Sorgum: Mutiara Darat di Ladang Kering NTT

- Admin

Rabu, 30 November 2022 - 21:33 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com – “Bagaimana cara memakan sorgum?” tanya seorang pembaca di kolom komentar blog pribadi saya. Pertanyaannya merupakan tanggapan atas artikel “Inilah 4 Alasan NTT Mesti Tanam Sorgum”, yang diunggah pada 21 November 2022 di blog yosebataona.com.

Pertanyaan tersebut memantik pertanyaan baru di benak saya. Apakah ia bertanya karena kurang mengenal sorgum? Apakah pertanyaannya representasi kebanyakan orang yang belum mengetahui pangan lokal ini?

Rangkaian pertanyaan ini membuat saya berpendapat bahwa pangan sorgum masih kurang populer di kalangan masyarakat kita. Sorgum yang juga merupakan sumber karbohidrat masih kalah pamor dengan nasi (padi). Selama ini nasi selalu menjadi menu utama, sehingga sorgum maupun pangan lokal lainnya telah asing dari meja makan kita.

Benih Leluhur yang Terlupakan

Sejatinya sorgum adalah benih warisan leluhur kita. Eksistensinya di Nusantara memiliki sejarah yang panjang. Salah satu buktinya ialah, sorgum terpahat dalam relief Candi Borobudur di Jawa Tengah. Di relief candi yang dibangun pada abad ke-9 itu, sorgum digambarkan nyaris setinggi tanaman pisang, dengan malai yang menjuntai ke bawah (Ahmad Arif, 2020: 23).

Bukti lain penanda keberadaan sorgum yang sudah sejak lama ditunjukkan pula lewat berbagai nama lokalnya, seperti dalam bahasa Sunda (gandrung, kumpay), Jawa (cantel), Madura (oncer, jawaras), Minangkabau (Garai), Batak (jaba bendil, jaba bengkok), Makassar (batar, batara tojeng). Untuk NTT di antaranya seperti, Flores (wata belolong, wata solor, lolo), Sumba (watar hamu, watar willi), Lembata (watar holo), Timor (batar ainaruk, penmina, penbuka), Rote (pela hae, pela hik), dan Sabu (terae hawu).

Sekalipun memiliki rekam sejarah sergt ragam bahasa lokal, sorgum masih kurang dikenal luas oleh masyarakat kita. Lantas hal apa yang menyebabkan fenomena ini terjadi?

Menurut Ahmad Arif dalam buku Sorgum: Benih Leluhur untuk Masa Depan, terpinggirkannya sorgum secara sosial tidak bisa dilepaskan dari kebijakan pangan Orde baru, yang menempatkan beras sebagai satu-satunya pangan pokok dan yang lainnya tak lebih sebagai tambahan saja (2020: 37).

Baca juga :  "Utang Budi" Pater Thomas Krump, SVD

Pernyataan Arif berkesinambungan dengan realita generasi muda masa kini yang kurang bahkan sama sekali tidak mengenal sorgum. Regulasi penyeragaman pangan telah menghilangkan pengetahuan dasar masyarakat kita tentang aneka pangan lokal nusantara.   

Regulasi penyeragaman pangan juga mengakibatkan ketergantungan kita pada satu jenis pangan saja. Terbukti selama beberapa dekade terakhir masyarakat kita hanya mengonsumsi beras sebagai makanan pokok. Bahkan ada ungkapan bahwa orang Indonesia belum makan (kenyang) kalau belum makan nasi.

Sebagaimana efek domino, penyeragaman pangan menimbulkan masalah lanjutan lainnya yakni, krisis pangan. Krisis pangan menyata dalam kasus kelangkaan beras di beberapa daerah. Mengapa terjadi kelangkaan atau keterbatasan beras? Karena tidak semua wilayah di Indonesia cocok untuk ditanami padi.

Oleh karena itu, perlu adanya usaha menggali kembali kearifan lokal yang terlupakan demi keberagaman pangan di Indonesia. Salah satu usaha nyata ialah mengenalkan dan menjadikan sorgum sebagai makanan pokok kita.

Tiga Keunggulan Sorgum

Dalam upaya mengembalikan benih leluhur yang terlupakan ini, perlu diketahui pula segudang manfaat dari sorgum. Pada bagian ini dijabarkan tiga keunggulan sorgum dalam relevansinya dengan provinsi NTT.

Pertama, sorgum cocok untuk pertanian ladang kering. Sorgum dikenal sebagai tanaman yang memiliki daya adaptatif yang tinggi. Sorgum mampu bertumbuh di wilayah panas-kering dan lahan marginal. Di Afrika, benua asalnya, sorgum kerap disebut “tanaman unta” karena daya tahannya ini.

NTT merupakan wilayah dengan mayoritas lahan semikering dan curah hujan minim setiap tahunnya. Ditambah lagi perubahan iklim global dan penyusutan air tanah saat ini, membuat usaha pertanian sawah tidak sebagus provinsi lain. Tak jarang media memberitakan gagal panen yang menimpa NTT.

Di tengah problem ini, sorgum menjadi alternatif bagi pertanian ladang kering. Sorgum terbukti cocok secara agroklimatologis dengan provinsi ini.

Selain tidak butuh banyak air seperti padi dan jagung, sorgum juga tahan hama. Sorgum juga mampu untuk ratun sehinggga sekali tanam bisa panen 2-3 kali dalam setahun. Dengan pengeluaran terhitung minim, sorgum dapat membawa hasil besar bagi para petani ladang kering.

Baca juga :  Dua Imam di Flores Berjuang Memulihkan Martabat Manusia

Beberapa wilayah yang telah menanam sorgum antara lain, di Lembata (Tapobali, Omesuri, Nagawutun), Adonara (Waiotan, Witihama), Solor (Dani Wato), Flores Timur (Tanjung Bunga, Kawalelo), Ende (Kota Baru, Detusoko), dan Manggarai (Lembor). Keberhasilan penanaman sorgum ini patut menjadi model bagi wilayah lainnya di NTT.          

Kedua, sorgum penting untuk pengentasan gizi buruk. Penyeragaman pangan berdampak pula pada kurangnya pemenuhan gizi secara lengkap. Pola konsumsi yang mengandalkan nasi sebagai satu-satunya makanan pokok, telah memingggirkan aneka jenis pangan lokal. Padahal semakin beragam sumber pangan akan semakin baik bagi peningkatan mutu kesehatan.

Tidak terpenuhinya gizi secara lengkap dan seimbang sungguh berdampak pada kasus gizi buruk. Provinsi NTT memiliki prevalensi anak dengan gizi buruk tertinggi di Indonesia. Prevalensi stunting balita di NTT mencapai 40, 3 persen. Prevalensi ini terdiri dari bayi dengan kategori sangat pendek (18 persen) dan pendek (22,3 persen), (2020: 121). Sorgum pun hadir sebagai langkah solutif dalam menyikapi kondisi kritis ini.

Sorgum memiliki kandungan gizi yang tinggi dan kaya nutrisi baik, seperti karbohidrat kompleks dan vitamin B-kompleks. Karbohidrat kompleks (serat, pati) biasanya dicerna secara perlahan, sehingga tak heran jika kita memakan sorgum rasa kenyangnya relatif lebih lama. Vitamin B-kompleks amat berguna dalam proses metabolisme energi tubuh kita. Di samping itu, selain kadar gulanya yang lebih rendah, zat besi dalam sorgum pun tiga kali lebih tinggi dibanding nasi (padi).  

Keunggulan sorgum dari segi gizi dan nutrisi patut direkomendasikan sebagai terobosan mengatasi maraknya kasus gizi buruk di NTT. Dalam praktiknya, sorgum dapat berperan sebagai makanan pendamping ASI dan turut berkontribusi bagi pemenuhan gizi harian masyarakta umum.

Ketiga, sorgum punya peluang ekonomi. Sorgum yang memiliki banyak jenis ini merupakan tanaman pangan serba guna. Tidak hanya biji, bagian lain seperti daun, batang, dan malai sorgum dapat dimanfaatkan untuk beragam kebutuhan.

Baca juga :  Menyapa Aleksius Dugis, Difabel Penerima Bantuan Kemensos RI

Batang jenis sorgum manis (sweet sorghums) dapat diolah menjadi gula, sirup dan nira. Pada jenis tertentu batangnya diproduksi sebagai bahan baku bioetanol. Ada pula jenis lain dengan malai panjang berserat yang dibuat menjadi sapu jerami. Daun, batang, dan dedak sorgum pun berguna sebagai pakan ternak.

Adapun biji sorgum dapat dibuat menjadi beras, tepung, dan tape. Produk olahan lainnya berupa kue, roti, mie, puding dan sebagainya. Sorgum bisa dibuat seperti es kacang ijo dengan aroma yang khas. Sudah mulai ada geliat UMKM lokal yang memasarkan sorgum dalam kemasan yang menarik. Produk tersebut antara lain, beras sorgum, sereal, kopi, dan seperti ada juga yang seperti jagung bunga (pop corn) yang dinamakan pop gum.

Di samping itu, pemerintah daerah yang sedang gencar mempromosikan pariwisata NTT perlu bereksplorasi di bidang pertanian sorgum karena terdapat potensi agrowisata. Agoriwisata ini ibarat pintu edukasi, khususnya bagi anak-anak sekolah untuk belajar dan akrab dengan sorgum. Tentunya agrowisata sorgum menjadi wujud nyata spirit pariwisata berkelanjutan yang masih jarang kita prioritaskan.

Mutiara Darat, Berkat Bagi NTT

Pada Agustus lalu saya pergi ke Likotuden, sebuah dusun yang berjarak hampir satu jam dari Larantuka. Tempat yang dijuluki sebagai kampung sorgum ini berada di antara apitan jejeran bukit Ile Watotika dan bentangan laut selat Solor.

Setibanya di Likotuden sejauh mata memandang terhampar hijau ladang sorgum. Walau tergolong wilayah panas ekstrim di daratan Flores Timur, sorgum bisa tetap bertumbuh. Di sini luas ladang sorgum mencapai empat puluh hektar.

Saat itu sudah dekat waktu panen. Barisan sorgum berdiri setinggi dada orang dewasa. Dari malainya terjuntai bulir-bulir matang, ada yang warna putih dan merah kehitaman. Orang-orang menamai sorgum sebagai mutiara darat di atas ladang kering. Dalam hati pun saya berujar, sungguh sorgum adalah mutiara darat pembawa berkat bagi NTT tercinta.

Komentar

Berita Terkait

Milenial Promotor Literasi Digital dalam Spirit Keberagaman Agama
Kasus Pasung Baru di NTT Masih Saja Terjadi
Seandainya Misa Tanpa Kotbah
Gosip
Tanahikong, Dusun Terpencil dan Terlupakan di Kabupaten Sikka              
Qui Bene Cantat bis Orat (Tanggapan Kritis atas Penggunaan Lagu Pop dalam Perayaan Ekaristi)
Namanya Yohana. Yohana Kusmaning Arum
Perpustakaan Desa Kabuna, Kabupaten Belu Menyabet Juara 5 Tingkat Nasional
Berita ini 105 kali dibaca

Berita Terkait

Sabtu, 14 Oktober 2023 - 22:46 WITA

Seni Homiletika: Tantangan Berkhotbah di Era Revolusi Sibernetika

Berita Terbaru

Politik

Menanti Keberanian PDI Perjuangan Berada di Luar Pemerintahan

Selasa, 25 Jun 2024 - 08:31 WITA

Berita

SD Notre Dame Puri Indah Wisudakan 86 Anak Kelas VI

Jumat, 21 Jun 2024 - 12:13 WITA

Pendidikan

Menyontek dan Cita-Cita Bangsa

Jumat, 14 Jun 2024 - 10:52 WITA

Berita

SMP Notre Dame Wisudakan 70 anak Kelas IX

Kamis, 13 Jun 2024 - 18:26 WITA

Pendidikan

Sastra Jadi Mata Pelajaran

Rabu, 12 Jun 2024 - 20:39 WITA