Cear Cumpe, Ritus Pemberian Nama dalam Kebudayaan Manggarai, NTT

- Admin

Selasa, 14 Juni 2022 - 11:38 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com – Orang Manggarai memiliki ritus pemberian nama untuk anak yang baru lahir yaitu Cear Cumpe. Secara harafiah Cear Cumpe adalah membongkar tungku api. Biasanya, seorang ibu yang baru melahirkan akan tinggal di dekat tungku api karena ibu yang barusan bersalin merasa kedinginan. Tujuan utamanya untuk menghangatkan badan, karena banyak darah yang keluar setelah bersalin. Namun karena ibu merasa badannya sudah cukup hangat dan bayi yang baru lahir sudah lewat dari lima hari setelah bersalin, makan boleh keluar kamar tidur dekat tungku api (ruis sapo) dan selanjutnya tidur di kamar keluarga.

Pindah lokasi tidur dari dekat tungku api (toko ruis sapo) dan pindah tidur ke kamar keluarga inilah yang disebut Cear Cumpe.

Arti Pemberian Nama ( Teing Ngasang

Cear cumpe adalah pemberian nama setelah bayi yang sekitar berusia 3 bulan. Acara pemberian nama pertama-tama untuk nama kampung (teing ngasang tu’u/ngasang beo). Pemberian nama diberikan sebelum ada pemberian nama baptis.

Baca juga :  Tiga Unsur Pembentuk Kampung Adat di Ende Lio, Flores

Kalau anak laki-laki, maka nama yang diusulkan adalah nama marga ayah (patrilineal) atau leluhur pada marga ayah. Tetapi kalau anak perempuan, maka nama bisa juga pakai nama marga pada anak rona (keluarga asal mama) atau keluarga asal istri.

Selain dua pemahaman di atas, Cear Cumpe juga memiliki arti syukuran. Cear Cumpe seperti ini khusus untuk syukuran keluarga besar yang memperoleh berkat berlimpah keturunan, berkat pekerjaan dan pendidikan.

Langkah-Langkah Cear Cumpe

Pertama, kelo one leso (jemur di mata hari pagi hari). Itu dilakukan hari kelima setelah bersalin. Ini sebagai tanda anak mengenal dunia, adaptasi dengan dunia.

Acara ini disebut juga ratung wuwung (menguatkan bubungan kepala anak) agar bisa beradaptasi dengan lingkungan. Acara ini dilakukan setelah lepas tidur dekat (toko ruis sapo).

Baca juga :  Otensitas Kebudayaan Kita Semakin Rapuh?

Kedua, Cear Cumpe.
Tentunya sebelum laksanakan Cear Cumpe pasti melalui perencanaan (reke cear cumpe).

Adapun hewan yang disembelih waktu cear cumpe khusus untuk pemberian nama (teing ngasang) adalah manuk lalong bakok (ayam jantan putih).

Hewan yang sembelih waktu Cear Cumpe oleh anak rona khusus untuk syukuran adalah ayam jantan berwarna merah (Manuk lalong cepang) dan babi jantan putih (ela bakok) dan mbe kondo (kambing).

Keluarga yang hadir dalam acara Cear Cumpe (baik cear cumpe pemberian nama dan cear cumpe karena syukuran) yaitu asekae (keluarga kerabat patrilineal), keluarga kerabat anak rona(keluarga asal istri), keluarga kerabat anak wina (keluarga saudari perempuan), keluarga kerabat pa’ang ngaung (tetangga).

Go’et (Ungkapan doa dalam ritus Cear Cumpe)

Ho manuk Lalong bakok (Ini ayam jantan putih)
Kapu nuhu wua pau, naka nuhu wua nangka (pangku seperti buah mangga, menyambut seperti buah nangka)

Baca juga :  Asal-Usul Roh Halus Menurut Kepercayaan Asli Orang Manggarai

Mese bekek, mbiang ranga (pundak membesar, muka riang)
Lep pucu, cembes nai (Hati damai dan bahagia)

Cai meka weru one kaeng kilo (datang tamu baru/buah hati dalam keluarga)
Ho manuk lalong bakok teing ngasang weru (Ini ayam jantan putih untuk pemberian nama)

Neka manga kole senget benta ngasang weru nio awo mai (jangan dengar panggilan nama baru dari ujung timur)
Nio sale mai (dari ujung barat)

Dasor le nggasang ho (semoga nama baru ini)
Pateng wa wae mose (hidup yang kuat dan tertahan uji di air)
Worok eta golo (hidup yang kuat dan tertahan uji di darat)

Uwa gula bok leso (tumbuh subur dan menyinar)
Kakor nuhu lalong eme lako (bagai ayam jantan berkokok di saat berjalan kemana saja).

Komentar

Berita Terkait

Memaknai Lagu “Anak Diong” dalam Konteks Budaya Manggarai
Lingko dalam Festival Golo Koe  
Konsep Bambu dalam Budaya Manggarai
Merayakan Hari Kasih Sayang
Aku Caci, Maka Aku Ada
Cerita Tuna Merah di Sumber Mata Air
Otensitas Kebudayaan Kita Semakin Rapuh?
Nakeng Sabi, Tradisi Masyarakat Manggarai yang Mulai Hilang
Berita ini 734 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:47 WITA

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

Demokrasi dan Kritisisme

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

steroid

Understanding Oral Steroids and Their Course

Rabu, 28 Agu 2024 - 14:43 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA