Masyarakat Informasi dan Problem Ketidakpastian

- Admin

Selasa, 7 Maret 2023 - 21:23 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com – Kita sedang hidup di era baru peradaban manusia yang ditandai dengan keterhubungan manusia dalam jaringan yang bersifat global. Keterhubungan manusia dalam jaringan yang bersifat global membentuk dunia menjadi semacam global village (kampung global).  

Sebagai efek lanjutnya, proses komunikasi dapat terjalin dengan begitu mudah tanpa terikat dengan batas-batas spasial (lokalitas) dan waktu. Segala sesuatu bisa terjadi secara real time atau serempak karena masyarakat sudah terintegrasi ke dalam jaringan (Castells, 2010: 406).

Yang mendorong terjadinya proses komunikasi yang bersifat real time pada era ini ialah penemuan teknologi-teknologi konektivitas. Teknologi-teknologi konektivitas berpengaruh sangat besar terhadap ledakan-ledakan jumlah pertukaran informasi dan komunikasi antar-manusia. Ini menjadi penanda kelahiran era baru yang disebut “era informasi” atau “abad informasi” yang menggantikan era industri. Dalam abad informasi, masyarakat ditransformasi menjadi sebuah “masyarakat informasi” (information society) dan ekonomi ditransformasi menjadi ekonomi pengetahuan (Andrew Heywood, 2017).

Tema masyarakat informasi ini akan dielaborasi lebih lanjut dalam tulisan ini. Pada bagian akhir, penulis juga akan mengulas problem ketidakpastian sebagai salah satu kerisauan dalam masyarakat informasi.

Masyarakat Informasi dalam Berbagai Perspektif

Secara konseptual, term “masyarakat informasi” (information society) adalah sesuatu yang cair. Tidak ada suatu pemahaman atau konsep tunggal terhadap term ini. Ada yang menyorotinya dari sisi kuantitas informasi, yakni adanya ledakan jumlah pertukaran dan sirkulasi informasi. Sedangkan yang lain lebih menyoroti aspek kualitas informasi, yakni berhubungan dengan dimensi transformatif dari informasi terhadap hidup manusia. Kedua bentuk aksentuasi itu tentu selalu bisa diperdebatkan.

Namun demikian, sebuah definisi yang baik secara substantif mesti mampu menunjukkan hakikat dan sifat pembeda (differentia specifica) dari sesuatu yang didefinisikan. Dalam konteks inilah kita perlu mengajukan pertanyaan, apa yang membedakan masyarakat informasi dengan masyarakat sebelumnya? Apakah perbedaan itu terletak pada kuantitas informasi atau kualitas informasi saja atau keduanya?

Jawaban atas pertanyaan ini membantu kita dalam merumuskan definisi substantif tentang masyarakat informasi. Kendati demikian, definisi tidak melulu bersifat substantif. Definisi juga bisa berupa definisi deskriptif. Definisi deskriptif membantu kita memahami karakteristik dari sesuatu dilihat dari berbagai sudut pandang.

Penjelasan Frank Webster dalam buku Theories of the Information Society (2006: 8-21) mungkin dapat membantu kita memahami definisi substantif dan deskriptif dari “masyarakat informasi”. Webster mengajukan lima kriteria bagi definisi “masyarakat informasi”. Kelima kriteria itu ialah kriteria teknologis, ekonomis, okupasional, spasial, dan kultural.

Pertama, kriteria teknologis (technological). Konsepsi teknologis tentang masyarakat informasi menyoroti dampak transformasi dan inovasi teknologi komunikasi dan informasi (TIK) terhadap ledakan jumlah pertukaran informasi yang mulai tampak sejak tahun 1970-an. Kemunculan teknologi-teknologi baru komunikasi dan informasi dalam konsepsi teknologis menjadi indikator paling kelihatan dari era baru yang disebut sebagai era informasi di mana masyarakat ditransformasi menjadi masyarakat informasi.

Kedua, kriteria ekonomis. Kriteria atau pendekatan ekonomis memetakan pertumbuhan nilai ekonomis dalam aktivitas informasi. Dalam konteks ini, kuantifikasi signifikansi ekonomis informasi diperhitungkan sebagai suatu pencapaian yang mengesankan. Jika seseorang dapat merencanakan peningkatan dalam proporsi produk nasional bruto (GNP) yang diperhitungkan oleh bisnis informasi, misalnya, secara logis ada titik di mana seseorang dapat menyatakan pencapaian ekonomi informasi.

Seperti dikatakan Jonscher (1999), kita berbicara tentang masyarakat informasi ketika sebagian besar kegiatan ekonomi diambil alih oleh kegiatan informasi daripada pertanian subsisten seperti dalam masyarakat pre-industri atau manufaktur industri seperti pada masyarakat industri.

Ketiga, kriteria okupasional. Menurut Webster, kriteria okupasional ini merupakan pendekatan favorite para sosiolog. Itu misalnya tampak dalam karya Daniel Bell, The Coming of Post-Industrial Society: A Venture in Social Forecasting (1973). Daniel Bell memberikan penekanan pada peran sentral informasi dan pengetahuan dalam masyarakat sebagai basis pengidentifikasian masyarakat modern sebagai “masyarakat informasi”.

Baca juga :  Mengenal Filsafat Ruang Henri Lefebvre

Namun, ketimbang menggunakan istilah “masyarakat informasi”, Daniel Bell lebih tertarik menggunakan istilah “masyarakat post-industrial” (post-industrial society/PIS) (Frank Webster, 2006: 32). Penggunaan istilah PIS menurut Daniel Bells merujuk hanya pada perubahan di dalam struktur sosial, yakni struktur ekonomi, pekerjaan, dan sistem stratifikasi, tetapi bukan struktur politik dan struktur budaya.

Dalam bidang pekerjaan, misalnya, perubahan struktur itu sangat tampak. Jika dalam masyarakat pre-industrial, masyarakat mayoritas bekerja sebagai petani, kemudian dalam masyarakat industrial mayoritas masyarakat bekerja dalam industri pabrik maka dalam  masyarakat post-industrial mayoritas masyarakat bekerja dalam industri jasa atau layanan (Webster, 2006: 39).

Hidup, dalam masyarakat post-industrial, menjadi “a game between persons”, bukan lagi “a game against fabricated nature” seperti dalam masyarakat industri. Yang penting sekarang bukan lagi otot mentah atau energi, melainkan informasi (Daniel Bell, 1976: 576).

Para pekerja “kerah-biru”/blue-collar work (manual) pun mulai digantikan dengan para pekerja “kerah-putih”/white-collar work (non manual). Karena bahan mentah kerja non-manual adalah informasi maka peningkatan substansial dalam pekerjaan informasi semacam itu menurut Bell dapat menjadi basis bagi deklarasi kedatangan masyarakat informasi.

Keempat, kriteria spasial. Pendekatan atau kriteria spasial memberikan aksentuasi pada dimensi geografis dari ruang. Pengorganisasian ruang dan waktu tidak lagi dibatasi oleh jarak spasial karena masyarakat sudah terhubung ke dalam jaringan. Penekanan utamanya adalah pada jaringan informasi yang menghubungkan lokasi yang berbeda dan dampaknya yang mendalam pada organisasi ruang dan waktu. Menurut Webster (2006), ini telah menjadi indeks yang sangat populer dari masyarakat informasi dalam beberapa tahun terakhir karena jaringan informasi telah menjadi fitur yang menonjol dari organisasi sosial.

Lebih lanjut, Webster (2006) menegaskan bahwa merupakan hal yang biasa untuk memberikan aksentuasi pada sentralitas jaringan informasi yang dapat menghubungkan lokasi yang berbeda di seluruh dunia. Karena jaringan elektrik melewati seluruh negara untuk diakses sesuka hati oleh siapa saja dengan koneksi yang sesuai maka dapat dibayangkan sekarang sebuah “wired society” yang beroperasi di tingkat nasional, internasional, dan global untuk menyediakan “ring informasi utama” ke setiap rumah, toko, universitas, dan kantor.

Kriteria spasial masyarakat informasi sebenarnya merupakan gagasan yang dipopulerkan oleh Manuel Castells dalam The Rise of the Network Society (1996, 2010). Menurut Castells (2010: 406), jalan raya elektronik menghasilkan penekanan baru pada arus informasi, sesuatu yang mengarah kepada revisi radikal hubungan ruang-waktu. Dengan terintegrasi ke dalam jaringan, ruang spasial (lokalitas) mengalami peluruhan dan digantikan oleh ruang arus atau ruang yang mengalir (space of flows).

Seorang yang tinggal di Eropa, misalnya, tidak lagi merasa jauh dengan temannya yang tinggal di Indonesia karena mereka berada dalam satu jaringan tak ber-ruang. Mereka dapat berkomunikasi dan bertukar informasi kapan saja. Demikian pun dengan waktu. Saat ini kita memasuki masa tak berwaktu (timeless time). Perbedaan waktu antara kala lampau dan kala nanti sudah tidak lagi cukup relevan karena semuanya menyatu dalam real-time waktu kini (waktu serempak) (Agus Duka, 2017: 63).

Kelima, kriteria kultural. Konsepsi ini menurut Webster (2006) paling mudah diakui, tetapi paling sulit diukur. Semua orang sadar bahwa saat ini telah terjadi peningkatan yang luar biasa dalam difusi informasi. Penyebaran informasi jauh lebih masif daripada sebelumnya karena terjadi ledakan proliferasi media, baik media mainstream maupun media baru yang berbasis internet atau digital.

Media-media itu menyajikan informasi yang beragam dengan segala macam inovasi dan daya tariknya. Semua itu menurut Webster membuktikan bahwa kita hidup dalam masyarakat yang sarat media. Media baru mengelilingi kita, menyajikan kepada kita pesan-pesan yang mungkin atau tidak mungkin kita tanggapi. Namun, sebenarnya lingkungan informasi jauh lebih intim, lebih membentuk kita, daripada yang disarankan media.

Baca juga :  Urgensi Literasi Digital di Era Pasca-Kebenaran 

Kendati ditandai dengan ledakan difusi informasi, secara paradoks, beberapa penulis menurut Webster justru menggambarkan masyarakat informasi sebagai masyarakat yang mengalami kematian tanda. Setiap hari memang kita diserbu oleh tanda-tanda di sekitar kita. Kita juga merancang diri kita sendiri dengan tanda-tanda itu.

Bahkan kita tidak bisa lepas dari tanda-tanda ke mana pun kita pergi. Namun, hasilnya sangat aneh, ada banyak tanda, tetapi terjadi keruntuhan makna. Jean Baudrillard (1983: 95) menggambarkan kenyataan itu dengan mengatakan “semakin banyak informasi, semakin sedikit makna”.

Problem Ketidakpastian

Apa yang dirisaukan Jean Baudrillard di atas merupakan salah satu persoalan serius dalam masyarakat informasi.  Persoalan itu diperumit lagi karena ketidakjelasan makna kata “informasi” itu sendiri. Apakah segala sesuatu yang dapat disandi (di-coding) disebut sebagai informasi terlepas dari kontennya bermakna atau tidak? Ataukah informasi itu hanya mengacu pada pesan yang bermakna?

Secara semantik, seperti diulas Webster (2006: 26),  informasi mengacu pada sesuatu yang bermakna yang diucapkan oleh subjek tertentu tentang sesuatu atau seseorang. Namun, dalam perspektif ilmu komunikasi, definisi semantik “informasi” itu diabaikan. Perspektif ilmu komunikasi tentang informasi kelihatan lebih netral.

Informasi didefinisikan independen dari isinya dan dilihat sebagai elemen fisik seperti energi atau materi. Dalam konteks ini, apa saja yang dapat disandi dan ditransmisi dalam bentuk simbol, tanda, getaran, dan bunyi melalui chanel tertentu dapat disebut sebagai informasi.

Pemahaman tentang “informasi” yang mengabaikan dimensi semantik pada tataran tertentu menimbulkan dilema. Pemahaman itu akan menggoda kita untuk cenderung memberi aksentuasi pada sisi kuantitatif difusi informasi dibandingkan dengan sisi kualitatifnya.

Padahal proses komunikasi itu bukan hanya soal transmisi informasi dari sumber kepada penerima melalui media atau perantara tertentu, melainkan juga tentang makna yang terdapat dalam pesan. Kendati demikian, agak susah juga bagi kita yang hidup di era banjir informasi untuk memilah mana yang disebut dengan informasi dan mana yang bukan jika mengancu pada penilaian tentang makna pesan. Sebab persoalan makna itu bisa berhubungan dengan dimensi kolektif dan bisa juga berhubungan dengan dimensi subjektif.

Karena berhubungan dengan dimensi kolektif dan subjektif, makna menjadi sangat relatif. Apa yang bermakna bagi seseorang atau suatu kelompok belum tentu bermakna bagi yang lain. Jika mengacu pada pemahaman semantik tentang informasi, sesuatu yang dianggap informasi oleh seseorang atau sekelompok orang belum tentu dianggap informasi oleh yang lain.

Kenyataan di atas menurut penulis turut mendorong peningkatan ketidakpastian dan kompleksitas dalam masyarakat informasi. Dalam masyarakat informasi di mana individu-individu terhubung satu sama lain dalam suatu jaringan yang bersifat global dan membuana tanpa batas, proses komunikasi dan pertukaran informasi antar-manusia dapat terjalin begitu muda.

Semua orang bisa berkomunikasi satu sama lain kapan saja dan di mana saja asalkan mereka terintegrasi ke dalam jaringan. Kendati demikian, masyarakat ini bukan masyarakat tanpa persoalan. Keterhubungan dalam jaringan sebagai ciri khas masyarakat jejaring ini justru menimbulkan kompleksitas persoalan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.

Salah satu yang paling mencolok ialah semakin meningkatnya ketidakpastian. Ketika segala sesuatu berumur pendek dan tidak ada yang bertahan lama, masyarakat merasakan kecemasan terus-menerus (Zygmunt Bauman, 2000 dalam Heywood, 2017: 259). Itu terjadi karena adanya “ledakan jumlah (kuantitas) informasi”. Di jagad digital, semua orang bisa menjadi produsen dan konsumen informasi.

Baca juga :  Menyoal Populisme Teknokratis

Tanpa perlu menjadi ahli dalam suatu bidang pun, orang bisa berkomentar tentang suatu persoalan layaknya ahli. Orang lain bisa dengan begitu mudah percaya pada komentar itu tanpa secara mendalam mempertanyakan kebenaran informasi/komentar itu. Otoritas intelektual seolah tidak lagi relevan untuk dibicarakan. Kenyataan inilah yang oleh para sarjana sebut sebagai tanda “hilangnya atau matinya kepakaran”.

Hilangnya kepakaran di abad informasi ini di satu sisi membongkar cara pandang klasik bahwa “kebenaran suatu pernyataan bergantung pada siapa yang mengatakannya, entah itu individu atau organisasi”. Itulah yang disebut oleh Francis Bacon (1623) sebagai masyarakat idola.

Dalam masyarakat idola, suatu informasi bahkan dianggap penting atau benar bukan karena itu memang penting atau benar, tetapi karena orang yang sudah dianggap penting menganggap sesuatu itu penting atau benar. Keyakinan ini dalam masyarakat informasi digoncangkan dari dasarnya.

Kebenaran, makna, dan signifikansi informasi di abad ini sangat relatif. “Kebenaran itu menyebar dan tidak terpusat.” Keyakinan postmodernisme yang menganggap kebenaran bersifat parsial dan partikular dalam konteks ini mendapat justifikasi.

Kendati demikian, di sisi lain, fenomena hilangnya kepakaran di abad informasi justru mengantar masyarakat bukan hanya pada ketidakpastian tetapi juga kebingungan. Inilah salah satu alasan Castells (2010: xvii) menyebutkan bahwa  kita hidup di masa yang membingungkan. Kebingungan itu bagi Castells terjadi karena kategori intelektual yang kerap digunakan untuk memahami apa yang terjadi di sekitar kita telah diciptakan dalam keadaan yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya.

Kita sulit dan bahkan tidak dapat memahami apa yang baru di sekitar kita dengan mengacu pada masa lalu. Menurut Castells, itu terjadi karena adanya transformasi dalam bidang kehidupan manusia, mulai dari transformasi sosial, teknologi, ekonomi, hingga budaya. Transformasi paling mendasar terjadi dalam bidang teknologi yang memunculkan bentuk baru masyarakat yang sering disebut dengan masyarakat jaringan. Transformasi teknologi ini bahkan menjadi penentu bagi transformasi sosial, ekonomi, budaya, dan politik.

Untuk mengatasi kebingungan dan ketidakpastian dalam masyarakat informasi, dibutuhkan kejelian dalam menyeleksi informasi. Fenomena banjir informasi menurut hemat saya tidak bisa diatasi dengan menghadang laju produksi dan pertukaran informasi. Hal yang dapat kita lakukan ialah meningkatkan kapasitas kita dalam menyeleksi informasi.

Dalam konteks ini, menurut saya, pandangan Luhmann (1982) tentang komunikasi yang dipahami sebagai sintesis dari seleksi informasi, seleksi pengungkapan, dan seleksi pemahaman/pengertian (understanding) sangat relevan. Tidak semua informasi yang kita dengar, baca, dan nonton dianggap penting dan bermanfaat bagi kita. Ada kepingan-kepingan informasi yang penting dan bermanfaat untuk diungkapkan dan dipahami, ada juga kepingan-kepingan informasi yang tidak penting dan boleh diabaikan.   

Daftar Pusataka

Bell, Daniel. (1976). “The Coming of the Post-Industrial Society”. The Educational Forum, 40:4, 574-579, DOI: 10.1080/00131727609336501.

Castells, Manuel. (2010). The Rise of the Network Society. Second Edition with a New Preface. Massachusetts: Blackwell Publisihing Ltd.

Duka, Alfons. (2017). Komunikasi Pastoral Era Digital, Memaklumkan Injil di Jagat Tak Berhingga. Maumere: Penerbit Ledalero.

Heywood, Andrew. (2017). Politik Global. Edisi kedua. Terj. Ahmad Lintang Lazuardi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Luhmann, Niklas. (1982). “The world society as a social system”. International Journal of General Systems. https:// doi.org/10.1080/03081078208547442

—————-. (T. Th). “Autopoiesis – What is Communication?”. Communication Theory.

Tjahjadi, Simon Petrus L. (2004). Petualangan Intelektual – Konfrotasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani hingga Zaman Modern. Yogakarta: Penerbit Kanisius.

Webster, Frank. (2006). Theories of the Information Society. Third edition. London and New York: Routledge.

Komentar

Berita Terkait

Autoeksploitasi: Siapa yang Membunuh Sang Aku?
Masyarakat yang Terburu-buru
Masyarakat Smombi
Masyarakat Telanjang
G.W.F. Hegel: Negara dan Sittlichkeit
Emotikon, Krisis Perhatian dan Filsafat Teknologi
ChatGPT dan Tugas Filsafat Teknologi
Neoliberalisme, Krisis Multidimensi dan Transformasi Paradigma Pembangunan
Berita ini 67 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 30 Januari 2023 - 23:16 WITA

Menalar Sikap Gereja terhadap Kaum Homosekual

Rabu, 8 Desember 2021 - 12:16 WITA

Misoginis Si “Pembunuh” Wanita

Jumat, 19 November 2021 - 11:45 WITA

Memahami Term ‘Pelacur’

Jumat, 20 Agustus 2021 - 16:04 WITA

Perempuan Korban Pelecehan Seksual Cenderung Bungkam, Mengapa?

Senin, 26 Juli 2021 - 12:57 WITA

Berpisah Dengan Pacar Toxic Bukanlah Dosa

Jumat, 23 Juli 2021 - 12:42 WITA

Bagaimana Peran Media Dalam Melawan dan Menghapuskan Kekerasan Terhadap Anak?

Jumat, 16 Juli 2021 - 16:27 WITA

Jejak Pelayanan Transpuan di Gereja Maumere

Jumat, 25 Juni 2021 - 17:34 WITA

Perempuan, Iklan dan Logika Properti

Berita Terbaru

Pinterest

Filsafat

Autoeksploitasi: Siapa yang Membunuh Sang Aku?

Senin, 22 Apr 2024 - 23:34 WITA

Cerpen

Suami Kekasihku

Kamis, 18 Apr 2024 - 23:46 WITA

Pendidikan

Kaum Muda dan Budaya Lokal

Jumat, 15 Mar 2024 - 19:27 WITA