Gosip merupakan hal yang lumrah terjadi di dalam kehidupan makhluk yang bernama manusia. Alih-alih memfokuskan diri untuk berdiskusi tentang ilmu pengetahuan dan sosial, manusia lebih mudah memilih untuk bergosip. Dalam arah yang lebih ekstrem dapat dikatakan bahwa tidak ada kehidupan bersama tanpa gosip. Harari (2017: 28) bahkan mengatakan bergosip sedemikian wajar bagi kita sehingga tampaknya bahasa kita berevolusi memang untuk alasan ini.
Gosip menampakkan dirinya sebagai sebuah seni komunikasi yang dibangun oleh manusia dalam interaksi sosialnya. Media informasi dan komunikasi yang dihadirkan oleh rangkaian revolusi teknologi mutakhir bahkan menyuburkan semangat untuk bergosip di dalam diri manusia.
Hal itu diuraikan Harari demikian, “Bahkan sekarang pun mayoritas sangat besar komunikasi manusia – baik dalam bentuk surat elektronik, panggilan telepon ataupun kolom surat kabar – adalah gosip”. Tentang kesahihan dan validitas pernyataan itu tentu masih perlu dibuktikan. Akan tetapi, kebenaran pernyataan Harari itu tidak dapat diragukan dan dibantah juga.
Sebagai sebuah seni dalam berkomunikasi, gosip dalam dirinya sendiri membantu manusia untuk membangun interaksi yang luwes. Tetapi dilihat dari isi pembicaraan, gosip menjadi sekaligus biang dan sumber perpecahan dan permusuhan. Alasannya, “gosip biasanya berfokus kepada kesalahan” (Harari, 2017: 28).
Di dalam gosip, fakta dan fiksi seperti tidak memiliki pembatas yang jelas. Keduanya melebur sehingga sulit untuk membedakan fiksi dari fakta. Yang menariknya ialah bangsa manusia justru membudidayakan gosip ini. Budaya ini kemudian berkembang biak dan menyebar seperti virus. Laju penyebarannya berjalan cepat sehingga tidak ada vaksin yang mumpuni untuk menghentikannya. Alih-alih melumpuhkan virus gosip, imunitas manusia justru mati di hadapannya.
Paus Fransiskus menyadari dengan sungguh daya yang mematikan dari gosip. Dalam Audensinya pada 14 November 2018, Bapa Suci mengatakan, “Begitu banyak gosip yang menghancurkan persekutuan dengan komentar yang tidak tepat atau kurangnya sensitivitas! Memang, gosip membunuh, dan Rasul Yakobus mengatakan ini dalam Suratnya. Mereka yang bergosip adalah orang yang membunuh: mereka membunuh orang lain karena lidah membunuh seperti pisau. Hati-hati! Mereka yang bergosip itu seperti teroris karena lidahnya melempar bom dan kemudian dengan tenang pergi, tetapi apa yang mereka katakan dengan bom itu menghancurkan reputasi orang lain. Jangan lupa: bergosip itu membunuh”.
Gosip mengakibatkan kerusakan yang tidak sedikit. Pengalaman hidup sehari-hari membuktikan bahwa sangat mahal harga dan konsekuensi yang dihasilkan oleh gosip. Pertengakaran, permusuhan, peperangan, saling dendam, fitnah dan bahkan pembunuhan menjadi harga yang harus dibayar oleh gosip.
Dalam homilinya saat misa pagi pada Selasa,10 April 2013 Pemimpin Gereja Katolik sedunia itu mengatakan, “Ketika kita memilih untuk bergosip, bergosip tentang orang lain, mengkritik orang lain – ini adalah hal sehari-hari yang terjadi pada setiap orang, termasuk saya – ini adalah godaan si jahat yang tidak ingin Roh datang kepada kita dan membawakan perdamaian dan kelemahlembutan dalam komunitas Kristen”.
Gosip menjadikan diri kita sebagai hakim dan pengamat bagi satu sama lain. Ia memelihara dengan subur rasa dengki, iri hati dan cemburu dalam kehidupan bersama. Gosip tidak menghendaki orang hidup bersatu, damai dan rukun.
Demi menjaga imunitas diri dari gosip, Paus Fransiskus meminta kita untuk memiliki keutamaan untuk diam dan tidak menjadi hakim bagi satu sama lain. Dalam kotbah yang sama, Paus Fransiskus mengatakan, “Pertama, ‘tidak menghakimi seorangpun’ karena ‘satu-satunya Hakim adalah Tuhan’. Kedua “mencoba diam” dan jika kalian memiliki sesuatu untuk dikatakan, katakanlah kepada pihak yang berkepentingan, [yaitu] kepada orang-orang ‘yang dapat memperbaiki situasi’, tetapi ‘bukan ke seluruh lingkungan sekitar’”.
Gosip selain menjadi seni berkomunikasi juga membawa kehancuran dalam sejarah dan peradaban hidup manusia. Kehidupan komunitas keluarga, masyarakat, negara dan komunitas lainnya tidak akan pernah bertahan kalau gosip merajai kehidupan bersama.
Dengan melihat buah yang dihasilkan oleh gosip di atas– sebagaimana yang direfleksikan oleh Paus Fransiskus – maka kita diundang untuk menciptakan vaksin penangkalnya. Tidak menjadi hakim bagi sesama dan mencoba diam adalah keutamaan penting dalam meningkatkan imunitas hidup pribadi dan komunitas untuk menghentikan dan mematikan kelajuan penyebaran gosip. Dengan demikian, kita dibantu untuk menata kehidupan bersama ke arah yang semakin lebih baik, penuh damai dan persekutuan.