tetapi juga telah melahirkan obsesi. Maria kecanduan.

    Maria ditiduri oleh begitu banyak laki-laki, mulai dari pria Arab yang menjadi pelanggan pertama, sampai dengan Ralf Hart, pria yang bersamanya menemukan sacred sex. Perkenalan dan petualangan ranjang bersama klien-klien istimewa Copacabana seperti Ralf hart dan Terence, membawa Maria pada pemahaman tentang kenikmatan rasa sakit dan seks yang suci. Di antara kedua orang ini, Ralf Hartlah yang mengubah keseluruhan hidup Maria.

    Ralf hart adalah seorang pelukis terkenal. Pelukis inilah yang pertama kali melihat cahaya dalam diri Maria. Cahaya itulah yang mempersatukan mereka, mula-mula sebagai pelacur dan klien istimewa kemudian terjalinlah relasi cinta pria dan wanita bebas. Bersama sang pelukis, Maria menjelajahi jagat raya seksualitas yang mahaluas, merasakan orgasme yang paling murni, menemukan kembali keutuhan diri, keperawanannya dan pada akhirnya merengkuh kebahagiaan bersama cinta sejati dalam diri Pangeran Idamannya.

    Pada akhirnya Maria membatalkan kepulangannya ke Brasil. Dengan berani ia memutuskan membuka periode baru kehidupannya. Suatu rentangan waktu yang akan dilaluinya bersama Ralf Hart. Sekarang dia memiliki impian untuk diraihnya di masa depan.  Impian yang akan diwujudkan Maria ialah impian yang dimiliki oleh semua manusia yang lahir sebagai perempuan, yaitu impian untuk “bertemu sang pria idaman (kaya, tampan, cerdas), menikah (mengenakan gaun pengantin, tentunya), mempunyai dua anak (yang setelah dewasa menjadi orang-orang terkenal), dan tinggal di rumah yang indah (dengan pemandangan ke laut)” (Coelho, 2014:13).

    Pesan

    Eleven Minutes hadir sebagai narasi perlawanan terhadap grand story yang mendepersonalisasi tubuh manusia. Percepatan laju teknologi dan media komunikasi yang tak terbendung, di satu sisi menguntungkan manusia dan di sisi lain meruntuhkan moral sebagian besar orang. Salah satu tanda nyata keruntuhan itu tampak dalam prilaku manusia yang tidak menghargai tubuh, baik tubuh orang lain maupun tubuh sendiri.

    Eleven Minutes mengedepankan suatu pemahaman baru tentang tubuh manusia. Meminjam istilah Paulo Coelho sendiri, di dalam diri semua manusia terdapat “cahaya.” Coelho menggunakan kata “cahaya” untuk menggambarkan persona atau pribadi luhur yang terkandung di dalam tubuh manusia.

    Eleven Minutes mengarahkan para pembacanya pada pemahaman bahwa hubungan seks sepasang pria dan wanita merupakan suatu tindakan yang sakral. Sakralitas itu mengandaikan cinta di antara dua manusia yang terlibat dalam hubungan badan. Persetubuhan tidak hanya dipandang sebagai bersatunya dua tubuh manusia (persetubuhan biologis), tetapi lebih daripada itu, harus selalu dilihat sebagai pertemuan dua pribadi manusia dalam cinta (persetubuhan teologis).

    Persetubuhan, baik dalam pengertian biologis maupun teologis, menghantar manusia pada suatu pengertian bahwa hubungan seksual merupakan sesuatu yang di dalam dirinya sendiri bersifat sakral. Pertualangan seksual sepasang pria dan wanita yang saling mencintai mendekatkan mereka pada kesucian, pada pertemuan langsung dengan realitas keilahian.

    “Dan kami orgasme bersama-sama. Yang kami alami bukan lagi siklus sebelas menit, namun sebuah keabadian, seolah sukma kami telah lepas dari badan, lalu kami berdua berjalan-jalan di taman surga sebagai dua sahabat yang saling mengerti. Aku seorang perempuan dan seorang lelaki, dia lelaki dan perempuan. Entah berapa lama pengalaman itu kami rasakan, namun mendadak semua terasa senyap, seakan tenggelam dalam lantunan doa yang khusyuk, seakan buana raya dan kehidupan telah sirna dan berubah menjadi sesuatu yang sakral, tak berwujud dan kekal abadi,” (Coelho, 2014:57).

    Kritikan

    Paulo Coelho, dalam Eleven Minutes memiliki keberanian untuk berenang melawan arus. Novel ini ditulis pada tahun 2003 ketika dunia sedang dibanjiri hedonisme dan biologisme yang mendewakan kenikmatan tubuh. Eleven Minutes hadir sebagai narasi kontra dengan menampilkan dimensi spiritual kehidupan manusia.

    Eleven Minutes membongkar pemahaman lama yang meyakini bahwa seksualitas manusia merupakan hal yang bersifat tabu, kotor, dan najis. Sebaliknya, Coelho dengan argumentasi yang meyakinkan menegaskan bahwa seksualitas manusia bersifat sakral.

    Paulo Coelho membangun antropologi yang memberikan penekanan pada kenyataan, tubuh manusia menyingkapkan realitas Ilahi yang digambarkan melalui terma cahaya. Dalam hal ini, Coelho sangat dekat dengan pemikiran Teologi Tubuh Yohanes Paulus II yang meyakini bahwa tubuh manusia merupakan sebuah teologi. Dalam dan melalui tubuh manusia, sabda (logos) tentang Allah (Theos) terucapkan (John Paul II, 2006:203).

    Di sisi lain, Eleven Minutes mengandung banyak kebajikan, yang sayangnya disampaikan hanya secara tersirat sehingga pembaca diharuskan untuk mencerna isi buku secara lebih mendalam untuk dapat menangkap maksud Coelho. Kalau seandainya gagal, novel ini hanya akan dipandang sebagai sebuah novel porno belaka karena Coelho menggambarkan sedetail mungkin “ritual” penemuan kesucian seks oleh Maria dan Ralf Hart. Dalam konteks Indonesia sebagai negara yang warga negaranya beragama, Eleven Minutes belum cukup kuat untuk dijadikan sebagai referensi dalam pencarian dan penemuan kesucian seks. Hubungan seks Maria dan Ralf Hart terjadi di luar konteks perkawinan menurut ajaran-ajaran agama yang diakui di Indonesia. Untuk konteks kita perlu ditambahkan satu hal, yakni seks yang suci hanya bisa ditemukan dalam persetubuhan yang terjadi antara sepasang pria dan wanita yang telah menikah