Tanahikong, Dusun Terpencil dan Terlupakan di Kabupaten Sikka              

- Admin

Jumat, 19 Agustus 2022 - 07:26 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com – Ketika listrik padam selama beberapa jam, kita seringkali menarasikan kemarahan dan kejengkelan terhadap pihak PLN di dinding media sosial. Atau ketika jaringan Telkomsel terganggu, kita yang terkoneksi dengan orang lain di tempat jauh pasti akan terganggu secara psikologis.

Akan tetapi, bagaimana dengan masyarakat yang sampai hari ini ketika kita merayakan kemerdekaan Indonesia ke-77 belum pernah menikmati listrik dari PLN, belum mendapatkan akses jalan yang layak dan belum mendapatkan jaringan telkomsel?                                                                   

Tanahikong adalah sebuah dusun terpencil di Desa Runut, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Berjarak kurang lebih 40 km dari jantung kota Maumere, Tanahikong sampai hari ini belum menikmati jaringan listrik dari PLN.

Beberapa rumah masih menggunakan lampu pelita untuk menerangi malam yang gelap. Hanya beberapa rumah yang memiliki panel surya seadanya.

Pada setiap perayaan Natal atau Paskah, Markus Mare (56), ketua Stasi Tanahikong biasanya meminta setiap umat yang memiliki lampu panel untuk dibawa ke kapela sebab Stasi tidak memiliki generator sampai hari ini.

Selama perayaan umat memegang lampu di tangan kiri dan buku nyanyian di tangan kanan. Umat yang tidak memiliki lampu terpaksa membawa senter yang mengandalkan baterai ABC.

Nama Tanahikong berasal dari kata tana (tanah) dan hikon (sejenis dedaunan/rumput yang biasa digunakan pada saat pembukaan kebun baru atau ritus pendinginan rumah). Secara harafiah nama Tanahikong berarti tanah/kampung yang dulunya banyak ditumbuhi tanaman hikon.

Kondisi tanah di Tanahikong sangat subur. Tampak di sekeliling kampung deretan gunung tinggi dengan nama masing-masing; di sebelah utara ada gunung Ili leat, di Timur ada gunung wawi gogon, di barat ada gunung Ili Nanak dan di sebelah selatan gunung Ili Bulur. Di Gunung Ili Bulur terdapat mahe (pusat ritual adat) sebagai tempat ritus untuk memanggil hujan.

Di Tanahikong terdapat 60 kepala keluarga. Sebagian besar warga Tanahikong bekerja sebagai petani dengan sistem pertanian nomaden. Setiap warga akan berpindah dari satu kebun ke kebun yang lain. Ketika hasil pertanian di kebun yang lama sudah tidak memuaskan, warga akan meninggalkan kebun tersebut dan membuka kebun baru.

Baca juga :  Kisah Kepala Sekolah di Wilayah 3T: Merawat Alam Bersama Anak Sekolah

Kondisi kampung Tanahikong yang terletak di lembah, dikelilingi pegunungan yang tinggi serta curah hujan yang relatif rendah membuat warga menggunakan sistem padi ladang. Dalam usaha tani padi ladang ini, umumnya warga menggunakan varietas lokal yang umurnya relatif lebih panjang dan produktivitasnya lebih rendah.

Pada awal musim tanam sampai pada musim panen, sebagian besar warga Tanahikong akan meninggalkan kampung dan tinggal di kebun untuk menjaga tanaman padi dari serangan hewan pengganggu seperti kera, babi hutan, landak dan musang.

Beberapa warga memilih tetap tinggal di kampung. Pada pagi hari pergi ke kebun dan malam hari baru kembali ke kampung. Setiap warga memiliki dua rumah yaitu di kebun dan di kampung.

Selain padi ladang, hasil andalan warga Tanahikong adalah jambu mete, cengkeh, vanili, buah naga dan kemiri. Walaupun tanah subur, cukup banyak warga yang memilih untuk merantau ke Malaysia, Kalimantan, dan Batam sebagai buruh kasar di kebun kelapa sawit untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga di kampung.

Ketika menjelaskan situasi Dusun Tanahikong, tokoh masyarakat, Bapak Yohanes Jago Sangu (72) tampak sedih. Menurutnya, selain listrik belum masuk ke kampung, sampai hari ini masyarakat Tanahikong belum menikmati jalan raya dan jaringan Telkomsel.  

Akses jalan raya hanya sampai di kampung Warut, Desa Watudiran, Kecamatan Waigete. Jarak dari Warut ke Tanahikong kurang lebih 4 km. Satu-satunya kendaraan yang bisa masuk ke kampung Tanahikong hanya kendaraan roda dua.

Pada musim kemarau, masyarakat di Tanahikong bisa mengendarai sepeda motor melewati jalan kecil, menyusuri hutan lebat dan bukit terjal menuju kampung Warut. Akan tetapi, pada musim hujan warga biasanya berjalan kaki sambil memikul hasil bumi untuk diantar ke kampung Warut.

Baca juga :  Sebelas Tahun dipasung, Leksi Akhirnya Lepas Pasung dan Bisa Jalan Sendiri

Akses jalan yang cukup baik hanya sampai di kampung Warut. Warga Tanahikong biasanya menunggu motor atau mobil di Warut jika ingin mengurus adminstrasi di Kantor Desa Runut atau ingin menjual hasil bumi ke Maumere. Sampai saat ini kendaraan roda empat belum bisa masuk ke kampung Tanahikong. Ruas jalan sempit, licin dan terjal.

Kesulitan akses jalan ini membuat warga yang sakit keras terpaksa menunggu ajal menjemput karena jarak dari Tanahikong ke Warut cukup jauh dan medannnya sangat beresiko apalagi pada musim hujan.

Ruas jalan dari kampung Warut ke Tanahikong (Foto: Rio Nanto)

                

Jika ada keluarga yang sakit dan masih ada harapan untuk sembuh atau ibu yang ingin bersalin, warga biasanya bergotong-royong memikul dengan menggunakan tandu melalui jalan berlumpur di tengah hutan sambil menahan beban pasien agar tidak terjatuh.

Warga bergantian memikul pasien tersebut sambil terus berjalan kaki sejauh 4 km menuju kampung Warut.  Dari Warut, keluarga pasien menggunakan mobil Pick Up menuju Puskesmas Waigete atau RS. TC. Hillers, Maumere.

Menurut Bapa Yohanes Jago Sangu (72), Pemerintah Kabupaten Sikka sudah dua kali mengunjungi kampung Tanahikong untuk menjanjikan pembuatan jalan raya.

Pada tanggal 30 November 2019, Bupati Sikka, Fransiskus Roberto Diogo, S. SOS, M, Si bersama beberapa anggota DPR mengunjungi warga Tanahikong dan menjanjikan pembuatan jalan. Dalam kunjungan kedua pada tahun 2021, pemerintah juga ke Tanahikong dengan menjanjikan hal yang sama tetapi janji tersebut belum direalisasi sampai hari ini.

“Bertahun-tahun kami tinggal di kampung ini. Kami belum merasakan jalan raya, kami belum menikmati listrik dan jaringan telkomsel. Padahal kami juga warga negara Indonesia. Mungkin daerah lain sudah merdeka tetapi kami di Tanahikong belum merdeka. Kami masih menjadi daerah terpencil dan terlupakan di Kabupaten Sikka”, jelas Bapa Yohanes dengan nada terbata-bata.

Baca juga :  Menyapa Aleksius Dugis, Difabel Penerima Bantuan Kemensos RI

Bapa Yohanes menambahkan bahwa dalam Pra Musrenbang tingkat Kecamatan Waigete di Aula Egon Kompleks Kantor Camat Waigete, Rabu 24 Februari 2021 telah disepakati bahwa pembangunan atau peningkatan mutu ruas jalan Warut (Desa Watudiran) ke Dusun Tanahikong (Desa Runut) menjadi prioritas satu dan tunggal dari PIK (Pagu Indikatif Kecamatan) 2022. Setelah pertemuan tersebut sampai hari ini belum ada tanda-tanda pengerjaan jalan ke Tanahikong.

John Gobang (58) tokoh yang memperjuangkan jalan ke Tanahikong menjelaskan bahwa pada tahun 2000, dia bekerja sama dengan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Sikka dengan menggunakan dana PPK membuka jalan pertama kalinya ke Tanahikong. Pada waktu itu, John mengharapkan agar pemerintah melanjutkan pengerjaan jalan tersebut.

Sampai saat ini, warga Tanahikong merindukan jalan. “Warga Tanahikong bertahun-tahun merindukan jalan. Pemerintah telah menjanjikan jalan kepada warga di Tanahikong. Kami warga Tanahikong menagih janji tersebut sebab kami juga adalah warga negara Indonesia dan warga Kabupaten Sikka. Kami rela berjalan kaki dengan jarak 7 km untuk mencari sinyal, tetapi saat ini kami butuh jalan agar kami bisa dengan mudah menjual hasil bumi dan mudah untuk pergi ke rumah sakit jika kami sakit”, harapan John Gobang dengan suara merendah.

Harapan ini beralasan mengingat  pada Rabu (04/08/2021) Bupati Sikka, Fransiskus Roberto Diogo, S. SOS, M, Si bersama Direktur PT. SMI, Edwin telah menandatangi Perjanjian Kerja Sama (PKS) atas dana pinjaman daerah Kabupaten Sikka sebesar 216 miliar lebih.

Dalam kesempatan itu, Bapak Bupati menambahkan bahwa pinjaman tersebut diperuntukan bagi pembangunan sarana dan prasarana serta infrastruktur masyarakat juga membuka isolasi wilayah-wilayah yang berpotensi secara ekonomi. Mungkinkah ada sedikit dari dana tersebut dialokasikan untuk pembangunan jalan ke Tanahikong sesuai dengan janji Bapak Bupati?

Komentar

Berita Terkait

Milenial Promotor Literasi Digital dalam Spirit Keberagaman Agama
Kasus Pasung Baru di NTT Masih Saja Terjadi
Seandainya Misa Tanpa Kotbah
Gosip
Sorgum: Mutiara Darat di Ladang Kering NTT
Qui Bene Cantat bis Orat (Tanggapan Kritis atas Penggunaan Lagu Pop dalam Perayaan Ekaristi)
Namanya Yohana. Yohana Kusmaning Arum
Perpustakaan Desa Kabuna, Kabupaten Belu Menyabet Juara 5 Tingkat Nasional
Berita ini 452 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:47 WITA

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

Demokrasi dan Kritisisme

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

steroid

Understanding Oral Steroids and Their Course

Rabu, 28 Agu 2024 - 14:43 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA