Emotikon, Krisis Perhatian dan Filsafat Teknologi

- Admin

Selasa, 13 Juni 2023 - 16:26 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com – Teknologi mengubah cara kita berkomunikasi, mengajar, menasehati, berkhotbah, memberi kuliah, berdagang, bertransaksi, dan bertahan hidup sejak beberapa dekade lalu. Kita berkomunikasi, mengikuti pertemuan, mengadakan seminar, melangsungkan perkuliahan, menyembuhkan, sekolah, berbisnis, mengobati rindu dengan orang-orang tercinta, dan berdoa tidak mesti hadir secara presen, tetapi bisa juga telepresen (kehadiran jarak jauh) lewat platform-platform digital. Teknologi menawarkan berkat baru bagi umat manusia.   

Kita mungkin tidak hadir atau berada secara fisik di wilayah lain, tetapi foto, gambar, tulisan, dan video kita diakses, ditonton, dan dilihat di mana-mana. Kita tidak perlu membeli tiket pesawat yang mahal, memikirkan penginapan mewah, dan tempat-tempat wisata untuk dapat melihat Spanyol, sebab Spanyol dapat ditemukan, dan dijelajahi dari sudut ke sudut kapan dan di mana saja di jagat digital itu.

Gadis-gadis cantik Spanyol dapat ditemukan di media sosial. Begitu pun kemiskinan dan perdagangan manusia di NTT, pelanggaran HAM di Papua, dan pemerkosaan dan mutilasi di Indonesia yang nyaris terjadi tiap hari, justru lebih terbuka di ruang digital daripada di ruang nyata.

Teknologi dan Omnipresencia

Saya coba menguraikan sedikit bagaimana teknologi begitu membantu dan memanjakan kita. Sebelum terbang ke Jakarta September 2022 lalu, kawan saya memesan tiket pesawat lewat Traveloka. Supaya tidak repot memegang kartu vaksin Covid-19, kami mengunduh Peduli Lindungi (sekarang SATUSEHAT Mobile).

Sesampai di Bandara Internasional Soekarno–Hatta, Jakarta, kami tidak perlu repot-repot mencari travel di luar bandara, kami tinggal pilih salah satu jasa travel lewat Gojek, Grab, Maxim, MyBluerbird, dll. Dua bulan menunggu visa di Jakarta, kami membeli buku, pakaian, koper, dan lain-lain lewat Tokopedia, Lazada, Shopee, dan lain-lain.

Menjelang ibu saya merayakan ulang tahun dan Natal 2022, saya kirim kado dari Jakarta menuju kampung Mbawar, Manggarai, NTT lewat jasa JNE Express, hanya habis waktu tiga hari. Di Jakarta, sesekali kami masuk McDonald, KFC, Starbucks, dll dengan sistem teknologi canggih.

Pada 25 November 2022 setelah tiba di Bandara Doha, Qatar, kami memberi kabar kepada keluarga di rumah dengan video call lewat WhatsApp. Dari Hamad, Qatar menuju Adoldo Suárez Madrid, dengan maskapai Qatar Airways QR151 kami menonton film sesuka hati, dan menonton pertandingan bola piala dunia di atas udara di layar TV masing-masing.

Selama di Madrid, Spanyol saya mengikuti beberapa seminar, webinar, dan pertemuan dengan kawan-kawan di Indonesia lewat Zoom meeting. Sebelum dan sesudah studi bahasa Spanyol, saya mendengarkan lagu Bahasa Spanyol dan Inggris lewat Spotify. Ketika jenuh belajar, saya menonton video-video menarik di TikTok atau Instagram.

Di Spanyol ketika kami memasuki bar, cafetería atau restaurant, saya sering temukan orang-orang membayar pesanan dengan scanning Kartu Bank atau aplikasi Bank di Hp. Begitu kami sakit gigi, di klinik gigi, gigi-gigi diperiksa secara lengkap, dan ditambal dengan bantuan teknologi canggih, dan hasilnya sangat memuaskan.  

Uraian di atas mau menunjukkan teknologi membantu dan mempermudah urusan-urusan kita pada era ini. Teknologi memungkinkan kita bisa hadir di mana-mana (omnipresencia), yang hadir di mana-mana (omnipresente) dan juga yang berkuasa di mana-mana (omnipetente). Pada era teknologi ini, kita tidak kesulitan mencapai apa tujuan kita dan apa yang kita butuhkan.

Baca juga :  Masyarakat Smombi

Teknologi memang memberi tahu kita bagaimana mencapai tujuan kita melalui alat-alat dan terminologi-terminologi teknologis seperti kemajuan, peradaban, modern, progresivitas. Namun teknologi tidak memberi tahu kita apa tujuan hidup kita. Tujuan hidup kita dan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan filosofis Robert W. McGee di atas, kita membutuhkan filsafat. Filsafat membantu kita menemukan subjek diri, berpikir kritis terhadap realitas, dan bertindak etis, juga pada era teknologi ini. 

Teknologi sebagai Problem Filosofis

Teknologi tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti yang ditulis oleh Robert W. McGee (2023): “1. What is the nature of reality? 2. What is the meaning of life? 3. What is knowledge and how is it acquired? 4. What is the relationship between mind and body? 5. What is the role of consciousness in the world? 6. What is free will and how does it relate to determinism? 7. What is the nature of moral value and obligation? 8. What is the nature of beauty and aesthetic experience? 9. What is the relationship between language and thought? 10. What is the nature of truth? 11. What is the nature of existence? 12. What is the relationship between the individual and society? 13. What is the role of religion in society and human experience? 14. What is the nature of time? 15. What is the relationship between reason and faith?16. What is the nature of justice? 17. What is the nature of the self? 18. What is the relationship between ethics and politics? 19. What is the relationship between perception and reality? 20. What is the nature of consciousness?

Pertanyaan-pertanyaan filosofis Robert W. McGee di atas dan masih begitu banyak pertanyaan filosofis lainnya yang justru sangat melekat dalam kondisi kemanusiaan kita dan proyek pencarian kita mencapai tujuan hidup kita, tidak bisa dijawab oleh teknologi.

Mario Bunge dalam bukunya Epistemología. Curso de Actualización (Mexico: Siglo Veintiuno Editores, s.a. de c.v., tercera edición, 2002) mengatakan “teknologi menawarkan akumulasi problem-problem filosofis, sejak pencarian kebenaran flosofis dari teknik, obat, dan administrasi, sampai investigasi keganjilan atas pengetahuan teknologis, alat-alat, dan tindakan manusia yang dikendalikan oleh teknologi”. Inilah yang disebut Mario Bunge sebagai filsafat teknologi.

Menurut Mario Bunge, tema filsafaat teknologi bergitu baru sejak pertemuan dua tahunan dari Philosophy of Science Association yang bertempat di Chicago pada Oktober 1976. Pada pertemuan itu, ada sebuah simposium yang berbicara dengan pertanyaan “Adakah problem-problem filosofis yang menarik dalam teknologi?”. Mario Bunge berpendapat bahwa ada begitu banyak problem filosofis mulai dari problem kebenaran dan teknologi, problem gnoseologi, ontologi teknologi, sampai etika teknologi (teknoaksiologi, teknoetika, teknopraksiologi).

Baca juga :  Tolong, Dengarkan Suara Hati! (Subjek Cinta dan Seni Mendengarkan)

Mario Bunge mau menunjukkan bahwa teknologi membawa serta paradoks yang mesti dipersoalkan oleh filsafat. Apakah teknologi mengurangi kasus permerkosaan, penderitaan, pembunuhan, peperangan, pandemi, wabah, kemalangan, penipuan, dan kefanaan kita? Atau justru sebaliknya, teknologi meningkatkan kasus pemerkosaan, penderitaan, pembunuhan, peperangan, pandemi, wabah, kemalangan, penipuan, kebohongan, dan mempercepat kematian kita? Inilah pertanyaan-pertanyaan filosofis.

Pembunuhan, peperangan, pandemi, wabah, kemalangan pemerkosaan, penderitaan, dan penipuan itu menyesatkan, tetapi mengapa manusia tetap melakukan dan mempropagandakannya? Bukankah kebohongan mendaruratkan dan menyulut api kebencian hingga pertarungan, konflik, sengketa, pembunuhan, dan peperangan?

Berkat teknologi, sentimen-sentimen primordial masyarakat yang kian lama dibungkam dalam hati yang sentimental. Sentimen-sentimen primordial—entah politik, bisnis ekonomi, agama, suku, ataupun ras—tersebut alih-alih dibungkam, justru diinvestasikan dan kemudian disemburkan secara leluasa lewat media sosial.

Paradoks Teknologi: dari Emotikon sampai Krisis Perhatian

Sebagian kita pada era teknologi canggih ini hidup selama 24 jam. Tubuh biologis kita memang tidur, kerja, kerja, buang ari besar (BAB), masak, dll., tetapi tubuh digital kita hidup 24 jam. Apabila kita tidak memasuki ruang digital, kita mendadak kesepian, kehampaan dan seolah-olah kehidupan tidak memiliki arti lagi.

Apabila kita tidak mengklik tombol-tombol digital, dan menyentuh layar ponsel pintar, kita seolah-olah mendadak sepi.Di ruang digital dengan bantuan pulsa sebagai pulse, denyut jantung digital, kita dapat bernafas, beraktivitas, dan merancang baru masa depan kita. Kita memperjuangkan kelanggengan entitas korporeal dan serentak entitas digital kita (F. Budi Hardiman, 2021).

Kita mungkin tidak hadir secara fisik di mana-mana, tetapi tubuh digital kita hadir di mana-mana (omnipresencia). Orang-orang di luar sana tidak perlu menyaksikan, dan mendengar kita sedang menangis, tetapi ketika kita mengklik dan mengunggah caption, stiker atau emotikon menangis, mereka langsung tahu kita sedang menangis.

Di sini emotikon, stiker, simbol, lambang, atau label memiliki pengertian, kekuatan, dan kekuasaan tertentu. Emotikon adalah keterwakilan subjek pengirim pesan (perasaan benaran atau kebohongan, propaganda) dan alat kekuasaan itu sendiri, yang tak henti-hentinya mengatur, menguasai, dan mengendalikan manusia.

Kita hidup pada era emotikon di mana kehadiran emotikon lebih mewakili dan menghibur daripada kehadiran korporeal (tubuh biologis yang nyata). Emotikon tidak berbicara tetapi cukup mengekspresikan perasaan, dan ekspresi-ekspresinya dapa memengaruhi suasana hati subjek penerima pesan. Meskipun pengirim emotikon tidak hadir secara langsung, namun penerima emotikon merasa cukup terwakili, menghibur, dan menyembuhkan meskipun hanya lewat emotikon.

Ketika saya merindukan orang tua di kampung, saya cukup mengirim emotikon love atau peluk kepada orang tua, kerinduan saya terwakili oleh emotikon. Dan orang tua saya merasa terhibur, dan kerinduan orang tua pun terkabulkan. Namun orang tua tidak tahu kalau saya sesungguhnya sedang tidak merindukan mereka entah karena sibuk belajar, jalan-jalan atau lagi menikmati anggur/bir di cafetaría, bar atau restaurante di Madrid.

Baca juga :  Kritik Jürgen Habermas terhadap Filsafat Kesadaran

Di sini saya tidak hanya menipu orang tua, tetapi juga menciptakan krisis perhatian dari saya sebagai anak dalam diri orang tua. Akibat lainya, ketika saya menipu orang tua, saya akan dinilai oleh orang lain sebagai anak yang krisis perhatian dari orang tua. Itulah satu ketakutan dari paradoks teknologi yang memproduksi paradoks kondisi kemanusiaan kita: cinta, peluk, rindu, rasa aman, perhatian, dll.

Ketakutan lain ketika saya sedang menderita sakit, saya mengirim emotikon sedih karena saya sangat membutuhkan orang yang dapat mendengarkan, mengompres kepala saya, membeli obat, dst., tetapi orang tersebut tidak merespons kebutuhan dasariah itu.

Ia tidak datang karena dua alasan, yakni pertama, dia sibuk atau sedang sakit, dan kedua, dia berpikir bahwa saya tidak sedang sakit atau menderita–saya sedang menipu dia. Ia tidak percaya pada emotikon sedih yang saya kirim, karena ia pernah mengirimkan emotikon sedih kepada orang, meskipun dia tidak benar-benar sedang menderita.

Emotikon adalah penghibur, dan juga pengkhianat: jembatan sukacinta, dan juga jalan tol menuju dukacinta! (Melki Deni, “Emotikon”, dalam Lubet Arga Tengah, Dunia: Suara Penyair Mencatat Ingatan, 2022).

Emotikon alih-alih menghibur hati yang sepi, dan menyembuhkan hati yang tersakiti, justru meningkatkan krisis subjek: kesadaran, perhatian, kehormatan, pujian, pengakuan, dan penghargaan diri. Subjek bisa hadir di mana-mana, yang hadir di mana-mana, dan yang berkuasa di mana-mana, tetapi jangan lupa ada subjek lain juga ingin seperti itu.

Subjek satu berkompetisi dan berperang melawan subjek lain di dunia digital. Korban pemerkosaan dan mutilasi, pelanggaran HAM, perdagangan manusia, korupsi, marginalisasi, mafia tanah, buzzer politik digital, dan perampasan kepemilikan di Indonesia tentu saja tidak bisa dibayar tuntas hanya dengan emotikon sedih.

Dibutuhkan perhatian khusus dan secara menyeluruh melalui supremasi hukum yang jelas dan objektif agar negara tidak mengalami krisis kemanusiaan dan krisis identitas nasional.

Inilah salah satu problem filsafat teknologi. Tentu masih begitu banyak problem lain, yang lolos dari perhatian mata teknologis kita. Dibutuhkan mata filosofis untuk meninjau, mempersoalkan, mendiskusikan, mengkritik, dan memperoyeksikan kemungkinan-kemungkinan baru penggunaan teknologi demi meningkatkan kualitas hidup kita. Tentu saja yang dimaksud di sini bukan hanya etika teknologi, tetapi juga kesadaran filosofis, dan pertimbangan filosofis atas teknologi.

Kemajuan teknologi meninabobokan nalar kritis, refleksi rasional, dan keputusan logis kita. Mula-mula kita menguasai teknologi, tetapi kemudian kita dikontrol, dikuasai, dan dikendalikan oleh algoritma teknologi tersebut. Alih-alih sebagai objek, teknologi kemudian menjadi subjek yang mengatur, dan mewaspadai kehidupan kita.

Algoritma teknologi membuat kita tidak aman, bila tidak “bermain” dengannya, seabgai teman hidup, dan menggunakannya. Alih-alih sebagai partner “bermain” dan teman hidup, seperti vampir, teknologi hidup hanya dengan mengisap “darah” kita yang hidup. Teknologi semakin berkembang luas, bila semakin banyak “darah” kita yang dikendalikan, dan diisapnya.

Komentar

Berita Terkait

Tolong, Dengarkan Suara Hati! (Subjek Cinta dan Seni Mendengarkan)
Apakah Aku Selfi Maka Aku Ada?
Autoeksploitasi: Siapa yang Membunuh Sang Aku?
Masyarakat yang Terburu-buru
Masyarakat Smombi
Masyarakat Telanjang
G.W.F. Hegel: Negara dan Sittlichkeit
ChatGPT dan Tugas Filsafat Teknologi
Berita ini 154 kali dibaca

Berita Terkait

Sabtu, 14 Oktober 2023 - 22:46 WITA

Seni Homiletika: Tantangan Berkhotbah di Era Revolusi Sibernetika

Berita Terbaru

Politik

Menanti Keberanian PDI Perjuangan Berada di Luar Pemerintahan

Selasa, 25 Jun 2024 - 08:31 WITA

Berita

SD Notre Dame Puri Indah Wisudakan 86 Anak Kelas VI

Jumat, 21 Jun 2024 - 12:13 WITA

Pendidikan

Menyontek dan Cita-Cita Bangsa

Jumat, 14 Jun 2024 - 10:52 WITA

Berita

SMP Notre Dame Wisudakan 70 anak Kelas IX

Kamis, 13 Jun 2024 - 18:26 WITA

Pendidikan

Sastra Jadi Mata Pelajaran

Rabu, 12 Jun 2024 - 20:39 WITA