Apakah Aku Selfi Maka Aku Ada?

- Admin

Rabu, 1 Mei 2024 - 11:52 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Dan ia makin rajin berfoto.

Teknologi narsisisme

terus dikembangkan

agar manusia selalu

mampu menghibur diri

dan merasa bisa abadi.

Joko Pinurbo

SELFIE ERGO SUM adalah motto homo sapiens kontemporer. Alih-alih menyempurnakan diri, justru aku selfi, makin tinggi Sum? Ataukah sebaliknya makin aku berusaha menjadi yang autentik, Sum justru makin autoeksploitasi, dan autodestruksi.

Semua selfi itu paradoks, tidak magis, dan antimetafisis. Selfi menolak autentisitas. Selfi membuat subjek menjadi yang lain, yang kaku, yang beku, dan yang spontan. Yang lain di sini tidak berarti menjadi sama seperti orang lain, baik wajah, muka, karakter, sifat, sikap, pemikiran maupun personalitas. Akan tetapi aktus selfi membuat subjek harus melampaui diri, dan menipu diri. Selfi tidak suka dengan keindahan, kecuali kecantikan: semua selfi bisa cantik, tetapi tidak indah, dan bukanlah yang indah.

Selfi memang cantik tetapi tidak berbicara banyak tentang realitas. Ia menangkap sebagian kecil realitas yang dihentikan, dan yang dimiskinkan. Ia mengerutkan makna kebertubuhan, dan keindahan tubuh. Di hadapan kamera selfi, subjek tidak bisa merayakan kebertubuhannya, karena subjek hanya menunjukkan muka yang miskin ekspresi dan menyembunyikan sebagian besar anggota tubuh.

Menyembunyikan sebagian besar anggota tubuh berdampak pada penolakan terhadap diri sendiri. Hal ini tampak ketika subjek hanya sibuk merias muka dan bagian kepala, tetapi membiarkan tubuh lainnya kusuk, dan tertekan. Di balik kecantikan senyuman hasil selfi, ada banyak anggota tubuh yang ditekan, ditolak, dikucilkan.

Selfi tidak ingin abadi. Dari sekian banyak aktus selfi, hanya satu atau dua yang hasilnya baik, sedangkan yang lainnya dihapuskan dari galeri! Yang baik akan disimpan. Selfi yang disimpan tidak memiliki makna keterwakilan dari manusi di balik itu: kehadirannya dimiskinkan. Tentang hal ini Byung-Chul Han berpendapat bahwa selfi “bukanlah suatu emanasi, melainkan suatu eliminasi dari objek. Ia tidak memiliki hubungan intens, intim dan libidinal dengan objek. Ia tidak mendalam, tidak tergoda dengan objek. Ia tidak memanggilnya, tidak berdialog dengannya. […] Kecerdasan buatan menghasilkan suatu realitas baru yang diperluas yang tidak ada¸ suatu hiperrealitas yang tidak menjaga korespondesi dengan realitas, dengan objek real. Fotografi digital adalah hiperreal.”

Selfi menunjukkan ketidakhadiran, yang hanya menampilkan realitas yang kering tanpa menimbulkan kejutan dan kekaguman. Selfi melupakan momentum dari peristiwa dan sejarah karena ia temporal belaka. Selfi muda tua dan kedaluwarsa. Hal nini dikarenakan “selfi”, menurut Byung-Chul Han, “adalah muka yang dipamerkan tanpa aura. Ia mengurangi keindahan ‘melankolik’. Ia dicirikan oleh kebahagiaan digital. […] Selfi-selfi, yang adalah informasi, hanya mempunyai makna di dalam komunikasi digital. Mereka menyembunyikan kenangan, takdir dan sejarah.” Ketemporalan selfi berkaitan erat dengan watak manusia seperti narsistik, toksik, dan perfeksionis.

Baca juga :  Zen, sebuah Agama Baru?

Ponsel cerdas mengintensifkan selfi. Sekarang ini tidak sedikit orang yang narsistik, toksik, dan perfeksionis. Orang-orang seperti ini dilanggengkan oleh selfi. Selfi bertolak belakang dengan autentisitas.  Pada abad ini tidak sedikit orang ingin menjadi yang autentik. Menjadi yang autentik di tengah rezim kapitalisme neoliberal menimbulkan paradoks.

Alih-alih menjadi yang autentik, sesorang justru terjebak narsistik, toksik dan perfeksionis. Terjebak? Siapa yang menjebakkan subjek? Subjek sendiri yang menjebakkan diri, karena ia berupaya menjadi yang lain dari dirinya. Apakah yang narsistik, toksik dan perfeksionis tidak autentik? Ini akan dijawab pada penjelasan selanjutnya, bagaimana hubungan antara autentisitas, autoproduksi, autoeksploitasi, dan autodestruksi.

Masyarakat saat ini sedang dikendalikan oleh prinsip autentisitas. Manusia taat di bawah perintah menjadi yang autentik, dengan kata lain, menunjukkan perbedaan dari yang lainnya. Byung-Chul Han menekankan bahwa “diskursus autentisitas diubah menjadi alat yang efektif dari autoeksploitasi. Di balik perasaan autentisitas, manusia membangun dirinya dalam hubungan autodestruksi. Keinginan menjadi yang autentik berubah menjadi semacam algojo. Ambisi menjadi autentisitas menghilangkan apa yang kolektif atau yang publik.”

Byung-Chul Han berpendapat bahwa “kultus menjadi autentisitas menggantikan persoalan identitas dari masyarakat sampai tingkat persona individual. Dipekerjakan secara permanen dalam produksi diri sendiri. Dengan cara ini, kultus autentisitas mengatomisasi masyarakat.”

Semua orang hidup untuk dirinya sendiri. Diselimuti oleh ambisi autentisitas bahwa harus melihat dengan kesanggupan autorealisasi. Autentisitas mempunya misi “menjadi setia pada diri sendiri”, dan membongkar belenggu masyarakat. Ini dapat dimengerti sebagai bagian dari proyek individualisasi: kontrol sosial menjadi belenggu baginya, yang membuat dia tidak bebas, tidak autentik.

Byung-Chul Han memahami autentisitas begini: “Menjadi autentik berarti sudah dibebaskan dari pola ekspresi dan perilaku yang dikonfigurasi sebelumnya dan dipaksakan dari luar. Darinya timbul perintah menjadi sama hanya dengan dirinya sendiri, dalam mengartikan diri sendiri semata-mata oleh diri sendiri, lebih dari itu, menjadi penulis dan pencipta bagi diri sendiri.”

Autentisitas mengembangkan tekanan kinerja atau melampauinya, dalam pengertian ini, subjek autentik ditemukan ditundukkan oleh perintah neoliberal “dapat-melakukan”. Kekerasan terhadap diri sendiri ini tidak menemukan perlawanan, yang pada dasarnya, ditemukan dalam kebebasan. Tindakan ini bukanlah tugas dari luar, melainkan “dapat-melakukan” seperti sensasi autentisitas, yang dicirikan dengan diskursus ketundukan.

Byung-Chul Han berpendapat bahwa kebebasan “dapat-melakukan” juga menemukan lebih banyak kekerasan daripada “keharusan” disipliner. Keharusan mempunyai batasan. Sebaliknya, “dapat-melakukan” tidak mempunyai batasan. Subjek kerja menganggap diri bebas, namun kenyataannya, seorang budak. Budak absolut dalam tindakan tanpa tuan yang mengeksploitasi diri sendiri dalam bentuk sukarela. Itulah yang membuat Byung-Chul Han menyimpulkan, “kita hidup pada fase sejarah yang spesial yang mana kebebasan memberikan tempat bagi kekerasan”.

Baca juga :  Masyarakat Telanjang

Pada kesempatan lain, Byung-Chul Han mengatakan “imperatif autentisitas memaksa diri memproduksi diri sendiri. Dalam istilah terakhir, autentisitas adalah bentuk neoliberal dari produksi diri. Ia mengubah setiap orang menjadi produser diri sendiri. Diri sebagai pengusaha itu sendiri diproduksi, direpresentasi, dan ditawarkan sebagai komoditas. Autentisitas adalah sebuah argumen nilai jual.”

Subjek kerja ditemukan ditundukkan pada kekerasan oleh autentisitasnya. Dengan demikian, tindakan “mengeksploitasi diri”, sesungguhnya, adalah menghancurkan diri.  Namun, kelebihan memproduksi diri sendiri, menghancurkannya. Byung-Chul Han menggarisbawahi bahwa “pada titik tertentu, poduksi tidak lagi produktif, tetapi destruktif.”

Seperti yang diketahui kita dikendalikan oleh keinginan untuk menjadi yang autentik dan kerja diri, kita justru meningkatkan autodestruksi. Kita membangun, bagi diri sendiri, satu bentuk yang tak terpublikasi, suatu nasib auto-budak yang tak henti-hentinya. Mengeksploitasi diri berarti menghancurkan diri dengan memperbudak diri sendiri. Konsekuensi ini akan menjadi habitus, lalu habitus menjadi kultus. Tanda-tanda patoligis seperti kegelisahaan dan depresi berat menegaskan rasa yang melelahkan dari autodestruksi. Di sinilah, tuan dan budak ada dalam satu orang sekaligus: alih-alih autentisisasi, ia justru autoeksploitasi dan autodestruksi.

Byung-Chul Han menyimpulkan kondisi ini dengan formula yang tepat: “Dominasi yang menekan dan menabrak kebebasan tidak stabil. Rezim neoliberal terlalu stabil dan terlampau kebal terhadap semua resistensi karena alih-alih menekan kebebasan, ia justru memanfaatkannya. Penindasan kebebasan segera memprovokasi resistensi.”

Autentisitas bertolak belakang dengan autoproduksi, autoeksploitasi, dan autodestruksi sebagai akibat dari narsistik, toksik, dan perfeksionis justru membuat subjek mudah stres, kecemasan yang berlebihan, kegelisahan, dan depresi yang parah. Lebih tepatnya, autentisitas adalah musuh abadi dari narsisime, toksisme, dan perfeksionisme. Keheningan dan ketenangan tidak dapat melerai dan mendamaikannya. Doa, meditasi, dan kontemplasi tidak dapat mengadilinya. Kecanduan selfi justru mengintensifkannya.

Inilah paradoks selfi. Terhadap fenomena ini Byung-Chul Han menegaskan bahwa “kecanduan selfi tidak ada hubungannya dengan cinta sejati bagi diri sendiri: tidak lebih dari suatu noda dalam kehampaan dari diri yang narsistik yang ditinggalkan sendiri. Mengingat kehampaan batin, sesorang mencoba untuk memproduksi diri sendiri. Akan tetapi satu-satunya hal yang direproduksi adalah kehampaan. Selfi adalah diri dalam bentuk hampa. Kecanduan selfi mengintesifkan perasaan kehampaan. Yang timbul dari kecanduan bukanlah cinta sejati bagi diri sendiri, melainkan suatu autoreferensi narsistik. Selfi adalah permukaan halus yang indah, dan ditekan oleh diri yang hampa dan yang merasa tidak aman.” Di sini sekali lagi, selfi tidak hanya mengintensifkan watak narsistik, tetapi juga melesterikan kegelisahan, dan depresi karena subjek tidak pernah mencapai titik kepuasan dan penerimaan diri sebagaimana adanya.

Ada yang lebih berbahaya dari kecanduan selfi: Ketika kematian dianggap sebagai nasib dan kewajaran yang tidak perlu ditangisi, yang tidak harus merasa kehilangan, dan tidak perlu merasa duka. Byung-Chul Han menegaskan bahwa “selfi menunjukkan hilangnya persona yang didakwa dalam takdir dan sejarah. Ia mengekspresikan cara hidup yang dengan gamblang menyerah pada saat ini. Selfi tidak mengenal duka cita. Kematian dan kefanaan jauh. Selfi pemakaman menunjukkan tidak adanya duka cita. Di sebelah peti mati, orang-orang tersenyum bahagia ke arah kamera. Mereka mendongkolkan kematian dengan ironis keakuan. Akan tetapi kita juga dapat menyebut ini sebagai duka cita digital.”

Baca juga :  Urgensi Literasi Digital di Era Pasca-Kebenaran 

Selain yang diungkapkan Byung-Chul Han, kita juga menemukan duka cita digital ketika ada orang yang mengunggah foto-foto dari sesorang yang sudah meninggal dengan lingkaran di keliling kepala, dan coption duka cita digital. Duka cita digital ini direfleksikan oleh Joko Pinurbo dalam puisinya berjudul “Fotoku Abadi”:

Saban hari ia sibuk

mengunggah foto barunya

hanya untuk mendapatkan

gambaran terbaik dirinya.

“Siapa yang merasa

paling mirip denganku,

ngacung!” ia berseru

kepada foto-fotonya.

Semua menunduk, tak ada

yang berani angkat tangan.

Dan ia makin rajin berfoto.

Teknologi narsisisme

terus dikembangkan

agar manusia selalu

mampu menghibur diri

dan merasa bisa abadi.

(2018)

Joko Pinurbo memahami bahwa selfi adalah salah upaya subjek untuk menghibur diri dan mengabadikannya tetapi ia lupa bahwa makin ia narsistik, ia justru makin tidak autentik. Ketika subjek tidak autentik, ia tentu tidak bisa abadi. Yang abadi adalah kecanduan selfi. Alih-alih “merasa bisa abadi” dalam autentisitas, ia justru terjebak dalam narsisisme digital. Narsisisme digital tidak lain adalah duka cita digital. Apakah aku selfi maka aku ada?

Aku ada untuk menjadi aku yang berguna bagi diri dan semuanya. Kalau aku ada hanya berguna untuk diri sendiri, aku terjebak dalam narsisisme, toksisme, dan perfeksionisme. Aku ada kalau aku masih memiliki rasa empati, simpati, suka cita dan duka cita kemanusiaan. Kalau aku tersenyum bahagia di hadapan penderitaan, kemalangan, kejahatan, peperangan, dan kematian, sesungguhnya aku sudah tidak ada.

Bibliografi

Byung-Chul Han, La Desaparición de los Rituales, terj. Alberto Ciria (Barcelona: Herder Editorial, 2020).

Byung-Chul Han, Psicopolítica. Neoliberalismo y nuevas técnicas de poder, terj. Alfredo Bergés (Barcelona: Herder Editorial S.L, 2021).

Byung-Chul Han, Capitalismo y Pulsión de Muerte, terj. Alberto Ciria (Barcelona: Herder Editorial, 2022).

Byung-Chul Han, La Expulsión de lo Distinto, terj. Alberto Ciria (Barcelona: Herder Editorial, 2022).

Byung-Chul Han, No-Cosas. Quiberas del Mundo Hoy, terj. Joaquín Chamorro Mielke, (Barcelona: Penguin Random House Grupo Editorial, S.A.U, Cet. 4, 2022).

Joko Pinurbo, Perjamuan Khong Guan (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2020).

Komentar

Penulis : Melki Deni (Tinggal di Madrid, Spanyol)

Berita Terkait

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!
Tolong, Dengarkan Suara Hati! (Subjek Cinta dan Seni Mendengarkan)
Autoeksploitasi: Siapa yang Membunuh Sang Aku?
Masyarakat yang Terburu-buru
Masyarakat Smombi
Masyarakat Telanjang
G.W.F. Hegel: Negara dan Sittlichkeit
Emotikon, Krisis Perhatian dan Filsafat Teknologi
Berita ini 253 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:47 WITA

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

Demokrasi dan Kritisisme

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

steroid

Understanding Oral Steroids and Their Course

Rabu, 28 Agu 2024 - 14:43 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA