Indodian.com – Reformasi yang dimulai oleh kaum muda dua puluh tiga tahun yang lalu, kini tampak tak berjalan mulus seindah ideal. Banyak kegagalan yang bangsa ini alami. Periode transisi, konsolidasi dan demokratisasi tampak stagnan bahkan semakin mundur. Segenap elit politik berlomba-lomba membangun istana korupsi, merangkul oligarki masuk birokrasi, membatasi ruang gerak aktivis, mengamputasi kebebasan pers dan membatasi usaha pemberantasan korupsi.
Ketika membuka lembaran sejarah, kita menemukan salah satu kekuatan besar Indonesia dalam mengibarkan bendera reformasi ialah gerakan kaum muda progresif. Kaum muda bersatu dalam melawan dominasi orde baru yang menjajah anak-anak bangsa.
Hari-hari ini mencuat sejumlah kegelisahan mengingat kaum muda seperti kehilangan spirit dalam membangun sebuah gerakan yang solid dan terstruktur. Kaum muda seperti kehilangan taring dalam melawan dominasi birokrasi yang membajak cita-cita reformasi. Memang saat ini ada kecenderungan yang meningkat di kalangan warga masyarakat khususnya generasi milenial untuk berpolitik melalui media siber.
Namun, usaha tersebut tidak dibarengi aktivitas politik atau pelibatan diri dan kelompok dalam politik praktis melalui gerakan sosial-politik. Gerakan kaum muda progresif mengalami kemunduran pasca reformasi. Gerakan kaum muda pasca reformasi tidak dibarengi dengan ideologi yang memadai dan kelemahan dari sisi organisasi. Karena itu, penguatan kaum muda progresif perlu digiatkan melalui kerja-kerja intelektual progresif dan konsolidasi internal dalam usaha penguatan basis organisasi.
Baca Juga : Tak Ada Mimpi Yang Ketinggian
Baca Juga : Cerita Seorang Pembohong
Kaum Muda Penggerak Sejarah
Kaum muda dalam sejarah politik Indonesia selalu terkait dengan semangat gerakan revolusioner. Bahkan ada yang menempatkanya sebagai aktor yang berperan sentral dalam sejarah, karena posisinya dalam berbagai peristiwa sejarah selalu dramatis dan lebih seru dari pada dunia politik dewasa. Pada masa sebelum kemerdekaan, gerakan kaum muda bersama masyarakat Indonesia berperan penting dalam melawan kolonialisme. Kaum muda seperti Tan Malaka, Soekarno, Moh. Hatta dan masih banyak tokoh muda lainnya bekerja sama dalam mengusir penjajah.
Gerakan kaum muda kemudian tampak dalam Sumpah Pemuda tahun 1928. Untuk pertama kalinya fragmen-fragmen gerakan kaum muda pro kemerdekaan berdiri sebagai satu kesatuan di bawah payung nasionalisme Indonesia. Kaum muda berkonsolidasi melampaui suku, budaya, ras dan agama. Dalam tekad yang kuat, kaum muda mengikrarkan setia kepada tanah air yang satu, bangsa yang satu dan bahasa yang satu: bahasa Indonesia.
Kegigihan kaum muda telah mengantar rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan. Tanpa adanya kaum muda, barangkali tak akan ada Proklamasi 17 Agustus 1945 karena tak ada yang menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Kaum muda yang diwakili Chairul Saleh, Wikana, Jusuf Kunto dan Sukarni merasa penting untuk mendesak Soekarno agar segera memproklamirkan kemerdekaan.
Peran penting kaum muda tersebut terus berlangsung dalam era sesudah kemerdekaan. Pasca kemerdekaan, khususnya pada masa Orde Lama, gerakan kaum muda paling fenomenal terjadi pada tahun 1966 yang dikenal dengan angkatan 66. Gerakan itu dianggap mampu mengartikulasikan secara tepat kegelisahan dan tuntutan rakyat dan berhasil menumbangkan kekuasaan Soekarno (ISAI, 1995:20).
Dalam masa Orde Baru, gerakan kaum muda dikatakan mati suri dari tahun 1966 sampai 1971. Masa ini sering disebut sebagai masa “bulan madu” (Railon, 1986: 56) di mana tokoh gerakan 1966 terlibat dalam dunia birokrasi dengan menduduki jabatan strategis. Bulan madu itu mulai retak dengan terjadinya peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari) 1974. Ketika itu kaum muda memprotes masukanya modal Jepang ke Indonesia. Setelah 4 tahun peristiwa Malari, gerakan kaum muda muncul kembali pada tahun 1978 untuk menolak pencalonan Suharto menjadi Presiden untuk kesekian kalinya.
Baru pada tahun 1998, gerakan kaum muda mencapai puncak dengan menggulingkan rezim otoriter Soeharto. Tuntutan mundurnya Soeharto menjadi agenda nasional gerakan kaum muda. Pada akhirnya, revolusi demokrasi yang dipelopori oleh kaum muda itu menuntaskan sejarah baru dalam politik Indonesia, di mana Seoharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 di hadapan bangsa Indonesia. Revolusi demokrasi itu melegitimasi tiket check in menuju pembabakan suhu politik yang baru di era reformasi.
Baca Juga : Bias Urban dan Desa sebagai Subjek Media
Baca Juga : Zen, sebuah Agama Baru?
Krisis Politik Pasca Reformasi
Reformasi membawa terang bagi masyarakat Indonesia yang telah lama tinggal dalam gua kegelapan Orde Baru. Gerakan reformasi ini terkristalisasi dalam kurang lebih enam tuntutan utama. Keenam tuntutan tersebut adalah: pertama, supremasi hukum; kedua, pemberantasan KKN; ketiga, pengadilan mantan Presiden Soeharto dan kroninya; keempat, amandemen konstitusi; kelima, pencabutan dwifungsi ABRI (TNI/POLRI) dan keenam, pemberian otonomi daerah seluas-luasnya.
Demokrasi berhasil diraih, kebebasan diperoleh, hak asasi manusia berhasil diratifikasi. Namun, dua puluh tiga tahun sesudah apa yang disebut Reformasi, segala semangat gembira sudah menguap. Di satu sisi, Reformasi berhasil mewujudkan demokrasi serta meratifikasi hak-hak asasi manusia ke dalam undang-undang, menciptakan iklim kebebasan berpendapat. Namun di sisi lain, sebagian besar agenda reformasi ‘gagal total’.
Reformasi telah mencapai jalan buntu. Kita seolah diseret dalam peta politik Orde Baru di mana pers dibungkam, korupsi merajalela, oligarki merapat ke birokrasi, kejahatan HAM, pemerkosaan terhadap hukum, ketimpangan agraria, kesenjangan ekonomi yang kian mengganga lebar, kriminalisasi KPK, dan berbagai krisis lainnya mencuat.
Pada titik ini, politik pasca reformasi tidak lagi menjadi instrumen kesucian untuk mengabdi pada kesejahteraan umum. Merujuk pada pemikiran Featherstone, dunia perpolitikan kita pasca reformasi menjadi dunia seolah-olah (virtual reality). Negara disebut demokratis, tetapi nepotisme bertumbuh subur. Fokus pada divestasi, namun kebanyakan memperkaya kantong pribadi. Target negara adalah pemberantasan korupsi namun selalu ada jalan untuk berkonspirasi dengan koruptor.
Bertolak dari kenyataan di atas, Jeffrey A.Winters (2014: 202) mengklaim bahwa teori paling baik untuk membaca pemakzulan cita-cita reformasi dalam ekonomi politik Indonesia adalah teori oligarki. Selain itu dalam analisis Robinson dan Vedi R. Hadiz, demokrasi di Indonesia pasca Reformasi mengalami kemunduran karena dibajak oleh oligarki sejak awal demokratisasi, karena ketika Orde Baru turun tidak ada kekuatan progresif yang bisa menggantikannya. Kelompok elit lama yang selama masa Orde Baru berkonspirasi dengan Soeharto hanya mengubah diri menjadi demokrat dengan membuat partai politik yang dulu membahas integralisme Orde Baru tiba-tiba menjadi prodemokrasi.
Baca Juga : Pernikahan Dini: Pandemik Yang Belum Juga Berakhir
Baca Juga : Cerita Wartawan di NTT Dapat Sinyal 4G di Pohon Jambu
Revitalisasi Gerakan Kaum Muda Progresif
Aneka krisis yang menggurita dalam era reformasi mendesak suatu gerakan kaum muda progresif untuk menentang pemakzulan terhadap cita-cita reformasi. Dalam konteks penciptaan gerakan kaum muda yang progresif, maka perlu kita kembali melihat dalam perspektif kelas sosial. Tidak sekedar klaim atau frasa bombastis, namun turut dalam upaya pendiseminasian pengetahuan sampai di basis sosial.
Salah satu yang dapat diupayakan adalah melakukan transmisi pengetahuan yang mudah dicerna oleh basis rakyat, mendorong suatu praktik-praktik pengorganisasian yang nantinya tercipta gerakan organisasi yang solid. Kemudian dengan konsisten melakukan kerja-kerja pentransmisian pengetahuan dan menyolidkan organisasi.
Namun, pasca reformasi gerakan kaum muda progresif dihadapkan pada pluralitas gerakan yang sangat beragam. Secara kualitatif dan kuantitatif, gerakan kaum muda mengalami penurunan.
Menurut Ari Priyatno (2012: 177), ada beberapa kelemahan gerakan kaum muda pasca reformasi. Pertama, gerakan kaum muda lemah dalam hal ideologi. Secara historis, gerakan kaum muda 98 muncul karena salah satunya dan paling mendasar adanya krisis ekonomi. Kaum muda bergerak karena ekonomi lumpuh total, harga kebutuhan pokok naik dan PHK dimana-mana. Kesadaran ekonomis ini kemudian berhasil disublimasikan dalam kesadaran politik.
Kondisi tersebut jelas berbeda dengan gerakan 90-an, di mana gerakan kaum muda berawal dari kelompok-kelompok diskusi. Dari diskusi-diskusi yang dilakukan, kaum muda menjadi sadar tentang apa yang harus dilakukan, bahwa sistem koruplah yang menyebabkan negara berada dalam puncak krisis. Oleh karena itu, kontinuitas gerakan terpelihara. Perdebatan-perdebatan teoretik secara dinamis, sehingga selalu timbul perspektif yang mencerahkan (Ari Priyatno, 2012:178).
Kedua, kelemahan dalam hal organisasi, yakni tidak adanya organisasi nasional yang menyatukan seluruh gerakan kaum muda. Akibat tidak adanya organ nasional ini, berdampak pada tidak adanya kesatuan aksi di antara gerakan kaum muda yang ada. Masing-masing gerakan berjalan sendiri-sendiri. Tidak adanya kesatuan aksi yang berakibat pada fragmentasi gerakan.
Dua halangan ini membuat gerakan kaum muda pasca Reformasi kurang berperan penting dalam memperjuangkan kepentingan rakyat seperti dalam era-era sebelumnya. Gerakan mahasiswa pasca reformasi cenderung terkotak-kotak. Kondisi ini memang disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya kondisi zaman di mana sistem politik mulai terbuka dan demokratis. Oleh karena itu, perlu adanya adaptasi, sebab kemampuan adaptasi adalah kunci keberhasilan gerakan.
Dalam kondisi saat ini, gerakan kaum muda harus tetap menjadi “pressure group” yang diarahkan pada proses perubahan sosial politik dan ekonomi, meski tidak didasarkan pada aksi massa an sich. “Pressure group” merupakan kelompok, baik terorganisasi secara formal maupun tidak yang memperjuangkan kepentingan umum dan mempunyai pengaruh dalam masyarakat (Arief Budiman, 2006: 261).
Dengan demikian, agenda gerakan kaum muda saat ini mesti memilih misi transformatif dan misi korektif. Misi transformatif menekankan gerakan penyadaran sosial politik dan penularan gagasan demokrasi, hak-hak asasi manusia dan sebagainya. Sedangkan misi korektif menitikberatkan pada koreksi kebijakan publik yang tidak menguntungkan rakyat banyak.
Membaca sejarah bahwa gerakan kaum muda dalam membawa perubahan dalam struktur politik, maka disadari kini perlu adanya revitalisasi gerakan kaum muda pasca Reformasi agar mampu mengadvokasi kebijakan publik, melawan dominasi kelas oligarki serta konsisten dalam menagih janji reformasi. Ada beberapa poin penting dalam merevitalisasi gerakan kaum muda progresif pasca reformasi.
Pertama, gerakan ideologis. Kaum muda perlu mempunyai pandangan, sikap dan tindakan yang didasarkan pada kerangka ideologis. Dalam modal ideologi, dikenal tiga dasar yaitu visi, keyakinan dan nilai. Visi merupakan rumusan mimpi seseorang. Keyakinan menunjukan bagaimana seseorang atau organisasi memberikan makna. Nilai-nilai merupakan turunan yang bersifat lebih operasional dari keyakinan.
Untuk sampai pada pemahaman ideologi yang benar, kaum muda harus melewati tahapan-tahapan penting, mempelajari teori-teori yang dianggap bisa menjadi pedoman gerakan progresif. Dengan demikian, sangat penting dalam kaum muda progresif untuk melakukan diskusi-diskusi tentang teori-teori progresif, membuka kembali buku-buku klasik bernuansa revolusioner. Selama ini sebagian besar kaum muda disibukkan dengan aksi-aksi, sehingga tidak sempat secara intensif mempelajari teori. Karena itu tak heran kalau mudah terombang ambing (Ari Priyono, 2012: 185).
Sebagai gerakan intelektual, kaum muda progresif adalah aktor intelektual yang bergerak dengan kecerdasan akademik, memaksimalkan potensi kecerdasan dan menerapkan gagasan dalam mengatasi permasalahan. Lebih dari itu, gerakan kaum muda progresif perlu menyeimbangkan aksi intelektual dengan aksi massa. Strategi ini telah tercatat dalam sejarah, misalnya gerakan kaum muda di Cina dan Korea Selatan yang berhasil memaksa elit kekuasaan melakukan pelunakan dalam sistem sosialnya (Denny J.A, 2006:37).
Kedua, konsolidasi gerakan melalui organisasi. Salah satu kelemahan redupnya gerakan kaum muda progresif pasca Reformasi adalah tidak adanya organisasi yang menyatukan seluruh gerakan kaum muda. Organisasi ini penting sebagai ruang diseminasi gagasan. Organisasi yang dibutuhkan adalah organisasi yang memiliki program, strategi dan taktik yang jelas sampai isu dan tuntutan.
Ada beberapa wujud nyata yang bisa dilakukan kaum muda. Gerakan kaum muda progresif melalui organisasi perlu memiliki visi bersama, mulia, jelas dan terarah untuk Indonesia yang lebih baik dan bermartabat. Visi tersebut harus dibuat dan disepakati bersama melalui forum nasional yang mengakomodir kaum muda dan mahasiswa Indonesia, contohnya BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa). Harus dipastikan visi bersama tersebut tertanam di setiap sanubari ketua organisasi di setiap kampus atau organisasi kepemudaan di setiap daerah untuk disampaikan kepada masing-masing organisasi.
Hari-hari ini reformasi dikorupsi oleh elit kekuasaan. Cita-cita reformasi masih sangat jauh dari panggang api. Elit politik berlomba-lomba membangun istana korupsi, merangkul oligarki, membatasi ruang gerak aktivis, mengamputasi kebebasan pers, merumuskan legislasi yang kontraproduktif dan memanggil pulang elit yang dibesarkan Orde Baru dengan mengenakan dasi reformasi.
Menghadapi situasi ini, penting adanya penguatan gerakan kaum muda progresif dalam menentang oligarki dan melawan ketidakberesan Negara dalam menjamin kesejahteraan bagi masyarakat kecil. Dalam sejarah, gerakan kaum muda progresif terbukti sakti dalam menumbangkan sistem politik yang represif. Namun, mengingat gerakan kaum muda progresif pasca reformasi kurang menekuni riset-riset intelektual dan cenderung fragmentaris maka perlu adanya penguatan basis intelektual melalui kerja-kerja intelektual, pengembangan basis ideologi dan pendalaman kehidupan berorganisasi. Melalui jalan ini, gerakan kaum muda progresif pasca reformasi akan terus berdenyut sebagai kekuatan alternatif dalam melawan pemakzulan agenda Reformasi di Indonesia.