Cerita Wartawan di NTT Dapat Sinyal 4G di Pohon Jambu

- Admin

Selasa, 18 Mei 2021 - 14:56 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Mencari sinyal 4G di atas pohon Jambu di Kampung Wae Lolong, Desa Ranakolong, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, NTT, Jumat (14/05/2021).(Foto Dok/Antonius Ndoen)

Mencari sinyal 4G di atas pohon Jambu di Kampung Wae Lolong, Desa Ranakolong, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, NTT, Jumat (14/05/2021).(Foto Dok/Antonius Ndoen)

Indodian.com – Jarum jam menunjukkan pukul 14.15 Wita pada Jumat, (14/5/2021). Pada hari itu, bertepatan dengan liburan Hari Raya Idul Fitri dan Hari Kenaikan Yesus Kristus, ada kerinduan untuk menyapa keluarga dan kenalan melalui video call dengan aplikasi whatsapp.

Sore itu, saya sedang berdiri di pinggir jalan sambil memegang handphone android di Kampung Wae Kolong, Desa Ranakolong, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur. Saya melihat seorang anak muda di kampung itu sedang duduk di pohon jambu sambil memegang handphone android serta membuka aplikasi media sosial facebook dan membaca berita.

Saat itu juga saya sedang membuka handphone android untuk membuka pesan whatsapp. Jaringan 4G kurang stabil. Memang ada sinyal, tetapi aksesnya kurang kuat.

Saya pun bertanya kepada seorang pemuda yang duduk di pohon jambu, “apakah jaringan 4G stabil di pohon itu?”. Dia jawab, “Ia, jaringan agak bagus”. Lalu saya menuju ke pohon jambu dan naik ke pohon itu sambil membawa handphone android untuk memastikan informasi tersebut.

Baca Juga : Media Siber dan Demokrasi di Era Milenial
Baca Juga : Wajib Tahu! Enam (6)Tahap Penting dalam Menulis

Informasi itu benar adanya karena nada dering pesan whatsapp di handphone android terus berbunyi sebagai tanda ada pesan masuk. Ada beberapa pesan dari sesama anggota komunitas Cenggo Inung Kopi Online (CIKO) Kabupaten Manggarai Timur yang dibentuk sejak 2020 lalu.

Kerinduan sebagai sahabat dalam satu komunitas terwujud dengan video call berempat. Saya duduk di cabang pohon jambu yang kuat. Saya tahu bahwa pohon jambu sangat kuat. Tidak mudah patah.

Lokasi pohon jambu itu tak jauh dari rumah keluarga di Wae Kolong. Antara rumah dan pohon jambu dibatasi jalan raya lintas Mok-Waelengga. Saat kami video call, anak saya, Yohanes Jubilian Dahu Ndalu sedang dipangkas rambutnya oleh seorang pemangkas rambut di Kampung Wae Kolong.

Dalam diskusi virtual tersebut, Frumensius F. Anam yang biasa disapa Mensi Anam memberikan saran agar tetap hati-hati dengan angin sepoi-sepoi ketika mencari sinyal di atas pohon jambu. Angin sepoi-sepoi bisa membuat kantuk dan jatuh. Sementara Leonardus Santosa dan Ambrosius Adir yang saat itu berada dalam satu ruangan memberikan sapaan khas komunitas. Ada kopi.

Selanjutnya kami berdiskusi tentang perkembangan pembangunan serta situasi terkini di Kabupaten Manggarai Timur. Situasi politik, situasi ekonomi, situasi budaya, sosial kemasyarakatan serta berbagai berita terkini di media massa, baik online maupun cetak.

Baca Juga : Sore Nanti, Kita ke Pantai
Baca Juga : Metafora Perang dalam Penanganan Covid

Kami bertukar informasi, berbagi pengalaman, saling memberikan dukungan, saling memberikan semangat demi perubahan pembangunan Manggarai Timur tercinta. Kami berdiskusi karena kami sangat mencintai Manggarai Timur dan kami berada di Manggarai Timur.

Saya pun memberi informasi bahwa saat ini kondisi sedang cuaca cerah. Apabila cuaca mendung dan kabut maka sinyal akan hilang. Memang jaringan telepon sudah tersedia. Namun, akses internet untuk 4G belum stabil seperti di Kota-kota besar di Indonesia. Saya tidak menyalahkan siapa-siapa. Saya bersyukur masih bisa mendapatkan informasi walaupun informasi terkadang tertunda beberapa jam, tergantung cuaca alam.

Mencari sinyal internet 4G di depan rumah Waekolong, Desa Ranakolong, Kecamatan Kota Komba, Kab. Manggarai Timur, NTT, Kamis, (13/5/2021).(Foto/Dok/Petrus Lijung)

 

Sehari sebelumnya, pada Kamis, (13/5/2021), saya mencoba membuka laptop, handphone di depan rumah untuk berselancar media online, membaca berita terbaru serta bermedia sosial. Namun, akses internet kurang stabil karena cuaca kabut di sekitar kampung tersebut. Hingga akhirnya saya tidak bisa memakai laptop untuk membuka berita di media online.

Baca juga :  Kisah Jurnalis di Manggarai Timur yang Setia Melayani ODGJ

Pengalaman Kerja Jurnalistik dengan Kendala Sinyal di Pelosok Manggarai Timur 

Saya mau membagi pengalaman saat awal bekerja menjadi wartawan di Kabupaten Manggarai sejak 2011 lalu. Waktu itu, saya baru pindah ke Pulau Flores, tepatnya di Kabupaten Manggarai Timur. Perkembangan teknologi belum secanggih saat ini dimana kirim berita bisa lewat handphone android. Bahkan media online dengan kecepatannya belum menjamur seperti sekarang ini.

Saya masih memiliki handphone Nokia yang bisa untuk pesan singkat, menelepon dan menerima panggilan. Memang produk handphone saat sudah ada blackberry, namun harga agak mahal. Saya tidak sanggup untuk membelinya. Beruntung saat itu ada warung internet di Kota Borong. Kecepatan internet saat itu juga sangat minim sehingga saya menulis, mengirim berita serta mengirim foto harus menunggu berjam-jam.

Baca Juga : Mencintai Wanita dengan Tanda Lahir di Bibir
Baca Juga : Malia

Saat itu, saya masih menjadi kontributor The Jakarta Post. Kemudian, media online mulai mencari kontributor di seluruh Indonesia termasuk di Pulau Flores. Rejeki bagi saya karena relasi yang baik dengan seorang jurnalis di Jakarta. Ia memberikan informasi bahwa media Kompas.com sedang membutuhkan kontributor dari Pulau Flores. Saat itu saya menerima telepon dari Jakarta saat saya berada di sebuah kebun di Kota Waelengga. Saya melamar dan diterima.

Sejak 2012 itu, saya diberikan kepercayaan menjadi kontributor Kompas.com dan juga kontributor The Jakarta Post. Bermodalkan ketekunan, fokus dengan panggilan profesi ini hingga saya tetap bertahan di tengah arus perkembangan teknologi, tuntutan ekonomi keluarga yang bersumber dari profesi wartawan.

Memang sebagai manusia biasa, ada kegelisahan karena tidak stabil kondisi keuangan dari penghasilan sebagai jurnalis. Kadang-kadang mengeluh dalam diri sendiri terkait dengan profesi ini. Hal ini memang sangat manusiawi. Saya merenung pengalaman ini sambil terus menekuni profesi ini hingga akhirnya saya menemukan bahwa profesi ini adalah panggilan hidup. Panggilan sebagai jurnalis menjadi rahmat istimewa yang dianugerahkan Sang Ilahi. Sampai saat ini dan ke depannya, saya akan selalu bersyukur.

Baca Juga : Desa: Sentra Budaya dan Peradaban
Baca Juga : Zidane, Tuchel, dan Tuhan

Dari pengalaman hidup ini dengan tantangan perkembangan teknologi serta tantangan berbagai informasi yang dipilih untuk dijadikan berita, saya terus bertekun dengan berminat di liputan humanis, budaya, wisata, pendidikan, ekonomi, politik, sosial kemasyarakatan, kesehatan dan lain-lainnya.

Bagi saya tantangan merupakan guru pengalaman yang nyata dalam hidup. Tanpa tantangan, saya merasa hidup sebagai seorang jurnalis biasa-biasa saja. Bergelut dengan tantangan mampu melihat, menemukan identitas diri sebagai wartawan. Berhadapan dengan tantangan mampu menemukan karakter pribadi saya sesungguhnya.

Selama liputan di pelosok Manggarai Timur, saya menyaksikan warga masyarakat mencari sinyal di daerah perbukitan dan saya muat berita itu di media dimana saya bekerja. Pada jumat lalu, saya mengalami sendiri mencari sinyal di pohon jambu. Memang pohon jambu pendek. Namun, ini pengalaman berharga yang saya alami sendiri.

Baca juga :  Sebelas Tahun dipasung, Leksi Akhirnya Lepas Pasung dan Bisa Jalan Sendiri

Tantangan Susah Sinyal tidak Menyulutkan Semangat Bekerja sebagai Wartawan.

Menjadi wartawan di daerah harus memiliki mental juang yang tinggi dengan pelbagai tantangan. Tantangan susah sinyal tidak menyulutkan semangat saya untuk tekun bekerja sebagai seorang jurnalis, sebab profesi ini memberikan kegembiraan, kebanggaan, kebahagiaan serta bisa berjumpa dengan banyak orang dengan karakter kepribadian masing-masing.

Baca Juga : Korupsi dan Ketidakadilan Gender
Baca Juga : Milenial dan Pendidikan Vokasi

Saya sudah meliput di pelosok-pelosok Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur dengan tantangan kesulitan sinyal. Saya tak menyalahkan siapa-siapa. Saya bekerja saja dengan kemampuan yang dimiliki. Kalau saya berada di pelosok-pelosok, maka saya mencatat semua informasi liputan di notebook dan notes. Setiba di rumah ketika sinyalnya bagus, maka semua informasi itu diketik di laptop atau handphone dan mengirim ke media dimana saya bekerja. Tentu prinsip jurnalistik tetap dikedepankan seperti fakta, data, akurasi, cek, ricek, konfirmasi serta keberimbangan informasi dari berbagai pihak sesuai dengan sudut pandang berita yang mau ditulis.

Semua informasi yang berimbang menjadi prinsip hidup saya sebagai seorang jurnalis di daerah. Liputan humanis dengan tulisan feature menjadi kebanggaan tersendiri sebagai seorang jurnalis di daerah dan dibaca oleh pembaca di seluruh Indonesia dan Internasional.

Liputan Susah Sinyal Raih Penghargaan dan Rejeki

Dibalik tantangan susah sinyal di pelosok Pulau Flores ternyata membawa keberuntungan serta meraih penghargaan dari Kementerian Komunikasi, Informasi Teknologi (Kominfo). Hal itu saya alami pada 2018 yang lalu ketika saya mengikuti lomba dari Kominfo. Dalam lomba itu, saya membuat liputan tentang susah sinyal di Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur. Saya meraih juara II dalam perlombaan itu. Dalam hati kecil, saya merasa bangga, sekaligus memacu serta memicu saya untuk terus menulis karya humanis berupa feature.

Baca Juga : Kemenangan Barcelona di Mata Seorang Madridista Setengah Moderat
Baca Juga : Perjalanan Panjang El Barca Sebelum Buka Puasa di La Cartuja

Kemudian, liputan kesulitan air minum di sebuah kampung di Manggarai Timur membawa saya meraih nominasi Asia Liputan Sustainable. Saya mensyukuri semua semua pengalaman itu serta beberapa penghargaan lainnya.

Selain itu, profesi ini memberikan saya peluang menjadi penulis tamu di media internal Ritapiret,  menulis opini serta menulis buku bersama dengan Pater Bernardus Raho, SVD, Wartawan Senior Frans Sarong dan Kanis Lina Bana, menulis buku bersama dengan Romo Pank Nudan, Pr tentang Kisah Pater Franz Meszaros, SVD dan menulis opini di media cetak Flores Pos serta Voxntt.com. Artikel saya juga telah tersebar di beberapa media massa online lainnya. Saya akhirnya menyadari bahwa Dibalik kesulitan dan tantangan liputan di pelosok-pelosok, karya-karya saya diakui oleh orang lain.

Liputan Feature Susah Sinyal ditanggapi Pemerintah

Belum lama ini, saya meliput kondisi susah sinyal di Kabupaten Manggarai Timur tentang Ujian Sekolah Berbasis Digital (USBD). Pada saat itu, sejumlah Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Dasar mengadakan ujian di berbagai bukit dan lereng bukit karena kesulitan internet 4G. Tulisan tersebut dimuat di media Kompas.com, televisi, serta beberapa media online. Liputan tersebut mendapatkan respons cepat dari Menteri Kominfo RI, Johny G Plate dengan membangun menara serta akses super wifi di tiga SMP di Kecamatan Kota Komba. Bahkan, untuk SMPN Satap Mesi dan SMPN 04 Kota Komba dibangun juga perangkat panel Solar Cell untuk tenaga listrik bagi perangkat super wifi. 

Baca Juga : Catatan Pendek Pasca Pekan Berat Real Madrid
Baca Juga : Masyarakat Risiko, Terorisme, dan Kemanusiaan Kita

Baca juga :  Kisah Seorang Difabel di Wodong yang Sukses Jadi Kepala Tukang

Bersama dengan feature ini, saya secara pribadi berterima kasih kepada Menteri Kominfo RI, Johny G Plate, Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Timur serta guru-guru di Kabupaten Manggarai Timur tercinta. Ini merupakan kepuasan tersendiri bagi saya yang bergelut di dunia pewartaan lewat profesi jurnalistik.

Saya ingat pesan mantan Pemimpin Redaksi Suara Pembaruan, Willy Hangguman saat diskusi terbatas di kompleks Kembur, April 2021 yamg menyatakan bahwa kepuasan seorang wartawan itu apabila hasil liputannya ditindaklanjuti secara nyata oleh pemerintah dan pemangku kepentingan. Kepuasan batin yang menjadi kebanggaan seorang wartawan. Itu saja. Tidak lebih dari itu.

Leonardus Santosa dan Frumens F Anam dari Komunitas Cenggo Inung Kopi Online Kabupaten Manggarai Timur belum lama ini dalam diskusi rutin Komunitas ini memberikan dorongan dan semangat agar Kraeng Markus Makur dan Ambrosius Adir, sebagai wartawan sebaiknya menulis hal-hal kecil, sederhana yang terjadi ditengah-tengah kehidupan sosial kemasyarakatan. Menulis dari suara-suara orang sederhana yang nyata terjadi di tengah masyarakat.

“Kami berharap tulisan yang dipublikasikan menggugah pembaca di seluruh Indonesia. Selama ini Kraeng berdua sudah mulai melakukannya dan teruslah melakukan liputan-liputan humanis. Liputan humanis akan dikenang sepanjang masa,” harap keduanya.

Pesan Paus Fransiskus di Hari Komunikasi Sedunia, Datang dan Lihatlah

Beberapa hari lalu, Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Ruteng meminta saya untuk berbagai pengalaman tentang kerja saya sebagai jurnalis dengan pesan Paus Fransiskus. Saya mengirim video pendek ke Komisi itu dan ditayang di media Komsos Ruteng.

Bagi saya, pesan Paus Fransiskus sangat mengena profesi saya yang sedang dan terus saya lakukan di masa akan datang. Memahami pesan Paus Fransiskus, bagi saya, bukan hanya datang, lihatlah, melainkan saya tidur di kampung-kampung untuk mendapatkan informasi yang akurat dan detail dalam bidang jurnalistik. Sesungguhnya pewartaan yang benar dan adil berada di tengah-tengah masyarakat.

Baca Juga : Colin Crouch tentang Post-Demokrasi
Baca Juga : Menikmati Wisata Kopi Detusoko

Saya pernah mengalami liputan di pedalaman Manggarai Timur dengan berjalan kaki  memakai sandal jepit. Namun, karena kondisi lumpur maka saya tenteng sandal dan telapak kaki saya penuh dengan lumpur. Beberapa kali jatuh karena jalannya licin.  Bahkan, pernah suatu kali saya jatuh ke kolam di Wae Musur ketika melaksanakan tugas liputan di Manggarai Timur. Saya tetap bersyukur karena peralatan kerja cepat diselamatkan.

Saya menjalankan profesi ini sebagai panggilan hidup dengan tulus hati, sebab dengan karya-karya jurnalistik yang menggugah pembaca, saya turut memberikan andil dalam pembangunan manusia dan pembangunan infrastruktur. Feature ini tidak bertujuan untuk menonjolkan diri saya sebagai seorang wartawan. Namun, rekam jejak memori dalam liputan memberikan pencerahan bagi sesama melalui berbagi pengalaman lewat sebuah karya-karya yang dipublikasikan.

Saya biasa mengalami susah sinyal di pedalaman Manggarai Timur bersama rekan seprofesi  Ambrosius Adir, dari media Ekorantt serta beberapa wartawan yang bekerja di Pulau Flores Barat.

Komentar

Berita Terkait

Milenial Promotor Literasi Digital dalam Spirit Keberagaman Agama
Kasus Pasung Baru di NTT Masih Saja Terjadi
Seandainya Misa Tanpa Kotbah
Gosip
Sorgum: Mutiara Darat di Ladang Kering NTT
Tanahikong, Dusun Terpencil dan Terlupakan di Kabupaten Sikka              
Qui Bene Cantat bis Orat (Tanggapan Kritis atas Penggunaan Lagu Pop dalam Perayaan Ekaristi)
Media dan Ilusi Netralitas
Berita ini 126 kali dibaca

Berita Terkait

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Senin, 11 Desember 2023 - 17:44 WITA

Pemimpin: Integritas, bukan Popularitas

Jumat, 8 Desember 2023 - 17:01 WITA

Politik dan Hukum Suatu Keniscayaan

Jumat, 24 November 2023 - 15:03 WITA

Ketua KPK Memimpin Dengan Contoh; Contoh Korupsi

Berita Terbaru

Cerpen

Suami Kekasihku

Kamis, 18 Apr 2024 - 23:46 WITA

Pendidikan

Kaum Muda dan Budaya Lokal

Jumat, 15 Mar 2024 - 19:27 WITA

Politik

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Rabu, 21 Feb 2024 - 19:07 WITA