Indodian.com – Pada mulanya, kehidupan manusia menyatu karena manusia berasal dari pohon-pohon dan pohon-pohon berasal dari manusia. Tetapi dalam perjalanan waktu terjadi perpisahan. Perpisahan yang pertama terjadi antara manusia dan roh-roh halus. Seturut mitos orang Manggarai, pada mulanya manusia dan roh-roh halus itu bersaudara. Mereka sama-sama manusia. Pada suatu hari, keturunan dari sang kakak tidak mengikuti adat-istiadat yang telah ditetapkan oleh Murin agu Ngaran (Tuhan Allah sebagai pencipta).
Di dalam adat-istiadat itu terkandung bermacam-macam pedoman hidup seperti bagaimana hubungan antara manusia diatur, tata-cara pembuatan kebun, tata cara mempersembahkan hewan korban, dan sejumlah larangan yang harus diikuti. Karena keturunan sang kakak tidak lagi mematuhi adat-istiadat, maka mereka melaporkan hal itu kepada Murin agu Ngaran.
Berdasarkan laporan dari keturunan adik, Murin agu Ngaran berusaha memisahkan mereka. Keturunan sang kakak harus pergi dari situ. Ketika mereka dipisahkan Murin agu Ngaran meletakkan alang-alang sambil berkata: “Apabila keturunan kakak berjalan ke kiri dan keturunan adik berjalan ke kanan, maka pada akhirnya mereka akan bisa bertemu juga. Tetapi mereka tidak akan melihat satu sama lain karena penglihatan mereka dihalangi oleh alang-alang.” Semua kekayaan duniawi juga dibagi-bagi. Keluarga adik mengambil semua binatang piaraan dan tanam-tanaman, sedangkan keturunan kakak mendapat semua yang ada di hutan dan binatang-binatang liar.
Baca Juga : Kisah Seorang Difabel di Wodong yang Sukses Jadi Kepala Tukang
Baca Juga : Urgensi Pendidikan Pancasila di Era Milenial
Setelah menyampaikan pengarahan itu, Murin agu Ngaran menyuruh keturunan kakak-beradik itu untuk memandang rumput alang-alang dan kemudian menutup mata. Setelah membuka mata, mereka tidak bisa lagi melihat satu sama lain. Keturunan kakak disebut ata supu mai atau orang sebelah sana yang berarti mereka yang tinggal di balik rumput alang-alang. Mereka adalah roh-roh halus yang tinggal di hutan-hutan. Sedangkan keturunan adik disebut ata raja atau manusia. Roh-roh halus ini tentu saja berbeda dari roh-roh nenek moyang. Roh-roh nenek moyang adalah jiwa dari nenek moyang yang sudah meninggalkan tubuh dan tinggal di dalam dunia orang mati.
Cara hidup orang-orang yang tinggal di seberang sana atau roh-roh halus berbeda dari cara-cara hidup orang-orang sebelah sini atau manusia. Kalau roh-roh halus bekerja pada malam hari, maka manusia bekerja pada siang hari. Kalau tumit roh-roh halus ada di depan, maka tumit manusia berada di belakang. Roh-roh halus menggunakan pakaian terbalik. Apa yang banyak untuk manusia, sedikit untuk roh-roh halus. Sebaliknya yang banyak untuk roh-roh halus sedikit untuk manusia. Kalau manusia menggunakan api, maka roh-roh halus takut api. Itulah sebabnya kalau ibu yang baru melahirkan membawa api ketika pergi ke kali untuk menimba air karena roh-roh halus takut api. Kalau bukan api, dia membawa alang-alang untuk menghalangi perjumpaan dengan roh-roh halus.
Dengan demikian rumput (alang-alang) yang semula menjadi pembatas antara manusia dengan roh-roh halus digunakan oleh manusia melawan roh-roh halus yang tiba-tiba muncul dan membahayakan kehidupan manusia. Itulah sebabnya kalau seseorang yang menggendong bayi yang rawan sakit, dia biasa memegang alang-alang untuk melindungi bayi dari perjumpaan dengan roh-roh halus atau menghalangi roh halus melihat bayi itu.
Baca Juga : Jacques Ellul tentang Masyarakat Teknologis
Baca Juga : TWK dan Skenario Pelemahan KPK
Orang juga menggunakan alang-alang ketika mengukur kubur baru agar terhindar dari perjumpaan dengan roh-roh halus ketika menggali kubur. Mereka percaya bahwa kalau manusia bertemu dengan roh-roh halus itu sumang (sumang atau cumang dalamm bahasa Manggarai berarti bertemu. Tetapi dalam konteks ini, sumang berarti sakit yang disebabkan oleh perjumpaan dengan roh halus), maka manusia akan menjadi sakit. Karena itu alang-alang digunakan untuk menghalangi perjumpaan dengan roh-roh halus sehingga manusia tidak jatuh sakit.
Roh-roh halus dan manusia itu selalu berlawanan. Kalau manusia bekerja pada siang hari, maka roh halus bekerja pada malam hari. Kalau manusia bisa dilihat, maka roh-roh halus tidak bisa dilihat. Apa yang banyak untuk manusia, sedikit untuk roh halus. Kenyataan bahwa keinginan manusia berlawanan dengan keinginan roh-roh halus ditunjukkan oleh satu cerita mitos berikut ini.
Seturut cerita mitos itu, pada suatu hari Lalong pergi berburu dan berhasil menangkap seekor babi hutan. Ketika hendak membakar babi hutan tersebut arwah bapanya datang dan meminta sedikit daging babi hutan itu. Lalong memberikan ayahnya satu paha dari babi hutan itu. Tetapi ayah itu mengeluh bahwa bagiannya itu terlalu sedikit. Kemudian itu orang itu memberikan setengah dari babi itu kepada ayahnya. Tetapi ayah menjawab bahwa bagiannya semakin sedikit. Orang itu berpikir rupaya apa yang dianggap banyak oleh manusia, dianggap sedikit oleh arwah.
Maka dia memberikan cuma sedikit dari daging babi itu dan arwahnya ayah gembira dan berkata: “Ini sangat banyak untuk kami”. Lalu ayahnya itu menasehati anaknya untuk memberikan mereka cukup sedikit menurut ukuran manusia yakni bagian kecil dari telinga, hati, dan usus. Bagi kami, itu adalah banyak. Anaknya paham. Itu sebab kemudian ketika membuat ritus “beri makan kepada arwah nenek moyang”, dia cuma memberi cuma sedikit dari hewan yang dikorbankan dalam bentuk “ghang ghelang” atau sesajian untuk arwah leluhur.
Dari cerita tersebut di atas, kelihatannya manusia mesti berbagi dengan roh-roh halus ketika mereka membunuh binatang. Pembunuhan hewan atau penumpahan darah hewan mempersatukan manusia dengan komunitas roh-roh halus dan apa yang telah dibunuh harus dibagi-bagikan. Berbagi dengan roh-roh halus merupakan satu cara supaya roh-roh halus tidak mencelakai mereka. Apabila manusia tidak menjaga hubungan baik dengan roh-roh halus, maka manusia akan jatuh sakit dan bisa saja meninggal.
Baca Juga : Tuhan dalam Tiga Unsur Rumah Adat Ende Lio
Baca Juga : Berani untuk Percaya Diri?
Waktu yang paling tampan untuk berbagi makanan dengan roh-roh nenek moyang dan roh-roh halus lainnya ketika diadakan ritus-ritus pengorbanan hewan dalam berbagai kesempatan, seperti pada waktu pesta penti. Pada pesta Penti (syukuran hasil panen), misalnya, sebelum perayaan puncak dirayakan akan dipersembahkan korban hewan, dibunyikan gendang dan gong untuk memanggil roh-roh halus dan roh-roh nenek moyang untuk bergabung dengan mereka di dalam pesta Penti itu.
Setelah hewan dibunuh dan diproses untuk disantap dalam perjamuan, roh-roh halus dan roh-roh nenek moyang juga mendapat bagian. Makanan untuk roh-roh nenek moyang diletakkan di tempat khusus. Sedangkan makanan untuk roh-roh halus lain yang mungkin juga hadir dalam pesta itu disiram di depan pintu rumah. Orang-orang Manggarai percaya bahwa mereka bisa berkomunikasi dengan roh-roh halus atau roh-roh nenek moyang melalui makanan (ting ghang) dan doa (wada-tola). Diharapkan bahwa pada waktu yang sama roh-roh halus dan roh-roh nenek moyang juga berkomunikasi dengan mereka.
Berikut ini salah satu mitologi yang menceriterakan pentingnya korban hewan untuk bisa membaca keinginan dunia roh. Pada awal mula, Murin agu Ngaran mengirimkan kepada manusia sebuah buku yang menjelaskan segala sesuatu yang perlu diketahui oleh manusia. Tetapi manusia yang menerima buku tersebut mabuk dan seekor ayam yang kebetulan berada di situ mencotok-cotok buku sehingga terobek dan tidak bisa dibaca. Oleh sebab itu ayam harus menggantikan fungsi buku itu dan harus dikorbankan supaya manusia bisa melihat kehendak Wujud Tertinggi dan roh-roh nenek moyang melalui usus ayam itu.
Baca Juga : Apa yang Anda Ketahui tentang Kebenaran?
Baca Juga : Reformasi Dikorupsi dan Gerakan Kaum Muda Progresif
Usus dari ayam itu dibaca untuk mengetahui kehendak Wujud Tertinggi dan roh-roh nenek moyang. Peristiwa tersebut di dalam bahasa Manggarai disebut toto urat. Biasanya sesudah hewan dibunuh – bukan cuma ayam tetapi juga babi dan hewan korban lainnya – hati dan bagian dalam diperiksa untuk mengetahui kehendak Wujud tertinggi atau roh-roh nenek moyang apakah permintaan mereka yang disampaikan melalui hewan korban itu dikabulkan atau sebaliknya.
Roh-roh ini dipercayai bisa menyebabkan manusia sakit. Tetapi kadang-kadang terjadi roh-roh halus yang tinggal di hutan (kakar tana) menculik manusia dan membawanya ke hutan. Kalau ada peristiwa seperti itu, biasanya orang-orang sekampung mencari orang itu dengan membunyikan gendang dan gong guna memaksa roh-roh halus itu membebaskan manusia yang ditawan. Apabila roh-roh halus itu mendengar bunyi gong dan gendang dipercayai bahwa mereka akan melepaskan manusia dari persembunyiannya sehingga bisa kelihatan oleh orang-orang yang mencarinya.
Dikatakan bahwa, orang yang diculik oleh roh-roh halus ini berbau seperti kambing, bau yang dihubungkan dengan roh-roh halus yang tinggal di hutan. Kadang-kadang dukun-dukun mempunyai hubungan khusus dengan roh-roh halus ini dan bahkan mengawini mereka dan menjadikan mereka semacam isteri (wina wan – soul mate). Para dukun ini memiliki kekuatan istimewa karena membangun relasi khusus dengan roh-roh halus itu terutama kalau mereka mempunyai isteri atau suami yang berasal dari roh-roh halus (wina wan untuk laki-laki dan rona wan untuk perempuan).
Berdasarkan ceritera-ceritera tersebut di atas bisa disimpulkan bahwa sekalipun roh-roh halus terpisah dari manusia, namun di antara keduanya tetap terjalin relasi karena memang sebelumnya mereka bersatu dan berasal dari sumber yang sama. Beberapa dari roh-roh ini mungkin mencelakai manusia dan membuat mereka sakit. Roh-roh ini berasal dari roh-roh hutan dan roh orang-orang yang meninggal. Beberapa dari roh-roh halus itu memiliki hubungan khusus dengan manusia. Mereka ini adalah roh-roh nenek-moyang yang selalu memperhatikan kesejahteraan keluarga turunannya sejauh mereka memperhatikan adat-istiadat yang telah diwariskan kepada mereka.
Baca Juga : Tak Ada Mimpi Yang Ketinggian
Baca Juga : Cerita Seorang Pembohong
Menurut Edward Burnet Tylor (1832-1917) di dalam bukunya yang berjudul Primitive Culture (1871), agama lahir bersamaan dengan munculnya kesadaran manusia akan adanya roh-roh atau jiwa-jiwa. Kesadaran itu muncul sebagai hasil interpretasi atas mimpi dan kematian. Apa yang terjadi pada waktu mimpi atau meninggal? Pada waktu orang berimpin atau meninggal dunia, roh orang yang bermimpi atau meninggal terpisah dari tubuh. Pada waktu mimpi roh seseorang meninggalkan tubuh dan kemudian kembali lagi dan waktu itulah dia menjadi sadar kembali.
Apabila seseorang meninggal dunia maka rohnya hidup terus walaupun jasadnya mati dan membusuk. Dari situ mereka percaya bahwa roh dari orang yang telah mati itu bersifat kekal. Selanjutnya mereka percaya bahwa roh orang mati itu senantiasa mengunjungi manusia. Kunjungan itu bisa bermaksud baik yakni menolong manusia atau keluarga yang ditinggalkan atau sebaliknya bertujuan negatif mendatangkan kemalangan bagi keluarga yang ditinggalkan. Dia bisa menjaga manusia yang masih hidup khususnya anak, cucu, atau keluarga dekat sekampung tetapi dapat pula membahayakan kehidupan anak, cucu, ataupun orang-orang sekampung. Karena itu muncul ketakutan dalam diri manusia terhadap roh-roh itu.
Baca Juga : Bias Urban dan Desa sebagai Subjek Media
Baca Juga : Zen, sebuah Agama Baru?
Guna mengatasi rasa takut atau menghindari kemalangan atau sebaliknya untuk mendatangkan keberuntungan, maka manusia pada masyarakat sederhana menyembah jiwa atau makhluk halus dengan melakukan upacara-upacara keagamaan. Di sini ada perbedaan yang jelas antara jiwa atau roh dengan makhluk halus. Roh atau jiwa adalah bagian dari manusia yang hidup terus walaupun jasadnya sudah mati. Sedangkan makhluk halus tidak berasal dari manusia melainkan sudah muncul sejak awal mula yang menurut orang-orang Manggarai masih bersaudara dengan manusia.
Manusia-manusia primitif percaya bahwa roh-roh dan makhluk-makhluk halus itu memengaruhi kehidupan mereka. Oleh karena makhluk-makhluk atau roh-roh itu bisa mempengaruhi hidup manusia baik secara positif maupun negatif, maka mereka menyembahnya guna memperoleh hal-hal yang positif dan mengelakkan hal-hal yang negatif. Menurut E.B. Tylor agama muncul karena kepercayaan terhadap roh-ro halus itu sebagai hasik interpretasi atas mimpin dan kematian.
Pater Bernard Raho, SVD
*Dosen Sosiologi di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero
Bahan bacaan:
Erb, Maribeth. The Manggaraian: A Guide to Traditional Lifestyle. Singapore: Times Edition, 1999.
Raho, Bernard. Sosiologi Agama. Maumere: Penerbit Ledalero, 2019.
Verheijen, Jilis. A. J.Manggarai dan Wujud Tertinggi. Jakarta: LIPI-RUL, 1981.