Menyoal Populisme Teknokratis

- Admin

Jumat, 3 Maret 2023 - 11:11 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com – Diskursus mengenai populisme teknokratis rasa-rasanya tak boleh luput dari belantara perbincangan politik hari-hari ini. Genealogi populisme teknokratis dalam rahim perpolitikan Indonesia memang belum kelihatan pada era Soekarno. Populisme era Soekarno bergerak ke arah progresif dan menjadi alat konsolidasi populer untuk menentang neo-kolonialisme demi mewujudkan mimpi Soekarno menciptakan ‘’sosialisme ala Indonesia’’.

Balutan teknokratisme dalam wajah populisme baru terlihat di era Soeharto. Populisme era Soeharto bercorak otoritarianisme neoliberal (post-populism) yang dibalut dengan teknokratisme (Hadiz dan Robinson, 2001: 73-75). Penggunaan populisme teknokratis makin menjadi tatkala Jokowi mengalahkan Prabowo dalam kontestasi elektoral pada pemilu 2014 dan 2019.

Marcus Mietzner, dalam karyanya yang berjudul Reinventing Asian PopulismJokowi’s Rise, Democracy, and Political Contestation in Indonesia (2015) mengafirmasi kalau Jokowi berhasil mengalahkan strategi populisme ultra-nasionalis konfrontatif  ala Prabowo dengan memainkan strategi populisme teknokratis yang pragmatis dan nir-ideologis. Pertanyannya adalah, apakah populisme teknokratis mendukung demokrasi, atau sebaliknya malahan ‘’menjenazahkan’’ demokrasi?.

Populisme dan Teknokrasi: Opposites or Complements?

Populisme dan teknokrasi pada dasarnya memiliki relasi ganda. Pertama, populisme dan teknokrasi memiliki pertautan yang erat. Politisi populis dan teknokrat menghindari diskursus publik dan memandang posisi mereka masing-masing sebagai dogma yang absolut. Dalam konteks ini, populisme dan teknokrasi bertemu dalam satu sikap antipolitik yang tentunya bertentangan dengan logika demokrasi yang membuka ruang untuk berbuat salah dan memiliki kemampuan untuk memperbaiki kesalahan (Madung, 11).

Pertautan antara populisme dan teknokrasi juga ditemukan dalam relasi saling melengkapi (complement). Gambaran mengenai hal ini tampak dalam partai Buruh Baru Inggris. Menurut Mair, partai Baru Inggris berhasil menggabungkan unsur-unsur populis dan teknokratis. Penggabungan ini tampak dalam penjelasan Lord Falconer bahwa, “depolitisasi pengambilan keputusan kunci adalah elemen vital dalam membawa kekuasaan lebih dekat kepada rakyat” (Mair, 2006).

Begitupun dalam sebuah studi mengenai gaya retorika Barack Obama, David Bromwich menjelaskan bahwa Obama mengadopsi dua nada berbeda tergantung pada para pendengarnya. Obama menggunakan nada “populis” yang sederhana kepada ordinary people, dan nada teknokratis kepada para policy professionals (Bromwich, 2010: 3-6).

Kedua, populisme dan teknokrasi dapat dilihat dalam kerangka pertentangan (opposites). Jan Werner Müller menjelaskan bahwa populisme dan teknokrasi adalah adalah “gambar cermin satu sama lain’’(Muller, 2016: 327). Menurut Muller, dalam teknokrasi hanya ada satu solusi kebijakan yang tepat dan dalam populisme hanya ada satu kehendak otentik dari orang-orang.

Penggambaran ini menyerupai karakterisasi yang diusulkan oleh Vivienne Schmidt, bahwa populisme adalah bentuk politik tanpa kebijakan dan teknokrasi sebagai kebijakan tanpa politik”(Schmidt, 2006). Para teknokrat beranggapan bahwa hanya ada satu kebijakan teknis politik (policy) rasional sementara seorang populis berkampanye bahwa pandangannya merupakan ungkapan kehendak rakyat yang sesungguhnya (den wahren Willen des Volkes) (Mueller, 2017: 115).

Baca juga :  Zen, sebuah Agama Baru?

Dalam konteks wacana politik konkret juga, istilah populis lebih sering digambarkan sebagai term of abuse terhadap lawan politik. Karena itu, yang disebut populis adalah mereka yang menghakimi lawan politik karena sering tampil sebagai seorang teknokrat, begitupun sebaliknya. Akibatnya, dalam komentar politik dan akademik, populisme dan teknokrasi sering dipahami sebagai reaksi satu sama lain.

Tiga Problem Mendasar

Lantas, apakah populisme teknokratis mendukung demokrasi atau malahan ‘’menjenazahkan’’ demokrasi?

Pertama, secara fundamental populisme teknokrasi mengandung benih persoalan di dalam dirinya. Baik populisme maupun teknokrasi sama-sama dituntun oleh logika internal yang monolog dan antipluralistis (Madung, 2019: 147). Logika monolog dan antipluralistis pada dasarnya bekerja dengan meminggirkan peran publik di dalam pengambilan kebijakan publik.

Para teknokrat berpikir hanya ada satu policy rasional sehingga para teknokrat sama sekali tak membutuhkan suara publik atau parlemen. Bagi para teknokrat, yang penting hanyalah policy without politics atau pengambilan kebijakan teknis tanpa adanya perdebatan substansial yang melibatkan warga. Konsepsi demikian tentu menjadi patologi serius yang membahayakan demokrasi yang selalu membuka ruang terhadap keterlibatan publik di dalam pengambilan kebijakan politik.

Apalagi keterlibatan masyarakat dalam deliberasi pengambilan kebijakan serta penyusunan dan pengawasan anggaran juga telah terbukti berhubungan positif dengan pemberantasan korupsi dan kualitas demokrasi. Keterlibatan masyarakat dalam diskusi dan perdebatan yang terbuka juga sangatlah penting untuk membahas kehidupan sipil maupun mengevaluasi kenerja pemerintah.

Singkatnya, partisipasi publik menjadi penting karena melaluinya warga negara dapat terlibat secara aktif dalam kehidupan negara. Aristoteles umpamanya menjelaskan, partisipasi dalam kehidupan bernegara membantu orang untuk menjadi sempurna sebagai manusia yang berakal budi (Koten, 2010: vii).

Kedua, teknokratisasi firmulasi kebijakan publik. Formulasi kebijakan mengacu kepada pengartikulasian masalah dan isu yang dihadapi masyarakat; sekaligus perumusan pelbagai alternatif pemecahannya melalui tuntutan-tuntutan politik. Problemnya, teknokratisasi kebijakan secara tak langsung dilatarbelakangi oleh satu model logika monolog yang anti terhadap aspirasi publik.

Teknokratisasi formulasi kebijakan publik bahkan mengandung muatan depolitisasi yang sangat pekat karena dengan sengaja menjauhkan formulasi kebijakan dari keterlibatan masyarakat luas dan memiskinkannya dari debat ideologi dan pertentangan proyek politik yang berbeda. Salah satu contoh dari teknokratisasi formulasi kebijakan publik dan perumusan regulasi yang mengabaikan peran demos adalah pengesahan UU Cipta Kerja.

Regulasi yang dihasilkan dalam UU Cipta Kerja, khususnya yang mengatur Amdal juga mengalienasi posisi demos dari kontrol atas analisis lingkungan hidup. Padahal pelibatan masyarakat dalam mekanisme penyusunan dan penilaian amdal bertujuan memberikan bobot lebih tinggi bagi kajian mengenai dampak besar dan penting untuk pengambilan keputusan usaha yang direncanakan pada satu lingkungan hidup. Ini mirip faktum negara perfeksionistis yang mengejar tujuan baik namun problematis karena memutuskan sesuatu tanpa persetujuan warga sendiri.

Baca juga :  Epicurus dan Jebakan Sensasi  

Ketiga, populisme teknokratis mengabaikan ‘’perangkat lunak’’ demokrasi. Selalu ada bahaya bahwa demokrasi hanya diterjemahkan sebagai urusan manajerial-teknis semata, sementara urgensi dan signifikansi dari soft ware (perangkat lunak) demokrasi diabaikan. Semestinya dalam demokrasi diskursus manajerial-teknis berjalan beriringan dengan upaya bersama untuk mendalami substansi demokrasi yang menyangkut dimensi perwakilan dan kehendak.

Perhatian pada hal-hal teknis jangan sampai mengabaikan soft ware demokrasi. Singkatnya, perhatian pada hal-hal teknis mesti diimbangi dengan perhatian terhadap ‘’perangkat lunak’’ demokrasi. Demokrasi tsk hanya menyangkut urusan logika, data dan angka yang dibanggakan kaum teknokrat.

Demokrasi juga memiliki nilai-nilai kehidupan yang terwujud dalam cara hidup yang terbuka, egaliter, dan terikat pada hukum yang adil. Demokrasi memiliki ‘’çita rasa’’ yang tak bisa diukur lewat logika, data, dan angka. Para teknokrat yang paham tentang data, angka, dan logika, seringkali buta terhadap hak-hak manusia sehingga walaupun keputusan mereka terlihat logis dan berbasis data, namun keputusan teknokrat kerap mendestruksi hak-hak asasi manusia yang sewajarnya (Watimmena, 2022).

Data dan logika memang diperlukan, namun kepentingan masyarakat sesungguhnya melampau data dan logika. Demokrasi bukan hanya soal data tetapi demokrasi juga menyangkut nilai-nilai kehidupan yang terwujud di dalam cara hidup yang terbuka, egaliter dan terikat pada hukum yang adil.

Partisipasi Publik sebagai Fondasi Demokrasi

Salah satu unsur paling penting dari demokrasi adalah keterlibatan aktif warga negara di dalam mekanisme kekuasaan dan pemerintahan. Ketika sistem demokrasi menekankan peran penting warga negara, maka partisipasi merupakan kata kunci dalam demokrasi. Melalui keterlibatan partisipatif, warga atau masyarakat diberi ruang dan peluang untuk menunjukkan kontribusinya bagi kehidupan bersama dalam komunitas. Partisipasi warga negara menjadi mungkin karena demokrasi secara intens mengandung dalam dirinya kepentingan masyarakat atau warga itu sendiri.

Sebaliknya, teknokratisasi kebijakan publik adalah wujud paling nyata dari upaya mendominasi pengambilan kebijakan dengan meniadakan partisipasi publik itu. Teknokratisasi kebijakan tak menaruh penghargaan terhadap keputusan bersama dan penghargaan terhadap perbedaan. Atas dasar itu, teknokratisasi kebijakan publik adalah penampakan nyata dari keadaan negara yang sedang berada dalam cengkraman paternalisme yang amat problematis. Negara seolah diperuntukan untuk para ahli, dan kedaulatan rakyat dinyatakan telah usang.

Chantal Mouffe menamakan problem di atas sebagai ‘’pascapolitik’’ karena mengeliminir kemungkinan perjuangan agonistik antara pelbagai proyek masyarakat yang berbeda-beda sebagai syarat untuk pelaksanaan kedaulatan rakyat (Mouffe, 2018: 19).

Baca juga :  Strategi Politik Populis dan Stagnasi Demokratisasi di Indonesia

Padahal demokrasi selalu membuka ruang bagi pelbagai dialog yang memungkinkan terjadinya disensus. Atas dasar itu, partisipasi warga negara menjadi penting karena ia selalu berhubungan langsung dengan peran kontrol rakyat atas pengambilan keputusan kolektif dan kesamaan hak-hak dalam menjalankan kendali atas demokrasi (Beentham dan Boyle, 2000: 20).

Populisme teknokratis sesugguhnya membahayakan demokrasi. Pengaruh populisme teknokratis membawa Indonesia memasuki era iliberalisme demokrasi yang makin mencekam. Kendali populisme teknokratis justru membajak alur demokrasi dan menjauhkan kebijakan dari kepentingan demos.

Selain itu, kesejatian demokrasi memang tidak semata-mata diartikan sebagai partisipasi. Selain partisipasi, demokrasi juga diartikan sebagai kompetisi dan kebebasan. Ketersediaan partisipasi, kompetisi dan kebebasan ini akan mendukung proses demokratisasi. Ketika demokrasi diartikan sebagai kompetisi, partisipasi, dan kebebasan maka proses demokratisasi (perubahan sistem politik dari bentuk non demokratis ke bentuk yang lebih demokratis), dapat dilakukan dengan dua jalan yang paling esensial yaitu jalan yang terfokus pada kompetisi dan jalan yang terfokus pada partisipasi. Meningkatnya partisipasi berarti meningkatnya jumlah warga negara yang memperoleh hak-hak politik dan kebebasan. Singkatnya, dengan tiga dimensi demokrasi yaitu kompetisi, partisipasi dan kebebasan, proses demokratisasi akan berjalan.

Daftar Pustaka

Bromwich, David. “The Fastidious President”. London Review of Books, 32: 22, 2010Beentham,  David dan Kevin Boyle. Demokrasi. Kanisius: Yogyakarta, 2000.

Hadiz and Robison, “Competing Populisms in Post Authoritarian Indonesia”; Daniel Ziv, “Populist Perceptions and Perceptions of Populism in Indonesia: The Case of Megawati Soekarnoputri”, South East Asia Research, 9: 1, March, 2001.

Koten, Yosef Keladu. Partisipasi Politik: Sebuah Analisis Atas Etika Politik Aristoteles. Maumere: Penerbit Ledalero, 2010.

Madung, Otto Gusti. ‘’Populisme, Demokrasi Disensus, dan Relevansi untuk Indonesia’’ dalam Hidup: Sebuah Pertanyaan Kenangan 50 Tahun STFK Ledalero. Maumere: Penerbit Ledalero, 2019.

————————- ‘’Populisme, Krisis Demokrasi, dan Antagonisme’’. Jurnal Ledalero, 17: 1. Maumere: STFK Ledalero, 2018.

Mouffe, Chantal. Populisme Kiri, terj. Melfin Zaenuri. Yogyakarta: Verso, 2018.

Mueller, Jan-Werner. Was ist Populismus. Frankfurt am Main: Suhrkamp Verlag, 2017.

Mietzner, Marcus. ‘’Reinventing Asian Populism: Jokowi’s Rise, Democracy, and Political Contestation in Indonesia”. East-West Center, 2015.

Mair, Peter. “Ruling the Void?: the Hollowing of Western Democracy’’. New Left Review, No. 42, London: Verso, 2006.

Müller, Jan Werner. What Is Populism?. Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2016.

Schmitt, Carl. The Concept of Political, terj. George Schwab. Chicago: University Press, 1996.

Sulistyo, Eko. Konservatisme Politik Anti Jokowi. Jakarta Selatan: Moka Media, 2019.

Wattimena, Reza.  ‘’Oligarki, Ketimpangan Ekonomi, dan Imajinasi Politik Kita, dalam https://rumahfilsafat.com/2010/05/18/membongkar-mitos-kebijakan-publik, diakses pada 2 Februari 2023.

Komentar

Berita Terkait

Tolong, Dengarkan Suara Hati! (Subjek Cinta dan Seni Mendengarkan)
Apakah Aku Selfi Maka Aku Ada?
Autoeksploitasi: Siapa yang Membunuh Sang Aku?
Masyarakat yang Terburu-buru
Masyarakat Smombi
Masyarakat Telanjang
G.W.F. Hegel: Negara dan Sittlichkeit
Emotikon, Krisis Perhatian dan Filsafat Teknologi
Berita ini 108 kali dibaca

Berita Terkait

Sabtu, 14 Oktober 2023 - 22:46 WITA

Seni Homiletika: Tantangan Berkhotbah di Era Revolusi Sibernetika

Berita Terbaru

Politik

Menanti Keberanian PDI Perjuangan Berada di Luar Pemerintahan

Selasa, 25 Jun 2024 - 08:31 WITA

Berita

SD Notre Dame Puri Indah Wisudakan 86 Anak Kelas VI

Jumat, 21 Jun 2024 - 12:13 WITA

Pendidikan

Menyontek dan Cita-Cita Bangsa

Jumat, 14 Jun 2024 - 10:52 WITA

Berita

SMP Notre Dame Wisudakan 70 anak Kelas IX

Kamis, 13 Jun 2024 - 18:26 WITA

Pendidikan

Sastra Jadi Mata Pelajaran

Rabu, 12 Jun 2024 - 20:39 WITA