G.W.F. Hegel: Negara dan Sittlichkeit

- Admin

Sabtu, 7 Oktober 2023 - 09:35 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com- Pemikiran Hegel tentang politik terutama dituangkannya dalam buku berjudul “Grundlinien der Philosophie des Rechts”. Karya ini merupakan salah satu karya filsafat politik terpenting seperti halnya karya Thomas Hobbes berjudul Leviathan atau J.J. Rousseau berjudul Gesellschaftsvertrag (Kontrak Sosial). Akan tetapi dalam diskursus filsafat politik kontemporer karya Hegel ini kalah populer dibandingkan dengan dua karya filsuf tadi.

Ada dua alasan untuk itu. Pertama, karya Hegel ini dianggap sangat kontroversial dan oleh para lawannya ditafsir sebagai sebuah karya konservatif-reaksioner yang tidak sesuai dengan arus pemikiran liberal. Hal ini bermula pada tafsiran atas pernyataan Hegel yang berbunyi: “Apa yang rasional itu nyata dan yang nyata adalah rasional“- “Was vernünftig ist, das ist wirklich;  und was wirklich ist, das ist vernünftig“. 

 Ungkapan Hegel ini melahirkan dua model tafsiran yang berbeda. Pertama, tafsiran yang melihat pernyataan Hegel sebagai pembenaran terhadap status quo. Negara harus dipandang rasional karena ia adalah nyata atau riil. Dengan tafsiran seperti ini kebanyakan para akademisi pro status quo di Berlin waktu itu melihat Hegel sebagai pendukung negara Prusia yang totaliter. Itulah yang dikenal sebagai tafsiran Hegelianisme Kanan. Kelompok ini sangat dominan pada masa itu.

Kedua, tafsiran dari kelompok Hegelianisme Kiri seperti Karl Marx yang berpandangan bahwa dengan pernyataan itu Hegel mau mengatakan, suatu sistem politik itu hanya sungguh-sungguh riil jika ia rasional. Karena Prussia itu semakin reaksioner dan totaliter, maka jelas ia tidak rasional. kejayaan Prussia hanyalah semu. Prussia harus dikritik. Marx dan teman-temannya menemukan dinamit kritis dalam filsafat Hegel.

Baca juga :  Epicurus dan Jebakan Sensasi  

Alasan kedua mengapa karya Hegel tidak populer ialah karena terlalu sulit untuk dipahami. Pemikiran Hegel pada umumnya sangat rumit. Akan tetapi buku Rechtsphilosophie lebih rumit lagi karena ia dirancang sebagai sebuah bahan kuliah dan menggunakan sejumlah term teknis. Di samping itu, untuk memahami Rechtsphilosophie Hegel diandaikan pembaca sudah bergelut dengan karya lainnya yang berjudul Wissenschaft der Logik – Ilmu Pengetahuan tentang Logika.

Akan tetapi logika di sini tidak dimengerti sebagai proses pembuatan kesimpulan yang berangkat dari premis-premis, tapi logika Hegelian. Logika Hegel adalah sebuah metafisika yang bertujuan untuk mencapai pengetahuan tanpa merujuk pada pengalaman empiris.

Kuliah kita tentang filsafat hukum Hegel di sini juga terjadi tanpa membahas secara komprehensif tentang logika Hegel. Namun satu term penting dalam seluruh pemikiran Hegel yang harus dipahami adalah konsepnya tentang “dialektika“. Dalam filsafat Yunani Kuno dialektika dipahami sebagai sebuah seni untuk berargumentasi, berkomunikasi atau meyakinkan seseorang. Seorang yang mahir dalam dialektika dapat menjelaskan persoalan dengan baik. Seperti ditunjukkan oleh Plato, dialektika dapat mengantar kita kepada pengetahuan tentang ide-ide.

Akan tetapi Hegel merekonstruksi konsep dialektika ini dengan mencabutnya dari konteks komunikasi, dan menempatkannya dalam pikiran manusia. Menurut Hegel, pemikiran dialektis mencerminkan realitas yang dialektis. Bagaimana hal ini dapat dipahami? Kita misalnya dapat menganalisis sebuah percakapan sebagai sebuah proses tiga langkah yakni tesis, antitesis dan paduan antara keduanya dalam level yang lebih tinggi disebut sintesis.

Baca juga :  Berkomunikasi dalam Masyarakat Pasca-Kebenaran

Kita dapat menerapkan metode dialektis ini untuk mendiskusikan model pemerintahan terbaik. Seorang mungkin berpendapat bahwa model pemerintahan terbaik adalah pemerintahan oleh satu orang sebagai raja (tesis). Pembicara kedua bisa saja berkeberatan dengan model monarki ini dan mengatakan bahwa pemerintahan terbaik harus dipegang oleh banyak orang atau semua orang (anti-tesis). Kemudian pembicara ketiga berpandangan bahwa model pemerintahan terbaik adalah campuran antara keduanya (sintesis).

Tesis dan antitesis mengajukan sudut pandang masing-masing. Kedua sudut pandang tersebut dianggap tidak berimbang jika dilihat dari perspektif sintesis. Antitesis adalah negasi atas tesis, sedangkan sintesis adalah negasi atas antitesis. Dalam sintesis, tesis dan antitesis mengalami apa yang Hegel namakan “aufgehoben“ (diangkat ke level yang lebih tinggi). Lewat proses “Aufhebung“ tesis dan antitesis dalam ketimpangannya dinegasi, tapi juga dipertahankan. Karena itu untuk Hegel, aufheben memiliki tiga arti yakni menegasi (stornieren, kündigen), mengangkat ke level yang lebih tinggi (hochheben) dan mempertahankan atau menyimpan (bewahren).

Namun menurut Hegel bukan tahapan-tahapan percakapan atau diskusi melainkan proses dalam realitas sosial dan politik yang harus mewujudkan diri secara dialektis.  Dan apa yang berkembang dan berekspansi dalam sejarah dunia adalah rasionalitas (die Vernunft) atau roh (der Geist).

Proses perkembangan ini terjadi dalam beberapa tahap. Dalam setiap tahap kita menyaksikan bagaimana roh itu mewujudkan diri. Roh subjektif menampakkan diri lewat pikiran, kehendak dan perasaan individu. Roh objektif atau Volksgeist (roh sebuah bangsa) termanifestasi dalam bahasa, adat-istiadat kebiasaan, dan hukum atau negara. Akhirnya roh absolut (der absolute Geist) mengejawantah dalam seni, agama dan filsafat. Filsafat adalah ilmu pengetahuan ilmiah yang menyediakan elemen-elemen dasariah bagi proses perkembangan tersebut. Filsafat adalah pengenalan diri roh yang diungkap filsafat. Filsafat dapat menjalankan tugas tersebut karena Hegel yakin bahwa proses perkembangan itu akan mencapai “Ende der Geschichte“- akhir sejarah pada masa hidup Hegel sendiri.

Baca juga :  Politik Hijau, Partai Politik, & Masyarakat Adat

Ulasan singkat tentang filsafat sejarah yang dialektis ini relevan untuk memahami konsep filsafat poolitik Hegel, sebab Hegel berpandangan bahwa pada akhir sejarah itu prinsip-prinsip dasar Vernunftstaat (negara rasional) dapat direkonstruksi. Uraian kita berikut ini akan dimulai dengan elaborasi tentang Sittlichkeit dan kebebasan (Freiheit). Lalu pada bagian kedua kita akan melihat perkembangan sejauh mana Sittlichkeit itu dapat dikenal dalam realitas politis atau proses pembentukan negara.

Komentar

Berita Terkait

Tolong, Dengarkan Suara Hati! (Subjek Cinta dan Seni Mendengarkan)
Apakah Aku Selfi Maka Aku Ada?
Autoeksploitasi: Siapa yang Membunuh Sang Aku?
Masyarakat yang Terburu-buru
Masyarakat Smombi
Masyarakat Telanjang
Emotikon, Krisis Perhatian dan Filsafat Teknologi
ChatGPT dan Tugas Filsafat Teknologi
Berita ini 166 kali dibaca

Berita Terkait

Sabtu, 14 Oktober 2023 - 22:46 WITA

Seni Homiletika: Tantangan Berkhotbah di Era Revolusi Sibernetika

Berita Terbaru

Politik

Menanti Keberanian PDI Perjuangan Berada di Luar Pemerintahan

Selasa, 25 Jun 2024 - 08:31 WITA

Berita

SD Notre Dame Puri Indah Wisudakan 86 Anak Kelas VI

Jumat, 21 Jun 2024 - 12:13 WITA

Pendidikan

Menyontek dan Cita-Cita Bangsa

Jumat, 14 Jun 2024 - 10:52 WITA

Berita

SMP Notre Dame Wisudakan 70 anak Kelas IX

Kamis, 13 Jun 2024 - 18:26 WITA

Pendidikan

Sastra Jadi Mata Pelajaran

Rabu, 12 Jun 2024 - 20:39 WITA