Sastra Jadi Mata Pelajaran

- Admin

Rabu, 12 Juni 2024 - 20:39 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com – Kalau saya ditanya, apa konsep atau desain saya tentang sastra masuk kurikulum (SD, SLTP, dan SLTA), maka kira-kira jawaban saya seperti ini.

Hal awal yang perlu jelas adalah apa itu sastra dan apa yang akan ditransmisikan, “dikonstruksi-sosial”kan kepada anak didik (SD) dan pelajar remaja (SLTP dan SLTA). Kalau gitu, sastra yang dimaksud adalah sastra untuk anak didik SD dan sastra remaja (SLTP dan SLTA). Bukan sastra kanon orang dewasa, atau yang dianggap kanon.

Katakanlah, sastra didefinisikan sebagai cerita/imajinasi/narasi/fiksi tentang kehidupan manusia dalam relasinya dengan lingkungannya. Memang, sastra mengandung berbagai dimensi tentang kehidupan yang kompleks.

Dalam praktiknya, tujuan dari sastra anak dan sastra remaja adalah “untuk merebut” kesubjekan anak dan remaja. Subjek seperti apa yang diidamkan dari seorang anak dan remaja kelak ketika menjadi manusia dewasa.

Biasanya sastra anak dan sastra remaja ditulis oleh orang dewasa. Memang ada juga yang dulis oleh anak-anak atau remaja, tapi biasanya juga melalui kurasi orang dewasa dan yang menerbitkan juga orang dewasa.

Kita tahu, idaman bangsa, negara, masyarakat, orang tua, agama, biasanya tidak bisa persis sama. Baiklah, untuk keperluan ini, kita mungiin perlu berpihak untuk idaman bangsa, bukan negara, atau orang tua atau agama.

Karena diharapkan, bangsa memiliki kekuatan dan kuasa tertentu untuk ikut memantau negara, orang tua, masyarakat, dan agama. Tapi, tetap negara (melalui pemerintah) yang menjadi motor penentunya.

Misalnya, sebagai bangsa, subjek perlu tangguh moralnya, perlu punya wawasan (dan kesadaran) kebangsaan, perlu membuka keluasan imajinasi. Itu dulu, bisa ditambahkan lagi sesuai keperluan dan tujuan yang lebih beragam.

Baca juga :  Literasi Menuju Moderasi Agama

Dengan demikian, dimensi dari definisi sastra yang perlu diartikulasikan adalah dimensi moral, yakni dan terkait dengan keteguhan “jiwa etis”, dalam prinsip kejujuran, keberanian, dan sportivitas.

Sementara itu, wawasan kebangsaan meliputi semangat sejarah, legenda, mitos, dan ideologisasi yang kondusif bagi moral kebangsaaan dan (diharapkan) mendukung kehidupan bernegara. Dimensi dari definisi sastra yang perlu diartikulasikan adalah sastra dalam dimensi kebangsaan.

Keluasan imajinasi terkait dengan kebebasan berpikir dan menjelajahi ruang-ruang yang beragam. Dengan kata lain, sastra perlu mengajarkan prinsip kemerdekaan berpikir dan kebebasan berpetualang. Dimensi dari definisi sastra yang perlu diartikulasikan adalah sastra yang membantu kebebasan berpikir dan menjadi petualang yang merdeka.

Dari argumen di atas, baru kita memilih sastra yang direkomendasikan untuk dijadikan bahan pelajaran di kurikulum SD, SLTP, dan SLTA. Sebaiknya, memang sastra kanon yang hebat yang dipilih. Tentu sastra kanon yang sesuai dengan tujuan di atas.

Hal yang lebih penting dari itu adalah berbagai sastra kanon itu perlu ditulis ulang untuk menjadi sastra anak dan sastra remaja. Untuk pelajar SLTA bisa secara bertahap dikenalkan langsung dengan karya sastra aslinya.

Kenapa sastra kanon perlu ditulis ulang untuk dijadikan sastra anak atau remaja. Padahal, sastra anak dan remaja sudah sangat banyak. Dari sejumlah tesis dan disertasi tentang sastra anak/remaja yang sempat saya ikuti, terdapat tiga kesimpulan.

Pertama, sastra anak dikembangkan dalam lorong agama tertentu, artinya bukan dalam koridor kebangsaan (dan nasionalisme). Kedua, adanya kekacauan antara jebakan kapitalisme dan Baratisasi di satu pihak, dan tradisionalisasi di sisi yang lain. Ketiga, banyaknya sastra anak adaptasi/semacam saduran bebas sastra dari luar Indonesia.

Baca juga :  Kaum Muda dan Budaya Lokal

Singkat kata, sastra anak yang banyak beredar tidak dalam anjungan moral, kebangsaan, dan keluasan imajinasi. Atau jika disatufrasekan, sastra anak tidak dalam moral kebangsaan yang imajinatif. Apalagi, sastra anak, dalam perjalanan sastra Indonesia, termasuk yang “diremehkan”, karena sastra Indonesia adalah sastra orang dewasa.

Dengan demikian, sisi penting lain dari sastra masuk kurikulum adalah mengintegrasikan sastra anak sebagai sastra Indonesia. Atau, minimal membuat sastra anak/remaja berdasarkan hal-hal dan prinsip kanon, mengkanonisasi sastra anak. Prinsip integrasi menjadi penting.

Penulisan ulang untuk sastra anak dan sastra remaja tersebut tentu secara teknis harus bisa dipertangungjawabkan dan diuji (dikuratori). Terlepas dari itu, penulisan ulang tersebut dengan mengartikulasikan tiga hal tersebut, dalam dimensi moral, wawasan kebangsaan, dan keluasan imajinasi.

Sebagai misal, Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Belenggu, Bumi Manusia, Para Priyayi, dan berbagai sastra yang legendaris dan memenuhi syarat moral, wawasan kebangsaan, dan keluasan imajinasi, perlu ditulis ulang untuk versi sastra anak dan sastra remaja.

Tidak tertutup kemungkinan bahwa kisah-kisah besar dalam sejarah Indonesia juga perlu ditulis ulang secara sastra, kisah para pahlawan nasional (bukan dalam perspektif lokal), dan berbagai kisah penting yang secara langsung berhubungan dengan keberadaan Republik Indonesia.

Tidak semua sastra kanon dan peristiwa besar perlu ditulis ulang. Untuk sastra anak SD hingga kelas 3, cukup 10-15 karya, dan hingga kelas 6 ditambah lagi 10-15 karya. Untuk pelajar SLTP (sastra remaja), misalnya, 30 karya. Total sastra anak dan remaja yang ditulis ulang itu sekitar 50 hingga 60 karya.

Baca juga :  Peluang Pendidikan Tinggi di Era Digital

Seperti di atas, untuk SLTA bisa mulai diperkenalkan sastra aslinya. Tentu dengan berbagai pertimbangan yang matang. Kalau sekitar 60 karya yang bisa “dibakukan” itu bisa dipraktikkan secara maksimal, itu saja sudah banyak sekali.

Mandat merebut subjek anak-anak (dan remaja) untuk diharapkan menjadi subjek seperti apa kelak tentu bernuansa semacam terjadinya kekerasan simbolik (termasuk kekerasan ideologis dan sosial). Akan tetapi, atas nama bangsa (dan negara) memang dimandatkan untuk mengurus itu.

Sastra anak dan remaja itu juga akan bersaing dengan kekerasan simbolik dari masyarakat lokal-lokal yang bersikukuh membangun identitasnya. Identitas memang penting, tetapi bangsa (yang dimandatkan ke negara) justru perlu menjadi payung besarnya.

Pemeluk agama, juga atas nama suku dan daerah, dapat diduga akan melakukan kekerasan simbolik dengan berbagai cerita dan wacananya sendiri-sendiri. Dalam hal ini, sastra masuk sekolah, atas nama moral, kebangsaan, dan keluasan imajinasi menjadi sangat penting.

Peluang besar negara adalah negara memiliki sumber daya yang besar, mengendalikan hukum, dan kuasa administrasi dan birokrasi.  Dalam posisi ini, dan seperti telah menjadi peristiwa yang kita alami bersama, banyak kebijakan, strategi dan keputusan negara mendapat perlawanan dari masyarakat.

Hal tersebut terjadi karena negara tidak memiliki konsep yang jelas dan matang, grusa-grusu, reaksional, dan yang paling memalukan adalah negara melakukan banyak politisasi dan manipulasi, termasuk terhadap sastra.

Atau, dari kejadian yang baru saja bikin heboh, terlihat negara “baru sedikit tertarik” dengan kemungkinan (baru mungkin) perlunya sastra. Sastra sebagai media dan instrumentasi kehidupan berbangsa dan perlu terintegrasi dengan kurikulum.

Komentar

Penulis : Aprinus Salam (Pengajar Sastra di Pascasarjana FIB UGM)

Berita Terkait

Menyontek dan Cita-Cita Bangsa
Kaum Muda dan Budaya Lokal
Disrupsi  Teknologi dan Dinamika Pendidikan Kita
Budaya Berpikir Kritis Menangapi Teknologi yang Kian Eksis
Stempel Meritokrasi
Urgensi Literasi Digital di Era Pasca-Kebenaran 
Pembelajaran Agama Bercoral Multikultural
Peluang Pendidikan Tinggi di Era Digital
Berita ini 76 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:47 WITA

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

Demokrasi dan Kritisisme

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

steroid

Understanding Oral Steroids and Their Course

Rabu, 28 Agu 2024 - 14:43 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA