Blog

  • Demokrasi dan Kritisisme

    Demokrasi dan Kritisisme

    Indodian.com – Indonesia baru saja melaksanakan Pemilu yang berlangsung pada 14 Februari 2024.  Khusus untuk pilpres, hasil sementara dari hitung cepat (quick count) oleh Litbang Kompas, Kamis (15/2/2024), telah mengklaim pasangan Prabowo-Gibran sebagai pemenang unggul 58,60 persen. Sementara itu, pasangan capres-cawapres nomor urut 01, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, mendulang 25,26 persen suara dan pasangan capres-cawapres nomor urut 03, Ganjar Pranowo-Mahfud MD mendapatkan 16,14 persen suara (Fitria C. Farista, Kompas.com-15/02/2024).

    Namun, data ini bersifat “sementara” dan belum pasti karena masih menunggu hasil resmi dari KPU. Meski belum dipastikan siapa presiden dan wakil presiden, namun pada dasarnya Indonesia telah melaksanakan perhelatan Pemilu. Siapa pun presiden dan wakil presiden yang terpilih, semua pihak mesti menerima secara rasional. Sebab, mereka tetaplah pemimpin kita yang punya tugas melayani kepentingan warga negara.

    Tujuan Pemilu bukan hanya soal siapa presiden yang layak, melainkan bagaimana ia menjalankan pemerintahan secara demokratis. Karena itu, tugas warga negara ialah terus mengawal roda pemerintahan yang dijalankan Presiden terpilih agar selalu berjalan dalam koridor demokrasi. 

    Pemilu memang salah satu bagian dari dinamika demokrasi, sebab saat itulah momentum yang tepat bagi rakyat menggunakan hak politiknya. Namun dalam demokrasi, partisipasi rakyat tidak hanya tunggu Pemilu, melainkan sepanjang demokrasi itu berjalan. Karena itu, siapa pun presiden yang terpilih hak warga untuk berpolitik tetap menjadi keniscayaan.

    Untuk itulah Indonesia menganut sistem demokrasi dengan konsekuensinya ialah kebebasan rakyat untuk berserikat, berpendapat, berkumpul dan berpartisipasi dalam urusan politik dijamin secara konstitusional. Roda pemerintahan tidak hanya dijalankan oleh elit politik tetapi semua warga negara dilibatkan dalam budaya diskursus sehingga kebijakan politik selalu didasarkan atas deliberasi publik.

    Kebijakan politik di Indonesia pertama-tama harus dimulai dengan deliberasi. Istilah deliberasi berasal dari kata Latin deliberatio, lalu diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi deliberation. Istilah ini berarti ‘konsultasi”, “menimbang-nimbang” atau- kita telah memiliki kosa kata politik ini- “musyawarah” (Hadirman, 2009; 128). Demokrasi deliberasi menjadi elemen penting sebagai ajang warga negara untuk berkonsultasi dan menimbang dengan penguasa terkait keputusan politik. Deliberasi berupaya mencari titik temu antara berbagai perbedaan pandangan politik sehingga memungkinkan keputusan politik yang diambil dapat menguntungkan semua pihak.

    Teori demokrasi deliberatif merupakan salah satu pemikiran filosofis Jurgen Habermas. Menurut Habermas, deliberasi lebih menekankan pada prosedur formasi opini dam aspirasi secara demokratis. Dengan ungkapan lain, legitimitas keputusan politik tidak terletak pada hasil komunikasi politik, melainkan pada prosesnya. Semakin diskursif proses itu, yakni semakin rasional dan terbuka terhadap pengujian publik, semakin legitim pula hasilnya (Hardiman, 2009:130). Deliberasi tidak menuntut supaya suara otoritas dianggap legitim sehngga harus dijalankan, tetapi suara otoritas diuji secara publik melalui diskursus yang panjang.

    Melalui deliberasi, suara-suara kritis publik diberi kesempatan bukan untuk menghilangkan kebijakan politis tetapi memberi basis agar keputusan politik sesuai dengan tuntutan konteks dan budaya masyarakat. Karena itu, dalam deliberasi yang dikedepankan adalah rasionalitas komunikatif dengan basis argumentatif tanpa harus menggunakan sentimen yang berujung pada brutalitas. Lemahnya budaya deliberasi membuat keputusan politik memicu sikap saling serang di antara berbagai pihak.

    Barangkali untuk dijadikan contoh di sini ialah konflik di Rempang, Kepulauan Riau, di mana terjadi bentrokan antara masyarakat dengan aparat keamanan. Menariknya presiden Jokowi menilai kericuhan di Pulau Rempang terjadi karena ada komunikasi yang kurang baik. Menurut Presiden, kericuhan yang terjadi saat warga unjuk rasa memprotes proyek Rempang Eko City di kawasan pulau itu, semestinya tidak akan terjadi sekiranya warga diajak bicara dan diberikan solusi (Cyprianus A. Saptowalyno, Kompas, 12/9/2023). Masalah di Rempang kiranya menjadi preferensi bagi para pengambil kebijakan betapa keputusan politik harus dimulai dengan proses deliberasi agar suara-suara kritis diengarkan. Demokrasi hanya bisa bertumbuh jika suara kritis publik dihargai.

    Demokrasi dan Semangat Kritisisme           

    Demokrasi merupakan ruang inklusif yang menjamin setiap warga negara agar dapat berpartisipasi di setiap kebijakan politik. Demokrasi sebagai ruang partisipasi mengandaikan aspirasi rakyat diberi jaminan sehingga tidak ada lagi roda pemerintahan yang dijalankan secara otonom oleh penguasa. Setiap kebijakan mesti dipertimbangkan di dalam ruang deliberasi karena kebijkan politik pertama-tama didasarkan atas pertarungan ide yang konstruktif yang melibatkan masyarakat sipil dan pemerintah. Oleh karena itu, sikap kritik yang dilontarkan masyarakat sipil terhadap pemerintah tidak harus dinilai sebagai ancaman, sebaliknya suatu upaya konsolidasi demokrasi demi terciptanya kebijakan yang fair dan diterima oleh semua pihak.

    Demokrasi akan bertumbuh bila kritisisme dijamin karena lajunya roda pemerintahan tidak bisa tanpa dikendalikan oleh masyarakat sipil. Ibarat sebuah kapal, ia akan berlayar dengan baik ketika ada nakhoda yang mengendalikannya sehingga menyelamatkan banyak orang. Demikian dalam demokrasi kekuasaan tidak akan menjadi otoriter sejauh masyarakat sipil terus mengontrolnya. Karena itu, kontrol masyarakat pertama-tama harus dimulai dengan berani untuk bersikap kritis terhadap penguasa. 

    Kritisisme berasal dari kata “kritika” yang merupakan kata kerja dari “krinein” yang artinya memeriksa dengan teliti, menguji, membeda-bedakan (Udo Z Karzi, 2021; 235). Berpikir kritis berarti tidak mudah menerima kebenaran dari luar, sebaliknya terus menimbang, mengevaluasi dan menguji sampai kebenaran itu berpuncak pada kepastian dan mendapat legitimasi secara universal. Masyarakat sipil harus berada dalam posisi ini. Memang terkesan imperatif namun amat penting sebagai upaya menciptakan negara demokratis.

    Selain itu, dalam demokrasi menjadi penguasa (pemerintah, pemimpin) artinya mengambil konsekuensi untuk siap dikritisi. Sebab, dalam setiap kebijkan yang ditelurkan para pemimpin tetap harus berpegang pada prinsip fabilisme yang terus diterapkan demi memproduksi kebijakan yang bermutu (Karzi, 2021; 235). Sebab, kebijakan politik selalu mengandaikan kehendak bersama sehingga tidak ada lagi korban yang merasa rugi sebagai dampak dari kebijakan tersebut. Peran serta masyarakat kecil setidaknya meminimalisasi dampak destruktif dari kebijakan politik, seperti tidak ada lagi masyarakat adat yang kehilangan hak tanahnya akibat penggusuran secara massif, krisis ekologi, pemanasan global dan dampak lainnya.

    Pertanyaannya ialah, siapa saja yang berpartisipasi di dalam sikap kritisisme itu? Peran serta semua masyarakat adalah jawabannya. Namun, beberapa institusi berikut menurut penulis mesti berperan dengan militan dalam mengawal demokrasi. Pertama, kampus. Kritisisme kampus dapat kita baca secara historis terutama pada gerakan reformai tahun 1998, di mana mahasiswa tampil dengan militan melawan kediktatoran Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto. Kekuatan mahasiswa berhasil menumbang kekuasaan otoriter Soeharto yang berlangsung selama 32 tahun. Kebangkitan gerakan ini tentu lahir dari sikap kritis mahasiswa terhadap rezim yang penuh bermuatan otoritarianisme.

    Selain gerakan reformasi, akhir-akhir ini sejumlah media tanah air baik media sosial maupun media mainstream menyajikan informai seputar aksi guru besar, dosen dan mahasiswa dari berbagai kampus di Indonesia, seperti Universitas Gadjah Mada, Universitas Islam Indonesia, Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran dan beberapa kampus lainnya yang amat getol dan militan mengkritik presiden Jokowi yang diklaim telah menggerus citra demokrasi.

    Seruan beberapa kampus ini lahir dari rasa keprihatinan terhadap kondisi demokrasi yang mengalami kemunduran selama masa pemerintahan presiden Jokowi. Presiden dianggap telah melakukan kecurangan dalam kontestasi Pemilu 2024 dan dinilai tidak netral dengan menyalahgunakan kekuasaan untuk mendukung calon tertentu (Koran Tempo 5/2/2024).

    Petisi beberapa kampus tersebut sebagai suatu kegembiraan bahwa kampus memang masih menamaikan entitasnya sebagai komunitas akademik yang kritis. Hal ini patut diapresiasi sebab dengan kritisisme, kampus tidak mudah terjinak oleh hegemoni elit politik yang membuat kampus enggan untuk bersikap kritis. Namun di sisi lain, perlu diberikan catatan kritis bahwa suara kritisisme kampus mesti tidak mengenal waktu. Suara kritisisme kampus tidak harus tunggu demokrasi sebentar lagi terjatuh ke dalam jurang. Sebaliknya, kritisisme kampus harus terus mengawali roda kekuasaan supaya kekuasaan tidak bertendensi menjadi otoritarianisme.

    Namun, menjadi paradoks ketika mahasiswa sebagai agent of changes tidak berani mendengungkan suara kritis, tetapi lebih suka sensasi terhadap atraksi elit politik di media sosial ketimbang menjeli lebih jauh substansi dari gagasan dan kebijkan politiknya. Kalaupun ada suara kritis, itu mungkin hanya sebatas wacana dengan tidak mengkontektualisasi di tengah kegaduhan politik. Inilah yang menjadi autokritik terhadap diri mahasiswa agar lebih mencirikan entitasnya sebagai kaum muda yang progresif dan revolusioner.

    Kedua, organisasi masyarakat (selanjutnya disebut ormas). Tujuan utama pembentukan ormas adalah bagaimana mengontrol kekuasaan negara agar dapat berjalan sesuai dengan amanat konstitusi (Mohammad Muliyadi, 2018; 47). Dalam bidang sosial politik, kemunculan ormas dinilai sebagai respon atas kebijakan politik yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Lahirnya ormas merupakan upaya untuk berkonfrontasi terhadap kebijakan pemerintah yang melanggar perintah konstitusi agar kembali kepada koridor demokrasi, yakni membawa rakyat kepada kemakmuran, keadilan dan kesejahteraan.

    Ketiga, dalam demokrasi keberadaan oposisi juga amat urgen dan menjadi keniscayaan. Kehadiran oposisi tidak harus dinilai sebagai ancaman, namun amat mutlak diperlukan sebagai pengontrol jalannya roda kekuasaan. Keterpautan antara oposisi dan demokrasi sesungguhnya tidak lepas dari prinsip yang mendasarinya, yakni penghargaan yang tinggi atas perbedaan. Dalam demokrasi, perbedaan bukan barang haram yang harus dimusuhi atau dijauhi, melainkan merupakan bata merah yang tidak terpisahkan dari bangunan demokrasi (Juliantara, 1998; 78).

    Dalam peranannya bagi demokrasi, oposisi menurut Juliantara (1998) paling tidak mengandung dua unsur berikut. Pertama, independen. Suatu oposisi tentu saja bukan menjadi bagian dari kekuasaan, melainkan harus mengambil jarak agar dapat melakukan check and balance secara bebas. Kedua, merepresentasikan kepentingan masyarakat luas. Karena itu, oposisi harus memiliki akses yang luas ke masyarakat. Ini penting agar suara oposisi bukan sekadar kepentinagn segelintir orang, melainkan wakil dari kepentingan banyak orang.

    Akhirnya selain keterlibatan dari ketiga lembaga di atas, kontrol terhadap kekuasaan juga tidak lepas dari peran masyarakat sipil yang lebih luas. Artinya, kontrol terhadap pemerintah tidak harus melalui organisasi yang telah terinstitusional. Siapa saja dapat mengontrol rezim sejauh pro-demokrasi. Mari mengawal demokrasi dengan membangun semangat kritisisme!

  • Peredaran Hoaks Pemilu 2024 Masih Besar

    Peredaran Hoaks Pemilu 2024 Masih Besar

    JakartaIndodian.com Memasuki masa tenang kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, data analytics PT Binokular Media Utama (“Binokular”) melakukan riset media monitoring terhadap pemberitaan di media massa dan percakapan di media sosial tentang peredaran hoaks yang masih besar di Pemilu 2024, baik di media massa dan media sosial. Selain itu, Binokular juga mencatat topik-topik besar dari kampanye masing-masing pasangan calon (paslon) presiden-wakil presiden (wapres).

    Distribusi Konten Hoaks

    Manajer News Data Analytics Binokular (Newstensity) Nicko Mardiansyah menyebut, secara umum informasi hoaks awalnya muncul di media sosial dan diamplifikasi dalam pemberitaan media konvensional. Berdasarkan pantauan di media massa online, print, dan elektronik, terdapat tiga tren fake news/hoaks yakni: Pertama, Hasil Perhitungan Suara di Luar Negeri Sudah Keluar. Isu ini sudah keluar pada rentang 8-11 Februari 2024 sebanyak 115 artikel (berita klarifikasi) dengan puncak pemberitaan pada tanggal 9 Februari.  

    Secara umum, validitas informasi klarifikasi bersumber dari Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI). Isu serupa juga muncul di media sosial terutama dalam bentuk konten video yang menunjukkan hasil perhitungan suara Pilpres 2024 di luar negeri, yakni di Malaysia dan Taiwan. Eksposur konten dominan didistribusikan melalui Tiktok (65%), Facebook (19%), X (Twitter) (13%), Youtube (3%) dengan total sebanyak 31 postingan yang menyumbang sebanyak 18.951 engagement (interaksi pengguna media sosial) dan ditonton sebanyak 776.997 kali. Berikut contoh postingan hoaks link, link, link, link, dan link.

    Kedua, KPU Tak Lagi Keluarkan Undangan Fisik untuk Mencoblos, mulai diberitakan dalam periode 6-11 Februari 2024 sebanyak 22 artikel (berita klarifikasi) dengan puncak pemberitaan pada tanggal 8 Februari dan dominan diberitakan oleh media online. Sama dengan isu pertama, mayoritas informasi bersumber dari KPU RI dan KPU Daerah. Isu di atas juga didistribusikan di media sosial sebanyak 34 postingan dengan 2.543 engagement dan ditonton sebanyak 167.371 kali. Beberapa contoh postingan hoaks: link, link, link, link, link.

    Ketiga, Prabowo-Gibran di Surat Suara Menjadi Nomor 3 muncul sejak tanggal 3-7 Februari 2024 sebanyak 22 artikel. Terdapat 5 berita dengan kekacauan informasi jenis disinformasi yang beredar mulai tanggal 3 Februari 2024, dan 17 berita yang mengklarifikasi disinformasi tersebut. Pemberitaan jenis klarifikasi mulai beredar sejak 4 Februari 2024. Diketahui, isu ini mencatat 11 postingan, mencatat engagement sebesar 563 dan ditonton sebanyak 1.131.104 kali. TikTok menjadi platform dominan penyebaran konten (73%), diikuti Twitter/X (18%), dan Instagram (9%).

    Manajer Social Media Data Analytics (Socindex) Binokular Danu Setio Wihananto menyebutkan bahwa berdasarkan hasil penelusuran, desain surat suara yang terlihat pada video tersebut berbeda dengan desain resmi yang dirilis oleh KPU. Perbedaan yang paling terlihat adalah pada foto yang digunakan oleh masing-masing pasangan calon presiden dan calon wakil presiden memiliki perbedaan dengan foto pada desain resmi dari KPU. Dengan demikian, surat suara yang ada dalam video tersebut bukan merupakan surat suara yang dikeluarkan oleh KPU. Link postingan hoaks sebagai berikut: link, link, link, link, dan link.

    Mencermati masifnya distribusi konten hoaks di media sosial yang kemudian diamplifikasi oleh media massa dan akun-akun mendia sosial tertentu sebagaimana yang ditunjukkan oleh hasil riset Binokular, Vice President of Operations PT Binokular Media Utama, Ridho Marpaung mengimbau media massa, pembaca berita dan warganet untuk tetap rajin dalam melakukan verifikasi informasi pada sumber-sumber informasi yang resmi dan memiliki rekam jejak yang baik juga memperbanyak literasi.

    Ridho menyatakan, Binokular mengajak setiap setiap paslon, tim kampanye, dan partai-partai poitik serta pemangku kepentingan dan masyarakat untuk kompak dalam mendukung dan menjaga agar gelaran Pemilu 2024 dapat berlangsung dengan damai dan juga anti-hoaks dalam bingkai sifat pemilu yang jujur, adil, langsung, umum, bebas dan rahasia (jurdil dan luber).

    Program Unggulan Paslon

    Pada masa debat Capres-Cawapres berlangsung (12 Desember 2023-4 Februari 2024), Binokular mencatat bahwa dalam pemberitaan media massa, paslon Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar disorot dalam isu 40 Kota Naik Kelas (2.086 artikel), Bansos Plus (1.245 artikel), dan Contract Farming (522 artikel).  Paslon nomor dua yakni Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka lebih banyak disorot terkait Program Makan Siang dan Susu Gratis (10.793 artikel), Program Hilirisasi (10.170 artikel), dan Food Estate (5.315 artikel). Sedangkan Paslon nomor 3 yakni Ganjar Pranowo-Mahfu MD dominan diberitakan terkait KTP Sakti (5.806 artikel), Satu Keluarga Miskin, Satu Sarjana (4.068 artikel), dan Internet Gratis (3.278 artikel).

    Sementara catatan Binokular di media sosial, paslon Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar cukup signifikan dibincangkan terkait Bansos Plus (5.208 talks –percakapan-) dengan engagement  terbesar 1.777.640 talks, diikuti isu Pendidikan Gratis (3.718 talks) dan Penyediaan Lapangan Pekerjaan (3.500 talks). Sedangkan Pasangan Prabowo-Gibran disorot dalam percakapan dominan tentang Makan Siang dan Susu Gratis (61.342 talks) yang mencatat engagement terbesar 20.620.498, diikuti isu Hilirisasi Komoditas (45.065 talks), dan Kenaikan Gaji Guru, ASN dan TNI-Polri (2.908 talks). Sementara itu, Pasangan Ganjar-Mahfud dipercakapkan warganet terkait program KTP Sakti (53.597 talks), diikuti Internet Gratis (52.595 talks) dan Satu Desa-Satu Faskes-Satu Nakes (5.522 talks). Internet Gratis mencatat engagement terbesar yakni 10.172.167.

  • Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

    Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

    Indodian.com – Tulisan ini beranjak dari diskusi penulis dengan Sarnus Joni Harto di kolom komentar Facebook. Dengan begitu kritis, kawan baik saya ini mengutarakan pernyataan demikian “Saya berbeda pendapat pada bagian gerakan kritis kampus yang akhir-akhir ini berebut panggung. Bagi saya, semua petisi itu tanda kritisisme musiman dan oportunisme kampus”. Lebih lanjut, Sarnus berujar “Saya lebih setuju jika gerakan semacam itu dilakukan tepat sehari setelah MK menetapkan batas minimum usia Cawapres”.

    Tentu, ucapan ini juga ‘menggugat’ kesadaran saya. Bagaimana mungkin kampus terkesan bergerak di ‘garis akhir’? Apa yang menyebabkan kalangan intelektual terkesan ‘lamban’ bergerak, padahal mereka memiliki kecakapan epistemik dalam melacak geliat ‘kuasa’ Jokowi?

    Membawa Api Kebenaran

    Seperti bola api yang menggelinding seketika, belakangan ini protes kalangan intelektual di beberapa kampus membuncah dengan sangat cepat. Setelah segenap sivitas akademika UGM meminta, mendesak, dan menuntut penegak hukum, pejabat negara dan aktor politik  yang berada di belakang Presiden Joko Widodo, termasuk Presiden sendiri, untuk segera kembali pada koridor demokrasi” (Kompas, 31 Januari 2024), beberapa kampus kemudian turut terlibat menyatakan ‘sikap’. Bahkan terkini, seluruh Sekolah Tinggi Filsafat se-Indonesia juga turut ‘turun’ gunung menyampaikan kritik terhadap Jokowi (https://www.cnnindonesia.com).

    Kita tentu perlu menyambut baik ‘bisingan’ kaum intelektual. Sebab sebagaimana Ikrar Nusa Bhakti, bagaimanapun suara mereka adalah sebentuk penegasan sikap bahwa apa yang telah dilakukan Jokowi tidak sesuai dengan etika dan moral politik yang terkandung dalam ‘Pancasila’ (‘Ketika Kampus Mulai Bersuara’, Kompas, 9 Februari 2024). Kehadiran kaum intelektual adalah sebentuk ‘sikap tanggap’ bahwa skema politik Jokowi memang mencederai prinsip konstitutif demokrasi. Mereka bersuara, menggugat, dan mengambil sikap dengan maksud ‘agar ‘kebenaran demokratis’ dapat kembali ‘pulang’.

    Maka, bagi  penulis, reaksi beberapa kampus sejauh ini merupakan tanda keterlibatan kaum intelektual yang ‘berorientasi pada nilai’. Menyitir Noam Chomsky, filsuf sekaligus profesor linguistik Amerika Serikat, corak intelektual seperti ini adalah mereka yang mampu bercakap dan bersuara. Mereka bahkan tak segan mengajukan keberatan terhadap pemerintah. Tanpa mesti takut, mereka mengabdikan diri untuk ‘melecehkan’ pemimpin dan menantang otoritas (Chomsky, 2016:4-5).

    Intelektual seperti ini hadir dengan satu sikap dasar “Aku ada untuk kebenaran”. Maka wajar kalau mereka bergerak. Sebab mereka menentang otoritas untuk menegakkan kebenaran. Karena itu, kalau selama ini Jokowi mematikan prinsip demokratis, maka kritikan kaum intelektul seperti ini adalah ‘jalan pulang’ untuk membalikan kebenaran. Mereka hidup untuk kebenaran. Itu sebabnya jika ada ‘tabiat’ tak benar, mereka mengkritiknya dengan keras. Sehingga, kalau dalam kisah klasik Yunani, ada seorang dewa bernama Promoteus yang membawa api di tengah ‘kegelapan’. Maka saat ini, publik mesti bersyukur sebab di saat demokrasi sedang dilandang ‘kabut kegelapan’, kaum intelektual justru menunjukkan tanda terang. Demikian, di tengah ekskalasi kekuasaan Jokowi, kaum intelektual justru berupaya mengembalikan cita rasa ‘demokrasi bersama’.

    Paradoks Keterlibatan

    Anehnya, keterlibatan kaum intelektual sejauh ini ‘dirasa’ cukup problematis. Dalam diskusi kami, misalnya, Sarnus berujar “Akhir-akhir ini, banyak Perguruan Tinggi yang berebut peluang untuk menulis petisi/surat pernyataan. Buat diskusi dadakan lalu di ujung kegiatan mereka luncurkan sikap tertentu. Isinya tentu saja mengutuk praktik politik Jokowi. Unik. Juga aneh”.

    Pernyataan ini pun tentu menggugah saya:‘Mengapa gerakan seperti ini justru ramai terjadi belakang ini?’ Tanpa meremehkan gerakan kritis kampus, penulis berpikir bahwa keterlibatan dunia kampus sejauh ini cenderung paradoksal. Kampus adalah rumah pertarungan akal sehat. Ia menjadi ladang kritis-epistemik. Karena itu, kampus seharusnya sudah lama menjadi tempat pertama untuk mendeteksi dan mengonstruksi counter hegemonic atas gejolak otoritarianisme Jokowi.

    Jika boleh jujur, gejolak otoritarianisme Jokowi tentu sudah lama diselidiki dalam literatur akademisi. Tom Power, peneliti Australia, misalnya, bahkan sudah lama menegaskan bahwa era politik Jokowi cenderung otoritarianik. Dalam tulisannya berjudul Jokowi’s Authoritarian Turn and Indonesia’s Democratic Decline, ia bahkan dengan lugas menegaskan bahwa pada akhir masa jabatan pertama Jokowi, terjadi penurunan kualitas demokrasi di Indonesia. Hal itu beriringan dengan pengarusutamaan dan legitimasi Islam politik yang konservatif dan anti-pluralistik; manipulasi partisan terhadap lembaga-lembaga penting negara; dan semakin terbukanya penindasan dan pemberdayaan oposisi politik.  Bagi Power, tren-tren ini telah menyebabkan ketidakseimbangan dalam arena demokrasi, membatasi pilihan demokrasi, dan mengurangi akuntabilitas pemerintah (2018:307).

    Selain itu, suara kritis atas kekuasaan Jokowi juga tertuang dalam kajian para ilmuwan semisalnya dalam buku Demokrasi di Indonesia: dari Stagnasi Menuju Regresi (2020) dan Demokrasi Tanpa Demos (2021). Bahkan kajian ini juga didukung riset Ecnomist Intelligence Unit (EIU) yang menegaskan bahwa Indeks Demokrasi Indonesia pada tahun 2022 hanya meraih skor 6,71. Skor tersebut sama dengan nilai yang diperoleh Indonesia pada indeks Demokrasi 2021, dan masih tergolong sebagai demokrasi cacat (flawed democracy) (bdk. https://data.tempo.co/data/1624/indeks-demokrasi-indonesia-2022).

    Karena itu, hal ini menjadi tanda bukti bahwa peringatan akan kebusukan Jokowi memang sudah ‘jauh-jauh’ hari disampaikan dalam lingkaran menara ‘gading intelektual’. Namun sayang, di tengah beredarnya kajian serius tentang Jokowi, kaum intelektual sepertinya lamban untuk mengonstruksi gerakan masif seperti sekarang ini. Terkesan, kaum intelektual bergerak dengan cara kerja ‘palang merah’, bukannya ‘palang pintu’. Mereka bergerak tatkala mendatangkan ‘korban’ dan enggan berikhtiar untuk meredam sejak ‘awal’.

    Ini adalah paradoks keterlibatan kaum intelektual. Padahal menurut Daniel Dhakidae, kaum intelektual (cendikiawan) memiliki kekuasaan atas bahasa dan pengetahuan (2003:55-56), lalu mengapa sejak awal kuasa pengetahuan tidak dipakai sebagai pijakan untuk membrendel Jokowi?. Bukankah sudah banyak kajian, tulisan ataupun diskusi perihal kebusukan Jokowi yang terjadi dalam lingkungan kampus? Namun mengapa gerakan besar-besaran baru terjadi belakangan ini.

    Saya membayangkan, jika gugatan beberapa ilmuwan yang mengkritik keras rezim pemerintahan Jokowi ditanggapi dengan cepat oleh sebagian besar kampus, maka demokrasi kita tidak akan berada pada titik stagnan. Jika gerakan masif kaum intelektual sudah jauh-jauh hari dikumandangkan, maka Jokowi tentu ‘gertak’. Pun, kalau seandaianya petisi dan gerakan ‘pernyataan sikap’ sudah lama dikonstruksi oleh kaum akademisi, maka demokrasi sudah lama menjadi pulih.

    Risiko Politik Memabukkan

    Memang keterpilihan Jokowi sebagai Presiden dalam konstitusi politik 9 Juli 2014, diiklaim sebagai indikasi bahwa demokrasi bisa berjalan lebih baik. Pasalnya, sebagaimana Ahmad Sahide, kala itu, Jokowi dinilai sebagai Presiden pertama yang terpilih dari figur yang bukan ketua umum parpol atau elite parpol. Ia juga dianggap sebagai Presiden yang merepresentasi kalangan pinggiran (‘Jokowi, dari Kesempurnaan Demokrasi Menuju Politik Dinasti’, Kompas, 3 November 2023).

    Hanya saja, pemakluman seperti ini mengantarkan  publik pada pengkultusan Jokowi. Jokowi kemudian dipersonifikasi seolah-olah ia adalah pemimpin yang tidak pernah berbuat salah. Ia diklaim sebagai pemimpin yang benar. Karena itu, Jokowi selalu diidentikan dengan kebenaran.

    Tentu, pengkultusan semacam ini juga merasuki nalar dunia akademisi. Di UGM, misalnya, beberapa akademisi mengakui bahwa dahulu mereka memuji-muji cara kepemimpinan Jokowi di tingkat nasional. Bahkan,  Koentjoro, Guru Besar UGM pun turut mengakui bahwa ia dulu berkiblat pada Jokowi. “Betul-betul (kecewa) sekali”, demikian Koentjoro,“Kalau dulu kan kita puja-puja. Barangkali kesalahan fatal kita terlalu menempatkkan dia terlalu tinggi sehingga dia (merasa) tidak pernah salah” (https://amp.kompas.com).

    Karena itu, ini adalah tanda bukti bagaimana dunia kampus dirasuki nalar ‘pengkultusan’ Jokowi. Hanya sayang, pengkultusan semacam ini memformat rasionalitas politik kritis-demokratis. Kaum intelektual serasa ‘tak berdaya’. Atau bisa saja ‘dininabobokan’ sejenak. Dalam pusaran kemabukkan seperti ini, hiperbolisasi Jokowi membuat kaum intelektual enggan cepat tanggap.

    Karena itu, kalaupun mereka memiliki kesanggupan epistemik untuk melacak gejala otoritarianisme Jokowi, hanya saja ‘nalar pengkultusan’  terhadap Presiden ‘Wong Cilik’ tersebut membuat gerakan kaum intelektual menjadi ‘vakum’. Menyitir Chantal Mouffe, dalam kondisi semacam ini, mereka belum menemukan ‘momen politis’ untuk dijadikan sebagai pijakan kolektif dalam melakukan perlawan terhadap musuh bersama (common enemy). Kesadaran kolektif dicekik oleh daya tawar sesaat politik yang meyakinkan. Pun konsientisasi kolektif diperlemah oleh sikap politik Jokowi yang terkesan ‘merakyat’.

    Tanpa malu dan ragu, dalam nalar pengkultusan semacam ini pun,  mereka bersimpati mendukung Jokowi. Mereka menaruh kepercayaan penuh atasnya. Dalam keadaan inilah ia dipersonofikasi sebagai ‘pembawa berkat’ atas krisis yang terjadi dalam tubuh demokrasi. Karena itu, wajar kalau gerakan kaum intelektual terkesan lamban. Sebab, saking mengkultuskan pejabat, kaum intelektual serasa ‘apatis’ dan cenderung  memaklumkan ‘kekeliruannya. Demikian pula, wajar kalau gerakan masif seperti saat ini tidak menguat sejak lama, sebab dalam nalar pengkultusan, mereka rela mereduksi diri sebagai intelektual teknokrat: ‘hamba pelayan’ kebijakan.

    Catatan Reflektif

    Kita perlu mengapresiasi pernyataan ‘sikap kritis’ beberapa kampus yang santer terjadi belakangan ini. Kalaupun sedikit gelisah, karena kaum intelektual berjalan ‘lamban’, hanya saja demokrasi saat ini butuh ‘obat penawar’. Saat nalar warga dijejali pengkultusan Jokowi, kita justru butuh alarm keras dunia intelektual semacam ini.

    Namun demikian, kegelisahan atas sikap kaum intelektual seperti saat ini mestinya menjadi otokritik. Kritisisme memang perlu dirawat. Demikian, kecakapan nalar mesti terus dijaga. Hanya saja, kaum intelektual mesti berdistansiasi dengan kekuasaan. Siapa pun pejabatnya, kaum intelektual selalu bersuara. Selain itu, kritisisme kampus mesti menderang setiap waktu. Sebab, jika tidak demikian, menyitir Sarnus, bisa saja kehadiran kaum intelektual hanya sekadar ‘tanda kritisisme musiman’

  • Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

    Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

    Indodian.com – Pada Sabtu, 3 Februari 2024, Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero menggelar diskusi politik mahasiswa bertajuk “Dinamika Politik Indonesia dan Kontestasi PILPRES 2024”. Setelah diskusi politik, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) bersama seluruh mahasiswa IFTK Ledalero turut menyampaikan pernyataan sikap. “Kami melawan segala bentuk tindakan yang mencederai demokrasi dan melanggar konstitusi”, demikian kutipan pernyataan yang dibacakan Max Gepa, ketua BEM IFTK Ledalero.

    Tentu, IFTK Ledalero tidak sendiri. Pasalnya pernyataan sikap semacam ini juga disampaikan beberapa kampus di Indonesia. Di UGM, misalnya, segenap sivitas akademika meminta, mendesak, dan menuntut penegak hukum, pejabat negara dan aktor politik  yang berada di belakang Presiden Joko Widodo, termasuk Presiden sendiri, untuk segera kembali pada koridor demokrasi” (Kompas, 31 Januari 2024). Atau di Universitas Islam Indonesia, segenap sivitas akademika bahkan dengan lugas menyatakan “Ketika hasil perjuangan dinodai dan dihina, maka tidak ada lagi yang bisa kita serukan kecuali, lawan” (Kompas, 1Februari2024).

    ‘Pernyataan sikap’ beberapa kampus di Indonesia tentu beralasan. Pasalnya seruan semacam itu bertumbuh di tengah kekhawatiran publik akan cita rasa demokrasi. Dunia akademik mensinyalir bahwa saat ini demokrasi sedang tersandera dalam jeruji ‘kepentingan penguasa’. Kekuasaan politik dipakai Jokowi untuk mengintervensi kontestasi politik pada 14 Februari 2024.

    Demokrasi Serasa Mati di Tangan Jokowi

    “Apakah demokrasi kita dalam bahaya?”, demikian gugatan awal Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam karya mereka berjudul “How Democracie Die”. Kedua ilmuwan politik Amerika Serikat ini mengklaim bahwa demokrasi saat ini sedang dilanda bahaya. Hanya saja proses kematiaan demokrasi agak berbeda. Kalau dulu demokrasi bisa mati di tangan jenderal, namun sekarang ia mati di tangan pemimpin terpilih (Levitsky dan Ziblat, 2019:ix).

    Rupanya seruan Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt amat relevan untuk konteks Indonesia. Meski dipilih secara demokratis, namun selama menjabat, sikap anti-demokratis Jokowi sangat kentara. Bahkan geliat sikap semacam itu semakin kentara di akhir masa jabatannya. Menurut Wijayanto, perilaku anti-demokratis Jokowi nampak dalam pengingkaran aturan main demokratis, wacana amandemen konstitusi untuk memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga periode, dan ‘utak-atik’ keputusan MK demi memuluskan langkah Gibran (‘Memperkuat Demokrasi Kita’, Kompas, 18 Januari 2024).

    Selain itu, dalam laporan bertajuk “Stagnasi HAM Menjelang Satu Dekade Jokowi”, Setara Institute mencatat semasa rezim Jokowi, indeks  HAM mengalami stagnasi. Dalam catatan setara institusi, keadaan ini diperparah dengan banyaknya kekerasan terhadap jurnalis, kriminalisasi berdasarkan UU ITE, represi aparat terhadap massa, pembubaran diskusi publik, pembatasan kebebasan akademik,  kekerasan berbasis orientasi, identitas, dan ekspresi gender, ataupun perampasan wilayah adat atas nama Proyek Strategis Nasional (https://setara-institute.org/stagnasi-ham-menjelang-satu-dekade-jokowi).

    Alarm sikap anti-demokratis Jokowi sebetulnya sudah lama disampaikan Thomas Power dan Eve Warbuton. Dalam tulisan berjudul “Kemunduran Demokrasi Indonesia”, sebagaimana termuat dalam buku Demokrasi di Indonesia: dari Stagnasi Menuju Regresi, kedua ilmuwan politik ini menegaskan bahwa saat ini demokrasi Indonesia terancam punah. “Analis politik yang pernah memuji Indonesia sebagai mercusuar demokrasi di wilayah yang bermasalah”, demikian Power dan Warbuton, “kini sebagian besar setuju bahwa demokrasi Indonesia sedang mengalami kemunduran”. Bagi mereka, memburuknya demokrasi di masa Jokowi diperparah dengan mobilisasi populis, perkembangan intoleransi dan menguatnya sektarianisme, nirfungsi lembaga pemilihan dan perwakilan, memburuknya kebebasan sipil,  dan penggelembungan kekuasaan eksekutif untuk membungkam kritik dan menekan oposisi dengan cara otoriter (2020:1).

    Karenannya, menyitir gugatan Levitsky dan Ziblatt, apakah demokrasi kita dalam bahaya? Tentu ia. Sebab saat ini demokrasi dibajak secara halus dalam kerangka kepentingan rezim politik Jokowi. Bayangkan saja, di genggaman Jokowi, seturut riset yang dilakukan Ecnomist Intelligence Unit (EIU), Indeks Demokrasi Indonesia pada tahun 2022 hanya meraih skor 6,71. Skor tersebut sama dengan nilai yang diperoleh Indonesia pada indeks Demokrasi 2021, dan masih tergolong sebagai demokrasi cacat (flawed democracy) (bdk. https://data.tempo.co/data/1624/indeks-demokrasi-indonesia-2022). Karenanya, di tangan Jokowi, demokrasi tidak lagi sekadar stagnasi. Pelan, tapi pasti, ia mengalami regresi, lalu mati. Ia mati bukan saja semasa pra-reformasi, namun terkini di masa Jokowi. Ia mati bukan di tangan jenderal militer, namun di genggaman seorang Presiden.

    Rasa Panik Melahirkan Politik Dinasti

    Memang keterpilihan Jokowi sebagai Presiden dalam konstitusi politik 9 Juli 2014, diklaim sebagai indikasi bahwa demokrasi bisa berjalan lebih baik. Pasalnya, sebagaimana Ahmad Sahide, kala itu, Jokowi dinilai sebagai Presiden pertama yang terpilih dari figur yang bukan ketua umum parpol atau elite parpol. Ia juga dianggap sebagai Presiden yang merepresentasi kalangan pinggiran (‘Jokowi, dari Kesempurnaan Demokrasi Menuju Politik Dinasti’, Kompas, 3 November 2023). Hanya sayang harapan semacam itu sekadar ilusi politik. Sebab selepas menjabat, Jokowi malah memperparah keadaan. Alih-alih diklaim sebagai ‘agen pembebas’, malahan ia begitu haus kekuasaan.

    Jika ditelisik lebih dalam, geliat kekuasaan Jokowi  beriringan dengan rasa panik politik. Jokowi panik, sebab dalam masa kepemimpinan, ia amat ambisius merealisasikan agenda pembangunan. Bayangkan saja, semasa memimpin, ia amat gencar mengedepankan hilirisasi dan industrialisasi sumber daya alam, optimalisasi sumber energy bersih dan peningkatan ekonomi hijau, penguatan perlindungan hukum, sosial, politik, dan ekonomi untuk rakyat, melanjutkan digitalisasi ekonomi agar usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) Indonesia segera naik kelas, serta keberlanjutan IKN dan program PSN lainnya (https://www.ksp.go.id/2023-ksp-siap-mengawal-5agenda-prioritas-presiden-jokowi.html).

    Jelas, ini merupakan agenda pembangunan yang luar biasa. Hanya sayang dalam rasa panik yang menggebu gebu, ia takut untuk tersingkir. Ia takut kalau-kalau ambisi kekuasaan tidak mencapai ‘kesempurnaan’. Ia takut jikalau realisasi pembangunan tidak mencapai target. Karenanya, dalam rasa panik yang menggebu, ia membangun ‘tembok’ kekuasaan. Ia menata sejumlah taktik guna menghindari bisingan publik. Ia mau agar realisasi pembangunan jauh dari kritikan banyak orang.

     Karenanya seruan Wolfgang Sofsky benar. Bahwa dalam rasa panik, manusia tidak menjadi tuan atas rasionya. Rasio tidak dapat begitu saja mengusir rasa cemasnya. Justru sebaliknya rasa cemas itu mendikte rasionya (Hardiman, 2011:123). Sehingga, dalam kepanikan, Jokowi menyingkirkan rasionalitas demokratis. Malahan, sebagaimana Azyumardi Azra, demi menyelematkan pembangunan, Jokowi mengedepankan penggunaan intimidasi, koersi, persekusi, dan kekerasan yang cenderung tidak terukur (‘Pembangunan dan Perdamaian’, Kompas, 24 Februari 2022).

    Tidak sampai di situ. Sesungguhnya menjelang masa akhir jabatan, rasa panik politik Jokowi kian bergejolak. Gejolak kepanikan terbaca dalam keputusan MK yang memberi ruang bagi Gibran Rakabuming, anak kandung Joko Widodo, menjadi calon wakil presiden. Publik menilai keputusan ini problematik. Sebab diduga kuat, Jokowi terlibat ‘mengutak-atik’ keputusan demi memuluskan langkah Gibran. Setelah wacana ‘Presiden 3 Periodel’ gagal diakomodasi, Jokowi akhirnya ‘main kuasa’: mengintervensi keputusan MK demi mewariskan kekuasaan pada sang putra.

    Jelas dalam situasi ini, Jokowi menyembunyikan kepanikan politik. Ia panik kalau-kalau yang menjabat Presiden selanjutnya amat kontra-produktif dengan agenda pembangunan Jokowi. Ia panik jika yang ‘menjadi penggantinya’ membatalkan rencana kerja politik yang dibangun. Makanya, dalam kepanikan ini, Jokowi mengorbitkan anak kandung. Walaupun mengangkangi etika politik, Jokowi memuluskan langkah Gibran dengan harapan agar ia meneruskan agenda pembangunan. Maka dalam rasa panik politik, Jokowi mereduksi demokrasi dalam framing politik dinasti. Kecemasan justru tidak lagi memantapkan pembangunan. Malahan, rasa panik semacam itu, membawa demokrasi dalam biang kehancuran.

    Berlaku Demokratis Sejak dalam Pikiran

    Kita perlu menyambut baik pernyataan sikap beberapa kampus di Indonesia. Walaupun terkesan lambat, hanya saja pernyataan kaum intelektual mestinya menjadi ‘alarm’ publik bahwa ‘demokrasi kita sedang sakit’. Pernyataan sikap semacam itu harus menjadi refleksi kolektif agar masyarakat mesti mengayun perahu demokrasi menuju tepian yang lebih sehat.

    Jika kita punya niat untuk menyelamatkan demokrasi, mulailah menatah keberpihakan sejak dalam pikiran. Jangan mudah terbuai dengan citra politik pembangunan. Sebab kalau sejak dini prinsip demokrasi dilanggar, maka itu jadi tanda bahwa demokrasi sedang digerogoti kepentingan. Maka, kalau pikiran sudah ditahta untuk menjadi semakin demokratis, beranilah untuk menyatakan keberpihakan di bilik suara. Sebab kata Franz Magnis Suseno, “Pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, tapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa”. Maka, langkah yang pas untuk menjegal pemimpin yang haus kuasa, ada di bilik suara.

  • Jangan Omong Kosong Besok Pagi

    Jangan Omong Kosong Besok Pagi

    Indodian.com“Dimana-mana ada kawan saya, dimana-mana ada kawan saya. Ce pat hari Selasa ada di sana, ce pitu hari Minggu ada di situ. Jadi ta teman jadi ta, bole ta teman bole ta. Jangan omong kosong besok pagi.”

    Penggalan lirik lagu di atas familiar di telinga kami. Saking familiarnya, saya sering menyanyikannya untuk menidurkan si Enos, buah hatiku.

    Bila ada momen pesta adat, lagu tersebut dinyanyikan bersama-sama, dalam suasana tawa. Ditemani tuak atau sopi sebagai penghangat udara pegunungan di kala malam.

    Begitupun saat ada permainan caci. Di tanah congka sae ini, memang lagi tren “musim” caci, terutama karena sedang ramainya wisata premium.

    Ada caci congko lokap (doa atau syukuran rumah adat atau mbaru gendang), syukur tahbisan imamat, dan lain-lain.

    Maka hampir pasti, ada pemain caci yang menyanyikan lagu “jangan omong kosong besok pagi” itu dari dalam arena (natas). Dan dijawab penonton di luar natas dengan serempak.

    Sepintas menarik jika melirik sedikit lirik lagu “jangan omong kosong besok pagi itu dengan disertai dimana-mana ada kawan saya”. Pengarangnya entah siapa.

    Tapi bisanya lagu-lagu seperti begitu diteruskan secara turun-temurun, dinyanyikan bersama saat pesta atau momen lainnya, dengan sedikit perubahan go’et atau lirik sesuai konteks si penyanyi.

    Saya menduga pengarang lagu ini adalah seorang pengembara, yang dikenal banyak orang, suka bergaul, punya banyak kawan, dan tidak terlepas dari keberadaan orang lain leonbet.

    Bisa jadi dia merefleksikan pentingnya hidup bersama, kebersamaan, persaudaraan dan kekeluargaan yang berawal dari saling mengenal, saling sapa, saling berbagi–pengalaman atau rezeki sekalipun.

    Bila saling mengenal, memahami, menerima, maka tak ada rasa benci. Kebencian justru lahir dari ketidaktahuan dan kekerdilan ruang pikir kita. Tetapi bahwa kita dilahirkan untuk hidup bersama, berkomunitas, dan bersaudara. Ya, itu tadi: karena memang di mana-mana ada kawan saya.

    Barangkali dalam hal lain, si pengarang atau penyanyi berpesan untuk menjunjung tinggi kesetiaan dan kejujuran. Ini nyata dalam penggalan “jangan omong kosong besok pagi“.

    Orang Manggarai–bahkan saya kira seluruh daratan Flores, dikenal dengan orang yang ramah, murah senyum, suka bergaul, dan perantau. Bila dicek, maka hampir pasti kita menemukan orang Manggarai, dimana-mana di negara ini, bahkan di seluruh dunia, terutama para misionaris–imam dan biarawan atau biarawati. Maka klop dengan lagu tadi.

    Ihwal “jadi ta teman jadi ta, bole ta teman bole ta. Jangan omong kosong besok pagi” bahwa kita ingin mengedepankan kejujuran dan kesetiaan. Saya pernah menemukan penggalan atau tukilan dalam bahasa Inggris dalam sebuah bacaan. Honesty is the best policy.

    Begitu pula dengan kesetiaan. Bukan parang bermata dua (kope harat bali atau kope nggolong welak), atau “setiap tikungan ada“.

    Dalam go’et Manggarai ada petuah atau ungkapan-ungkapan, seperti, “neka daku ngong data, neka data ngong daku. Eme daku, daku muing. Eme data, data muing. Neka lapi-lopet. Kope nggolong welak”.

    Lalu, bagaimana jika lagu tersebut di atas dinyanyikan oleh para politisi, terutama dalam konteks menjelang pilkada atau pemilihan kepala daerah secara serentak 2024 di Indonesia? Aiii mama ee, mungkin itu urusan lain.

    Jalur politik memang jalur yang kaya akan “seni tipu-tipu”. Sehingga memang saya harus menjauhkan “seni” itu dalam tulisan kecil ini. Karena bisa saja fatal–nanti ada yang merasa tersentil.. Saya malah lebih senang mendengar lagu Iwan Fals berjudul “Asyik Nggak Asyik” ini:

    “Rakyat nonton jadi suporter//Kasih semangat jagoannya//Walau tahu jagoannya ngibul//Walau tahu dapur nggak ngebul//Dunia politik dunia bintang//Dunia hura-hura para binatang//Berjoget dengan asyik.”

    Daripada sibuk memikirkan politik–yang familiar dengan jargon “tidak ada kawan atau lawan yang abadi, tetapi kepentingan yang abadi” itu, mending kita nyanyi rame-rame:

    “Dimana-mana ada kawan saya, dimana-mana ada kawan saya. Ce pat hari Selasa ada di sana, ce pitu hari Minggu ada di situ. Jadi ta teman jadi ta, bole ta teman bole ta. Jangan omong kosong besok pagi.”

    Atau mungkin bila ada oknum politisi atau calon legislatif yang menyambangi rumahmu dan mengumbar janji, kita sambut saja dengan lagu Koes Plus: “Kapan-Kapan”.

    Saya sewaktu kecil sering mendengar plesetan lagu dari grup musik Indonesia yang dibentuk tahun 1968 itu. Kami menyanyikannya dengan bentuk lain:

    “Kapan-kapan Pa Nabas, kita bertemu lagi Pa Kanis? Mungkin lusa Pa Lukas, atau di lain hari Pa Kanis”.

    Eh, semakin ke sini kok tulisan ini semakin ke sana, ya. Aehh, saya omong apa ini? Lebih baik mengopi saja sudah. Mengasap dan me-ngue. Asal jangan ngu-nge. []

  • Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

    Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

    Indodian.com- Para pasangan calon dalam debat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 sejak ronde pertama hingga ronde keempat kerap menggunakan istilah asing daripada bahasa Indonesia. Istilah asing yang sering disebut, misalnya green economy, carbon capture, tax ratio, green jobs, greenflation, dan sebagainya. Fenomena kebahasaan ini dikenal sebagai xenoglosofilia. Xenoglosofilia merupakan kecenderungan menggunakan bahasa atau istilah asing daripada menggunakan bahasa ibu atau bahasa Indonesia.

    Seiring dengan laju globalisasi, penggunaan istilah asing telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Maraknya media sosial juga berpengaruh besar dalam kebiasaan para penggunanya untuk menggunakan istilah asing, baik secara daring maupun luring. Istilah asing bahkan dicampur-adukkan dengan bahasa nasional.

    Dunia politik pun tidak luput dari pengaruh ini, di mana para pemimpin dan calon pemimpin cenderung menggunakan istilah asing dalam memberikan pertanyaan atau menanggapi argumen lawan. Namun, dalam konteks debat Pilpres, patut dipertanyakan apakah penggunaan istilah asing ini memudahkan atau malah menghambat para pemilih untuk memahami gagasan dan argumentasi yang dipaparkan setiap pasangan calon?

    Bahasa merupakan alat utama dalam menyampaikan ide dan gagasan. Dalam konteks politik, terutama dalam debat Pilpres, kejelasan dan komprehensibilitas bahasa menjadi kunci untuk memastikan pesan yang disampaikan dapat diterima dan dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat. Penggunaan bahasa Indonesia yang baik tidak hanya mencakup penggunaan kata-kata yang sederhana, tetapi juga penjelasan yang memadai terkait konsep-konsep kompleks yang mungkin dibahas dalam debat.

    Ada sejumlah faktor yang bisa saja memicu maraknya fenomena kebahasaan ini. Penggunaan istilah asing dirasa dapat memberikan kesan modern, terhubung dengan isu-isu global, dan menunjukkan bahwa calon pemimpin memiliki wawasan internasional. Calon pemimpin mungkin percaya bahwa penggunaan istilah asing akan meningkatkan daya tarik mereka terhadap pemilih yang lebih terdidik. Tidak menutup kemungkinan juga jika penggunaan istilah asing menjadi bagian dari strategi komunikasi politik untuk menciptakan kesan tertentu di antara pemilih atau untuk membedakan diri dari pesaing.

    Banyak juga istilah asing yang digunakan oleh para pasangan calon tidak memiliki padanan dalam bahasa Indonesia. Jika ada, seringkali kurang dikenal oleh masyarakat umum. Hal ini menciptakan kesenjangan pemahaman antara para pemilih dan para calon pemimpin. Masyarakat yang kurang terbiasa dengan istilah asing atau tidak memiliki latar belakang pendidikan tertentu mungkin merasa terpinggirkan atau merasa bahwa calon pemimpin tidak memperhatikan kebutuhan dan aspirasi mereka. Ini dapat menciptakan kesan bahwa politik adalah urusan elit yang hanya dapat dipahami oleh segelintir orang yang memiliki pengetahuan khusus.

    Penggunaan istilah asing berpotensi mereduksi kualitas debat. Seharusnya, debat Pilpres adalah wadah di mana ide dan gagasan dari kandidat yang bersaing dapat disajikan dengan jelas dan dimengerti oleh seluruh pemilih. Namun, penggunaan istilah asing dapat mengaburkan esensi perdebatan dan menggeser fokus dari substansi ke bentuk bahasa yang kompleks. Penggunaan istilah asing dalam debat Pilpres dapat menjadi pisau  bermata dua.

    Meskipun tampak modern, fenomena ini memiliki risiko besar. Ketika debat terpusat pada penggunaan istilah asing yang kompleks, risiko terbesar adalah hilangnya makna substansial dari pesan yang ingin disampaikan kepada para pemilih. Padahal, jika mengutamakan kejelasan dan keterbacaan pesan, para calon pemimpin dapat memastikan bahwa debat Pilpres tetap menjadi wadah untuk para pemilih memahami dan mengevaluasi visi, kebijakan, dan program kerja setiap kandidat, bukan sekadar permainan kata atau pencitraan linguistik.

    Penggunaan istilah asing tak selamanya buruk, jika digunakan dengan bijaksana dan sesuai konteks. Namun, harus ada kesadaran bahwa debat Pilpres adalah panggung nasional di mana bahasa Indonesia memiliki peran kunci untuk menjadikan debat sebagai forum yang inklusif.  Ini menjadi sangat penting dalam konteks demokrasi, di mana setiap suara memiliki nilai yang sama.

    Penggunaan bahasa Indonesia yang baik juga mencerminkan penghormatan terhadap masyarakat yang memiliki beragam latar belakang. Ketika calon pemimpin mampu menyampaikan pesan dengan bahasa yang dapat dipahami oleh pekerja, petani, pelajar, dan berbagai kelompok sosial lainnya, mereka memberikan ruang yang setara bagi semua pihak untuk terlibat dalam proses politik.

  • Bubuk Mesiu di Pulau Flores Abad 15-16

    Bubuk Mesiu di Pulau Flores Abad 15-16

    Indodian.com– Satu dari tiga alasan kenapa Portugis bertahan di Flores dan sekitarnya selama 347 tahun (1512-1859) padahal wilayah itu tidak memiliki cengkeh, pala dan lain-lain seperti di Maluku adalah karena banyaknya gunung berapi di Flores dari ujung timur hingga ke tengah. Gunung berapi atau mereka sebut vulcão di Flores adalah penyumbang terbesar bubuk mesiu di abad 16 yang dipasarkan hingga ke Afrika dan Eropa.

    Bubuk mesiu di Flores sendiri sudah ditulis oleh Tom Pires dalam bukunya yang terkenal dengan judul Suma Oriental yang mengatakan “Pulau Solor (Flores) memiliki jumlah asam yang sangat banyak; mengandung banyak belerang, dan produk ini lebih dikenal daripada produk lainnya. Mereka membawa bahan makanan dalam jumlah besar dari pulau ini ke Malaka. Mereka pun membawa asam dan belerang. Belerang ini sangat banyak sehingga mereka membawanya sebagai barang dagangan dari Malaka ke Cochin, Cina, Afrika karena merupakan barang dagangan utama”.

    Bubuk mesiu sendiri berasal dari biji belerang yang dihasilkan oleh letusan gunung berapi. Oleh karena Banda dan Timor tidak memiliki gunung berapi maka Flores menjadi andalan Portugis dimasa itu seperti dikisahkan oleh Tom Pires yang mengatakan “Tuhan menjadikan Timor untuk kayu cendana dan Banda untuk gada dan Maluku untuk cengkeh, dan bahwa dagangan ini tidak dikenal di mana pun di dunia kecuali di tempat-tempat ini; dan saya bertanya dengan sangat rajin bertanya kepada mereka apakah mereka memiliki barang dagangan ini di tempat lain dan semua orang mengatakan tidak”

    Selain bubuk mesiu sebagai bahan peledak, 2 alasan lain adalah melimpahnya kayu cendana putih di Solor dan Adonara serta perbudakan yang mudah diperoleh disana. Budak-budak ini memiliki harga yang sama dengan 1 kg cendana dan umumnya dikirim ke pasar Afrik dan Eropa selebihnya dikirim sebagai pekerja kasar pada lahan perkebunan kopi milik kolonial Portugis di Brasil dan wilayah lain di Afrika.

    Foto ini adalah gunung berapi Lewotobi. Dibawah kaki gunung ini, Portugis membangun sebuah pemukiman yang dilengkapi dengan sebuah gereja bernama Igreja São Domingos sekarang dikenal dengan sebutan San Dominggo- Hokeng.

    Nama São Domingos dipakai untuk mengenang kembali kaum Dominikan yang melakukan ekspansi di abad 15 ke wilayah ini dan mendirikan sejumlah Gereja seperti Luis da Maya yang mendirikan Gereja Nossa Senhora da Piedade (Bunda Kita Yang Setia) di pulau Solor, P. Cristovão Rangel yang mendirikan Gereja São João Baptista (Santo Yohanes Pembaptis) (di luar benteng Solor), Gereja Misericórdia (di desa Laboiana; Madre de Deus (Bunda Allah), Gereja São João Evangelista (Santo Yohanes Evangelis) di desa Lamaqueira (Lamakera), António de São Jacinto yang mendirikan Gereja Espírito Santo (Gereja Roh Kudus) (menggantikan Crama); Roque Cardoso yang mendirikan Gereja São Lourenço (Santo Laurensius) di Lavunama (Labonama);

    Nossa Senhora da Esperança (Bunda Harapan Kita), di Boibalo (Waibalun),  Gaspar de Santa Maria yang mendirikan Gereja Nossa Senhora (Bunda Kita), di desa Larantuka,  Francisco Donato yang mendirikan Gereja Santa Luzia, di Sikka dan Paga; Nossa Senhora da Assunção (Bunda Maria Diangkat ke Surga) di Quevá, Gereja São Pedro Mártir (Santo Petrus Martir) di Lena; Gereja Nossa Senhora da Boa Viagem (Bunda Penyelamat Perjalanan Kita) di Dondo, Ende, pantai utara Flores, Crisóstomo de Santiago yang mendirikan Gereja São Domingos (Santo Dominikus) di Numba (Ende), Agostinho do Rosario yang mendirikan Gereja Santa Maria Madalena (Santa Maria Magdalena) di Charaboro (Saraboro), Ende (sekarang Kotaraja atau Paupanda).

  • Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

    Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

    Indodian.com-Media informasi (televisi, surat kabar, media online,) adalah salah satu pilar demokrasi. Sebagai pilar demokrasi, media informasi mesti bersikap independen, tidak terikat oleh intervensi lembaga apapun. Media informasi mesti dimengerti sebagai representasi dari demokrasi itu sendiri sebagaimana demokrasi memfasilitasi kebebasan kepada individu atau komunitas apapun untuk mengungkapkan kebebasan berpendapat sejauh tidak mendestruksikan tatanan sosial-kemasyarakatan.

    Penjaminan kebebasan berpendapat sebenarnya telah dikonstitusional melalui Pasal 28 E ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Inilah kiranya menjadi basis legitimasi bagi kebebasan media untuk memproduksi dan menyebar informasi. Namun, kebebasan media yang dimaksud tidak bersifat absolut.

    Kebebasan media informasi ada batasnya karena ia mesti sesuaikan dengan tuntutan hukum normatif. Hukum normatif yang dimaksud lebih erat berhubungan dengan etika publik (di mana media itu beraktivitas). Hukum normatif juga menuntut media supaya bagaimana seharusnya memproduksi dan menyiarkan informasi. Sebab, aktivitas media menjangkau secara publik dan karena itu, media harus mengikuti etika yang berlaku secara publik. 

    Kebebasan media yang tidak absolut artinya aktivitas media mesti selalu mengikuti prinsip-prinsip internal di dalam media itu sendiri terutama bertautan dengan etika dan tanggung jawab sosial. Ini ada hubungan dengan upaya meningkatkan kepercayaan masyarakat publik terhadap media.

    Rusdiana dalam buku Etika Komunikasi Organisasi (2021), menjelaskan, untuk dapat memenuhi ekspektasi dan kepercayaan masyarakat, para pelaku jurnalisme merumuskan sendiri sejumlah prinsip yang dijadikan sebagai panduan mereka dalam beraktivitas. Prinsip-prinsip itu menurut Rusdiana adalah :(1) akurasi; (2) independensi; (3); objektivitas (sering disebut juga balance); (4) fairness; (5) imparsialitas kepada publik (Rusdiana, 2021:331).

    Rusdiana kemudian menjelaskan lebih komprehensif prinsip-prinsip di atas. Menurutnya prinsip akurasi berarti substansinya, fakta-faktanya, dan penulisannya benar, berasal dari sumber yang otoritatif dan kompeten, serta tidak bias. Prinsip objektivitas, berarti harus bebas dari obligasi atau kepentingan apapun selain hak publik untuk mengetahui informasi, serta menghindari conflict of interest baik yang nyata maupun yang dipersepsikan (perceived). Prinsip fairness adalah peliputan yang transparan, terbuka, jujur dan adil yang didasarkan pada dealing yang langsung (transparant, open, honest and fair coverage based on straight dealing). Sedangkan prinsip akuntabilitas mengharuskan para jurnalis untuk senantiasa akuntabel dalam proses dan produk yang dihasilkan dalam melakukan aktivitas jurnalisme (Rusdiana, 2021: 331).

    Netralitas media dan Pemilu 2024 yang bersih

    Di samping memenuhi tuntutan hukum, media harus membangun prinsip yang lebih penting, yakni bersikap netral. Netral dalam artian bahwa media tidak memihak kepada pihak tertentu dengan memojokkan pihak lain. Hal inilah yang diharapkan pada perhelatan Pemilu 2024 nanti. Media mesti bersikap netral terhadap setiap calon atau partai entah dalam kontestasi Pilpres maupun legislatif. Media diharapkan untuk tidak berikhtiar mementingkan calon tertentu atau berupaya menggiring opini publik untuk menghasut calon lain.   

    Dalam masa persiapan menuju Pemilu 2024 seperti saat ini media sebagai sumber informasi tidak bisa terhindar dari perhatian masyarakat publik. Sebab, masyarakat publik sekarang identik dengan masyarakat informasi sebab hari-harinya haus akan informasi, apalagi menjelang perhelatan pemilu, masyarakat tentu terdorong untuk mengetahui perkembangan politik terkini dan media adalah penyalur utamanya. Dengan demikian, kita memahami masyarakat publik ini sebagai masyarakat informasi.

    Masyarakat informasi ini mesti kita bedakan lagi menjadi dua golongan. Golongan pertama biasanya tergambar dalam masyarakat yang mampu berpikir kritis terhadap informasi. Dengan kata lain, masyarakat yang tidak mudah mengafirmasi informasi sebagai satu tolak ukur untuk mengklaim sebagai suatu kebenaran. Informasi palsu dan ujaran kebencian biasanya sulit diterima oleh masyarakat ini. Dampaknya pun dapat menguntungkan bagi demokratisasi dengan terciptanya masyarakat yang damai dan sejahtera karena yang dikedepankan bukan sentimentalitas, melainkan argumentasi yang rasional.

    Golongan kedua biasanya masyarakat informasi yang kurang berpikir kritis dan lebih mudah mengafirmasi informasi tanpa harus menimbang dan menilai secara objektif sehingga informasi yang salah sekalipun dapat masuk. Masyarakat jenis ini mudah terobsesi, terhasut dan terprovokasi oleh informasi sehingga hoax dan hate speech menjadi makanan empuk yang selalu dikonsumsi. Dampaknya pun dapat memicu demokrasi yang terkontaminasi, polarisasi besar-besaran karena yang dikedepankan bukan rasionalitas argumen, melainkan sentimentalitas yang emosional. Konsekwensi lanjutnya menyisakan ruang publik yang berantakan. Masyarakat yang terakhir inilah yang menuntut cara kerja media untuk selalu menyajikan infomarsi yang kredibel dan netral. Kredibel, atinya media harus menjadi satu-satunya sumber informasi yang terpercaya. Media menjamin bahwa tidak ada polarisasi antara masyarakat.  

    Menjelang pemilu 2024 netralitas media sangat penting sebagai upaya menciptakan pemilu yang bersih dan sehat. Pemilu 2024 menjadi ajang bagi media apapun untuk menampilkan entitasnya sebagai media berkualitas, kredibel dan paling penting adalah media yang menjunjung tinggi netralitas. Netralitas media ditunjukkan melaui penyajian informasinya yang tidak mementingkan calon atau partai tertentu.

    Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Nezar Patria, ada tiga peran media yang mampu menghadirkan praktik demokrasi yang sehat. Pertama, sebagai penyedia informasi penting kepada pemilih, kedua watchdog publik, dan ketiga, menjadi ruang terbuka untuk publik dalam menyuarakan pendapat. Berkaitan dengan peran sebagai Watchdog publik, Nezar Patria mengidentifikasi kemampuan media dalam mengekspos bentuk-bentuk pelanggaran pemilu, mampu menjaga integritas, transparansi, dan akuntabilitas proses pemilu, (dikutip dari laman resmi Kominfo).

    Untuk mewujudkan media yang independen dan netral pada proses Pemilu, dibutuhkan regulasi yang tepat dari luar untuk terus mendukung kenetralan media. Negara sebenarnya telah berupaya mendorong kenetralan media melalui regulasi yang tertuang dalam perundang-undangan. Regulasi terkait netralitas media pada saat Pemilu sudah diatur dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang pemberitaan, penyiaran dan iklan kampanye pemilu, secara khusus telah diatur pada pasal 287-297 (ibid).

    Regulasi tersebut menjadi amanat bagi media untuk bersikap netral pada proses Pemilu 2024. Secara internal, media mesti tidak terjebak dalam permainan logika pasar yang menghalalkan segala cara hanya demi meraih profit semata dengan mengabaikan prinsip primer dari media itu sendiri. Artinya media tidak boleh berorientasi pada nilai keuntungan pasar semata, tetapi secara prinsipil ia adalah penyalur informasi yang netral, yakni menguntungkan sebanyak mungkin orang. Secara eksternal, media bersifat bebas dan bisa berdiri sendiri sesuai dengan hakekat dasarnya. Media tidak boleh tunduk pada otoritas atau partai tertentu yang berujung pada media hanya sebatas intrumen dari pihak luar.

    Media massa sebagai media mainstream harus tetap mempertahankan netralitasnya sebagai ruang deliberasi publik di tengah tantangan arus disinformasi melalui media sosial. Sebab, media sosial mutakhir yang gratis seperti hari-hari ini memudahkan masyarakat memproduksi dan mengonsumsi informasi secara bebas tanpa pertimbangan secara rasional sehingga menyebabkan pudarnya deliberasi publik yang demokratis. Di tengah tantangan tersebut, media massa dituntut untuk berkontribusi menyediakan platform diskusi bagi masyarakat luas serta tidak membiarkan pandangannya diinstrumentalisasi untuk kepentingan kekuasaan (Bdk. Otto Gusti Madung, 2021: 897)

    Lebih jelas, media tidak mudah dipolitisasi demi menguntungkan pihak tertentu. Tugas utama media adalah menyebarkan informasi yang benar, faktual dan objektif terkait penyelenggaraan Pemilu. Selain itu, media harus menjadi ruang yang inklusif, yakni memfasilitasi semua pihak untuk bisa mengeluarkan pendapat. Media harus hindar dari sikap sensasional, yaitu hanya tertarik pada kubu tertentu dengan membangun provokasi untuk menggerus kubu lain. Ketika media memenuhi semua kiteria tersebut, otomatis media mendapat kredibelitas yang tinggi dari publik.

  • Disrupsi  Teknologi dan Dinamika Pendidikan Kita

    Disrupsi  Teknologi dan Dinamika Pendidikan Kita

    “Teknologi tidak akan menggantikan guru hebat, tetapi teknologi di tangan guru hebat akan transformasional” (George Couros).

    Indodian.com-Tak dapat disangkal bahwa pendidikan merupakan senjata yang tepat untuk memerangi kebodohan, kejahatan, ketidakadilan, kemiskinan, ketertindasan dan perbudakan. Karena itu hakikat pendidikan sebenarnya ialah proses memanusiakan manusia.

    Dalam konteks hidup bernegara, pendidikan merupakan hal pokok yang akan menopang kemajuan suatu bangsa. Kemajuan suatu bangsa dapat diukur dari kualitas dan sistem pendidikan yang ada. Suatu negara dianggap jauh dan tertinggal dari negara lain, manakala kualitas pendidikannya rendah. Begitu juga sebaliknya.

    Dari data yang ada, kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun.

    Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999). Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Bahkan dari data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survei dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.

    Data dan fakta di atas setidaknya menjadi potret buram pendidikan kita. Bahwa sebenarnya pendidikan kita sedang tidak baik-baik saja. Pertanyaannya, bagaimana dengan situasi pendidikan kita di era disrupsi dewasa ini? Dengan melihat tendensi dan dominasi perkembangan teknologi yang pesat dan menjalar liar dalam sektor  pendidikan.

    Merebaknya Fenomena Disrupsi Teknologi

    Diskursus dan pembicaraan tentang disrupsi telah menjadi topik dan kajian utama lintas ilmu. Fenomena disrupsi yang kini merambah hampir ke seluruh dimensi kehidupan manusia mulai mendapat perhatian banyak orang dan dunia. Menghadapi fenomena baru ini, muncul respon yang beragam dari warga dunia. Ada yang melihat fenomena ini sebagai peluang yang mesti dimanfaatkan secara maksimal, namun ada juga yang menilainya sebagai tantangan baru yang tidak dapat dielakkan.

    Salah satu faktor utama yang melahirkan era disrupsi ini ialah perkembangan teknologi yang canggih dan eksponensial (perkembangan yang berlipat ganda). Sebab pada dasarnya teknologi dalam perkembangannya dapat mengubah wajah dunia. Teknologi melahirkan suatu revolusi, dimana revolusi teknologi berhasil menunjukkan perubahan yang terjadi pada manusia dalam melakukan proses produksinya. Kemajuan teknologi digital dan informasi secara masif mempengaruhi kehidupan manusia, sehingga menumbuhkan teori disrupsi. Karena itu, dinamika masyarakat dalam menjawabi tantangan disrupsi, harus mendudukan manusia sebagai subyek dari perubahan itu sendiri.

    Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menerangkan kata disrupsi sebagai “sesuatu yang tercerabut dari akarnya”. Dengan demikian, dalam konteks tertentu, istilah disrupsi ini dapat dipahami sebagai era atau zaman, yang mana pada zaman tersebut terjadi kekacauan dan ketercabutan dari akar-akarnya. Era atau zaman terjadinya perpindahan, dari kenyataan lama ke kenyataan baru, yaitu perpindahan fisik, geografis, ke kenyataan dunia maya, mulai dari komunikasi, informasi, permainan, dan pemetaan.

    Disrupsi dan Masa Depan Pendidikan Kita

    Perkembangan teknologi digital yang cepat dan eksponensial secara masif mendisrupsi dan mengubah sistem dan metode pendidikan kita. Menanggapi fenomena disrupsi pendidikan ini, Jack Ma chairman executive Alibaba group dalam pertemuan tahunan World Economic Forum 2018, mengatakan bahwa pendidikan adalah tantangan besar pada abad ini. Jika tidak mengubah cara mendidik dan belajar mengajar 30 tahun mendatang kita akan mengalami kesulitan besar.

    Tentu Jack Ma mengeluarkan pernyataan ini bukan tanpa alasan, tetapi ia tahu persis bahwa gelombang disrupsi yang ditandai dengan munculnya inovasi teknologi super canggih siap “mencabut”, “menggangu”, “merombak”, “mengubah”,  “membombardir” serta mendisrupsi sistem pendidikan kita.

    Jack Ma memberi sinyal agar pendidikan kita harus keluar dari zona nyaman dan segera  melakukan adaptasi dengan perubahan-perubahan yang ada. Menghadapi kondisi seperti ini, langkah terbaik yang mesti kita buat sebenarnya ialah mempersiapkan diri secara matang. Sebab jika tidak, pilihan kita hanya dua yakni change or die (berubah atau punah) atau disrupting or disrupted (mendisrupsi atau terdisrupsi).

    Fenomena disrupsi di bidang pendidikan ditandai dengan perubahan-perubahan penting dalam hal metode, sistem serta kurikulum pendidikan. Perubahan-perubahan ini jelas mempengaruhi sikap, perilaku, dan pikiran peserta didik. Selain itu, perubahan-perubahan ini mendatangkan sekaligus peluang dan tantangan bagi keberlangsungan pendidikan kita.

    Dalam konteks tertentu kita dipermudah dalam hal jarak dan waktu. Misalnya, proses belajar yang sebelumnya dilakukan secara konvensional atau tatap muka di kelas kini bisa dijalankan secara online (melalui via ZOOM dan YouTube), para peserta didik dimungkinkan untuk memperoleh literasi digital dengan mengakses website atau situs pendidikan atau mendownload aplikasi perpustakaan digital, menginstal aplikasi ChatGPT (AI Chat Assitant) yang memberi kemudahan bagi peserta didik untuk menyelesaikan soal-soal rumit dalam waktu singkat, atau membantu para peserta didik untuk belajar secara mandiri/autodidak di YouTube sehingga tidak perlu bimbingan dari para pendidik.

    Selain kemudahan-kemudahan yang ditawarkan di atas tentu ada tantangan-tantangan serius dalam proses pendidikan di era disrupsi yang harus diperhatikan demi menciptakan masa depan pendidikan  yang elegan dan sesuai dengan cita-cita bangsa ini.

    Amanah dan tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dalam menghasilkan insan-insan pelajar yang berjiwa patriotik dan berdasar pada pancasila harus dicapai. Karena itu, ada beberapa tantangan dan kecemasan-kecemasan serius dalam tubuh pendidikan kita: pertama, krisis keteladanan. Keteladanan dalam dunia pendidikan adalah salah satu nilai penting yang tidak bisa didisrupsi oleh perkembangan  teknologi.

    Dengan hilangnya ruang konvensional (kelas offline) yang memungkinkan para pendidik dan murid bertemu maka potensi krisis keteladanan semakin besar. Artinya para pendidik sudah tidak punya ruang untuk bicara langsung dari hati ke hati dengan peserta didiknya.

    Mendengar keluh-kesah dan isi hati peserta didik yang bermasalah, stress atau trauma dengan peristiwa-peristiwa masa lalu. Kesempatan para pendidik untuk tampil sebagai figur ayah dan bunda di sekolah lenyap.  Tidak ada lagi kata-kata bijak atau motivasi yang membakar semangat peserta didik untuk tubuh menjadi pribadi yang patriotik dan nasionalis.

    Kedua, bertumbuh suburnya mental instan dalam kalangan peserta didik. Dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang cepat dan eksponensial, para peserta didik lebih dimanja, dilayani dan dipermudah. Efeknya daya juang para peserta didik menjadi kendor, manajemen untuk menyelsaikan konflik dalam diri peserta didik diragukan, mentalitas instan bertumbuh subur. Sehingga tidak salah jika banyak kasus peserta didik yang bunuh diri karena tidak bisa menyelesaikan karya  akhir atau gagal dalam ujian-ujian sekolah.

    Selain itu belum adanya filter yang efektif tentang konten yang masuk ke dunia online menjadi kekuatiran tersendiri khususnya orangtua karena tidak bisa memantau tontonan maupun komunikasi dari anak-anaknya pada dunia maya. Penggunaan telephon pintar (HP) secara bebas oleh peserta didik dapat memicu terjadinya hal-hal yang mengkwatirkan misalnya mengakses konten-konten pornografi, celaan dan obrolan yang cendrung negatif pada platform media sosial seperti Facebook, WhatApps, Instagram, Twitter, dll.

    Ketiga, selain tantangan yang dihadapi oleh para peserta didik, sebenarnya fenomena disrupsi juga mendatangkan tantangan tersendiri bagi para pendidik. Para pendidik dituntut bekerja keras dan ekstra jika ingin profesinya selamat. Di tengah fenomena disrupsi pedidikan yang dipicu oleh perkembangan teknologi super canggih, para pendidik dituntut untuk beradaptasi dengan perubahan-perubahan pada lingkungan sekolah yang baru sama sekali.

    Perubahan yang dimaksud tidak hanya sekadar dipahami bahwa pembelajaran harus menggunakan LCD atau PowerPoint, melainkan lebih dari pada itu pendidik harus berani melakukan kombinasi teori serta mengejawantahkan di dunia nyata. Jadi, peserta didik tidak hanya mendapatkan pengetahuan, tetapi juga pengalaman yang sinkron dengan kehidupan nyata. Dengan kata lain, teori yang ada di papan harus diterapkan secara aktual (real-time) dalam kehidupan.

    Dengan adanya fenomena disrupsi sebenarnya kita dibantu untuk melihat  kembali peluang dan tantangan pendidikan kita. Kita ditegur untuk keluar dari situasi stagnan dan zona nyaman serta menoleh ke belakang, melihat kembali kekurangan dan persoalan-persoalan serius yang perlu ditangani sambil maju ke depan menatap peluang-peluang inovatif  yang meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan kita.

    Akhirnya, pendidikan akan menjadi senjata yang tumpul, rapuh dan mudah dihancurkan apabila sistem pendidikan kita tidak mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi super canggih dan tidak mau keluar dari zona nyaman untuk mendisrupsi diri. Apalagi didukung dengan lingkungan peserta didik yang dibayangi oleh krisis keteladanan, mentalitas instan yang akut, daya juang yang lemah dan kualitas pendidik yang gagap teknologi.

  • Masyarakat yang Terburu-buru

    Masyarakat yang Terburu-buru

    Todas las cosas bajo el sol tienen un tiempo y un momento.
    ¿Qué ganancia saca el trabajador de sus fatigas?
    (Eclesiastés, 3:1;9)

    Indodian.com-Semua manusia di bawah matahari harus kerja, kerja, dan kerja. Manusia adalah pekerja, termasuk waktu istirahat kerja, tidur, pesta, berdoa, meditasi, dan kontemplasi. Konsekuensi dari kelahiran ialah bekerja, dan akibat dari kemalasan ialah kematian. Apa pun pekerjaan kita, kita harus bekerja! Kalau kita tidak bekerja, siapa yang akan memberikan kita makan-minum, dan rumah gratis? Kalau kita berani tidak kerja, kita akan menggadai kehidupan kita atau mempercepat kematian kita. Karena itu, sekali lagi, apa pun pekerjaan kita, kerjakanlah! Sesungguhnya kita sedang hidup di dunia yang terburu-buru, di mana kita tidak diatur oleh waktu.

    Sejak lama para filsuf merefleksikan dan memberi pemahaman tentang waktu sesuai ritme zamannya. Ada yang mengatakan waktu berjalan sirkular. Ada pula yang berpendapat bahwa waktu berjalan linear. Ada yang mendefinisikan waktu sebagai yang berlari, tetapi ada juga yang memahaminya sebagai yang tetap. Selain itu ada juga yang memahaminya sebagai kesinambungan antara masa lalu, masa depan dan masa sekarang. Akan tetapi, bagi saya, waktu tidak lagi berkesinambungan: waktu meretakkan perpautan kisah masa lalu dan masa depan, dan menelantarkan kita dalam ketidakpastian. Kita akan lihat dalam penjalasan berikut ini.

    Selama ini kita yakin, kita memiliki waktu dan karena itu kita bebas mengaturnya. Keyakinan kita terbukti salah, ketika kita pelan-pelan masuk ke dalam pemikian ini. Sebelum kita tidur malam di tempat tidur, kita harus memikiran dan menyiapkan apa yang mesti kita lakukan esok dan apa yang tidak boleh dibuat. Persiapan kita menentukan proses kita. Proses kita menentukan apa yang harus dibuat, siapa yang terlibat, kapan itu mungkin terjadi, di mana sebaiknya dilakukan, apa saja yang dibutuhkan, dan bagaimana ide/pemikiran/konsep yang telah disiapkan dieksekusi.

    Sampai di sini, kita belum mencapai hasil. Karena itu kita belum berhak bebas dari kontrol konsep kita. Kalau kita belum bebas, kita tidak mungkin bahagia. Ketika kita merasa belum bahagia, kita tidak bisa tidur dengan nyaman. Mengapa itu terjadi? Karena kita tidak sedang menyusun rencana demi kebebasan dan kebahagiaan kita sendiri, akan tetapi kita berusaha melawan waktu yang telah ditentukan.

    Kalau kita sebagai pekerja di lembaga pemerintah ataupun swasta, kita harus menyerahkan diri kepada waktu yang telah ditentukan bagi kita. Kalau kita berani melanggar atau melawan waktu kerja, maka upah kita akan dipotong, dan nilai kinerja kita berkurang. Kalau upah dan kinerja kita dipotong beberapa persen, itu akan memengaruhi seluruh kehidupan keluarga kita, termasuk biaya sekolah anak-anak, persiapan liburan, acara keluarga, upacara kebudayaan, bahkan biaya pensiunan kita. Waktu kerja tidak mengizinkan kita bebas dan bahagia.

    Apabila kita ingin mendapatkan upah lebih, kita harus bangun lebih awal dan mengisi waktu luang secara efektif: Kita harus bangun pagi-pagi untuk bangunkan anak-anak, siapkan mereka sarapan, antar mereka ke sekolah dengan risiko macet di tengah jalan, pulang mandi, sarapan, dan siap-siap berangkat ke tempat kerja. Setelah pulang kerja, kita harus menjemput anak-anak, menyiapkan makanan, menemani mereka belajar, dan seterusnya.

    Pemilik tempat kerja kita menginvestasikan modal dan keuntungan mereka dalam bentuk waktu kerja dan kinerja kita. Sementara itu kita mengivestasikan waktu kita hanya kepada anak-anak yang belum tentu serius belajar, dan mungkin tidak akan memperhatikan/menghormati kita suatu saat nanti. Di sinilah waktu mesti dipahami sebagai alat kontrol dan kuasa-kendali hidup.

    Byung-Chul Han mengatakan bahwa “waktu istirahat sebagai jeda kerja tidak menandai waktu yang berbeda. Ini tidak lebih dari fase waktu kerja. Sekarang ini kita tidak punya waktu lain selain kerja.” Waktu kerja tidak memberikan kita kesempatan berkomunikasi dan mengisahkan cerita tentang nilai-nilai luhur kehidupan dengan keluarga kita di rumah. Waktu kerja mengosongkan makna terdalam dari rumah; kamar tidur, meja makan, dapur, dan ruang tamu. Waktu kerja mengubah rumah menjadi hotel, tempat nginap sementara untuk melepas lelah sebelum esok kita harus menyerahkan diri lagi kepada waktu kerja. Penghapusan tindakan komunikatif dan rekreasi keluarga memungkinkan perkembangan telepon cerdas tanpa kendali lagi.

    Telepon cerdas memfasilitasi komunikasi digital tanpa henti lewat pesan teks, pesan suara, gambar, foto, selfi, video, dan emotikon. Komunikasi digital tanpa henti menguntungkan perusahan platform digital, dan merugikan keluarga kita karena harus selalu beli pulsa sebagai denyut jantung telepon cerdas. Padahal tindakan komunikasi empat mata itu gratis, dan senyuman jasmani lebih indah daripada emotikon. Namun apa yang terjadi, emotikon menggantikan semuanya itu. Perlu dipahami, emotikon adalah bukti muka seribu manusia yang bisa berubah dalam waktu sesingkat-singkatnya.

    Ketika emotikon dan stiker pesta menggantikan kesempatan untuk pesta, di sanalah waktu kerja dan kerja menciptakan paradoks dalam hidup Kita: alih-alih membahagiakan penerima pesan, emotikon dan stiker pesta justru terjebak dalam ketidakpastian. kita merindukan kehidupan keluarga yang lebih baik, damai, harmonis dan tenang, namun Kita justru melemparkan bola api panas emotikon dan stiker. Atau kalau pun kita benar-benar merayakan pesta bersama, sesungguhnya kita tidak sedang memulihkan diri dari kepenetan dan kesibukan kerja. Byung-Chul Han bilang begini: “waktu pesta bukanlah waktu pemulihan atau istirahat kerja… Waktu pesta bertentangan dengan waktu kerja.” Paradoks demi paradoks menimbulkan ketidakpastian.

    Seperti yang dikatakan Byung-Chul Han, “sekarang ini kita sedang membawa dalam diri kita waktu kerja tidak hanya waktu kita libur, tetapi juga ketika kita mau tidur. Karena itu kita tidur hari ini dengan tidak gelisah…. Lihatlahlah demikian, istirahat tidaklah berbeda dengan kerja tetapi sebuah fenomenanya.” Mengapa demikian? Karena sekalipun kita sedang berada dalam waktu istirahat kerja, kita pun tetap bekerja dengan pekerjaan-pekerjaan yang belum tuntas atau berbicara tentang pekerjaan atau juga saat menggunakan telepon cerdas.

    Ketika menggunakan telepon cerdas saat istirahat kerja, kita pun sedang kerja; kita berkomunikasi dengan keluarga, kenalan, atau memanfaatkan telepon cerdas untuk berbisnis supaya bisa mendapatkan keuntungan lebih. Lebih dari itu, Yuval Noah Harari dalam bukunya 21 lecciones para el siglo XXI menjelaskan bahwa kita harus bekerja tidak hanya untuk bertahan hidup, tetapi juga kita juga harus bersaing dengan teknologi-teknologi yang tak terkendali diciptakan ini.

    Kemajuan Kecerdasan Buatan (AI) dapat melampui kecerdasan manusia dan mempermainkan pilihan rasional manusia. Inilah tantangan besar kita tidak hanya di dunia kerja, tetapi juga di dunia kelurga kita. Setiap anggota keluarga sibuk bekerja dengan jari-jarinya di layar sentuh telepon cerdas dan mengabaikan cinta kasih keluarga tanpa layar. Pembungkaman cinta kasih dalam keluarga sesungguhnya membiarkan mentalitas algoritmis bertumbuh dan berkembang biak.

    Apabila semua anggota keluarga sibuk dengan telepon cerdasnya masing-masing di ruang tamu atau di kamarnya masing, rumah tidak lebih dari rumah sakit jiwa dan penjara digital. Seketika ada keluarga yang tiba-tiba sakit, keluarga bukan lagi tempat penyembuhan pertama, melainkan rumah sakit. Inilah fenomena masyarakat smombi. Masyarakat smombi melihat sakit, kemalangan, penderitaan dan kematian hanya sebagai persoalan teknis; semuanya bisa disembuhkan oleh perangkat-perangkat teknologis.

    María Novo mengatakan, inilah wajah masyarakat yang terburu-buru (la sociedad de las prisas, 2023). Kita merindukan kualitas hidup yang lebih baik, jedah dari pengejaran kita akan pekerjaan dan waktu kerja, meningkatkan kualitas relasi kita dengan diri sendiri dan sesama, akan tetapi waktu kerja memerintah kita untuk menjadi yang terburu-buru.

    Di sisi lain, kita mengharapkan negara menjamin keadilan, kebebasan, kemerdekaan, kelestarian ekologis, justru kita dihadapkan dengan persoalan-persoalan kemanusiaan, krisis ekologis, perubahan iklim, sampah, kontaminasi, polusi, bunuh diri, aborsi, dll. Sekali lagi, paradoks demi paradoks selalu menghasilkan ketidakpastian. Dan yang sangat merasakan ketidakpastian ini adalah kelompok masyarakat rentan.

    Sekarang ini, seperti kata Byung-Chul Han, “informasi yang berlimpah ruah, transparansi, dan tontonan telah membawa kita kepada waktu yang tidak dapat diam atau menyimpulkan proses apa pun, waktu yang tidak lagi mengembuskan aroma apa pun. Akan tetapi pemikian tidak mungkin tanpa keheningan. Agar dapat berpikir dan menyimpulkan, harus mampu menutup mata dan berkontemplasi.” Tidak hanya Byung-Chul Han, dan María Novo, tetapi juga Yuval Noah Harari mengajak kita untuk bermeditasi, dan berkontemplasi perjalanan kita sejauh ini: Jangan sampai algoritma teknologi memberitahu siapa kita dan memutuskan apa yang harus kita lakukan untuk kehidupan kita.

    Seperti Byung-Chul Han, María Novo, dan Yuval Noah Harari, kecemasan saya ialah kemunduran kecerdasan alami dan nurani kemanusiaan kita di tengah kemajuan kecerdasan buatan dan algoritma.

    Daftar Pustaka:

    Byung-Chul Han, por favor, cierra los ojos. A la búsqueda del tiempo diferente terj. Raúl Gabás (Barcelona: Herder Editorial, 2016)

    Byung-Chul Han, Capitalismo y pulsión de muerte, terj. Alberto Ciria (Barcelona: Herder Editorial, 2022)

    Byung-Chul Han, el aroma del tiempo. Un ensayo filosófico sobre el arte de demorarse, terj. Paul Kuffer, (Barcelona: Herder Editorial, 2022)

    Byung-Chul Han, Infocracia. La digitalización y la crisis de la democracia, terj. Joaquín Chamorro Mielke, (Barcelona: Penguin Random House Grupo Editorial, S.A.U, Cet. 4, 2022)

    Byung-Chul Han, La Sociedad del Cansancio, terj. Arantzazu Saratxaga Arregi dan Alberto Ciria (Barcelona: Herder Editorial, cet., 4. 2023)

    María Novo, la sociedad de las prisas, (Barcelona: Ediciones Obeliso, 2023)

    Yuval Noah Harari, 21 lecciones para el siglo XXII, terj. Joandomènec Ros (Barcelona: Penguin Random House Grupo Editorial, 2023).

    María Novo,  “la sociedad de las prisas”, dalam Ethic, https://ethic.es/2023/11/la-sociedad-de-las-prisas/ diakses pada 9 Desember 2023.

    María Novo, «Cuando nos roban tiempo, nos están robando libertad», dalam Ethic, https://ethic.es/2023/12/entrevista-maria-novo/ diakses pada 9 Desember 2023.