Kategori: Gender

  • Apa Kabar Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga?

    Apa Kabar Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga?

    Pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan yang berkaitan dengan urusan domestik seperti mencuci, memasak, dan membersihkan rumah. Sejak dahulu, pekerjaan ini dianggap sebagai penunjang, alamiah dan bersifat pelengkap. Pekerjaan rumah tangga banyak dilakukan oleh perempuan sebagai ibu rumah tangga, gadis, dan remaja wanita. Seiring dengan kebutuhan dan permintaan yang bersamaan dengan lajunya arus ekonomi masyarakat, pekerjaan rumah tangga menjadi pekerjaan sektor jasa berbayar. Namun, persepsi tentang pekerjaan rumah tangga ini tidak berubah, apalagi berkaitan dengan perlindungan bagi pekerjanya.

    Menurut Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 tahun 2015 tentang perlindungan pekerja rumah tangga (PRT) adalah orang yang bekerja pada orang perseorangan dalam rumah tangga untuk melaksanakan pekerjaan kerumahtanggaan dengan menerima upah dan atau imbalan dalam bentuk lain. Ruang lingkup pekerjaan rumah tangga ini mencakup pekerjaan sebagai pengasuh anak, perawat keluarga yang sakit, lanjut usia, tukang kebun, dan pengamanan rumah tangga termasuk dalam pekerja rumah tangga.

    Dalam banyak peristiwa, PRT seringkali mengalami hubungan kerja yang tidak jelas, aturan kerja yang tidak adil, upah yang minim dan jam kerja yang melebihi batas kewajaran. Meskipun unsur kerja telah diatur dalam aturan pemerintah tentang ketenagakerjaan yakni adanya upah dan adanya pemberi kerja yang jelas terpenuhi, tetapi hingga kini masih mengalami hal yang sama. Pada umumnya, Permenaker belum memperhatikan secara serius mengenai hak-hak mereka. Banyak pekerja rumah tangga menjadi tenaga kerja wanita (TKW) dan memutuskan pergi menjadi pekerja rumah tangga di negara lain seperti Malaysia, Hongkong, dan masih banyak negara lain.

    Sebagian besar pekerja rumah tangga tersebut didominasi oleh perempuan yang berasal dari keluarga ekonomi kurang mampu. Dalam kondisi tersebut, mereka dituntut untuk menjadi tulang punggung keluarga, membantu keluarga di kampung, membiayai sekolah anak, dan urusan keluarga lainnya. Tingginya kebutuhan keluarga membuat mereka memilih untuk merantau ke luar negeri. Rendahnya sumber daya manusia dan pelbagai tawaran iming-iming gaji di luar negeri membuat mereka seringkali terjebak sebagai pekerja ilegal. Konsekuensinya, mereka rentan mendapat kekerasan fisik bahkan meninggal dunia di luar negeri.

    Di Indonesia sendiri, pekerja rumah tangga masih dikecualikan dari perlindungan yang sama sebagaimana pekerjaan lain pada umumnya. Akibatnya posisi pekerja rumah tangga ini rentan mengalami diskriminasi, eksploitasi, kekerasan, perbudakan dan penyiksaan. Perlindungan yang diberikan pun masih sangat minim. Melihat banyaknya ketidakadilan kepada PRT, beberapa organisasi masyarakat sipil menginisiasi perumusan RUU PPRT ini. Data dari WWW.dpr.go.id tahun 2004, RUU ini telah diakui sebagai RUU inisiatif DPR RI. Sejak saat itu RUU PPRT masuk dalam daftar Program Legislatif Nasional (Prolegnas) yang akan dibahas bersama.

    Pada tanggal 28 Agustus 2023 Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas) Perempuan melakukan siaran pers mendorong pengesahan RUU PPRT (https://Komnasperempuan.go.id). “Pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga: Penting dan Mendesak”, demikian bunyi siaran pers Komnas Perempuan. Dalam siaran pers tersebut Komnas Perempuan juga menanggapi aksi Aliansi Mogok Makan untuk RUU PPRT di depan gedung DPR RI tertanggal 14 Agustus 2023 sebagai bentuk tuntutan yang patut diapresiasi agar DPR RI segera melanjutkan pembahasan mengenai RUU PPRT ini.

    Namun, hingga kini RUU PPRT belum menjadi undang-undang. Sudah 20 tahun RUU PPRT menjadi hiasan meja kerja DPR. Hal ini menimbulkan beragam pertanyaan yang muncul. Mengapa RUU PPRT belum menjadi UU? Apakah negara dalam hal ini DPR hanya memberi harapan palsu selama 20 tahun kepada PRT? Kapan Dewan Perwakilan Rakyat RI bangun dari ‘tidur’ yang lelap?

    Semakin ‘lamban’ DPR, dalam mengesahkannya, maka semakin lama RUU PPRT tersebut menjadi undang-undang dan semakin banyaknya kasus ketidakadilan serta penyiksaan kepada pekerja rumah tangga. Baru-baru ini, tepatnya pada 12 Februari 2024, lima PRT yang bekerja di Jalan Jatinegara Timur II, Jakarta Timur dipaksa bekerja di luar batas oleh majikannya tanpa diberi makanan yang layak. Kelima korban seluruhnya perempuan berusia di bawah 18 tahun dan mengalami kekerasan fisik. Kasus ini belum usai diproses secara hukum, muncul kasus serupa PRT asal NTT berusia 20 tahun, melarikan diri karena tak tahan disiksa majikannya (https://jakarta.tribunnews.com).

    Kasus-kasus tersebut adalah dua dari sekian banyak kasus penyiksaan yang terjadi pada perempuan PRT. Mirisnya kasus-kasus tersebut terjadi di dalam negara kita sendiri. Hal ini menunjukkan rendahnya kepeduliaan dan rasa hormat terhadap sesama sebagai warga negara. Apalagi, RUU PRT belum mendapat status hukum yang legal. Lalu apa yang membedakan perlakuan majikan-majikan di Indonesia dengan majikan-majikan yang berada di negara lain saat PRT dan TKW/TKI bekerja pada mereka?

    Berbagai kasus yang dialami PRT kini menjadi fenomena sosial. Di satu sisi dapat menjadi pekerjaan bagi orang-orang yang memiliki keterbatasan pendidikan, tetapi jika dilihat dari sisi lain PRT rawan mendapatkan perlakuan yang kurang baik, karena salah satu faktornya ialah belum adanya regulasi yang menjadi payung hukum bagi PRT.

    Rancangan undang-undang PRT penting disahkan menjadi UU agar memberikan perlindungan hukum bagi mereka secara khusus berkaitan dengan hubungan kerja yang mencakup perintah, upah, waktu kerja, dan perlindungan lainnya. Maka harapan saat ini ialah mendorong Komnas Perempuan, masyarakat sipil dan media massa agar terus memperjuangkan hak-hak PRT dengan terus menerus menyuarakan RUU PPRT tersebut. Hal ini penting agar DPR segera bangun dari ‘tidur’ yang lelap untuk membahas dan mengesahkan RUU tersebut.

  • Menalar Sikap Gereja terhadap Kaum Homosekual

    Menalar Sikap Gereja terhadap Kaum Homosekual

    Indodian.com-Akhir-akhir ini, ekspresi kaum homoseksual di media sosial kian marak. Anak-anak muda secara terang-terangan mengumbar kemesraan dengan pasangan sesama jenis. Ada yang menggunakan akun media sosial untuk mencari kekasih yang memiliki orientasi seksual yang sama. Mereka secara terbuka menjelaskan identitas sebagai pasangan homoseksual. Bahkan, beberapa pasangan homoseksual di Indonesia memilih untuk menikah dan mengadopsi anak.

    Meski di Indonesia pernikahan sesama jenis dianggap ilegal, sejumlah warga asal Indonesia memilih untuk menikah dengan pasangan sesama jenis di luar negeri. Beberapa pasangan homoseksual yang secara resmi melangsungkan pernikahan di luar negeri antara lain: Erwin Chandra dan Michael Hinz, Jacky Rusli dan Sath Halim, Max dan Yos, Wisnu Nugroho serta Ragil Mahardika dan Frederik Vollert.

    Pada tahun 20011, Belanda menjadi negara pertama yang mengakui dan melegalkan homoseksual atau LGBT. Berdasarkan data The Human Right Campaign (HRC), kini terdapat 32 negara yang melegalkan praktik LGBT ini. Yayasan kampanye Hak Asasi Manusia tersebut melacak perkembangan dalam pengakuan hukum pernikahan sesama jenis di seluruh dunia.[1] Tentunya akan semakin banyak negara yang melegalkan pernikahan sesama jenis. Pertimbangan HAM menjadi instrumen utama negara-negara untuk mengakui dan melegalkan pernikahan sesama jenis.

    Berhadapan dengan perkembangan pemahaman terhadap kaum homoseksual ini, Gereja sebagai sebuah institusi ditantang untuk memberikan tanggapan teologis. Apakah Gereja masih tetap mempertahankan tafsiran lama sebagaimana tertulis dalam Kitab Suci yang melihat homoseksual sebagai dosa atau terbuka dengan perkembangan baru yang melihat homoseksual sebagai sebuah orientasi seksual yang lazim? Tulisan ini bertujuan untuk menalar sikap Gereja terhadap kaum homoseksual. 

    Homoseksualitas sebagai Sebuah Realitas   

    Kata homoseksual diambil dari bahasa yunani homoios yang artinya “sama” dan bahasa Latin sexus yang artinya “jenis kelamin”. Kedua kata ini adalah pengertian umum yang mencakup berbagai kecenderungan seksual bagi orang dengan jenis kelamin yang sama, atau dengan kata lain adalah suatu keinginan atau hasrat kepada orang dengan jenis kelamin yang sama. Bahasa yunani homotropie; tropos berarti “arah, Haluan.”[2]

    Homoseksual dapat diartikan sebagai tindakan seksual yang dilakukan oleh manusia yang berjenis kelamin sama. Kaum homoseksual memiliki ketertarikan terhadap seseorang yang mempunyai kelamin sejenis dan identitas gender yang sama. Menurut Preston M. Sprike, homoseksualitas menjadi topik yang sering dipertaruhkan dalam diskursus agama dan politik. Berbeda dengan topik lain, homoseksualitas memengaruhi inti kemanusiaan. Homoseksualitas bukan cuma sebuah isu yang diperdebatkan, tapi isu yang menyentuh hati dan kemanusiaan setiap orang.[3]

    Fenomena homoseksualitas ini menimbulkan polemik yang kompleks dalam masyarakat. Pihak yang menolak menganggap homoseksual termasuk dalam kaum deviant (kelompok yang menyimpang). Orientasi seksual yang lazim ada dalam masyarakat adalah heteroseksual, sedangkan homoseksual oleh masyarakat dianggap sebagai penyimpangan orientasi seksual.

    Umumnya, manusia yang hidup dalam hubungan heteroseksual dipandang sebagai suatu hubungan yang kredibel karena mendapat legitimasi dari lembaga agama. Konsekuensinya, setiap tindakan seksual yang berbeda dipandang sebagai penyimpangan seksual. Itulah sebabnya, secara legal-formal-keagamaan, homoseksualitas merupakan bentuk penyimpangan seksual yang tidak dapat dibenarkan.

    Pelarangan tidak sebatas tertuju pada tindakan homoseksual, melainkan pula merambah pada identitas individu bersangkutan. Individu tersebut layak dianggap sebagai pendosa. Hal ini membuat kaum homoseksual diperlakukan secara tidak adil dalam kehidupan bermasyarakat. Isu homoseksualitas tidak saja ditekan dan ditentang, para pelakunya bahkan dibatasi dalam pergaulan sosial. Masyarakat terprovokasi asumsi yang cenderung merendahkan martabat kaum homoseksual.

    Inilah masalah yang harus dikritisi secara etis-Kristiani. Kesalahpahaman terhadap konsep homoseksualitas menyebabkan kaum homoseksual terasing dari lingkungan, tidak terkecuali gereja. Tidak dapat dipungkiri bahwa homoseksual mempunyai sejarah pengalaman yang kelam bersama gereja. Homoseksual dianggap dosa. Dogma dan Kitab Suci menjadi semacam senjata untuk menyalahkan kaum homoseksual.

    Mengenai homoseksualitas ini, Gregory M. Herek membedakan tiga perilaku homoseks berkenaan dengan fungsi sosio-psikologisnya, yakni pertama, experiential, yaitu homoseksual yang diakibatkan oleh interaksi seseorang dengan orang atau orang-orang homoseksual di masa lampau. Kedua, defensive, adalah homoseks sebagai cara mengatasi ‘’konflik internal’’ atau kegelisahan-kegelisahan dalam diri seseorang, dengan jalan memproyeksikan diri sebagai homoseks. Ketiga, symbolic, homoseksual sebagai ungkapan konsep-konsep ideologis yang berhubungan erat dengan gagasan seseorang mengenai ‘’kedirian’’, jaringan sosial dan kelompok referensinya.[4]

    Berdasarkan pembagian homoseksual di atas, kita memahami bahwa homoseksual adalah suatu ‘’realitas terberi’’. Manusia secara personal tidak pernah menghendaki kehadirannya di dunia dalam tempat dan waktu tertentu. Dalam term filosofis disebut faktisitas, artinya kenyataan bahwa manusia hadir di dunia tanpa sepengetahuannya. Manusia baru menyadari kehadirannya setelah ia ada di dunia.

    Martin Heidegger, filsuf kenamaan Jerman dalam bukunya berjudul Sein und Zeit (ada dan waktu) menyebut kenyataan tersebut sebagai ‘keterlemparan’ (gowerfenheit).[5] Hal yang sama juga berlalu untuk kaum homoseksual. Setiap manusia tidak memiliki otoritas untuk memutuskan apakah dirinya akan dilahirkan dengan membawa kecenderungan kea rah homoseksual atau heteroseksual. Realitas itu terjadi begitu saja secara alami sebagai pemberian dari Allah. Berhadapan dengan pemberian semacam ini, manusia hanya bisa menerima tanpa mampu memilih.

    Banyak orang menjadi gay atau lesbian bukan karena memilih untuk menjadi seperti itu, tetapi mereka menemukan dirinya sudah seperti itu adanya. Orientasi seksual mereka harus dibedakan dengan perilaku seksualnya. Dengan keberadaannya, mereka memiliki kebebasan untuk mendefinisikan diri dan memilih ungkapan orientasi seksual mereka. Tiap orang mempunyai kebebasan untuk menentukan pilihan perilakunya dan cara hidupnya.

    Mereka juga mempunyai keinginan untuk mengungkapkan cinta kasih melalui relasi monogamis. Hubungan seperti ini tidak hanya sebatas pada kaum heteroseksual, sebab berbagi kasih dalam hubungan eksklusif adalah kebutuhan dasar manusia. Seorang gay atau lesbian juga memiliki keinginan untuk mempunyai hubungan cinta kasih mendalam, keinginan untuk membangun sebuah keluarga, tetapi keinginan itu hanya dapat dipenuhi dengan pasangan sejenisnya. Orientasi seksual seperti ini bukan semata-mata keputusan berdasar pilihan, melainkan sudah seperti itu adanya.[6]

    Menalar Sikap Gereja Terhadap Homoseksual  

    B.S. Mardiatmadja dalam bukunya Eklesiologi Makna dan Sejarahnya menyebutkan bahwa kata gereja berasal dari bahasa Portugis (igreja), berkaitan dengan bahasa Spanyol (iglesia), bahasa Latin (ecclesia) serta bahasa Yunani (ekklesia). Kata ekklesia ini mempunyai arti sidang, perkumpulan, perhimpunan dan paguyuban.[7] Mardiatmadja mengartikan ekklesia sebagai paguyuban orang beriman atau peristiwa berkumpulnya orang beriman kepada Allah dalam Yesus Kristus.[8]

    Penulis melihat bahwa konsep gereja merujuk pada pengertian sebuah tempat dimana orang beriman berkumpul. Dari penjelasan para teolog, penulis belum pernah menemukan pendefinisian gereja berdasarkan gender atau orientasi seksual tertentu. Gereja terdiri dari pluralitas suku, etnis dan status sosial. Lalu pertanyaan selanjutnya adalah mengapa keragaman orientasi seksual tidak dapat diterima dalam gereja?

    Dalam bulan Mei 1972, Majalah New York Times menurunkan tukar-menukar pandangan mengenai apa yang terjadi di dalam Gereja Katolik di Amerika Serikat. Majalah itu memuat penilaian seorang teolog Italia, Battista Mondin, yang kurang lebih mengatakan bahwa Gereja di Amerika sedang mengalami keruntuhan. Dua hari kemudian majalah yang sama memuat satu surat pembaca.

    Penulis surat itu mengakui, ’’benar bahwa Gereja tradisional sedang sekarat.” Tetapi kemudian menambahkan, ”hal yang dinyatakan itu merupakan bencana hanya bagi mereka yang sekian terpaku pada paham konservatif dan pada paham otoritas, sampai mereka, karena Hukum Kanon, tidak dapat memahami arti injil Kristus.[9] Diskusi semacam ini terus berlangsung di mana-mana sampai sekarang. Orang-orang Kristen tidak sepakat tentang ukuran kemajuan atau kemunduran Gereja, karena mereka memiliki visi yang berbeda sama sekali tentang Gereja. Mereka tidak sepakat tentang apa sebenarnya Gereja itu.

    Semua itu tidak berarti bahwa keterlibatan umat beriman yang membentuk Gereja tidak ada ciri khasnya. Dalam usaha mereka menegakkan keadilan, umat beriman seharusnya selalu terdorong oleh teladan Yesus yang mempertaruhkan segala sesuatu dan bahkan diriNya sendiri demi pembebasan manusia. Suatu motivasi yang luar biasa untuk membuka diri bagi penderitaan dan harapan sesama manusia, sebab itulah jalan untuk mengikuti Dia.

    Orang beriman seharusnya selalu mengarahkan diri pada ajakan-ajakan dan patokan yang terdapat dalam Injil, yang mendorong sekaligus mempertanyakan usaha kita, juga dalam rangka penegakan keadilan. Injil memang tidak menawarkan pemecahan semua masalah pribadi dan sosial kita. Pemecahan itu perlu kita cari dan perjuangkan sendiri dengan susah payah dan dengan menanggung risiko kekeliruan dan kegagalan. Namun demikian, inspirasi dan pengarahan mendasar yang kita peroleh dalam injil bukan embel-embel, yang ada tidaknya sama saja, melainkan sangat bermanfaat dan semestinya mewarnai seluruh perjuangan kita. [10]

    Hal yang sama kita alami ketika berbicara tentang kaum homoseksual. Kita tidak memiliki ukuran yang sama untuk menilai kelompok ini. Referensi utama ketika berbicara tentang homoseksual selalu terarah kepada Kitab Suci. Akan tetapi, Kitab suci hanya memberikan fragmen-fragmen kecil yang mengarah ke homoseksual. Berhadapan dengan homoseksual ini, Gereja perlu membuka diri untuk mencari suatu model refleksi yang ramah terhadap kaum homoseksual. Hal ini penting sebabhomoseksualitas adalah suatu realitas. Kaum homoseksual ada di sekitar kita dan mereka adalah warga gereja.

    Gereja perlu membangun suatu pengakuan akan keberbedaan dari kaum homoseksual. Pengakuan ini tidak mau menciptakan kembali ruang yang buta terhadap keunikan masing-masing manusia. Pengakuan bertujuan menjaga dan merawat kekhasan setiap manusia sebagai sesama ciptaan Tuhan. Hal ini tentunya bukan sesuatu yang tentatif tetapi menjadi suatu keharusan yang berlangsung secara terus-menerus.

    Gereja perlu menyadari bahwa homoseksualitas tidak dapat dipahami lagi sebagai bentuk penyimpangan orientasi seksual, melainkan harus dipahami sebagai bagian dari identitas diri. Namun, hal ini bukan berarti bahwa tindakan dan perilaku homoseksual bisa dibenarkan. Praktik homoseksual tetaplah menjadi praktik yang tidak dapat dibenarkan, tetapi terhadap pelaku homoseksual sikap yang harus dikembangkan adalah bukan menolak namun menerima mereka dalam kehidupan bersama di masyarakat.

    Kaum homoseksual di berbagai negara biasanya mengibarkan bendera pelangi. Pelangi memiliki aneka warga. Masing-masing warna merupakan representasi dari variasi orientasi seksual. Gereja hadir dengan pencampuran berbagai warna yang tidak berdiri sendiri-sendiri. Masing-masing warna bercampur menjadi suatu kesatuan.

    Desmond Tutu dalam tulisannya Teologi Pelangi menuliskan bahwa teologi relasi sejenis meletakkan diskusi dalam bingkai membela kemanusiaan dari ancaman dehumanisasi. Teologi kemanusiaan atau relasi kasih menolak diskriminasi terhadap subjek relasi sejenis. Dalam Kitab Suci dan tradisi, Allah mencintai manusia tanpa bertanya lebih dahulu mengenai orientasi seksualnya. Teologi Pelangi mengikhtiarkan subjek relasi sejenis keluar dari ruang gelap dehumanisasi dan menemukan terang keselamatan.[11]

    Gagasan Desmond Tutu ini menginspirasi gereja untuk menghormati dan menghargai keberagaman orientasi gender. Gereja sebagai sebuah institusi perlu menghindari dehumanisasi terhadap kaum homoseksual. Gereja hadir dalam konteks yang terus menerus berubah. Gambaran gereja tidak melalu dipandang buruk. Gambaran gereja sebagai sebuah institusi akan dipandang buruk ketika institusi menghambat gereja untuk terus menerus memperbarui dirinya.

    Sebagai institusi, gereja harus mempertimbangkan bahwa gereja juga terdiri dari orang-orang yang disebut umat. Gereja sudah seharusnya merekonstruksi makna dan hakekatnya. Gereja bukan hanya milik sebagian orang yang terlibat di dalamnya, tetapi milik semua umat termasuk yang memiliki orientasi seksual yang berbeda dari umat pada umumnya.

    Dalam konteks ini, gereja perlu merekonstruksi hakekatnya. Gereja perlu melakukan reformasi internal dalam semangat ecclesia reformata semper reformanda, yang berarti gereja mau terus-menerus diperbarui. Konteks di sekeliling gereja akan terus berubah. Dalam perspektif eklesiologi kontekstual, gambaran gereja tidak lagi monokultur, melainkan multikultur.[12] Kultur yang dimaksud di sini tidak terbatas pada etnis atau ras. Kultur sebagai representasi dari kepelbagaian.

    Menggereja itu sendiri merupakan persekutuan paguyuban-paguyuban. Menurut Pattipeilohy, pembangunan umat adalah refleksi teologis yang akomodatif dalam mempertimbangkan pemberian ruang gerak yang nyaman dan leluasa bagi penghayatan umat. Inilah pembelokan eklesiologis dari tekanan pada jabatan gerejawi kepada umat dan karunia-karunianya.

    Walaupun demikian, pengakuan terhadap kaum homoseksual dengan kepelbagian ciri khasnya tidak menghilangkan sesuatu yang khas dalam teologi Katolik. Gereja melalui Seri Dokumen Gerejawi tentang homoseksualtas telah memberikan suatu pertimbangan yang bijaksana bahwa gereja perlu menghormati kaum homoseksual, tetapi bukan melegalkan perkawinan sesama jenis. Gereja menghormati manusia yang homoseksual dan bukan melegalkan tindakan pernikahan sesama jenis.

    Gereja mengajarkan bahwa hormat bagi orang-orang homoseksual dengan cara apapun tidak dapat mengarah ke persetujuan perilaku homoseksual atau pengakuan legal hidup bersama orang-orang homoseksual. Kesejahteraan umum menuntut agar hukum-hukum mengakui, mempromosikan dan melindungi perkawinan sebagai dasar hidup berkeluarga, unit masyarakat yang utama.

    Pengakuan legal hidup bersama orang-orang homoseksual dan menempatkan mereka pada tingkat yang sama dengan perkawinan akan berarti tidak hanya persetujuan atas perilaku yang menyimpang, dengan konsekuensi membuatnya menjadi suatu model dalam masyarakat masa kini, melainkan juga akan menggelapkan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam harta warisan bersama umat manusia. Gereja tidak dapat gagal mempertahankan nilai-nilai ini, bagi kepentingan laki-laki dan perempuan-perempuan dan bagi kepentingan masyarakat itu sendiri.[13]

    Dengan demikian, Gereja taat kepada Tuhan yang mendirikannya dan memberinya hidup sakramental, merayakan rencana ilahi kesatuan laki-laki dan perempuan yang saling mencinta dan memberi hidup dalam sakramen perkawinan. Hanya di dalam hubungan perkawinan, penggunaan kemampuan seksual mendapatkan pembenaran moralnya. Maka seorang pribadi yang melaksanakan perilaku homoseksual bertindak secara tidak bermoral. Memilih orang dari jenis kelamin yang sama untuk kegiatan seksual berarti menggagalkan simbolisme dan makna, untuk tidak menyebut tujuan, rancangan seksual Sang Pencipta.

    Aktivitas homoseksual bukan persatuan komplementer, yang mampu meneruskan hidup; maka menghalangi panggilan kepada suatu hidup dalam bentuk pemberian diri yang menurut Injil adalah hakikat kehidupan kristiani. Hal ini tidak berarti bahwa orang-orang homoseksual tidak murah hati dan memberikan diri; tetapi kalau mereka melakukan tindakan homoseksual mereka meneguhkan di dalam diri mereka suatu kecenderungan seksual yang buruk yang pada hakikatnya memanjakan diri.[14]

    Homoseksual menjadi topik perdebatan yang cukup panas dalam gereja Katolik. Pihak yang menolak kaum homoseksual mendasarkan argumentasi pada Kitab Suci. Sebaliknya, pihak yang mendukung homoseksual menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Kaum homoseksual mendukung agar gereja perlu memperbarui diri dengan menerima kepelbagaian orientasi seksual sebab Tuhan tidak pernah menerima umat berdasarkan suku, ras, warna kulit, pendidikan dan orentasi seksual. Gereja diminta untuk menolak tindakan dehumanisasi terhadap kaum homoseksual. Sebagai sebuah perkumpulan umat, gereja mendukung dan menghormati keberadaaan mereka.

    Walaupun demikian, gereja tetap pada pendiriaan bahwa gereja menghormati kaum homoseksual sebagai manusia. Gereja menghargai mereka sebagai umat dan manusia dan tidak melegalkan perkawinan sesama jenis. Sebab sejak awal penciptaan, tujuan utama hidup pasangan suami-istri adalah prokreasi. Gereja mengajarkan bahwa hormat bagi orang-orang homoseksual dengan cara apapun tidak dapat mengarah ke persetujuan perilaku homoseksual atau pengakuan legal hidup bersama orang-orang homoseksual.

    Daftar Referensi


    [1] Avesina Wesda, ‘’32 Negara Melegalkan LGBT dan Pernikahan Sesama Jenis’’, Era.id, edisi 25 Agustus 2022, https://era.id/internasional/101967/32-negara-yang-melegalkan-lgbt-dan-pernikahan-sejenis– diakses 3 Desember 2022.

    [2] Simanjuntak, F., Duha, P. M. S., & Sanjaya, Peranan Orangtua dalam Mengantisipasi Perilaku LGBT di Kalangan Remaja Kristen Kota Batam. Real Didache, 4(1), hlm. 3, 2019.

    [3] Preston M. Sprinkle, People to be Loved: Why Homosexuality is Not Just an Issue (Grand Rapids: Zondervan, 2015), hlm. 1.

    [4] Gregory Herek, ‘’Beyond Homophobia: A Social Psychological Perspective on Attitude Toward Lesbian and Gay Men’’, Journal of Homosexsuality, Vol. 10, Issue 1-2, 1984.

    [5] Fr. Fransiskus Nong Budi, C. P. “You’ll Never Walk Alone (Kamu Tak Akan Pernah Berjalan Sendiri)”, dalam KANA No. 02 Tahun XII April-Mei-Juni 2017, hlm. 6.

    [6] Bambang Subandrijo, ‘’Bagaimana (seharusnya) Sikap Gereja terhadap LGBT’’, dalam Stephen Suleeeman dan Amadeo D. Udampoh, Siapakah Sesamaku? Pergumulan Teologi dengan Isu-isu Keadilan Gender (Jakarta: Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, 2019), hlm. 43.

    [7] B.S.Mardiatmadja, Eklesiologi, Makna dan Sejarahnya (Yogyakarta: Kanisius, 1986), hlm. 13.

    [8] Ibid.

    [9] Avery Dulles, S.J, Model-Model Gereja (Ende: Nusa Indah, 1990), hlm.16,

    [10] Dr. J. Muller, SJ, “Pewartaan Injil dan Penegakan Keadilan – Tugas Perutusan Gereja di Tengah Masalah-Masalah Sosial’’, dalam Eduard R. Dopo (Ed.), Keprihatinan Sosial Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 51.

    [11]Desmond Tutu, Teologi Pelangi – Relasi Sejenis, Dosa Sodom dan Sabda Vatikan, dalam Mutiara Andalas (Ed.), Lahir dari Rahim (Yogyakarta: Kanisius, 2009).

    [12] Stella Yessy Exlentya Pattipeilohy, “Merawat Kehidupan – Sebuah Eklesiologi dalam Krisis”, dalam Josef M.N.Hehanusa dan John C. Simon (Ed), Gerrit Singgih dalam Pergulatan Gereja dan Masyarakat (Jakarta: BPK Gunung Mulya, 2015), hlm. 141.

    [13] Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia, Seri Dokumen Gereja No 69, Homoseksualitas, 29 Desember 1975, hlm. 11.

    [14] Ibid., hlm. 25.

  • Misoginis Si “Pembunuh” Wanita

    Misoginis Si “Pembunuh” Wanita

    Indodian.comFredy Sebho (2017) dalam salah satu subbab bukunya yang berjudul Estetika Tubuh mengangkat problem framing industri teknologi yang lancung. Tentang promosi suatu produk tertentu yang memanfaatkan wanita sebagai daya perangsang hasrat konsumen buat membeli produk tersebut (terutama kaum pria).

    Ironinya seperti pada sebuah contoh iklan yang diangkat Sebho, terdapat fenomena pengeliminasian produk yang menjadi judul besar iklan tersebut dan digantikan oleh daya pikat seorang wanita yang sengaja didandani seseksi mungkin.

    Logika industri periklanan yang absurd seperti hal di atas bukanlah hal baru di Indonesia. Pundi-pundi uang yang dihasilkan kerap memanfaatkan komolekkan tubuh wanita serentak menciptakan sebuah diskriminasi. Dalam setiap momen pameran otomotif misalnya, para Sales Promotion Girl (SPG) dituntut untuk mengenakan pakaian mini dengan tujuan menarik minat konsumen (sesuatu yang sebenarnya tidak berkorelasi).

    Dari “umpan” visual akan tubuh wanita itu (bukan produk otomotifnya) lahirlah mata-mata “nakal”, menyusul pikiran-pikiran negatif yang berandai-andai bahwa para wanita tersebut bukanlah wanita “baik-baik” dan dapat dengan mudah diajak “kencan”.

    Barang pasti tidak semua wanita di berbagai belahan dunia ini ingin dirinya menjadi objek prasangka seksis kaum pria. Namun tak dapat dimungkiri bahwa beberapa alasan mendesak seperti kebutuhan ekonomi membuat mereka rela melakonkan beberapa peran yang sebenarnya tidak secara langsung menjual harga dirinya dari balik layar televisi. Logika kapitalis merupakan otak besar yang bersembunyi di balik itu semua.

    Selain itu patriarkalisme juga turut bertanggung jawab atas diskriminasi terhadap kaum perempuan di Indonesia, sebab perspektif kebudayaan juga menjadi sarana legitimasi-diskriminatif terhadap kaum hawa. Seolah-olah di sana dalam situasi apapun memang kaum wanita layak untuk disalahkan.

    Sebagai contoh adalah temuan Saskia Wierenga (1998) yang sama sekali tidak bisa mengubah tuduhan terhadap Gerwani. Walaupun dalam temuannya Wierenga menerangkan bahwa ketujuh jenderal tidak disayat oleh Gerwani, hal itu tetap tidak mengubah stigma negatif yang sudah terlanjur bahkan dirasa layak dialamatkan kepada Gerwani yang dalam hal ini merepresentasi kaum wanita.

    Diskriminasi-diskriminasi terhadap kaum perempuan bukan saja merupakan realitas lokal di Indonesia tetapi juga mengglobal. Dalam realitas multidimensional yang berskala global perempuan memang kerap dijadikan golongan kelas dua. Bahkan  dunia industri perfilman sekelas Holywood pun tidak luput dari diskriminasi-diskriminasi serupa.

    Beberapa pengakuan dari para aktris kenamaan Holywood tentang proses perekrutan aktris yang ternyata juga tidak terlepas dari kesanggupan memuaskan libido sang produser atau sutradara adalah kenyataan menyedihkan di balik animo penonton yang menggebu-gebu. Wanita di sini menjadi objek sekaligus korban yang dengan sengaja dibuat demikian rupa hanya karena mereka adalah wanita. Satu-satunya alasan diskriminasi itu adalah genus “feminim” yang  sejak zaman Yunani kuno sudah dianggap sebagai subordinasi kaum pria.

    Diskriminasi ini lalu berusaha dicari akar legitimasi-historisnya entah dalam legenda maupun mitos kebudayaan tertentu. Ada banyak contoh, misalnya mitos-mitos seperti Pandora yang membuka sebuah kotak berisi segala jenis kejahatan dan tentang Eva yang dipersalahkan karena membuat manusia jatuh ke dalam dosa. Semua itu seakan-akan hendak memberikan suatu legitimasi kekerasan terhadap perempuan. Semuanya bertendensi pada suatu sindrom yang kita kenal dengan misogini.

    Secara etimologis istilah misogini berasal dari kata misogynia (Yunani) yaitu miso (benci) dan gyne (wanita) yang berarti a hatred women. Kata misogynia berkembang menjadi misoginisme (mysoginism), yang bermakna suatu ideologi yang membenci wanita (Sunarto, 2009). Istilah ini bermula dari mitos penciptaan wanita dan keluarnya Adam dari surga ke bumi dalam tradisi Yahudi-Kristen. Penafsiran radikal dari mitos ini memojokkan dan menempatkan wanita yang saat itu direpresentasi Eva sebagai orang yang bertanggung jawab atas semua tragedi tersebut. Dari situ muncul anggapan bahwa wanita memang layak untuk dijahati karena dialah sumber ke-chaosan.

    Misogini memang mirip femisida namun terkadang penerapannya tidak disadari. Dalam femisida kita menemukan secara gamblang aksi pembunuhan konkret sementara dalam misogini hal itu tidak disadari. Demikian juga dalam femisida kita dapat menemukan motif seperti kecemburuan, kebencian, penghinaan hingga karena menikmati pembunuhan itu sendiri.

    Sementara dalam misogini, motif “pembunuhan” dilatarbelakangi oleh keperempuanan itu sendiri. Perempuan ditempatkan sebagai objek tujuan tanpa perlu adanya motif pengobjekkan tersebut. Secara kasar para misoginis (pelaku misogini) “membunuh” perempuan sebagaimana dikatakan sosiolog Allan G. Johnson (2000) hanya karena dia adalah perempuan, tidak peduli dengan hal lain yang dilakukan mereka.

    Meskipun bermotif ekstrem, bentuk-bentuk misogini seperti yang telah dijelaskan sebelumnya terkadang tidak kita sadari. Lelucon-lelucon seksis lalu framing media yang lancung, yang seringkali melibatkan wanita sebagai pelaku juga korban tindakan pemerkosaan merupakan contoh konkret yang dapat diangkat. Memang pada tataran humoris semata ungkapan lelucon seksis adalah sesuatu yang biasa-biasa saja bahkan kerap dapat menjadi penghibur dari kejenuhan.

    Namun demikian hal tersebut bukan tidak mungkin memaklumkan segala jenis diskriminasi lewat kata-kata itu bahkan kemudian dapat bertransformasi kepada tindakan konkret. Hal yang kemudian menjadi fatal adalah kebiasaan becanda seperti demikian dapat mengonstruksi suatu penerimaan begitu saja akan perilaku memusuhi dan mendiskriminasi perempuan. Dari bercanda dapat beralih kepada penguasaan akan yang dibecandain dan boleh jadi kepada kejahatan seksual.

    Sementara itu victim blaming akibat framing media juga menjadi sebuah misogini tersembunyi yang secara perlahan dapat melegitimasi kejahatan seksual pada wanita. Seolah jika wanita tidak menggunakan pakaian mini maka pemerkosaan tidak akan terjadi. Padahal jika dicermati lebih jauh tidak ada korelasi antara pakaian mini dan perilaku kejahatan seksual. Kejahatan seksual dapat terjadi kapan saja meski tidak dipancing oleh pakaian mini sekalipun.

    Kita kemudian kembali kepada logika industri periklanan yang kerap menjajakan wanita sebagai barang dagangan. Yang menempatkan kaum wanita tidak lebih dari “barang pelaris” untuk mendatangkan keuntungan. Maka tidak heran bila kemudian layanan-layanan iklan produk tertentu justru lebih banyak menampilkan kemolekkan tubuh wanita ketimbang kualitas dari produk bersangkutan. Hal ini benar-benar menjadi surga penghasilan bagi para kapitalis terlebih dengan sudah adanya prasangka seksis ideologis dari kaum pria.

    Dalam iklan parfum yang menampilkan pria yang dikejar-kejar para wanita karena memakai produk tertentu misalnya, telah menempatkan wanita sebagai objek irasional yang dikendalikan dari luar. Wanita tidak memiliki otonomitas diri untuk menentukan pilihannya.

    Para pria yang menyaksikan iklan tersebut secara tidak sadar digiring buat memakai produk bersangkutan bukan karena parfum itu adalah kebutuhan melainkan hanya fantasi akan keintiman dengan seorang wanita semata. Pengalaman traumatis ditolak oleh wanita dalam suatu kesempatan di masa lalu juga barangkali menambah parah “ketergantungan” terhadap produk tertentu.

    Lagi-lagi logika kapitalis bergerak di belakangnya. Mobilisasi dari keinginan menjadi kebutuhan semu menjadi tujuan utama. Secara tidak sadar semua mereka (kaum pria khususnya) yang menikmati iklan itu serentak juga tergoda dan terpengaruh untuk menjadi seorang misoginis. Wanita ditempatkan sebagai objek yang mengubah keinginan menjadi sebuah kebutuhan hanya oleh karena prasangka seksis tertentu. 

    Di akhir tulisan ini, saya tidak hendak membahas panjang lebar solusi alternatif untuk mencegah jatuhnya kita pada tendensi misogini, sebab tulisan ini sejak awal sekadar hadir sebagai informasi yang setidaknya dapat menyadarkan maupun menggugah pembaca sekalian yang barangkali juga secara tak sadar telah menjadi misoginis.

    Maka dari itu, satu-satunya anjuran sederhana adalah lewat rasionalitas konsumen. Kita harus cerdas dalam memilah antara keinginan dan kebutuhan. Hal ini berarti, penggunaan ataupun pembelian produk tertentu oleh seseorang mesti didasari oleh faktor kebutuhan dan bukannya keinginan. Pemenuhan kebutuhan yang tepat mesti datang dari dalam diri dan bukannya atas pengaruh dari luar apalagi hanya sekadar karena proyeksi iklan-iklan tertentu.

    Penulis : Guru di SMP dan SMA Seminari Pius XII Kisol

    DAFTAR PUSTAKA

    Allan J., The Blackwell dictionary of Sociology; A User’s Guide to Sociological Language.Oxford Willey, 2000).

    Sebho, Fredy. Estetika Tubuh. Maumere: Ledalero, 2017.

    Sunarto. Televisi, Kekerasan, dan Perempuan. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2009.

    Wierienga, Saskia. The Politicitazions of Gender Relations in Indonesia: The Indonesian Women’s Movements and Gerwani until the New Order, terj.. Jakarta: Kalyanamitra, 1998.

  • Memahami Term ‘Pelacur’

    Memahami Term ‘Pelacur’

    Indodian.com – Term tertentu sering kali dimengerti secara diskriminatif. Itulah yang terjadi dengan pemahaman atas term “pelacur”. Term ini direduksi sebagai alat identifikasi untuk kaum perempuan. Ketidakadilan ini dilatarbelakangi oleh budaya, tradisi, dan situasi politik yang sedang berkembang di tempat dan zaman tertentu. 

    Sebagian besar kebudayaan menghayati tradisi patriarkal, di mana kaum lelaki dianggap “superior” atas kaum perempuan. Istilah “pelacur” sebetulnya merujuk pada siapapun yang melakukan tindakan asusila (amoral), entah lelaki atau perempuan.

    Namun, sering kali, pola pikir, tradisi, dan budaya tertentu mengidentifikasi sebuah term secara sempit dan terbatas. Seorang feminis bernama Gadis Arivia bahkan menandaskan bahwa term-term tertentu sering kali mencerminkan mentalitas menindas dan diskriminatif. Akibatnya, pengguna term memahami dan memaknai term tersebut secara serampangan. Hal ini akan berpotensi merusak apabila term yang dimaksud hendak menjelaskan hal-hal yang menyentuh langsung perkara kemanusiaan, keadilan, dan kebaikan.

    Sebut saja, term “kebaikan”. Term ini bisa saja direduksi oleh kelompok tertentu secara sempit, sehingga aplikasi atas kebaikan pun cenderung mengorbankan nyawa yang lain. Demikianpun yang terjadi dengan pemahaman atas term “pelacur”. Pemahaman atas term ini mengusung sikap diskriminatif dan menindas atas kaum perempuan di Indonesia. 

    Istilah “pelacur” sering kali diidentikan begitu saja dengan kaum perempuan. Untuk menganalisis pemahaman masyarakat Indonesia terhadap term “pelacur”, penulis pernah membuat sebuah riset sederhana. Riset tersebut dilakukan dengan membuat pertanyaan dan pernyataan kepada beberapa kenalan penulis. Pertanyaannya demikian: “Ketika Anda mendengarkan istilah “pelacur”, apa yang spontan muncul dalam benak anda?

    Penulis menemukan bahwa reaksi spontan beberapa orang yang ditanyai, langsung merujuk pada perempuan yang moralnya tidak baik. Di samping itu, ketika penulis bergurau dengan teman lelaki dengan mengatakan: “Hei pelacur!”, ada teman-teman yang menggerutu: “Hei saya bukan perempuan!” 

    Analisis sederhana ini setidaknya membuktikan betapa naifnya pemahaman orang Indonesia terhadap term “pelacur”. Dianggap aneh bila kita menyebut seorang lelaki sebagai pelacur. Seolah-olah pelacur melulu dan terbatas pada pada kaum perempuan. Term dalam dirinya sendiri sebenarnya tidak bermasalah. Pengguna termlah yang bermasalah. Harus diakui bahwa identifikasi yang demikian picik sangat dipengaruhi oleh budaya dan tradisi kegamaan yang berkembang di Indonesia. 

    Pemahaman ini berbanding terbalik dengan fenomena pemerkosaan yang terjadi di tanah air. Hampir pasti, pelaku pemerkosaan adalah kaum lelaki. Kita jarang mendengar berita, di mana seorang perempuan memperkosa lelaki. Kalaupun ada, mungkin prosentasenya tidak mampu mengalahkan jumlah lelaki pemerkosa. Komisaris Komnas Perempuan, Adriana Venny mengatakan bahwa dalam catatan tahunan Komnas Perempuan, kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan setiap tahun. Tahun 2017 tercatat 348.446 kasus. Jumlah ini melonjak jauh bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni sebanyak 259.150 kasus. 

    Oleh karena itu, rekonstruksi konsep tentang ‘pelacur’ merupakan suatu kebutuhan mendesak agar publik memiliki pemahaman yang komprehensif dan tidak berat sebelah. Dalam hubungannya dengan usaha ini, penulis juga akan menguraikan sejarah singkat tentang pelacuran dan konsep tentang PSK (Pekerja Seks Komersial).

    Terminologi ‘Pelacur’

    Dalam kamus besar bahasa Indonesia, istilah “pelacur” berasal dari kata dasar “lacur”. Lacur itu sendiri diartikan sebagai kelakuan tidak baik (tentang perempuan). Dari kata dasar ini, muncul kata kerja “melacur” yang berarti berbuat lacur; menjual diri (sebagai tunasusila atau pelacur). Subyek yang melacur disebut “pelacur” yang mengacu pada perempuan yang melacur; sundal; wanita tunasusila.

    Dalam konteks yang ilmiah, “lacur” berarti penyelewengan dalam dunia pendidikan. Sedangkan dalam konteks keagamaan, lacur merujuk pada ritual keagamaan yang keramat. Menarik bahwa dalam kamus yang sama, juga ditulis kata “tunasusila”. Tunasusila itu sendiri adalah bentukan dari kata “tuna” yang berarti luka; rusak; kurang; dan tidak memiliki, dan “susila” yang berarti baik budi bahasanya, beradab, sopan, dan beradab. 

    Kemudian, di tempat lain, penyusun kamus yang sama mengartikan kata “tunasusila” sebagai yang tidak mempunyai susila, lonte, dan pelacur: wanita tunasusila. Rupanya, untuk mengartikan kata “tunasusila”, penyusun kamus menambah satu term baru, yaitu: “lonte”. Kata “lonte” dalam kamus yang sama diartikan sebagai perempuan jalang, wanita tunasusila, pelacur, dan sundal.

    Lebih lanjut, dalam mengartikan kata “lonte”, penyusun kamus lagi-lagi menambah satu term baru, yaitu “sundal”. “Sundal” diartikan sebagai yang buruk kelakuannya (tentang perempuan), lacur, dan jalang. Sekali lagi, penyusun kamus menambah satu term baru lagi, yaitu: “jalang” yang berarti nakal (tentang perbuatan yang melanggar susila), perempuan jalang atau pelacur.

    Berdasarkan penelitian leksikal ini, penulis menemukan bahwa ternyata terdapat begitu banyak istilah yang mengacu pada pada term “pelacur”. Semua term itu sebenarnya mau mengatakan satu hal, yaitu: yang tidak baik susilanya atau moralnya. Dan, semua term yang merujuk pada istilah “pelacur” selalu ditambahi keterangan tentang perempuan yang disematkan dalam tanda kurung setelah term ditulis. Dalam mengartikan term-term tersebut, penyusun kamus juga sama sekali tidak menyinggung soal hal yang spesifik perihal pelacur dan tindakan melacurkan itu. 

    Yang disampaikan kamus hanya sebatas definisi umum, misalnya ketika kamus mengartikan kata “melacur”. Kamus hanya sebatas menyampaikan bahwa melacur itu berarti berbuat lacur dan menjual diri. Apakah menjual diri di sini dimengerti sebagai penjualan jasa sebagai pencuri, pembunuh ataukah sebagai perampok. Kata “tunasusila” pun diartikan dengan sangat umum, yaitu yang tidak baik susilanya, entah susilanya tidak baik lantaran apa, sama sekali tidak dijelaskan. Yang paling memilukan ialah bahwa dalam mengartikan setiap term yang berkaitan dengan term “pelacur”, keterangan tentang lelaki, luput dari perhatian kamus. Padahal ada banyak lelaki yang melacurkan diri.

    Menarik bahwa dalam kamus Indonesia-Inggris yang ditulis John M. Echols dan Hassan Shadily yang disusun oleh John Echols dan Hassan Shadily, kata “lacur” diterjemahkan dengan “immoral”, “indecent”. Kemudian “melacur” diterjemahkan dengan “carry on or perfom prostitution”. Dalam kamus yang sama, kata “jalang” diterjemahkan dengan “wild”, “untamed”, “undomesticated” (of animals). Kemudian kata “lonte” diterjemahkan dengan “prostitute”, “male prostitute”. Dan kata “sundal” diterjemahkan dengan “prostitute”, “lewd”, “whore”, dan “fornication”. Berdasarkan informasi ini, penulis menyimpulkan bahwa dalam bahasa Inggris, term “pelacur” tidak melulu direduksi pada kaum perempuan.

    Kita perlu perhatikan baik-baik bahwa dalam kamus Indonesia-Inggris tersebut, kata “jalang” lebih dikaitkan dengan binatang (animal), sedangkan kata “sundal” bahkan diterjemahkan dengan “male prostitute” yang berarti pelacur laki-laki.

    Kemudian mengapa dalam kamus besar bahasa Indonesia term “pelacur” dan yang berkaitan dengannnya lebih dihubungkan dengan kaum perempuan? Hal ini membuktikan betapa diskriminasinya kamus orang Indonesia dalam memahami term “pelacur”. Mungkin kenyataan ini belum disadari oleh semua orang. Bahkan pemahaman yang demikian naif telah menjadi pemahaman yang pakem dalam benak orang-orang Indonesia. Konsekuensinya, ketika terjadi kasus perselingkuhan misalnya, orang-orang Indonesia lebih mempersoalkan moralitas kaum perempuan. Seolah-olah kalau lelaki nakal, itu wajar! Kaum perempuan selalu dikambinghitamkan.

    Laman: 1 2 3

  • Perempuan Korban Pelecehan Seksual Cenderung Bungkam, Mengapa?

    Perempuan Korban Pelecehan Seksual Cenderung Bungkam, Mengapa?

    Indodian.com Pelecehan seksual ada di mana-mana. Dalam rumusan lainnya, di mana-mana ada kasus pelecehan seksual. Bahkan di dalam ruang dialog daring semacam itu pun, pelecehan seksual sangat mungkin terjadi. Anehnya, meskipun ditimpa pengalaman seperti itu, perempuan justru lebih banyak memilih untuk bungkam. Entah karena memilih atau dipaksa untuk bungkam, perempuan sendirilah yang mengetahuinya dengan pasti. Namun, kita tidak dapat menutup mata terhadap realitas ini. Bagaimana pun juga, bungkam di hadapan realitas seperti itu merupakan sebuah kemunduran dalam peradaban kemanusiaan.

    Baca Juga : Profesionalisme Guru di Tengah Pandemi
    Baca Juga : Merawat Keindonesiaan

    Tentu, pelecehan seksual adalah sebuah tema diskursus yang cukup luas. Usaha menguraikan sesuatu yang luas dalam ruang yang terbatas dengan pengetahuan yang terbatas adalah suatu skandal intelektual yang berbahaya baik bagi penulis maupun bagi publik pembaca. Selain itu, di hadapan sebuah fenomena atau fakta sosial, setiap orang memiliki fokus atensi intelektualnya masing-masing.

    Ada yang berusaha mengeksplorasi bagian tertentu yang mungkin bukan menjadi fokus perhatian bagi orang lain. Demikian pun pembahasan saya di dalam artikel ini. Untuk itu, di dalam artikel ini, pembicaraan saya berkonsentrasi pada satu pokok penting dari kasus pelecehan seksual, yaitu fakta tentang bungkamnya para korban pelecehan seksual. Tentu pelecehan seksual terjadi atau dialami baik oleh laki-laki maupun perempuan.

    Namun, di dalam artikel ini, saya memilih berkonsentrasi pada pelecehan seksual yang dialami perempuan. Oleh karena itu, status quaestionis (hal yang ditelaah) melaluiartikel ini adalah ada apa di balik bungkamnya korban pelecehan seksual?

    Laman: 1 2 3

  • Berpisah Dengan Pacar Toxic Bukanlah Dosa

    Berpisah Dengan Pacar Toxic Bukanlah Dosa

    Indodian.com Dalam proses menjalin hubungan pacaran dengan seseorang tentu tidak selamanya berjalan mulus. Butuh proses panjang untuk bisa membangun ‘titik temu’ dua individu yang memiliki kepribadian berbeda satu sama lain. Sekalipun hubungan pacaran sudah berlangsung selama sekian tahun, tetapi karena waktu terus melaju dan manusia turut berubah di dalamnya, maka proses mengenal pacar juga tidak akan pernah berhenti.

    Sebagai makhluk sosial, kita tentu membutuhkan seseorang yang bisa membuat kita merasa nyaman, aman dan diperhatikan dengan penuh kasih sayang. Dalam konteks yang lebih mendalam, kita membutuhkan seseorang yang bisa menjadi pendukung dalam proses tumbuh-kembang kita untuk menjadi lebih baik dari hari ke hari.

    Namun, bagaimana jika pacarmu justru menjadi sosok yang paling ‘berbahaya’ untuk kamu? Kamu malah menjadi tidak nyaman dan aman karena perilaku pacarmu yang kelewat batas. Energimu jadi terkuras karena bersedih melihat pacarmu yang sifat aslinya ternyata bisa membuat hidupmu jadi semakin terpuruk.

    Baca Juga : Membangun Taman Baca, Membangun Harapan Bangsa
    Baca Juga : Belajar dari Ketajaman Pendengaran Kaum Difabel

    Memangnya perilaku berbahaya dan kelewat batas seperti apa yang dimaksud? Apa kamu pernah merasa terlalu dikekang dan dibatasi oleh pacarmu? Dilarang ngumpul dan foto bareng  sahabat kamu, dilarang keluar hingga larut malam walau untuk urusan komunitas dan kerjaan atau dicaci-maki karena telat membalas chat? Nah, jika kamu mengalami ini, berarti kamu memiliki pacar yang toxic dan sudah tentu membuat kamu terjebak dalam hubungan yang tidak sehat.

    Saya punya seorang teman yang setahun lalu putus dengan pacarnya. Ketika hendak memutuskan hubungan, (mantan) pacarnya masih ngotot mempertahankan hubungan dengan alasan sudah sekian lama pacaran. Teman saya sudah bersikeras menolak balikan, tapi mantan masih berusaha mencari berbagai cara bahkan menggunakan kekerasan untuk kembali padanya. Mantannya berupaya meretas akun media sosial teman saya, membuat fake account untuk stalking teman saya. Lebih payahnya meneror teman saya dengan berbagai telpon dan pesan singkat berisi ancaman dan kata-kata kasar.

    Awal-awal putus, mantannya masih berusaha mengusik hidupnya. Mantannya mulai ‘playing victim’ dan menceritakan ke banyak orang kalau penyebab mereka putus adalah karena teman saya selingkuh. Padahal faktanya berbeda. Selama pacaran, mantan teman saya tersebut sering sekali mencaci-maki teman saya dan tak jarang memukulinya.

    Bukan hanya itu, teman saya tidak diperbolehkan nongkrong dan berkomunikasi dengan sahabat-sahabatnya (terutama cowok), tidak boleh berfoto dengan lawan jenis, tidak boleh ikut kegiatan yang banyak cowoknya. Teman saya harus selalu membalas chat (mantan) pacarnya tadi sesegera mungkin, jika tidak dia akan dituduh aneh-aneh. Duh, ini pacar apa penjajah sih?

    Baca Juga : Bagaimana Peran Media Dalam Melawan dan Menghapuskan Kekerasan Terhadap Anak?
    Baca Juga : Menulis Menghidupkan yang Mati

    Lucunya, setelah putus dari teman saya, si mantan itu dengan sombong mengatakan ke teman saya “kamu tidak akan pernah menemukan pacar yang sama seperti saya!” Yes, pernyataan yang  tepat sekali, sayang. Manusia, siapapun dia, tidak akan mungkin mencari atau menjebak diri dalam relasi dengan seseorang yang jauh lebih buruk dan berbahaya dari masa lalunya. Saya bersyukur karena teman saya berhasil melepaskan diri dari hubungan itu.

    Dari kisah teman saya, saya belajar bahwa tak ada yang salah jika kemudian seseorang memilih untuk mengakhiri hubungan asmaranya jika merasa sudah tak nyaman lagi.  Perlu dan penting diingat bahwa kita tidak bisa serta-merta merasa berhak dan berkuasa mengatur tindak-tanduk pacar yang membuatnya kehilangan diri sendiri hanya karena sudah bersepakat untuk pacaran. Jika orang tuanya saja yang mengandung, merawat dan mendidiknya sejak kecil memperlakukannya dengan begitu sangat baik, lantas mengapa pacar begitu berani bertindak kurang ajar? 

    Kalau sudah tak cocok dengan pacarmu dan dia tidak bisa memperlakukan kamu dengan terhormat sebagai manusia, tinggalkan! Dia bukan orang yang layak untuk dipertahankan. Dia bukan orang yang pantas untuk diperjuangkan! Jangan takut dan jangan hanya karena alasan sudah terlalu cinta lantas kemudian takut untuk meninggalkan pacar yang toxic. Berpisah dengan pacar toxic bukanlah dosa!

    Laman: 1 2 3

  • Bagaimana Peran Media Dalam Melawan dan Menghapuskan Kekerasan Terhadap Anak?

    Bagaimana Peran Media Dalam Melawan dan Menghapuskan Kekerasan Terhadap Anak?

    Indodian.com – Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1984, Indonesia memperingati 23 Juli sebagai Hari Anak Nasional (HAN). Hari Anak Nasional 2021 mengusung tema “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”. Sejatinya, Hari Anak Nasional bukan sekadar seremoni dan formalitas, tetapi menjadi momentum penting untuk membangun dan membangkitkan kepedulian juga partisipasi aktif setiap elemen bangsa Indonesia untuk mememuhi, menghormati dan melindungi hak anak untuk hidup, tumbuh dan berkembang. Dan yang juga tak kalah penting adalah anak juga memiliki hak untuk berpartisipasi secara wajar dan bermakna dalam pembangunan, sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi.

    Pertanyaannya sekarang, apakah anak Indonesia sudah mendapatkan perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan? Angka kekerasan pada anak terbilang tinggi selama masa pandemik. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) mencatat setidaknya, ada sekitar 3.122 kasus kekerasan terhadap anak yang tercatat di SIMFONI PPA (sistem informasi online perlindungan perempuan dan anak) per semester pertama 2021. Dari data tersebut, angka kekerasan dan eksploitasi seksual terhadap anak masih mendominasi, terutama di masa pandemik.

    Baca Juga : Menulis Menghidupkan yang Mati
    Baca Juga : Sebelas Tahun dipasung, Leksi Akhirnya Lepas Pasung dan Bisa Jalan Sendiri

    Di tahun 2020, ada 4.116 kasus kekerasan anak pada semester pertama dengan klasifikasi 3.296 anak perempuan dan 1.319 anak laki-laki yang menjadi korban kekerasan. Pada tahun 2019, kejahatan seksual pada anak berbasis internet masih menjadi tren tertinggi. Menurut data yang dimiliki oleh Mabes Polri, sampai Agustus 2019 ada sekitar 236 kasus kejahatan seksual berbasis online (daring). Dari hasil pemantauan yang dilakukan ECPAT Indonesia pun pada kwartal pertama 2019 ditemukan bahwa kasus-kasus kejahatan seksual anak melalui daring cukup besar angkanya dari 37 kasus yang ditemukan, sekitar 35 persen-nya adalah kejahatan seksual anak berbasi online, baik itu kasus pornografi dan kasus child grooming online. Sementara itu, sepanjang tahun 2018, tercatat 1.685 anak-anak yang telah menjadi korban dari kekerasan dan eksploitasi seksual, yang mana 77 persen-nya teridentifikasi anak perempuan dan 33 persen-nya anak laki-laki.

    Data-data di atas membuktikan bahwa upaya perlindungan terhadap anak belum selesai. Hampir tidak ada ruang aman bagi anak. Orang terdekat (seperti ayah, paman, pacar), tokoh agama dan guru justru menjadi pelaku kekerasan paling banyak. Media juga bahkan ikut melakukan kekerasan ganda terhadap anak lewat sejumlah pemberitaan di media yang hanya mengejar rating, click dan viralitas.

    Baca Juga : Pelangi di Mataku
    Baca Juga : Jejak Pelayanan Transpuan di Gereja Maumere

    Melihat peningkatan pesat angka kekerasan terhadap anak di Indonesia selama empat tahun terakhir, bagaimana semestinya peran media? Apakah media kita di Indonesia sudah menerapkan jurnalisme ramah anak dan turut menjadi medium yang melindungi dan menyuarakan agar hak-hak anak senantiasa dipenuhi, dihormati dan dilindungi?

    Tidak bisa kita nafikan bahwa sebagian besar media massa di Indonesia dmasih belum ramah anak. Meski isu anak dalam tema-tema tertentu telah menjadi isu menarik yang diangkat di media massa, namun seringkali potret anak dalam pemberitaan media massa masih belum mencerminkan perlindungan terhadap anak.

    Alih-alih pemberitaan, media massa justru mengeksploitasi berbagai isu anak, terlebih lagi ketika ada kasus kekerasan seksual dan anak yang berhadapan dengan hukum. Media massa seringkali melanggar kode etik jurnalistik dalam memberitakan berbagai isu anak, semisal mengungkapkan identitas anak (baik sebagai pelaku maupun korban) dan penggunaan diksi yang bombastis, sensasional dan mengandung unsur cabul juga sadis. Identitas anak yang paling sering diekspos oleh media adalah nama, tempat tinggal, nama orang tua, bahkan foto atau video yang memperlihatkan wajah anak, tanpa sensor sama sekali. Mengungkap identitas anak secara terang-terangan dan berlebihan sesungguhnya bisa mengganggu perkembangan anak. Acapkali anak di-framing sebagai sosok yang ikut andil sebagai pelaku, padahal murni sebagai korban.

    Media sebagai sebuah katalisator memiliki peran signifikan dalam membentuk persepsi masyarakat terhadap perlindungan terhadap anak terutama anak dari eksploitasi seksual sesuai amanat dalam UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. 

    Baca Juga : Pansos Boleh, Tapi Ada Batasnya
    Baca Juga : Politik Identitas ‘Racun’ Demokratisasi

    Setiap insan media harus mendengarkan hati nuraninya sendiri. Dari ruang redaksi hingga ruang direksi, semua pekerja media seyogyanya punya pertimbangan pribadi tentang etika dan tanggungjawab sosial. Media terkadang hanya terjebak pada apa yag diomongkan, tidak menggali pada substansi persoalan.

    Dalam aktivitas jurnalistik, wartawan tentu saja menjadi pionir dalam proses peliputan. Wartawan yang baik, kalau melakukan wawancara, harus sopan, memahami bahan secara utuh, menggali informasi sebanyak mungkin, tidak menunjukkan kesan sudah tahu, sok pintar, sok pamer juga tidak bernada menghakimi.

    Mengetahui mana yang benar dan mana yang salah saja tidaklah cukup. Wartawan harus menempatkan loyalitasnya secara tegas dan jelas. Apakah loyalitas kepada perusahaan,pembaca atau masyarakat? Perlu disadari bahwa wartawan punya tanggungjawab sosial yang tak jarang melangkahi kepentingan perusahaan dimana mereka bekerja. Walau demikian, tanggung jawab itu sekaligus adalah sumber dari keberhasilan perusahaan. Perusahaan media yang mendahulukan kepentingan masyarakat justru lebih menguntungkan ketimbang yang hanya mementingkan bisnisnya sendiri.

    Dalam bisnis media, ada sebuah segitiga. Sisi pertama adalah khalayak. Sisi kedua adalah pemasang iklan. Sisi ketiga adalah warga. Berbeda dengan kebanyakan bisnis, dalam bisnis media, audiens bukanlah pelanggan. Kebanyakan media memberikan berita secara gratis. Adanya kepercayaan publik iniilah yang kemudian dipinjamkan perusahaan media kepada pemasang iklan. Dalam hal ini, pemasang iklan memang pelanggan. Tapi hubungan ini seyogyanya tak merusak hubungan yang unik antara media dengan khalayaknya.

    Baca Juga : Sepucuk Surat untuk Pengantin Perempuan
    Baca Juga : Musisi Difabel Mata ini Ingin Memiliki Keyboard dan Membuka Kursus Musik

    Mirisnya, banyak media yang mengaitkan besarnya bonus atau pendapatan para redaktur dengan besarnya keuntungan yang diperoleh perusahaan yang bersangkutan. Ini bisa mengaburkan tanggung jawab sosial para redaktur. Mengaitkan pendapatan seorang redaktur dengan penjualan iklan atau keuntungan perusahaan sangat mungkin mengingkari prinsip loyalitas si redaktur terhadap masyarakat. Loyalitas mereka bisa bergeser pada peningkatan keuntungan perusahaan karena dari sana pula mereka mendapatkan bonus.

    Jurnalisme yang bermutu adalah jurnalisme yang menolak menerbitkan berita yang sifatnya sexist, bias gender dan eksploitatif. Logikanya, laporan jurnalsitik harus proporsional dan komprehensif. Artinya, naskah berita yang tersurat atau tersirat sexist, bias gender dan eksploitatif adalah naskah yang tak tampil proporsional dan komprehensif. Naskah seperti ini yang bisa menimbulkan masalah dan punya bahaya laten dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

    Kalau memang mau membangun reputasi wartawan yang solid, yang tahu mana yang metodologis dan mana yang bakal mencoreng reputasi, naskah berita yang mengandung tiga paham tadi semestinya diperbaiki atau tidak dimuat sama sekali. Jurnalisme yang bermutu tidak mau menciptakan distorsi yang serius di dalam masyarakat. Makin bermutu jurnalisme di dalam masyarakat, maka makin bermutu pula informasi yang didapat masyarakat yang bersangkutan. Terusannya, makin bermutu pula keputusan yang dibuat.

    Baca Juga : Perempuan, Iklan dan Logika Properti
    Baca Juga : “Utang Budi” Pater Thomas Krump, SVD

    Pemerintah juga sudah mengeluarkan berbagai regulasi guna memberikan perlindungan terhadap anak dalam pemberitaan, diantaranya ratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) Standar Program Siaran (SPS), dan Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia. Dalam Pasal 17 KHA mengakui fungsi penting yang dilakukan media massa dan negara harus menjamin anak mempunyai akses terhadap informasi dan bahan dari suatu diversitas sumber-sumber nasional dan internasional, terutama yang ditujukan pada peningkatan kesejahteraan sosial, spiritual dan kesusilaannya serta kesehatan fisik dan mentalnya. 

    Berbagai regulasi memang sudah banyak dikeluarkan, namun yang lebih penting proses implementasi harus kita kawal bersama. Keterlibatan masyarakat dimana orang tua dan media massa berperan penting dalam upaya perlindungan anak. Di sisi lain, anak-anak juga perlu diberikan pemahaman, pengetahuan, dan penguatan untuk dapat melindungi dirinya sendiri. Pemberitaan terkait isu-isu anak tersebut sebaiknya dilakukan dengan mengembangkan jurnalisme empati. 

    Melalui program atau konten media massa yang edukatif, anak bisa ikut berpartisipasi sebagai agen perubahan, mendukung proses tumbuh-kembang anak, merangsang kecerdasan, dan meningkatkan kreativitas anak. Ingat, anak-anak bukan orang dewasa mini, jadi setiap kita mesti memahami psikologi perkembangan anak. Yuk, stop kekerasan terhadap anak melalui media. Sebab makin bermutu jurnalisme di dalam masyarakat, maka makin bermutu pula informasi yang didapat masyarakat yang bersangkutan. Terusannya, makin bermutu pula keputusan dan kebijakan yang dibuat!

    Selamat Hari Anak Nasional!

  • Jejak Pelayanan Transpuan di Gereja Maumere

    Jejak Pelayanan Transpuan di Gereja Maumere

    Indodian.com – Mengapa Gereja di Maumere menerima individu atau komunitas dengan Keberagaman Gender dan Seksualitas (KGS) secara terbuka? Bagaimana komunitas KGS di pulau Flores ini dapat aktif dalam membantu kegiatan-kegiatan pastoral Gereja?

    Siang itu, Inang Novi tengah duduk menjaga kios dan salon miliknya di Gehak, Desa Koting D, Maumere-Sikka. Transpuan kelahiran Maumere 1972 ini mengelola usaha salon di rumahnya yang ditumbuhi tanaman hias dan sayur-sayuran.

    Ia adalah bungsu dari tiga bersaudara yang gemar memenuhi pekarangan bagian depan dan samping rumahnya dengan beragam tanaman. Beberapa ia tanam di polybag. Tampak juga bibit tanaman yang disemaikan tepat di samping tembok rumah.

    “Saya baru pulang dari kota Maumere,” Inang Novi membuka percakapan sembari tersenyum sambil bersantai.

    Seraya menyuguhkan teh hangat dan beberapa potong roti, ia menceritakan lika-liku hidup yang menuntut dirinya untuk selalu bekerja keras. Sejak kecil dia sudah ditinggal pergi oleh kedua orangtuanya. Di usia 3 tahun, ibunya meninggal. Bapaknya menyusul meninggal saat Inang Novi berusia 6 tahun. Akibatnya, masa kecil Inang Novi sangat susah. Tak ada waktu untuk bermalas-malasan.

    Baca Juga : Pansos Boleh, Tapi Ada Batasnya
    Baca Juga : Politik Identitas ‘Racun’ Demokratisasi

    “Walaupun masih kecil, kami harus kerja. Pulang sekolah langsung ke kebun. Makan dan minum ada di kebun,” kisah Inang Novi yang selama hidupnya merasa lebih dekat dengan kakak perempuannya.

    Ia dan dua kakaknya dilahirkan dari orangtua yang keras. Kakak pertamanya laki-laki, yang kedua perempuan.

    “Hidup saya makin susah ketika kakak pertama saya langsung pergi ke Kalimantan setelah orangtua kami meninggal. Dia hilang kabar. Akhirnya, saya tinggal dengan kakak perempuan saya. Kami berjuang bersama untuk cari makan,” lanjut Inang Novi.

    Inang Novi tidak dapat melanjutkan sekolah. Setelah beberapa tahun tinggal di kampung bersama kakak perempuannya, Inang Novi melamar kerja di Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret, Maumere. Lamaran pertama dan kedua ditolak. Lamaran ketiga baru diterima dan langsung dipanggil untuk kerja di Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret, Maumere. Ia bekerja di sana hingga 15 tahun lamanya.

    Laman: 1 2 3 4

  • Perempuan, Iklan dan Logika Properti

    Perempuan, Iklan dan Logika Properti

    Indodian.com – Anda tentu pernah menonton atau menyaksikan, sekurang-kurangnya, sebuah iklan baik melalui TV maupun media sosial. Iklan hadir dalam rupa dan bentuknya yang beragam. Ada yang serius dengan nada retoris-sugestif. Ada yang humoris-edukatif. Objek yang diiklankan pun selalu beragam. Mulai dari perlengkapan rumah tangga hingga perabot perkantoran, semua diiklankan. Tanpa terkecuali perabot-perabot yang lazim dianggap layak dipertontonkan di ruang publik (seperti kulkas, sepeda motor), barang-barang yang cukup ‘sensitif’ karena terkait erat dengan privasi pun tidak luput dari praktik iklan. Singkat kata, hampir tidak ada yang tidak diiklankan.

    Namun, pernahkah Anda, ketika sedang atau setelah menonton iklan, berpikir dan bertanya, mengapa perempuan selalu menjadi figur dominan dalam setiap iklan? Sampai saat ini, hampir tidak ada iklan sabun mandi terbaru yang diperankan oleh laki-laki. Kalaupun ada, aktor itu harus memiliki penampakan fisik yang tidak jauh berbeda dari perempuan. Tentu, menjadi bintang iklan juga adalah sebuah profesi yang bukan tidak bernilai.

    Baca Juga : “Utang Budi” Pater Thomas Krump, SVD
    Baca Juga : Kain Songke dan Kenangan tentang Ibu

    Namun, apakah tidak problematis ketika iklan sebuah keran atau pipa air diperankan oleh perempuan? Mengapa harus perempuan yang berdiri secara modelling di samping mobil baru dengan mengenakan busana yang super ketat? Mengapa bukan laki-laki? Ketika membeli mobil itu, apakah pembeli mendapatkan sekaligus mobil dan perempuan di samping mobil itu? Tentu, masih tersisa begitu banyak pertanyaan di dalam benak kita masing-masing.

    Ketika mencoba mengurai pertanyaan-pertanyaan ini, saya mulai berpikir tentang properti. Di dalam permenungan itu, saya menemukan adanya kaitan yang erat antara perspektif tentang perempuan dan properti. Sepanjang sejarah peradaban manusia, perempuan sering diperlakukan sebagai properti. Sampai saat ini, perlakuan itu tetap eksis, bahkan terus menguat dan membiak dalam berbagai bentuk.

    Beberapa tahun yang lalu, publik Indonesia dihebohkan oleh aktris Manohara yang mengaku diperlakukan sebagai properti atau aset oleh suaminya, Tengku Fakhry. “Buat Fakhry, Mano [Manohara] itu seperti mainan saja. Tengku bilang, karena kamu [Manohara] properti saya” (News.detik.com, diakses pada 10 Mei 2021). Tentu, ibarat gunung es, keberanian Manohara mengungkapkan kenyataan demikian adalah sesuatu yang langka. Jutaan wanita lainnya, hanya bisa bungkam. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Untuk mengurai kasus ini, kita memulai dengan memahami istilah properti.

    Laman: 1 2 3

  • Pernikahan Dini: Pandemik Yang Belum Juga Berakhir

    Pernikahan Dini: Pandemik Yang Belum Juga Berakhir

    “Saya baru saja menikah, sekitar 8 bulan yang lalu. Kalau saja saya tidak menikah saat itu, mungkin tahun ini saya sudah menjadi mahasiswa”.

    Indodian.com – Kutipan di atas merupakan cerita SP salah seorang anak di Desa Sobawawi (Sumba Barat) yang bersedia diwawancarai. Ia merupakan salah satu siswi SMA di desa ini. Ia terpaksa harus putus sekolah (sejak April 2020) karena tuntutan orang tuanya agar ia segera menikah. Tuntutan ekonomi tentu saja menjadi faktor utama yang mendorong orang tuanya untuk memaksanya menikah di usia yang masih sangat belia. Sebagai anak perempuan tertua di rumah dan tidak ingin membebani keluarga, mau tak mau ia harus memenuhi tuntutan tersebut.

    Kedua orang tuanya adalah petani sayur. Akibat pandemik, hasil dagangan sayur tak stabil meski kebutuhan hidup mereka kian meningkat. Biaya SPP, biaya makan-minum cukup mencekik. Ayahnya yang sakit-sakitan dan harus rutin melakukan medical check up di Rumah Sakit tentu membutuhkan biaya besar. Setelah memutuskan menikah, belis (mahar) yang diperoleh SP ia gunakan untuk membayar biaya berobat ayahnya juga membayar biaya sekolah keempat adiknya.

    “Sesungguhnya bukan pernikahan seperti ini yang sa (saya) mau.  Saya stress. Sa malu karena sa punya kawan semua masih bisa lanjut sekolah. Banyak orang pandang saya sebelah mata, apalagi kalau dengar suami maki atau pukul saya. Demi bapa dan mama, mau tidak mau sa harus jalani ini semua”, tutur SP dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca.

    Baca Juga : Cerita Wartawan di NTT Dapat Sinyal 4G di Pohon Jambu
    Baca Juga : Media Siber dan Demokrasi di Era Milenial

    Pernikahan Dini: Sebuah Fenomena Gunung Es

    Pandemik sudah setahun melanda seantero negeri dan menimbulkan krisis di berbagai sektor. Penduduk desa maupun kota tentu merasakan benar dampak wabah Covid-19. Praktik pernikahan dini tidak hanya terjadi pada kalangan anak perempuan, tetapi juga laki-laki. Dalam laporan tahunan UNICEF, di Indonesia, sejak tahun 2018 hingga 2020, tren pernikahan dini di pedesaan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah perkotaan. Di perkotaan, prevalensi anak yang menikah sebelum usia 18 tahun sekitar 7,15% sedangkan di pedesaan hampir mencapai 17%.

    Indonesia bahkan menempati posisi sebagai salah satu negara dengan angka pernikahan dini tertinggi di Asia Tenggara. Berdasarkan data dari Institut Kapal Perempuan, Indonesia merupakan salah satu penyumbang terbesar dari sekitar 13 juta kasus global pernikahan anak pada tahun 2020.

    Sejak Januari hingga Juni 2020, terdapat 34.000 permohonan dispensasi pernikahan dini (di bawah 19 tahun) diajukan, 97 persen di antaranya dikabulkan  (dilansir dari BBC.com). Sementara di tahun 2019, terdapat 23.700 permohonan. Mirisnya, pernikahan dini berkelindan dengan meningkatnya kasus kekerasan domestik dan perceraian. Mengapa demikian?

    Pandemik yang berdampak buruk pada rumah tangga bukanlah cerita baru. Di NTT sendiri, berdasarkan data yang dilansir BPS NTT, telah terjadi 400 lebih kasus perceraian di NTT yang dilandasi oleh berbagai faktor. Sementara untuk konteks Sumba Barat, per 2020 telah terjadi 10 kasus perceraian dengan faktor penyebab, kekerasan dalam rumah tangga dan alasan ekonomi.  7 di antara 10 kasus tersebut adalah remaja yang menjalani pernikahan dini di masa pandemik.

    Sebagian besar remaja yang mengalami pernikahan dini berusia sekolah. Mereka terpaksa menikah muda karena menjadi korban pelecehan seksual dari orang terdekat juga karena tuntutan ekonomi. Sistem belajar dari rumah ternyata tidak hanya perihal perubahan ruang dan metode belajar, melainkan menjadi beban baru bagi keluarga, terutama mereka yang tinggal di desa. Keterbatasan ruang gerak dan minimnya fasilitas belajar adalah dua faktor dominan yang membuat sebagian orang tua di desa mencari cara agar tetap survive, meski ‘mengorbankan’ anak.

    Baca Juga : Wajib Tahu! Enam (6)Tahap Penting dalam Menulis
    Baca Juga : Sore Nanti, Kita ke Pantai

    Dari hasil konfirmasi ke salah satu sekolah menengah negeri (tempat SP bersekolah) yang terletak di Kelurahan Sobawawi, 3 di antara 5 anak yang putus sekolah per 2020 dilecehkan oleh orang terdekat dan dipaksa menikah muda untuk menutup aib keluarga. Sisanya menikah muda karena tuntutan orang tua yang terlilit hutang dan ketidakstabilan ekonomi keluarga. Untuk faktor yang kedua ini, SP adalah salah satu korbannya.

    “Setahun kemarin (semenjak sistem Belajar Dari Rumah/BDR diterapkan), ada 3 siswi kami yang memilih berhenti sekolah karena dilecehkan oleh om (paman) dan saudara ayah mereka. Demi nama baik keluarga, mereka dipaksa menikah dengan pelaku pelecehan. Mirisnya, malah ada pelaku yang hanya menyelesaikan perkara secara adat /kekeluargaan karena minimnya pengetahuan keluarga soal prosedur pelaporan ke pihak berwenang. Ada juga yang menikah karena kemauan orang tua”, ujar EO (48), salah satu guru di sekolah negeri saat ditemui, Kamis (13/5).

    Pernikahan dini atau perkawinan anak merupakan salah satu bentuk tindak kekerasan terhadap anak. Anak yang dipaksa menikah atau karena kondisi tertentu memiliki kerentanan yang lebih besar, baik secara akses pendidikan, kualitas kesehatan, potensi mengalami tindak kekerasan serta hidup dalam kemiskinan. Dampak perkawinan anak tidak hanya akan dialami oleh anak yang dinikahkan, namun akan berdampak juga pada anak yang dilahirkan serta berpotensi memunculkan kemiskinan antargenerasi.

    Baca Juga : Malia
    Baca Juga : Desa: Sentra Budaya dan Peradaban

    Pernikahan dini sungguh berdampak buruk bagi anak itu sendiri. Angka perceraian cenderung tinggi karena anak belum matang secara mental dan spiritiual, akses terhadap pendidikan menjadi terhambat karena pernikahan dini sering berujung pada putus sekolah, anak yang menikah cenderung mengalami kekerasan dalam rumah tangga, risiko Kesehatan karena ketidaksiapan fungsi reproduksi secara biologis dan psikologis pada perempuan yang menjadi ibu.

    Pandemik harusnya menjadi masa permenungan bagi setiap kita untuk menyadari bahwa pernikahan dini, pelecehan seksual dan kekerasan domestik adalah masalah serius dan anak perempuan rentan menjadi korban. Kita mesti membangun kesadaran bersama bahwa anak perempuan memiliki hak setara dengan laki-laki, dalam menentukan pilihan hidup, memperoleh rasa aman dan perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan. Mengapa hanya perempuan? Data telah membuktikan bahwa perempuan yang rentan menjadi korban. Walau demikian, laki-laki dan perempuan bisa bergandengtangan dalam gerakan menolak pernikahan dini, minimal dari tataran pengetahuan dulu.

    Baca Juga : Metafora Perang dalam Penanganan Covid
    Baca Juga : Mencintai Wanita dengan Tanda Lahir di Bibir

    Cerita SP hanyalah salah satu di antara sekian cerita kelam yang dialami anak perempuan di Negara kita. SP merasa bersyukur karena ia memiliki sahabat yang supportive, sehingga ia begitu optimis untuk melanjutkan hidup. Kehadiran support system juga merupakan hal yang sangat dibutuhkan para anak korban pernikahan dini.

    “Sa bersyukur karena punya teman yang selalu kas kuat (menguatkan) saya. Sekarang saya sudah punya anak, perempuan lagi. Saya akan berjuang semoga sa punya anak tidak bernasib seperti saya. Sa punya anak harus hidup lebih baik dari saya nanti”, tegas SP sebelum akhirnya pamitan untuk menyusui anaknya yang baru berusia dua bulan.

    Jika kita menelisik lebih dalam, ucapan SP yang begitu tegar itu mengandung kesedihan juga kemarahan. Ada protes dan pemberontakan yang tak sempat terucap sebab tak ada posisi tawar yang kuat. SP juga (mungkin) setiap anak yang terpaksa menikah, pastinya ingin menolak, tetapi tuntutan budaya, membuat mereka mau tak mau menuruti kehendak orang tua.

    Baca Juga : Zidane, Tuchel, dan Tuhan
    Baca Juga : Korupsi dan Ketidakadilan Gender

    Jika setiap tahun kita merayakan kemerdekaan Republik Indonesia, sudah semestinya kita juga mendukung agar setiap anak merdeka dari segala bentuk kekerasan, terutama pernikahan dini. Masa pandemik dengan sederet new normal semoga bisa memberi ruang refleksi baru bagi setiap kita untuk semakin menjaga, melindungi dan menghormati hak setiap anak sebagai bagian dari hak asasi manusia.