Indodian.com – Natalie M. Rosinsky – dalam bukunya yang berjudul “Valentine’s Day” – menegaskan bahwa hari valentine yang terjadi pada 14 Februari bukanlah hari libur nasional. Buktinya, aktivitas perkantoran, bisnis dan sekolah masih saja berlangsung di hari itu.
Konon, di Prancis dan Italia, hari valentine dirayakan dengan sangat meriah oleh anak-anak muda. Tetapi beberapa waktu kemudian pemerintah menganjurkan agar perayaan tersebut tidak perlu dibuat secara berlebihan.
Perempuan Inggris meyakini bahwa hari valentine terjadi saat mereka menikah dengan lelaki yang sangat mereka cintai. Perempuan Italia percaya bahwa hari valentine terjadi saat mereka menikah dengan lelaki cinta pertama mereka. Rosinsky lebih lanjut menandaskan bahwa, semacam ada cara berpikir yang dungu atas tanggal 14 Februari. Sebab, romantisme perayaan hari valentine tidak selalu menjadi bukti cinta sejati. Kekuatan cinta itu sendiri selalu mengatasi penanggalan yang disepakati.
Dalam tulisan ini, saya ingin merefleksikan perayaan valentine’s day dengan beberapa referensi historitasnya. Valentine’s day awali punya banyak versi sejarah. Yang jelas, valentine’s day awali adalah perayaan pagan orang-orang Romawi Kuno di abad ke-3. Waktu itu, adalah dewa bernama Lupercus yang diyakini sebagai penjaga para gembala dari serangan serigala lapar. Orang-orang Romawi kemudian mendedikasikan bulan Februari untuk menghormati dewa Lupercus. Perayaan itu dinamai “Luperculia”.
Setelah serigala tidak lagi menjadi masalah besar di Roma, bulan Februari a la Romawi kuno juga diistimewakan untuk menghormati dewa Juno Februaryata. Perayaan ini berlangsung pada bulan Februari.
Perayaan ini ditandai dengan ritus pengundian nama-nama wanita dalam sebuah kotak undi. Lelaki yang berhasil mendapatkan undian akan menjadi partner sang perempuan yang namanya diundi. Mereka kemudian memulai perjalanan hidup sebagai sepasang kekasih di bulan Maret. Tetapi, saat orang itu orang-orang Romawi belum mengenal istilah “valentine’s day“.
Sejarah Kekristenan kemudian memperkenalkan kisah sendiri perihal hari kasih sayang yang populer ini. Kekristenanlah yang memperkenalkan term “valentine’s day“. Kekristenan berusaha mengubah makna ritus pagan tersebut dengan nilai-nilai yang diwartakan kristianitas. Para pejabat gereja kemudian menggantikan nama-nama wanita undian dengan nama-nama orang suci Kristiani. Anak-anak muda diharapkan meniru cara hidup orang suci yang namanya diundi tersebut.
Usaha sakralisasi ritus pagan tersebut rupanya tidak mudah. Pada abad ke-14, nama-nama wanita kembali menjadi undian. Lalu, pada abad ke-16, Gereja mendeklarasikan sakralisasi ritus pagan tersebut sekali lagi. Gereja hendak mengajak semua orang agar ritus tersebut dihayati lebih dari sekadar peristiwa profan. Namun, usaha itu pun gagal seperti percobaan pertama.
Meskipun tanpa bukti historis yang valid, kita perlu mendengarkan kisah sosok martir Kristen bernama Valentinus. Valentinus dikenal sebagai seorang pendeta yang hidup di zaman kaisar Claudius. Ia dikenal berhati mulia. Orang-orang zamannya sangat memujanya. Di masa hidupnya, kaisar Claudius kesulitan merekrut pasukan perang akibat pernikahan. Kaisar lalu membuat sebuah regulasi yang melarang pertunangan dan pernikahan.
Valentinus rupanya salah-satu tokoh yang sangat getol menentang keputusan sang kaisar. Bagi Valentinus, pernikahan adalah ekspresi batin dua insan yang saling mencintai. Pernikahan adalah peristiwa yang suci. Aturan politik yang mengekang ekspresi cinta tidak pernah boleh dibenarkan. Atas dasar itu, Valentinus dimasukkan ke dalam penjara, tempat di mana ia akhirnya meninggal.
Dalam versi lain dikisahkan bahwa, selama di penjara, Valentinus berhasil menyembuhkan anak gadis seorang sipir dari kebutaan. Karena hal demikian, kaisar Claudius memenggal kepala Valentinus pada pada 14 Februari 269 (Setelah Masehi). Pada 496 (Setelah Masehi), Gereja – melalui Paus Gelasius – mendedikasikan tanggal 14 Februari untuk menghormati pecinta sejati bernama Valentinus. Dari sanalah istilah “Valentine’s Day” tersebar menjadi semacam pop culture ke bangsa-bangsa lain.
Saya kira, hal pertama yang harus kita lakukan dalam hidup ini adalah mencintai diri kita sendiri. Kita sulit mencintai orang lain tanpa pertama-tama mampu mencintai diri kita sendiri. Mana mungkin kita memberikan sesuatu yang kita tidak punya. Diskursus cinta tidak terbatas pada cinta sepasang kekasih. Sebagaimana Valentinus yang berkorban, kita pun diajak untuk mencintai dengan berkorban. Ketika kita membantu sahabat yang sedang berhadapan dengan persoalan berat, sebetulnya saat itu kita sedang mencintai.
Kasih sayang itu tidak perlu dirayakan, tetapi harus dihayati dan dilakukan secara terus-menerus. Mengasih, menyayang dan mencintai adalah disposisi batin yang tanpa putus dan berhenti. Kasih sayang bukan peristiwa yang temporal-momentual.
Sejarah kasih sayang sudah ada sejak manusia itu diciptakan. Bahkan, tidak berlebihan bila dikatakan, kalau manusia itu tidak lain adalah entitas yang secara kodrati mencintai; Ia tak mampu menyangkal identitas tersebut. Semua orang dilahirkan untuk mencintai. Tak ada satu manusia pun yang tak mencintai. Mencintai adalah hakikat makhluk bernama manusia.
Harus diakui pula bahwa manusia adalah ciptaan yang paling paradoks dari sekian banyak makhluk yang pernah diciptakan Tuhan. Ia mampu mencintai sekaligus membenci. Manusia mampu mengendalikan apa yang kita sebut dengan spontanitas.
Dengan rasionalitas, manusia diuntungkan ketimbang anjing, babi, kerbau, kambing, ayam dst. Tetapi, rasionalitas juga malah menjadi fakultas yang sering kali disalahgunakan. Tentang sesuatu yang ia tahu salah, manusia bisa mengatakan benar. Manusia adalah makhluk yang paling pandai dalam hal menipu dan berkamuflase.
Mungkin aneh bila kita mendeklarasikan pertanyaan kontroversial demikian, “Mengapa dunia hanya merayakan hari kasih sayang sedangkan kebencian tidak pernah dirayakan? Mudah menebak jawaban atas pertanyaan aneh ini. Yang dirayakan tentu saja selalu berkaitan dengan itu yang menghidupkan dan memanusiawikan. Kebencian selalu bermaksud menciderai kemanusiaan, oleh karena itu absurd untuk dirayakan. Bagi saya, orang-orang yang cenderung merayakan penderitaan orang lain adalah mereka yang sedang mengalami sesat rasional.
Tetapi, kita perlu sadar bahwa kebencian selalu dilakukan secara diam-diam. Tidak ada manusia yang secara terang-terangan mengakui kalau ia sedang dan pernah membenci. Kebencian memang tidak pernah dirayakan, tetapi selalu dilakukan. Saya sendiri gelisah, kalau ada orang yang merayakan “valentine’s day” malah sebetulnya ia lebih cenderung membenci. Sekali lagi saya tegaskan, itulah makhluk bernama manusia; Ia mencintai tetapi juga membenci!