Tuhan dalam Tiga Unsur Rumah Adat Ende Lio

- Admin

Minggu, 30 Mei 2021 - 10:57 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com – Ketika memulai berbicara tentang Tuhan, hampir pasti kita akan terdampar dalam tanya yang sulit untuk dijawab. Selain karena tak dapat dilihat, Tuhan tidak akan pernah tuntas dibahas. Kehadiran ilmu pengetahuan hingga saat ini tetap tak mampu secara lengkap mengungkapkan tentang Tuhan. Tetapi menariknya, ketika kita menggali kekayaan budaya lokal terdapat jejak kaki Tuhan dalam beberapa unsur budaya. Mengenai hal ini, masyarakat Ende Lio di Flores Nusa Tenggara Timur memahami Tuhan dalam tiga unsur pembentuk rumah adat.

Masyarakat Adat Ende Lio mengenal Tuhan sebagai Wujud Tertinggi dengan nama Du’a Ngga’e. Secara etimologi Du’a Ngga’e berasal dari dua kata bahasa Lio yakni Du’a yang berarti tua, pemilik atau wujud yang tidak terjangkau. Sedangkan Ngga’e berarti tuan, yang mengacu kepada kebesaran, kewibawaan. Karena itu, Du’a Ngga’e berarti yang mulia, tua dan terhormat, raja besar dan agung dan bersifat sempurna. Jadi, dapat disimpulkan bahwa Du’a Ngga’e merupakan Tuhan atau Wujud Tertinggi yang bersifat rohani dan sempurna.

Baca Juga : Berani untuk Percaya Diri?
Baca Juga : Apa yang Anda Ketahui tentang Kebenaran?

Du’a Ngga’e dapat diartikan sebagai penguasa segala makluk di bumi atau alam semesta dan langit atau dunia akhirat yang sering digelari Du’a lulu wula, Ngg’e wena tana yang berarti Tuhan penguasa langit tertinggi dan Allah penguasa bumi terdalam. Du’a Ngga’e diyakini sebagai penguasa semesta dan seluruh alam ciptaan baik di langit maupun di bumi. Dalam kepercayaan masyarakat Ende Lio, Du’a Ngga’e dijuluki sebagai seseorang “bertelinga lebar dan bermata besar” yang mampu mengamati seluruh sikap manusia yang baik maupun yang jahat.

Du’a Ngga’e menjadi penopang keteraturan dan penyelenggara hidup manusia. Du’a Ngga’e akan memberikan berkat bagi setiap umatNya yang percaya kepadaNya dan memberikan ganjaran kepada orang-orang yang menyimpang dari peraturan-Nya. Oleh karena itu, masyarakat Ende Lio membina relasi yang harmonis dengan Du’a Ngga’e.

Baca Juga : Reformasi Dikorupsi dan Gerakan Kaum Muda Progresif
Baca Juga : Tak Ada Mimpi Yang Ketinggian

Dalam usaha menjalin relasi yang akrab dengan Du’a Ngga’e, masyarakat adat Ende Lio selalu membuat ritus memberi sesajen atau pati ka wula leja atau menjalin hubungan lewat benda-benda kudus seperti tubumusu, keda dan kanga. Masyarakat Ende Lio meyakini bahwa Du’a Ngga’e hadir sebagai penjamin kebahagiaan dalam wujud benda-benda tersebut.

Baca juga :  Konsep Bambu dalam Budaya Manggarai

Tubumusu, keda dan kanga ini terdapat di setiap kampung adat Ende Lio. Kampung tradisional di wilayah Ende Lio memiliki kekhasan dalam denah dan bentuk rumahnya. Setiap kampung Ende Lio pada umumnya dikelilingi pagar baru (kota). Di pinggir luar kampung terdapat sejumlah lumbung (kebo) dan pohon beringin besar. Rumah-rumah masyarakat letaknya membentuk lingkaran mengelilingi pelataran utama yang terdiri atas keda (rumah leluhur), sa’o ria (rumah induk), kanga (pelataran tempat upacara). Di tengah kanga didirikan sebuah tiang batu (tubu/musumase) dengan sebuah batu ceper di bawahnya (lodo nda), tempat dilaksanakan ritus-ritus adat.

Baca Juga : Cerita Seorang Pembohong
Baca Juga : Bias Urban dan Desa sebagai Subjek Media

Untuk membentuk sebuah kampung adat baru bagi masyarakat di Ende Lio perlu adanya tiga unsur penting yaitu tubumusu, keda dan kanga. Tiga elemen ini menjadi pusat perhatian dari sebuah kampung adat. Menarik bahwa tidak semua kampung di wilayah Ende Lio bisa membuka kampung adat baru. Yang berhak membuka kampung baru dengan tiga unsur pembentuknya adalah seseorang atau kampung yang memiliki relasi kekerabatan atau keturuan langsung Embu Nggoro-Lepembusu yang merupakan nenek moyang pertama orang Ende Lio. 

Tubumusu, keda dan kanga memiliki arti dan makna yang mendalam. Pertama, tubumusu. Secara etimologis, tubumusu berasal dari dua kata Lio yakni tubu yang berarti pangkal yang tersisa ketika dipotong (dalam konteks ini adalah batu) dan musu berarti mengisap atau isap. Tubumusu secara harafiah berarti batu pengisap. Tubumusu secara khusus ialah sebuah batu keramat yang terletak di tengah kampung. Tubumusu menjadi tempat warga kampung mempersembahkan sesajen untuk memohon kepada Du’a Nggae (Wujud Tertinggi).

Baca juga :  Merayakan Hari Kasih Sayang

Baca Juga : Zen, sebuah Agama Baru?
Baca Juga : Pernikahan Dini: Pandemik Yang Belum Juga Berakhir

Proses pembuatan tubumusu diawali dengan pertemuan para Mosalaki (tua adat). Biasanya pemilihan batu tubumusu diambil dari wilayah tanah ulayat sendiri. Sebelum batu tersebut diantar ke kampung terlebih dahulu direciki dengan darah kerbau. Pada waktu diarak ke kampung, tubumusu dibungkus dengan kain adat dan diiringi dengan tarian. Sebelum batu tersebut didirikan, terlebih dahulu warga menggali lubang dan membuat dasar yang kuat.

Kedua, keda.  Keda dalam bahasa Lio berarti bangunan tradisional dengan atap alang-alang yang menjulang tinggi. Keda digunakan sebagai balai musyawarah para pemuka adat atau mosalaki, tempat penyimpanan benda-benda peninggalan sejarah, sebagai simbol manusia pertama, sebagai tempat tinggal roh-roh serta diyakini bahwa banggunan ini memiliki hubungan spiritual.

Ketiga, kanga. Kanga merupakan pelataran suci di tengah-tengah kampung adat yang berdekatan dengan keda dengan luas sekitar 10 meter. Pada bagian pusat terdapat tubumusu. Kanga juga sebagai pusat segala ritus keagamaan asli suku Lio. Kanga diasosiasikan oleh masyarakat Lio sebagai simbol perempuan dan tubumusu sebagai figur laki-laki. Perkawinan kosmos yang terjadai akhirnya melahirkan kelimpahan bagi manusia melalui rahim kanga. 

Baca Juga : Cerita Wartawan di NTT Dapat Sinyal 4G di Pohon Jambu
Baca Juga : Media Siber dan Demokrasi di Era Milenial

 Tubumusu, keda dan kanga dalam kepercayaan masyarakat Ende Lio dianggap sebagai tempat suci dan sakral karena menjadi tempat kediaman Tuhan atau Wujud Tertinggi (Du’a Ngga’e). Setiap masyarakat asli dan pendatang yang berkunjung ke setiap tubumusu, keda dan kanga wajib menghormati tempat tersebut. Proses pembangunan benda-benda suci ini mengikuti ritus-ritus yang suci. Masyarakat Ende Lio menyebut tubumusu, keda dan kanga  sebagai keli wolo kita, ola negi kita lei sawe, yang berarti gunung dan bukit kita, kekuatan hidup kita semua.

Baca juga :  Nakeng Sabi, Tradisi Masyarakat Manggarai yang Mulai Hilang

Biasanya, masyarakat Lio merayakan beberapa peristiwa penting seperti pada musim kemarau yang berkepanjangan untuk meminta hujan sambil memberikan persembahan pada tubumusu, keda dan kanga. Ketiga unsur ini menjadi pusat dari kampung sekaligus menjadi pusat kehidupan masyarakat. Masyarakat Lio menggantung keberhasilan dan kebahagiaan melalui ritus-ritus dan pemberian sesajian pada ketiga unsur rumah adat tersebut.  Karena itu tubumusu, keda dan kanga dapat diartikan sebagai tempat ibadat bagi masyarakat adat Lio.  

Ketiga unsur rumah adat Ende Lio, tubumusu, keda dan kanga diyakini oleh masyarakat Ende Lio sebagai simbol kehadiran Wujud Tertinggi (Tuhan) atau Du’a Ngga’e di tengah kehidupan mereka. Tubumusu, keda dan kanga berada di pusat atau di tengah-tengah kampung adat merupakan simbol kehadiran Tuhan yang senantiasa mencurahkan berkat kepada manusia yang taat kepadaNya sekaligus memberikan kutukan kepada setiap orang yang menyimpang. Oleh sebab itu, tubumusu, keda dan kanga selalu diperlakukan istimewa, dihormati, dihargai dan disembah oleh masyarakat adatnya dalam kehidupan sehari-hari.

Sumber Pendukung

Arndt, Paul. Du’a Ngga’e: Wujud Tertinggi dan Upacara Keagamaan di Wilayah Lio-Flores Tengah. Terj. Yosef Smeets dan Kletus Pake. Maumere: Puslit Candraditya, 2002.

Beraf, Charles. “Allah Kosmik dan Allah Sosial: Agama Asli Masyarakat Lio-

Ende”. Wartya Flobamora 2019:72.

Tetiro, Agustinus. “Masyarakat Adat Wolotolo dan Pire Te’u”. https://agustinustetiro.wordpress.com/2017/10/14/masyarakat-adat- wolotolo-dan- pire-teu/, diakses pada 10/12/2020.

Komentar

Berita Terkait

Memaknai Lagu “Anak Diong” dalam Konteks Budaya Manggarai
Lingko dalam Festival Golo Koe  
Cear Cumpe, Ritus Pemberian Nama dalam Kebudayaan Manggarai, NTT
Konsep Bambu dalam Budaya Manggarai
Merayakan Hari Kasih Sayang
Aku Caci, Maka Aku Ada
Cerita Tuna Merah di Sumber Mata Air
Otensitas Kebudayaan Kita Semakin Rapuh?
Berita ini 516 kali dibaca

Berita Terkait

Sabtu, 14 Oktober 2023 - 22:46 WITA

Seni Homiletika: Tantangan Berkhotbah di Era Revolusi Sibernetika

Berita Terbaru

Politik

Menanti Keberanian PDI Perjuangan Berada di Luar Pemerintahan

Selasa, 25 Jun 2024 - 08:31 WITA

Berita

SD Notre Dame Puri Indah Wisudakan 86 Anak Kelas VI

Jumat, 21 Jun 2024 - 12:13 WITA

Pendidikan

Menyontek dan Cita-Cita Bangsa

Jumat, 14 Jun 2024 - 10:52 WITA

Berita

SMP Notre Dame Wisudakan 70 anak Kelas IX

Kamis, 13 Jun 2024 - 18:26 WITA

Pendidikan

Sastra Jadi Mata Pelajaran

Rabu, 12 Jun 2024 - 20:39 WITA