Desa: Sentra Budaya dan Peradaban

- Admin

Jumat, 7 Mei 2021 - 15:43 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh : Maria Goreti Ana Kaka   

Indodian.com – Dalam banyak film, lagu dan karya-karya sastra, desa sering dikisahkan dalam sudut yang romantik tapi sekaligus diremehkan: terbelakang tapi berfungsi sebagai lumbung nostalgia. Desa dipersepsi sebagai tempat kesederhanaan, kejujuran dan nilai-nilai hidup yang ‘mendalam’.Orang desa dipandang sebagai orang-orang sederhana yang tidak memiliki cita-cita hidup yang rumit, mengikuti sirkulasi alam. Sementara kota, dipandang dalam hipokritis yang mendua: kota adalah pusat kemajuan, tapi orang-orangnya dipersepsi sebagai kaum yang serakah, materialistis. Namun demikian, teori-teori modernisasi mengajarkan kota adalah cita-cita, kemajuan yang mesti diambil dengan risiko. Ini yang kemudian melanggengkan ketidakadilan spasial.

Ketidakadilan spasial menghasilkan posisi keterbelakangan dalam relasi kewargaan antara orang desa dan orang kota. Sebagaimana kelas dan patriarki yang merupakan basis bagi ketidakadilan ekonomi sosial dan budaya, ketidakadilan spasial juga menghasilkan hirarki dan partisi sosial baru untuk orang desa terhadap orang kota.

Baca Juga : Zidane, Tuchel, dan Tuhan

Baca Juga : Korupsi dan Ketidakadilan Gender

Kota adalah spasial pertama dan utama, desa adalah spasial kedua atau ketiga. Orang kota dengan sendirinya adalah warga utama, sementara orang desa adalah warga kedua. Hierarki sosial budaya dan ekonomi terus bertahan dan berakar kuat dalam struktur masyarakat Indonesia hingga kini. Ketimpangan ini, secara terbalik dan ironis sering dimanfaatkan secara politik oleh elit dan penguasa politik yang datang silih berganti. Banyak pemimpin yang mengidentikkan diri sebagai orang yang berasal dari desa, misalnya dulu Soeharto, sering menyebut diri sebagai “Anak Desa Kemusuk”. Atau mungkin sosok elit yang menyebut diri “Anak Petani tapi Bisa Jadi Gubernur.” Ada juga yang bilang “Anak Kampung Tapi Bisa Jadi Pemimpin”.

Pencitaraan diri sebagai orang desa – yang berhasil menjadi elit- mengindikasikan beberapa ide: Pertama, dengan memposisikan diri sebagai orang desa dibangun citra sebagai orang sederhana, jujur, pekerja keras. Kedua, dengan memposisikan sebagai berasal dari desa dibangun citra bahwa lompatan sosial ekonomi itu mungkin. Namun secara paradoksal, ide-ide ini sebenarnya memperkuat kenyataan bahwa desa memang selalu berada di bawah kota. Bahwa orang desa yang istimewa dan gigih, juga sekali-sekali bisa berhasil. Citra politik elit dari desa dengan demikian sebenarnya merepoduksi saja relasi-relasi keterbelakangan dan ketidakadilan spasial di desa.

Yang jadi soal di sini adalah, salah satu sebab dari bertahannya ketidakadilan spasial di desa adalah “penerimaan desa sekaligus sebagai konsep politik’ yang mewadahi semua praktik. Desa menjadi kerangka yang mewadahi politik orang desa. Akibatnya, politik di pedesaan selalu terikat — kalau tidak mau dibilang terkooptasi dengan negara dan pelbagai relasi klientalistik yang menyertainya. Demokrasi dan kehadiran politik multipartai tidak dengan serta mampu mentransformasi ketidakadilan spasial desa terhadap kota. Mengapa?

Baca Juga : Milenial dan Pendidikan Vokasi

Baca Juga : Kemenangan Barcelona di Mata Seorang Madridista Setengah Moderat

Pertama, desa adalah  space of live  yang secara dominan dimaknai sebaga ruang produksi. Sementara kota dianggap sebagai spasialitas konsumsi. Desa dipandang sebagai ruang yang diisi dengan produksi tenaga manusia, sementara kota didefinisikan sebagai produksi kreatif dan inovasi. Kota dipandang sebagai ruang yang didikte oleh rezim waktu yang linier progresif, sementara desa dipandang hidup dalam logika waktu yang sirkuler. Sehingga dengan itu, kota dianggap sebagai wujud dari potensialitas kemajuan, sementara desa dimaknai sebagai ruang di mana yang tradisional dan masa lalu berhenti dan berputar mengulang dirinya.

Baca juga :  Menyoal  Pembagian Bibit Kopi di Mano

Desa didefinisikan sebagai ruang yang terikat dan tergantung pada alam, sehingga dengan itu kelestarian alam menentukan kelestarian desa. Dengan akibat, kondisi-kondisi sosial dan kehidupan material desa dipersepsikan selalu dalam keadaan konstan dan stabil. Sementara kota dianggap melampaui ikatan-ikatan alam. Di kota, alam direkayasa untuk memenuhi logika konsumsi kota. Kota dipandang tidak memiliki ketergantungan yang mutlak dengan alam. Kekayaan, infrastruktur, teknologi memungkinkan kota melampaui hambatan-hambatan naturalistik.

Kedua, bias urban dan ketidaksetaraan permanen, menghasilkan ketidakadilan spasial di mana desa menjadi ruang kehidupan yang secara konstan ada di belakang dan inferior terhadap kota. Kota menjadi cita-cita dan tujuan, sementara desa menjadi masa lalu dan ruang yang yang nasibnya untuk ditinggalkan dan juga ‘lumbung’ untuk memperkaya mereka yang di kota. Desa menjadi ruang di mana mereka yang ketinggalan dan gagal mencapai prestasi serta kemajuan mengambil tempat, sementara kota adalah untuk mereka yang terbaik di desa dan berhasil ke luar. Kota juga dipandang sebagai wilayah antah berantah yang maju, yang menjadi arena spekulatif dari mereka yang tercerabut namun bisa kembali sewaktu-waktu ke desa.

Baca Juga : Perjalanan Panjang El Barca Sebelum Buka Puasa di La Cartuja

Baca Juga : Catatan Pendek Pasca Pekan Berat Real Madrid

Ketiga, globalisasi, khususnya intervensi kekuatan perusahaan-perusahaan multinasional di bidang produksi pertanian – sejak revolusi hijau –  memutus bargaining position desa sebagai area produksi dalam keterkaitannya dengan supply pangan untuk kota. Rekayasa pertanian yang dimiliki perusahaan-perusahaan besar, banjirnya produk-produk pertanian impor makin mengasingkan desa dari kota, menghasilkan partisi spasial yang makin jauh dan lebar antara desa dan kota. Akibatnya, produksi desa sudah dianggap tidak lagi memiliki keterkaitan dengan konsumsi kota. Hal ini menjelaskan hilangnya ‘sense’ ketergantungan nostalgis kota terhadap desa.

Perubahan Sosial Mengiris Desa

Ungkapan sering kita dengar bahwa “tidak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri” — sepertinya menemukan dalil kebenarannya hingga saat ini tanpa terbantahkan. Tidak bisa tidak bahwa setiap masyarakat pasti mengalami perubahan. Perubahan-perubahan tersebut bergerak beragam langgam, ada yang lambat, sedang dan cepat. Perubahan memaksa kita ikut menyesuaikan, tergerus dan larut — terlepas dari apakah perubahan itu menyenangkan atau justru membuat kita murka.Birokrasi pemerintahan desa turut ambil bagian dari iklim perubahan — baik karena terpaksa atau tidak agar tidak tergilas oleh waktu.Terlebih lagi birokrat di desa sebagai punggawa pelayanan terdepan keseharian warga wajib menjaga layanan terbaik untuk kesejahteraan warga. Memandang desa dari pusat pusaran kekuasan (Jakarta) dengan mengadopsi kawasan Jawa dalam merumuskan kebijakan menyangkut desa sering menjadi hambatan psikologis dalam tataran implementatif di seluruh Nusantara.

Baca Juga : Masyarakat Risiko, Terorisme, dan Kemanusiaan Kita

Baca Juga : Colin Crouch tentang Post-Demokrasi

Seiring dengan laju urbanisasi yang tak tertahankan, banyak ahli beranggapan bahwa dengan menyelesaikan masalah kemiskinan di perkotaan maka secara tidak langsung berkontribusi pada pengentasan kemiskinan secara keseluruhan. Pandangan ini tidak sepenuhnya benar. Data memperlihatkan, populasi masyarakat terus membesar di perkotaan, kemiskinan juga bertahan di pedesaan. Kota memang memiliki slum-slum di mana penduduk miskin berjuang bertahan hidup, namun orang miskin terbanyak selalu ada di pedesaan. Memperbaiki tatanan ekonomi warga desa dan meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat tidak semestinya dengan menggunakan konsep kebijakan dan program yang mengasingkan mereka dari tanah leluhurnya.

Baca juga :  Bias Urban dan Desa sebagai Subjek Media

Bila kita lihat ke belakang, desa terutama desa adat dari waktu ke waktu dipandang hanya sebelah mata. Desa hanya kita temukan dalam sub-regulasi sehingga desa tersubordinasi dalam makro kebijakan Negara. Padahal desa telah lahir dan berdiri sendiri tanpa konstitusi ketika Negara belum lahir.

Kewenangan “mengurusi” desa tersebar di hampir semua struktur Negara. Ketika desa berkreasi, Negara kadang “menghambat” dengan sengaja akibat koordinasi antar “suku” struktur Negara begitu buruk. Di sisi lain, negara kadang “tutup mata” atas puluhan ribu desa yang terbelakang perkembangannya termasuk kesejahteraan warganya. Negara menganjurkan secara retorik agar desa dibangun secara partisipatif, namun juga justru kadang membelengggu aspirasi warga desa lewat regulasi dan “mesin” sistem yang tak memungkinkan realitas aspirasi untuk dilegalkan. Lagi-lagi, desa dipaksa memangkas hasratnya sendiri di tengah kampanye Negara menghargai hak asal usul yang termaktub dalam regulasi.

Baca Juga : Menikmati Wisata Kopi Detusoko

Baca Juga : Tubuh Dan Persetubuhan Itu Suci

Desa merupakan kumpulan dari beberapa unit kelompok permukiman kecil seperti dusun atau sebutan beragam lainnya di Indonesia. Keunikan desa masing-masing wilayah harus termanifestasikan dalam struktur Negara dengan tetap memperhatikan kultur kawasan dan tuntutan perubahan sosial penyelenggaraan mengurus warga. Reformasi birokrasi menjadi keharusan di tengah tuntutan zaman. Namun birokrasi yang diharapkan adalah miskin struktur namun kaya fungsi, bukan justru sebaliknya, kaya struktur miskin fungsi. Reformasi birokrasi harus menyerap “hati” warga tanpa kehilangan kreasi.

Tanpa disadari, pemiskinan sering dilakukan pemerintah lewat sederet kebijakan dan program yang ditawarkan oleh pemerintah atau yang disebut dengan pemiskinan kultural. Pemiskinan jenis ini tak terlihat bercela karena kebanyakan datang lewat proyek ‘mulia’ berupa bantuan-bantuan atau proyek ‘pembangunan’ yang tidak sensitif terhadap budaya setempat. Pemiskinan ini bisa berakibat lebih fatal dan irreversible (kondisinya tidak bisa dikembalikan seperti semula).

Desa bukan berarti selamanya melekat dengan kata satire “kampung, udik, miskin, bodoh”. Kemajuan yang dibungkus dengan modernisasi tidak harus membuat kita tercerabut dari tatanan dasar kehidupan yang telah lama berlangsung. Untuk apa kita mengejar “kemajuan” namun menyiksa jiwa dan raga serta menanggalkan ketenangan yang selama ini terhampar luas di hadapan kita di desa. Bahwa perubahan sosial sebuah keniscayaan tidak boleh dibiarkan liar tanpa kendali hingga kita terdampar pada kehilangan jati diri desa sesungguhnya.

Desa: Sentra Budaya dan Peradaban

Desa merupakan sejarah awal masyarakat berhimpun dalam sebuah pemerintahan tradisional. Sejarah desa telah terentang sejak ribuan tahun, seturut dengan lahirnya model pemerintahan kerajaan-kerajaan di Nusantara.

Dalam pemahaman kultural, desa merupakan pertahanan terakhir kerumunan sosial-budaya dalam model pemerintahan terkecil. Ketahanan desa berkelindan dengan struktur unit masyarakat yang disebut dengan keluarga. Himpunan keluarga dengan sejarah dan kemiripan cara pandang, baik secara kultural dan etnografis, menghadirkan struktur pemerintahan desa. Makanya, eksistensi desa terlihat lebih generik dan alamiah, dibandingkan struktur pemerintahan lainnya, yang kadang artifisial dan represif.

Baca juga :  Dicky Senda, Model Cendekiawan Milenial dalam Pembangunan NTT

Baca Juga : Ancaman Cerpen Tommy Duang

Baca Juga : Merawat Simpul Empati

Berita yang disajikan media massa mengenai tindakan represif yang dialami masyarakat adat, sungguh menyayat hati. Pemerintah dan para aparatnya selalu menggunakan pendekatan militer untuk memaksakan kehendak ke rakyat kecil. Aparat yang dekat dengan kekerasan fisik seolah bagi pemerintah lebih menarik ketimbang pendekatan-pendekatan dialogis dan komunikasi publik yang lebih humanis. Jika mereka yang turun ke jalanan dan mengkritisi kebijakan publik disebut pembangkang dan anarkis, lantas mereka yang menyiksa anak dan perempuan yang mempertahankan tanah leluhur mereka disebut apa? Perampok? Semakin ke sini, jajaran petinggi kita seolah mengglorifikasi tindakan kekerasan dan represif sebagai solusi utama untuk menyelesaikan berbagai persoalan di daerah, terutama di desa.

Jika dulu menjelang Pilkada atau Pemilu para petinggi kita begitu sangat lihai mempersuasi dan berupaya merebut hati rakyat untuk memilih mereka, mengapa ketika sudah terpilih kemampuan berkomunikasinya (sengaja) hilang? Apakah bagi pemerintah rakyat kecil hanyalah sederet angka untuk memenuhi presentase kuota pemilih di TPS? Ataukah rakyat kecil hanyalah boneka hidup yang jadi pelengkap aksi dramaturgi para pejabat di panggung perpolitikan? Jika dulu menjelang pemilihan suara rakyat adalah suara Tuhan, maka sekarang suara rakyat adalah ancaman, pemberontakan atau penghalang.Kepentingan siapa yang diperjuangkan pemerintah kita sebenarnya?

Membangun desa teristimewa desa adat harus dimulai dari sistem atau manajemen yang baik dan penguatan terhadap kapasitas sumber daya manusianya dan pemahaman serta kepercayaan warga yang juga harus baik. Namun catatan penting perlu ditorehkan disini bahwa desa jangan “dibajak” dan menjadi “bancakan” struktur pemerintahan daerah maupun pusat dengan beragam dalih dan modus, terlebih ketika adanya “uang” di brankas desa. Di saat desa ingin berbenah untuk mereformasi diri, pada saat yang sama desa ‘disandera” dengan prioritas yang terkesan seragam dan “ambisi” rente kebijakan.

Bagian terpenting dari reformasi birokrasi adalah membangun kepercayaan dan menciptakan keterbukaan.Tanpa atmosfir itu, birokrasi lumpuh lunglai tanpa daya.Akibatnya, penyelenggaraan Pemerintahan tidak dapat berjalan sempurna dalam menjalankan fungsinya.

Pemerintah pusat, pemerintah daerah, hingga struktur kecamatan harus juga punya semangat untuk “menghargai” desa dan desa adat. Desa jangan dijadikan objek eksploitasi bertopeng kebijakan, sehingga menjadi unit pemerintahan yang “tersandera” dan “berdarah-darah”. Hal terpenting, bahwa Negara harus hadir hingga di tengah paguyuban warga, bukan untuk merenggangkan, tapi untuk mengharmoniskan struktur pemerintahan, dari sejak level tertinggi hingga terendah.

Harus dibangun pemahaman bahwa desa adalah sentra budaya dan peradaban untuk kita meretas keIndonesiaan yang beragam sekaligus maju. Desa bukan saja menjadi penanda akan pemerintahan terkecil yang memiliki keunikan, ikatan kekerabatan, dan nilai asal-usul dan kelebatan kultural, tapi juga benteng penjaga Indonesia. Dari desa, Indonesia dilihat dan dipandang, dengan segala renik kultural dan mistikal yang dimilikinya.Tentu dengan pemahaman yang empatik dan positif.

Maria Goreti Ana Kaka
Komentar

Berita Terkait

Reproduksi Ruang di Kampung Nelayan
Menyoal  Pembagian Bibit Kopi di Mano
Dicky Senda, Model Cendekiawan Milenial dalam Pembangunan NTT
Optimalisasi Layanan Pelabuhan Podor dalam Meningkatkan PADes Desa Lewohedo
Bias Urban dan Desa sebagai Subjek Media
Berita ini 66 kali dibaca
Tag :

Berita Terkait

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:47 WITA

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

Demokrasi dan Kritisisme

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

steroid

Understanding Oral Steroids and Their Course

Rabu, 28 Agu 2024 - 14:43 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA