Manusia menjadi manusia melalui manusia yang lain
(Jozef Pieniazek)
Indodian.com – Tulisan ini bertolak dari pengalaman ketika saya hidup dan tinggal di tengah situasi dimana teman-teman di sekitar lebih nyaman dengan gadget atau ponselnya daripada memerhatikan, mendengar, melihat dan menjawab saya yang sedang berbicara dengan mereka.
Dalam konteks ini, tepatlah kalau muncul pertanyaan-pertanyaan seperti berikut: Apakah dengan berponsel orang menjadi lebih eksis hingga ia memahami eksistensinya sebagai manusia ketimbang relasi dengan yang lain? Bukankah kehadiran yang lain di hadapanku merupakan bukan bayangan semata? Tulisan ini berusaha menganalisis pertanyaan ini dalam terang filsafat Levinas tentang Yang Lain.
Pada permulaan abad ke-21 ini, perkembangan ilmu pengetahuan teknologi terus berkembang pesat terutama inovasi ponsel atau smartphone yang semakin variatif. Dalam penemuannya, ponsel selalu saja terdapat model yang baru dan berbeda dari sebelumnya. Ada begitu banyak merek ponsel yang kita jumpai hari ini, seperti Samsung, Oppo, Iphone, Vivo, dan merek lainnya dengan tingkatan kualitasnya (kecanggihan) masing-masing. Berdasarkan tingkatan kualitas tersebut akhirnya dapat mendorong manusia untuk segera dan selalu ingin yang pertama memiliki dan memakainya. Maka, tidak sedikit jumlah manusia dewasa ini telah memiliki dan memakai ponsel yang canggih itu.
Jumlah pengguna ponsel atau smartphone di seluruh dunia telah menembus angka miliaran. Laporan dari Stock Apps yang dirilis (Kompas.com – 02/09/2021),
memaparkan, jumlah pengguna ponsel di dunia mencapai 5,3 miliar pada bulan Juli 2021. Jumlah tersebut merepresentasikan 67 persen, atau lebih dari separuh total populasi penduduk Bumi yang sekitar 7,9 miliar. Meski data tersebut didapat pada tahun 2021 yang lalu, tetapi hal ini mengandaikan bahwa kehadiran ponsel atau smartphone amat diterima dan telah dimanfaatkan banyak orang.
Dewasa ini, hubungan antara manusia dan ponsel menjadi relasi yang tak mau terpisahkan dan amat disayangkan kalau hubungan keduanya terputus. Sebab, manusia sudah terlanjur nyaman dengan ponselnya karena ponsel menyediakan jutaan konten yang menarik dan menyenangkan bagi manusia apalagi di saat manusia mengalami stress, frustasi, gelisa dan sepi. Maka, jalan yang tepat adalah kembali ke ponsel karena apa saja yang dibutuhkan di dalam ponsel pasti terpenuhi. Tepat pada titik ini, manusia bisa saja menomorsatukan ponsel ketimbang sesama manusia.
Sadar atau tidak, disrupsi yang ditopang oleh kecanggihan ponsel telah membuat manusia menjadi candu sehingga ia mengundurkan diri dari orang lain dan mau mengasyikkan diri dengan ponselnya. Tak dipungkiri bahwa ponsel dapat memusnahkan kehidupan sosial manusia sebagaimana manusia merupakan mahkluk yang membutuhkan orang lain.
Cara pandang manusia mulai berubah yakni mengasingkan diri dari yang lain dan lebih memilih ponselnya. Terlepas dari itu, dapat terjadinya kontaminasi relasi antara manusia dengan manusia. Tepat pada titik ini, penulis ingin membongkar satu term baru yang relevan dengan realitas tersebut, yaitu phubbing yang barangkali hanya sedikit masyarakat mengetahuinya.
Halaman : 1 2 Selanjutnya