Memaknai Lagu “Anak Diong” dalam Konteks Budaya Manggarai

- Admin

Senin, 5 September 2022 - 11:10 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com – Tulisan ini berawal dari kegelisahan saya dan merupakan refleksi singkat tatkala memperbincangkan makna atau arti dari lagu “Anak Diong“. Lagu ini dan lagu-lagu berbahasa Manggarai pada umumnya tidak dapat dinyanyikan dalam bahasa Indonesia. Kalaupun “terpaksa” digubah ke dalam bahasa Indonesia, maka maknanya akan menjadi berbeda dan “lari jauh” dari konteks budaya dan bahasa aslinya.

Lagu ciptaan Felix Edon (1996) ini, populer sejak masa kecil kami tahun 1990-an, dan menjadi semakin populer setelah penyanyi remaja asal Cancar, Kecamatan Ruteng, Manggarai, Flores, NTT, Bertrand Peto (kini namanya menjadi Betrand Peto Putra Onsu) menyanyikannya hingga viral di media sosial (medsos).

Lirik atau syairnya sebagai berikut:

Weong ko nai ge

(Kasihan hidupku)

Weong weleng nai ge anak diongk aku ta

(Kasian tersesat hidupku anak siapa aku ini)

Kawe ende toe repeng

(Cari mama tidak ditemukan)

Kawe ema toe lesa

(Cari bapak/ayah sudah tiada)

Ide de weong nai ge

(Aduh kasian hidupku)

Weong ko nai ge

(Kasihan hidupku)

Weong weleng nai ge wau diongk aku ta

(Kasihan hidupku keluarga siapakah aku ini)

Ho’o calangn anak wada

(Beginilah anak buangan)

Ho’o copel anak oke

(Beginilah celakanya akan buangan)

Ide de weong nai ge

(Aduh kasihan hatiku)

Neka ta, neka ta oke anak reme wara

(Janganlah, janganlah buang anak saat masih merah/bayi)

Weri latung gok latung

(Tanam jagung panen jagung)

Weri woja ako woja

(Tanam padi menuai padi)

Lawa ee ei ee

(Manusia ee ei ee)

Aram ta latung coko tai ta

(Siapa tau jagung tongkol padat berisi nanti)

Woja wole tai ta

(Padi bernas nanti)

One limed morin mose de

(Di tangan Tuhanlah hidup kita)

Sebelum melaju lebih jauh, pertama-tama harus dipahami bahwa bahasa Manggarai di bagian Flores, NTT, merupakan bahasa yang sarat makna, kaya ungkapan (go’et), dan varian bunyi yang khas. Tiap kata dan akhiran bermakna khas dan tentu berbeda maknanya bila dibubuhi akhiran tertentu, seperti bahasa Latin.

Bahasa Manggarai memang sarat dengan kalimat sastra—penuh dengan ungkapan atau goet. Ungkapan-ungkapan itu kadang-kadang bisa diterjemahkan secara harafiah, tetapi juga bermakna metaforis, untuk menjelaskan sesuatu yang tidak dapat dijelaskan secara sederhana (menjelaskan “yang misteri”).

Orang-orang tua sering menghadirkan goet-goet untuk memberi petuah, personifikasi, atau menjelaskan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh kenyataan. Misalnya kata “bengkar one belang” (membuncah atau keluar dari bilah bambu yang sudah kering oleh karena matahari). Jika sudah kering biasanya bambu terbelah dan muncullah ulat atau binatang-bintang kecil dari dalamnya. Manusia Manggarai, biasa menyebut suku-suku atau leluhurnya “bengkar one belang“.

Baca juga :  Cear Cumpe, Ritus Pemberian Nama dalam Kebudayaan Manggarai, NTT

Ada juga ungkapan “bok one leso“. Biasanya bok digunakan untuk kacang tanah (koja), seperti koja bok. Biasanya kacang tanah yang bijinya tidak kenyal seperti biji kacang tanah lainnya disebut koja bok. Dari semua kacang tanah yang dipanen pasti ada koja bok di antaranya.

Kata bok juga hadir dalam ungkapan bok one leso. Saya tidak mengetahui arti sebenarnya dari ungkapan ini, tetapi biasa disebutkan untuk manusia atau leluhur beberapa suku orang Manggarai, seperti dalam ungkapan bok one leso. One artinya di dalam, sedangkan leso berarti matahari atau hari. Bok one leso secara harafiah artinya biji yang keluar (dari) matahari.

Orang-orang tua Manggarai biasa menghubungkan manusia dengan matahari. Dalam sebuah legenda, misalnya, ayam jantan yang berkokok pada pagi hari berasal dari manusia; manusia yang menjelma menjadi ayam jantan.

Ceritanya begini:

“Pada zaman dahulu kala seorang anak yatim bertanya pada ibunya. Dia menanyakan kepada sang mama siapa dan darimana asal bapaknya. Sang mama pun menjawab bahwa bapaknya le ranga de Morin (berada di [hulu]).

Lalu pada suatu hari anak laki-laki itu memutuskan untuk pergi ke hadapan Tuhan. Setelah menempuh perjalanan jauh dan melelahkan karena melalui gunung, bukit, jurang, tebing, ngarai dan sungai, lembah dan padang sabana (satar), si anak akhirnya bertemu Tuhan Yang Empunya Kehidupan atau Morin Agu Ngaran tadi.

Mereka berdialog dan Tuhan menanyakan maksud kedatangannya. Sang anak pun menjawab bahwa dia datang mencari sang bapaknya. Apa jawaban Tuhan? Tuhan Sang Pencipta lalu menyuruh si anak kembali ke dunia dan mendapat tugas untuk membangunkan manusia yang masih terlelap sebagai tanda bahwa fajar telah terbit dan hari baru telah tiba, sehingga manusia harus bangun dan bekerja.

Sesampainya di dunia sang anak lelaki tadi menjelma menjadi ayam jantan yang selalu berkokok pagi hari dan berkokok tengah malam atau subuh bila air pasang.”

Cerita di atas berkembang di antara sesama anak seusia penulis tahun 1990-an. Legenda tersebut, diceritakan dari mulut ke mulut dan hampir pasti tidak diingat lagi bila tidak ditulis kembali.

Baca juga :  Nakeng Sabi, Tradisi Masyarakat Manggarai yang Mulai Hilang

Kisah dalam legenda tersebut mirip dengan sebutan “le puar lewe kin“. Apabila keluarga atau kerabat menanyakan seorang perempuan atau isteri dan suaminya apakah dia sudah punya anak atau sudah melahirkan, sang suami atau isteri akan menjawabnya, “le puar lewe kin“. Jawaban “le puar kin” maksudnya calon anak masih di dalam kandungan (perut).

Secara harafiah le artinya di sana (di hulu), puar (hutan), lewe (panjang), dan kin artinya masih. Puar lewe artinya hutan rimba yang luas. Akhiran “-n” bermakna orang ketiga tunggal pada kata kin; kim (orang kedua tunggal—kau), kis (orang kedua plural/jamak—kamu), kid (orang ketiga jamak—mereka), dan kig (orang pertama tunggal—saya atau aku).

Lalu apa kaitannya dengan lagu “Anak Diong” seperti disinggung di atas tadi? Tampaknya terlalu dini bagi saya untuk memaknai dan menafsirkan makna lagu tersebut. Tetapi perlu dipahami—seperti diuraikan sebelumnya—bahwa bahasa Manggarai merupakan bahasa yang kaya ungkapan, kaya makna, dan sarat pesan/petuah.

Terjemahan pada awal tulisan ini merupakan terjemahan bebas meski dalam konteks tertentu pencipta lagu menyuguhkan pesan tertentu, sebagaimana layaknya karya sastra, yang mana penulis mempunyai pesan dan makna tertentu dan ditafsirkan secara bebas oleh pembaca atau penikmat sastra itu sendiri.  

Secara umum lagu ini dipahami berkisah tentang seorang anak buangan. Dia dibuang oleh kedua orang tuanya sejak masih bayi (merah), sehingga menjadi anak yatim piatu. Dia pun mencari sang bapak dan mama, serta keluarganya, tetapi tidak ditemukan (atau tidak diakui oleh keluarga). Lantas dia mencari dan terus mencari tahu sendiri keberadaan mereka, dan berpesan agar kita tidak membuang anak saat masih bayi. Peliharalah dia, siapa tahu nanti dia bertumbuh dan berkembang menjadi orang sukses dan berguna bagi banyak orang, sebab nasib baik hanyalah di tangan Tuhan.

Saya berusaha mengkonfirmasi arti sebenarnya lagu tersebut. Felix Edon, Sang Pencipta lagu kenamaan asal Manggarai dalam wawancara dengan chanel Youtube, Konco Konco berdurasi 6.47 menit dan dipublikasikan 19 Oktober 2019 berjudul “Makna Lagu ‘Anak Diong’ Bertrand Peto menurut Penciptanya, Felix Edon”, mengatakan bahwa lagu ini mempunyai harapan bahwa manusia-manusia di luar sana janganlah membuang anak agar tidak menjadi seperti tokoh dalam lagu tersebut. “Karena sejak dalam kandungan kita kan sudah diberikan takdir. One limed Morin mose de. Hidup kita di tangan Tuhan, takdir kita di tangan Tuhan.”

 

Bila kita mencermatinya, pada bait-bait selanjutnya, lagu ini berpesan seperti apa yang diungkapkan dalam ungkapan atau go’et. Pada bait seperti “Neka ta, neka ta oke anak reme wara (Janganlah, janganlah buang anak saat masih merah/bayi). Weri latung gok latung (Tanam jagung panen jagung). Weri woja ako woja. (Tanam padi menuai padi), merupakan sebuah pesan tentang “hukum tabur tuai” atau sebab-akibat.

Baca juga :  Cerita Tuna Penjaga Mata Air

Lalu terkandung sebuah harapan, seperti pada kata Aram ta latung coko tai ta (Siapa tau jagung tongkol padat berisi nanti). Woja wole tai ta  (Padi bernas nanti). One lime de morin mose de (Di tangan Tuhanlah hidup kita), siapa tau dia (si anak yang dibuang) seperti “padi yang bernas dan jagung yang berisi”.

Kata wada misalnya berarti nasib/jodoh, tetapi juga berarti doa, umpatan atau bahkan kutuk—misalnya ada sebutan ‘wada one ruha” (menyebut sesuatu/doa melalui telur). Ada juga kata ho’o yang artinya begini, ini—antonimnya hio (itu).

Dalam korespondensi bunyi, kata ho’o juga terdengar nggo’o, yang artinya begini (seharusnya), misalnya, nggo’o kaut (begini saja, begini adanya—apa adanya). Pada frasa “woja woleng tai ta” secara harafiah berarti “padi berlainan nanti”; woja (padi), woleng (lain, beda, pisah), tai (nanti). Frasa ini bermakna harapan, yang ditandai dengan kehadiran kata aram (siapa tahu).

Sedianya tulisan ringan ini menumbuhkan semangat dan rasa cinta orang Manggarai terhadap bahasa daerahnya, yaitu bahasa Manggarai yang digunakan oleh orang-orang Flores di Kabupaten Manggarai, Manggarai, dan Kabupaten Manggarai Barat, dengan dialek/subdialek dan atau korespondensi (varian) bunyinya. Hal yang patut dipahami bahwa bahasa Manggarai merupakan satu dari ratusan bahasa daerah di Indonesia, yang tentu sarat ungkapan, pesan, petuah, dan dipahami dalam konteks dan budaya Manggarai.

Lagu “Anak Diong” adalah satu dari sejumlah lagu berbahasa Manggarai, yang akan menjadi bermakna berbeda jika dinyanyikan dalam bahasa lain (Indonesia), sebagaimana pesan pencipta ratusan lagu, yang lagu-lagunya dapat dengan mudah dijumpai di buku nyanyian Gereja Katolik “Dere Serani” ini. Kepok. []

Komentar

Berita Terkait

Lingko dalam Festival Golo Koe  
Cear Cumpe, Ritus Pemberian Nama dalam Kebudayaan Manggarai, NTT
Konsep Bambu dalam Budaya Manggarai
Merayakan Hari Kasih Sayang
Aku Caci, Maka Aku Ada
Cerita Tuna Merah di Sumber Mata Air
Otensitas Kebudayaan Kita Semakin Rapuh?
Nakeng Sabi, Tradisi Masyarakat Manggarai yang Mulai Hilang
Berita ini 679 kali dibaca

Berita Terkait

Sabtu, 14 Oktober 2023 - 22:46 WITA

Seni Homiletika: Tantangan Berkhotbah di Era Revolusi Sibernetika

Berita Terbaru

Politik

Menanti Keberanian PDI Perjuangan Berada di Luar Pemerintahan

Selasa, 25 Jun 2024 - 08:31 WITA

Berita

SD Notre Dame Puri Indah Wisudakan 86 Anak Kelas VI

Jumat, 21 Jun 2024 - 12:13 WITA

Pendidikan

Menyontek dan Cita-Cita Bangsa

Jumat, 14 Jun 2024 - 10:52 WITA

Berita

SMP Notre Dame Wisudakan 70 anak Kelas IX

Kamis, 13 Jun 2024 - 18:26 WITA

Pendidikan

Sastra Jadi Mata Pelajaran

Rabu, 12 Jun 2024 - 20:39 WITA