Indodian.com-Pada kegiatan Jugendwort des Jahres 2015, yang diselenggarakan penerbit kamus Langenscheidt Verlag Jerman, anak-anak remaja menciptakan portmanteau (lakuran) yakni “smombi”, yang merupakan gabungan dari smarthpone dan zombie. Selain smombi, dipilih juga portmanteau seperti “Earthporn” (gambar pemandangan yang sangat menarik), “Tinderella” (gadis yang terobsesi menggunakan aplikasi kencan online seperti Tinder) dan beberapa portmanteau lainnya. Beberapa portmanteau menggambarkan kondisi masyarakat modern, terutama hubungannya dengan perkembangan teknologi terbaru seperti telepon cerdas.
Smombi merujuk pada pejalan kaki yang berjalan pelan, dan tidak lagi memperhatikan lingkungan di sekitarnya karena hanya menatap ponselnya. Portmanteau ini beralasan karena sejak telepon cerdas muncul di pasar dunia, para pengguna lebih sibuk dan fokus dengan telepon cerdasnya daripada dengan orang-orang di sekitarnya. Atas fenomena ini, pemerintah kota Chongqing, Tiongkok, menetapkan “cellphone lane” (jalur telepon seluler) sepanjang 30 meter bagi orang-orang yang menggunakan telepon cerdas sambil berjalan (Leo Benedictus).
Di Antwerp, Belgia dibangun jalur khusus bagi pengguna telepon cerdas agar mereka dapat berjalan sambil menggunakan telepon cerdasnya tanpa mengganggu orang di sekitarnya (David Chazan). Tentu sepanjang beberapa tahun terakhir ini, setelah booming telepon cerdas, di kota-kota tertentu di dunia sudah dibangunkan jalur khusus bagi pejalan kaki yang fokus menggunakan telepon cerdas ini.
Kekuatan kecerdasan telepon cerdas dengan tenang menciptakan jarak antara yang satu dengan yang lain; menarik yang jauh di seberang sana agar yang di seberang sana menjauhkan yang di sekitarnya. Terjadilah apa yang (dan yang seharusnya tidak) terjadi: Kecelakaan adalah kecelakan. Bagian ini akan dijelaskan lebih lanjut bagaimana alogoritma teknologi mempermainkan hasrat antara yang ada dan yang harus ada dari masyarakat smombi.
Masyarakat smombi mempertegas hasrat antara ketakcukupan yang ada dan yang harus ada sebagai keharusan yang tak peduli bahaya dan risiko. Yang ada tidak cukup memenuhi keinginan dan kebutuhan, karena itu pengguna selalu membutuhkan yang lebih dari yang ada. Yang lebih itu adalah yang harus ada. Tetapi setelah yang harus ada itu sudah ada, apakah ia merasa sudah cukup atau ada yang harus ada lagi?
Perusahaan-perusahaan teknologi membaca hasrat ketakcukupan yang ada dan yang harus ada sebagai modal yang rasional untuk memproduksi pelbagai merek dan bentuk telepon cerdas beserta tingkatan harganya. Mereka menentukan harga dan kualitas telepon cerdas. Merek menjelaskan realitas kelas sosial. Kelas sosial menentukan kontrak sosial. Kontrak sosial dapat menggambarkan relasi sosial. Relasi sosial mempertegas stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial memengaruhi kualitas sosial. Kualitas sosial menimbulkan ketimpangan sosial.
Ketimpangan sosial menunjukkan sistem sosial. Sistem sosial melahirkan integrasi sosial. Integrasi sosial menggerakkan perubahan sosial. Perubahan sosial berskala global bisa terjadi hanya karena merek barang-barang. Seperti perusahan-perusahaan menetapkan merek pada barang-barang, karena punya keunggulan/kualitas tertentu, telepon cerdas juga menentukan merek/kualitas pada konsumen.
Kita segera lihat di sini, merek tidak hanya dimengerti sebagai tanda yang dikenakan oleh pemilik kapital pada barang, tetapi juga merek adalah alat kuasa dan kontrol perubahan sosial dari pemilik kapital. Jika merek adalah alat kuasa dan kontrol perubahan sosial, maka konsumen adalah organ seksual yang mereproduksi barang-barang pemilik kapital. Tidak hanya sebagai organ seksual yang mereproduksi merek dan barang-barang perusahaan, konsumen juga, seperti promotor, secara sukarela membantu pemilik kapital untuk mempromosikan produk-produknya.
Hal ini tampak ketika konsumen berjalan ke mana-mana membawa serta beberapa merek barang. Atau ketika pulang belanja dari toko pakaian, konsumen tidak hanya membawa lembar pakaian yang dibeli, tetapi juga menenteng tas yang bagian luarnya bertuliskan nama toko dan merek barang yang dibeli itu beserta alamat jual barang tersebut di berbagai daerah, nomor telepon, nama akun media sosial, promosi, informasi diskon dan seterusnya. Dalam konteks ini masyarakat smombi sebagai konsumen adalah promotor atau pengiklan sukarela atas merek-merek tersebut.
Masyarakat smombi lebih suka menciptakan informasi daripada narasi. Informasi diciptakan tidak perlu melalui kontrol redaksi yang ketat dan kode etik jurnalistik yang sistematis seperti pada abad lalu. Pada abad ke-21 ini setiap pengguna telepon cerdas adalah pencipta informasi, pembagi informasi, dan pengonsumsi informasi. Facebook, misalnya, memahami dengan baik fenomena ini dan karena itu Facebook menggoda penggunanya dengan Apa yang sedang Anda pikirkan?
Tiap pengguna dapat menulis apa saja yang dipikirkan, yang dirasakannya atau menggungah foto/video tentang apa pun saat itu ke dinding digital. Masyarakat smombi dapat membuat siaran langsung apabila ia ingin dilihat oleh para pengguna lainnya tentang apa saja yang sedang berlangsung dalam hidupnya kini-di sini. Apabila masyarakat smombi sedang tidak memikirkan atau merasakan apa-apa atau tidak memiliki foto/video atau tidak ingin membuat siaran langsung, ia dapat membagikan (share) caption, meme, quote, gambar, video, dll. dari masyarakat smombi lainnya. Dengan mengikuti semua algoritma neoliberal itu, masyarakat smombi seolah-olah sedang merayakan kebebasannya.
Apakah masyarakat smombi itu bebas—dengan demikian memiliki kebebasan? Pertama-tama kita harus memahami sumber pengakuan kebebasan. Kebebasan ada dua yakni kebebasan alami (libertas naturalis) dan kebebasan sosial (libertas sociales). Kebebasan alami dibawa sejak lahir yang ditunjukkan oleh seorang individu tanpa melalui legitimasi dan pengakuan dari orang lain (aspek sosial dari kebebasan).
Ketika seseorang membuat siaran langsung di media sosial dengan keadaan telanjang, ia sedang menyatakan kebebasan alaminya. Artinya kebebasan orang lain (sosial) yang tampak melalui kontrol sosial—misalnya ia seharusnya tidak boleh membuat siaran langsung dengan keadaan telanjang di media sosial karena itu melanggar norma budaya, agama, hukum, dst.— tidak berlaku saat itu. Ia menyatakan kebebasan alaminya tanpa harus melewati sekat-sekat kebebasan sosial.
Kebebasan alami cenderung agresif, tak terkendali, dan ingin melampuai kebebasan sosial. Kebebasan alami akan aman apabila sesorang hidup sendiri di hutan. Kebebasan alami, apabila tidak dikontrol dengan baik, akan mencelakakan seseorang. Sebab itu agar bisa selamat dari bahaya kebebasan alami, dibutuhkan kebebasan sosial.
Kebebasan sosial mengandaikan hubungan yang relasional antara dua orang atau lebih; saya tidak bisa mengklaim bahwa saya memiliki kebebasan tanpa saya hidup bersama dengan orang lain, yang juga memiliki kebebasan. Saya tidak bisa mengklaim bahwa saya memiliki kebebasan ketika saya sendirian berada di tengah hutan, sekalipun saya memiliki kebebasan alami (libertas naturalis), yang saya bawa dari lahir.
Kebebasan sosial berciri relasional karena membutuhkan pengakuan dan penghargaan dari orang lain. Kebebasan sosial juga akan membahayakan keamanan pribadi sesorang dan orang-orang di sekitarnya apabila tidak dikontrol dengan baik atau justru dikontrol secara berlebihan. Itulah sebabnya klaim kebebasan sosial tidak cukup. Dua orang atau lebih (termasuk lembaga agama, kebudayaan, ekonomi, poltik, dll.,) harus membuat kontrak kebebasan supaya kebebasan alami dan kebebasan sosial bisa dikendalikan, dikontrol dan diatur di bawah sistem atau hukum.
Sistem dan hukum itu bisa disusun dan terjamin, apabila ada kontrak kekuasaan politis yang kemudian kita sebut sebagai negara. Untuk bagian terakhir ini, saya berutang budi pada Thomas Hobbes (1588-1679), Jhon Locke (1632-1704), Jean-Jacques Rousseau (1712-1778), Karl Heinrich Marx (1818-1883), dan beberapa pemikir besar lainnya.
Setelah membaca beberapa karya mereka, dan merefleksikan perkembangan ekonomi-politik modern, saya memiliki beberapa bertanyaan kepada Anda, dan tentu juga bagi saya sendiri. Apakah Anda dapat menolong dan menyelamatkan dunia yang digerakkan oleh sistem kapitalisme neoliberal saat ini tanpa adanya negara? Apakah Anda dapat menjadi orang pertama yang mengontrol, dan mengkritik negara apabila negara justru membantu memperlancar dan memfasilitasi dengan membentangkan karpet merah bagi perjalanan ideologi kapitalisme neoliberal menuju kehancuran negara, dan warga negara?
Ketika negara (rezim pemerintah) di kemudian hari justru menjadikan politik sebagai pelayan ekonomi kapitalisme neoliberal, apakah Anda masih mengakui negara sebagai wujud kontrak kekuasaan politis yang dilembagakan itu? Kaum smombi tidak mungkin akan memikirkan ketegangan ini. Mereka akan menyimpulkan ketegangan ekonomi-politik seperti ini sebagai persoalan teknis atau persoalan kaum elite politik yang tidak mempunyai hubungan dengan mereka. Akan tetapi sekali lagi, apakah masyarakat smombi memiliki kebebasan?
Masyarakat smombi mengira, dengan mengunggah atau membagikan tulisan, meme, foto, selfi dan video, ia bebas dari semua kontrol dan pengawasan dari luar. Sebelum sesuatu/konten diterbitkan oleh platform media sosial, masyarakat smombi harus mengikuti beberapa prosedur sistematis (algoritma), yang kelihatannya sederhana, namun menyita waktu dan status quo-nya.
Masyarakat smombi tidak bisa berjalan di luar prosedur sistemmatis itu, sebab baginya tidak disediakan jalan lain agar ia memperoleh banyak like dari masyarakat smombi lainnya.Jumlah like menentukan status sosial-digitalnya di benua digital. Semakin banyak like yang diberikan oleh masyarakat smombi, semakin ia menemukan gambaran yang positif tentang dirinya. Ketika melaksanakan semua algoritma itu, masyarakat smombi menyerahkan kebebasannya kepada media sosial. Akan tetapi mengapa masyarakat smombi lebih cenderung mencari perhatian dan pengakuan sosial di media sosial daripada di dunia nyata, akan dijawab pada bagian yang lain.
Masyarakat smombi mempersembahkan seluruh diri—ide, kehendak, hasrat—ke dalam algoritma teknologi dengan sukarela. Ketika ia menyerahkan kebebasannya pada media sosial, ia tidak lagi memiliki kebebasan. Kebebasan diubah menjadi ketergantungan, sebab algoritma teknologi menciptakan ketagihan. Inilah apa yang disebut oleh Byung-Chul Han dalam bukunya Psicopolítica. Neoliberalismo y nuevas técnicas de poder, terj. Alfredo Bergés (Barcelona: Herder Editorial S.L, cet. 2, 2021), sebagai kekuatan kecerdasan teknologi neoliberal, di mana platform media sosial, “alih-alih menciptakan manusia penurut, ia (justru) coba menjadikannya ketergantungan”.
Pada kesempatan lain Byung-Chul Han dalam bukunya Infocracia. La Digitalización y la Crisis de la Democracia (2022), mengatakan, “telepon cerdas sedang membuktikan untuk menjadi informan efektif yang menyerahkan kita pada pengawasan terus-menerus. Smarthome mengubah seluruh rumah menjadi penjara digital yang dengan cermat merekeam kehidupan kita sehari-hari.”
Perusahaan media sosial tidak memfasilitasi persaingan bebas di media sosial, tetapi justru menciptakannya, sebab mereka bukanlah lembaga keadilan atau kemanusiaan. Dalam kompetensi bebas di media sosial, perusahaan-perusahaan media sosial tidak memberikan kebebasan kepada penggunanya, tetapi bahwa mereka menjamin kebebasan kepada kapital.
Kebebasan alami mudah tersalurkan lewat mediA sosial. Akan tetapi alih-alih menyalurkan kebebasan alami itu, masyarakat smombi justru mengundang risiko dan bencana yang setia menunggunya di balik layar sentuh dan perampasan digital melalui like. Masyarakat smombi adalah organ seksual perusahaan media sosial karena darinya mereka dapat mereproduksi dan meningkatkan keuntungan dan memperluasa wilayah produksi.
Perlu diingat, perusahaan media sosial tidak selalu punya pabrik, karena itu ia seperti vampir yang tidak bekerja, tetapi bisa makan-minum dengan mengisap pulsa (data internet dan denyut jantung) masyarakat smombi agar vampir memiliki pulse. Vampir telepon cerdas semakin hidup dan menguasai dunia, justru ketika makin banyak pulsa dan pulse yang diisapnya dari masyarakat smombi.
Akan tetapi, harga diri dan pengakuan sosial itu sangat mahal, dan keduanya tidak bisa dibeli. Apabila harga diri sudah jatuh, ia tidak akan dipulihkan oleh seberapa banyak pun uang, like, dan merek barang yang dimilikinya. Ingatan adalah ingatan yang tetap mengingat apa yang menyebabkan harga diri jatuh, dan bagaimana upaya menghancurkan pelakunya.
Akan tetapi alih-alih mencari perhatian dan pengakuan sosial di media sosial agar harga diri naik lewat jumlah klik dan merek telepon cerdas, masyarakat smombi justru menjadi sukarelawan, pengiklan, dan promotor merek perusahan-perusahaan besar. Alih-alih mencari kebahagiaan, dan kebebasan di media sosial, masyarakat smombi justru dikendalikan oleh algoritma teknologi dan merek. Alih-alih mencari yang harus ada, masyarakat smombi justru dijebak dalam alogritma ketergantungan.
Ketergantungan membuat masyarakat smombi tidak bisa berdikari, melakukan refleksi diri, dan mengkritisi perkembangan dunia politik, ekonomi, agama, kebudayaan, dst. di sekitarnya. Masyarkat smombi digerakkan oleh hasrat yang harus ada itu. Masyarakat smombi dengan mata yang selalu terbuka, membutuhkan yang harus ada daripada yang ada, karena itu ia harus melakukan segala sesuatu serba buru-buru; sebab kalau ia terlambat sedikit saja, ia kehilangan beberapa poin dari yang harus ada itu.
Ketika masyarakat smombi melakukan serba buru-buru, ia tidak akan memperhatikan hati nurani, panggilan kemanusiaan dan realitas yang direkayasa di sekitarnya. Baginya waktu adalah yang padat, sedangkan manusia dan hati nurani adalah yang cair. Smartheart dibungkamkan dari algortima teknologi dan like. Dengan demikian masyarakat smombi melahirkan generasi baru, yakni masyarakat sosiopat. Masyarakat sosiopat adalah orang yang hidup tanpa nurani kemanusiaan dan spiritualitas, yang cenderung agresif, kejam, kasar, antisosial, dan alergi terhadap kehadiran tubuh korporeal orang lain.
Penulis : Melkisedek Deni (Tinggal di Madrid, Spanyol)