Toleransi Melalui Dialog Antaragama Menuju Agama yang Moderat

- Admin

Sabtu, 25 Mei 2024 - 22:03 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com – Sudah menjadi hal lumrah jika kita melihat fenomena tentang orang-orang yang secara terbuka menyampaikan ujaran kebencian terhadap agama lain dan bahkan dilakukan oleh petinggi agama tertentu, misalnya kasus penistaan agama, perusakan rumah ibadat dan ujaran kebencian. Aksi fanatisme ini sebenarnya sangat tidak sesuai dengan tujuan agama yang ideal, yaitu memperoleh kebenaran dan perdamaian (antara manusia dengan Tuhan yang Ilahi dan manusia dengan nomos). Perilaku seperti ini bermuara pada permusuhan antaragama serta penolakan total atau ekslusivisme.[1]

Oleh karena itu, dibutuhkan perspektif dan cara baru bagi agama-agama di dunia untuk mencapai perdamaian antar agama dengan beragama secara moderat. Hal penting yang perlu dicapai sekarang adalah bagaimana agama-agama di dunia khususnya Indonesia mencari cara beragama yang benar, agama yang berusaha mencari keselarasan di tengah keberagaman agama. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai moderasi beragama. Dalam moderasi beragama ini, toleransi menjadi sebuah keniscayaan. Namun moderasi bukan hanya lahir begitu saja, dibutuhkan sebuah proses yang melibatkan seluruh institusi agama di dalamnya dan proses yang koheren adalah dialog antaragama.

Moderasi : Beragama Sesuai Pancasila

Kata moderasi berasal dari kata bahasa latin yakni “moderatio” yang berarti ke-sedang-an (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Dalam bahasa inggris, moderasi berarti moderation yang sering digunakan dalam istilah average (rata-rata) atau non-aliged  (tidak berpihak). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyediakan dua pengertian untuk istilah moderasi yaitu; pertama, pengurangan kekerasan; kedua, penghindaran keekstreman. Dapat disimpulkan bahwa moderasi berarti suatu sikap yang mengedapankan keseimbangan dalam hal keyakinan, moral, sikap dengan sebisa mungkin menghilangakan kekerasan dan keekstreman di dalamnya.

Moderasi beragama sangat erat kaitannya dengan toleransi, karena moderasi menjamin terciptanya kerukunan dalam umat beragama, terutama dalam negara kita dengan realitas agama yang plural. Realitas yang harus diterima adalah bahwa negara kita merupakan negara yang hidup dalam keberagaman. Dalam hal ini, ada enam agama resmi yang diakui di Indonesia. Realitas  pluralistik agama sebenarnya menjadi mozaik yang memperkaya khazanah kehidupan keagamaan di Indonesia.[2]

Dasar negara, Pancasila yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan mengharuskan setiap warga negara untuk bahu-membahu, secara bersama-sama menjaga agar keberagaman agama yang ada tidak menjadi pemecah bela bangsa. Di sisi lain realitas agama yang plural dengan segala kekhasannya juga mengandung potensi ancaman internal bagi NKRI (jika melihat kasus-kasus akibat dari lahirnya kelompok fundamentalisme agama tertentu). Karena itu, dalam meredam ancaman radikalisme, fanatisme dan ekstremisme yang lahir dari adanya paham fundamental, pemerintah mesti melibatkan peran aktif masyarakat hingga unit terkecil demi mewujudkan cita-cita Pancasila.

Moderasi adalah suatu cara beragama yang berusaha menggali persamaan di antara agama-agama.  Memang benar bahwa semua agama itu sama, agama berasal dari Allah yang satu dan sama, maka mau tidak mau umat beragama pun harus terus memperjuangkan persatuan yang lestari.[3] Semua agama memiliki tujuan yang sama yakni mencari kebenaran dan bersama-sama berziarah pada Tuhan dalam kebenaran.

Agama bukan dipandang sebagai tujuan, apalagi diidentikan dengan Tuhan, karena agama tidak bisa menyelamatkan orang melainkan iman akan Allah yang membuat kita selamat dan Allah itu kita jumpai dalam piranti yang kita sebut sebagai agama. Karena itu, sikap ekstremis yang mengklaim agamanya sebagai agama yang paling benar dan agama yang bisa mewakili otoritas Ilahi sungguh merupakan hal yang irasional, karena paham ini sungguh bertentangan dengan realitas agama sebagi piranti kepada Allah yang dicapai dalam damai.

Baca juga :  Apakah Gereja Seharusnya Berpolitik?

Dalam konteks ini, moderasi dipahami sebagai cara beragama yang menerima perbedaaan kepercayaaan yang dianut oleh agama lain sebagai suatu kebenaran. Wujud konkret dari moderasi beragama adalah lahirnya umat beragama yang saling menciptakan ruang bagi agama-agama lain agar mereka dapat mengekspresikan eksistensinya dengan leluasa kendatipun mereka itu agama minoritas.

Menanggapi kenyataan bahwa semua agama itu benar, maka idealnya semua umat beragama harus menjalankan kehidupan agamanya secara benar. Agama-agama harus terbuka dengan ajaran agama lain, bukan berarti mencampuradukan agama mereka dengan agama lain, dan inilah yang dicapai oleh moderasi beragama. Moderasi dipandang sebagai cara baru yang sesuai dengan sila ketiga Pancasila bagi agama-agama dalam mempraktikan kehidupan religius terutama di era disrupsi, era yang menuntut kita semua untuk terbuka dengan perubahan. Konsep moderasi bukan hanya sebatas teori saja, akan tetapi perlu diwujudnyatakan dalam tindakan yang menjamin terwujudnya agama yang moderat, di sinilah lahir suatu metode pendekatan yakni dialog antaragama.

Hakikat Dialog Antaragama

Secarah terminologi, dialog berarti percakapan dua orang atau lebih dimana dilakukan pertukaran nilai-nilai yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Lebih lanjut dialog berarti pula pergaulan antar pribadi-pribadi yang selalu memberikan diri dan berusaha mengenal pihak lain sebagaimana adanya. Dalam konteks agama, dialog berarti pertemuan dan pembicaraan antar beberapa pemeluk agama yang membahas tentang masalah-masalah bersama baik mengenai teologi maupun non-teologi dengan perbedaan pandangan untuk memahami posisi orang lain. Dialog antaragama harus menjadi bagian agama-agama saat ini, dialog menjadi cara “berada agama” dalam kemajemukannya.

Dialog adalah cara yang paling manusiawi untuk menjawab berbagai persoalan dan perbedaan dalam masyarakat. Dialog tidak menghilangkan perbedaan, akan tetapi menyadarkan dan mengajarkan kita akan adanya perbedaan dan menghargai serta menghormati perbedaan itu. Dialog bukan untuk membangun harmoni yang palsu, tetapi kebersamaan yang dinamis dan holistik.

Indonesia di masa depan harus dibangun melalui dialog yang kreatif. Dialog tidak menghilangkan perbedaan, akan tetapi dialog menjadi ruang untuk menyumbangkan yang terbaik dalam khazanah iman untuk membangun peradaban manusia.[4] Dialog antaragama dipandang sebagai cara jitu untuk mengembalikan koeksistensi agama yang sebenarnya yakni mencari kebenaran dalam kedamaian.

Dialog antaragama seperti yang telah disebutkan di atas mengandaikan dan mengharapkan adanya keterbukaan dan juga respek terhadap mitra dialog (umat beragama lain). Dialog tidak bisa berlansung jika pelaku tidak menerima kesetaraan mitra dialognya sebagai partner yang setara. Di dalam dialog tidak ada agenda terselubung, selain keterbukaan, hormat dan kasih.[5] Dialog menuntut sikap seimbang, sikap ikhlas dan keterbukaan terhadap pihak penganut  agama lain. Dialog bukan sekadar sebuah proses diskusi intelektual, melainkan lebih pada sebuah proses pembebasan dan sebuah pintu masuk ke dalam pengalaman religius, komitmen iman dan peribadatan serta mengadakan diri agama ke dalam lingkungan region kultural.

Dialog yang Membumi

Untuk mencapai tujuan seperti yang dicita-citakan, yakni terciptanya suatu agama yang moderat, dibutuhkan dialog yang membumi, realistik dan manusiawi. Dialog bukan menghasilkan suatu teori kerukunan atau persaudaraan di tengah pluralitas atau keadaan yang harmonis tetapi harus berdampak menciptakan suatu sikap penghargaan terhadap agama yang pluralis. Dialog harus nyata menyentuh kehidupan dan mengabdi kepentingan manusia banyak, bukan mengabdi suatu faham dan pemiliknya. Untuk menujuh ke arah itu, beberapa hal perlu dibangun.

Baca juga :  Seni Homiletika: Tantangan Berkhotbah di Era Revolusi Sibernetika

Pertama, membangun kembali konsep agama yang benar. Agama bukanlah suatu kendaraan yang penuh dengan perintah dan larangan yang akan mengantarkan pengikut yang taat kepada surga dan menghempaskan yang lain ke neraka. Agama harus dihayati sebagai suatu kesempatan mencintai yang Ilahi, yang mesti tidak dapat dipahami dan dijangkau dengan akal dan indera manusia tetapi selalu mendorong manusia untuk mencari dan mencintai.[6]

Kedua, menyadari dan menerima kenyataan bahwa manusia adalah plural. Keberagaman manusia, termasuk dalam beragama adalah suatu fakta alami yang harus diterima dan diakui secara jujur dan ikhlas. Menerima orang lain apa adanya, juga dalam hal memeluk dan menjalankan suatu agama adalah bagian dari menerima pluralisme. Orang beriman dewasa adalah jika ia mampu keluar dan melampaui dirinya. Dengan begitu ia dapat memandang kepada semua, dapat semakin diperkaya dan didewasakan.

Ketiga, mengembalikan agama pada tingkat kesadaran yang dibangun oleh pribadi yang otonom. Pada dasarnya beragama adalah suatu hak azasi manusia, yang pada akhirnya akan dipertanggungjawabkan secara pribadi pula oleh yang bersangkutan. Maka beragama adalah sebuah aksi pribadi, secara pribadi dengan yang pribadi.

Keempat, memperdalam penghayatan hidup beragama baik dalam kaitan hubungan dengan Tuhan, juga dalam hubungan dengan manusia lainnnya. Menjalankan agama tidak berhenti pada kesadaran mentaati suatu perintah dan aturan tetapi harus menjangkau kesadaran yang dalam yakni mengimani Tuhan dengan segala perbuatan dan resikonya. Beragama harus pelan-pelan beriman. Manusia selamat bukan karena taat atas berbagai aturan dan bebas dari berbagai larangan melainkan kasih akan yang Ilahi.[7]

Kelima, berani membangun kembali hubungan yang rusak antar penganut agama dengan suatu rekonsiliasi yang tulus. Keberanian memberi dan meminta maaf adalah suatu bagian upaya rekonsiliasi menyeluruh. Keberanian melihat lembaran hitam sejarah kehidupan beragama dimasa lalu, seperti berbagai pertikaian berdarah yang berlarut-larut, harus menjadikan pemeluk agama di masa kini berani membuka jendela paradigma baru beragama.

Dialog Antaragama : Paradigma Etis Mencapai Agama yang Moderat

Suatu hal yang menjadi pencarian semua masyarakat dunia saat ini adalah perdamaian. Salah satu ungkapan terkenal dari Hans Kung adalah “tidak ada perdamaian dunia tanpa adanya perdamaian antar agama (moderasi) dan tidak ada perdamaian antar agama tanpa melalui dialog antaragama”.[8] Konflik antaragama berdampak pada instabilitas politik yang bermuara pada kehancuran dunia. Dialog antaragama hadir dalam situasi ini dengan harapan agama-agama bisa bersama mencari keutamaan moral tertinggi (kebenaran) dan menghindari perdebatan tanpa makna yang lahir di antara agama.

Agama yang moderat adalah beragama yang berdasar atas asas perdamaian. Beragama secara moderat menjamin terwujudnya perdamaian dunia dan moderasi itu mesti melalui pendekatan deduktif yaitu dialog antaragama. Dialog antaragama melahirkan gerakan solidaritas dan “prefential option of the poor and the opperessed” dan ini menjadi gerakan kolektif agama-agama.

Melalui masalah sosial kemanusiaan yang pelik saat ini, seperti kemiskinan, ketidakadilan dan  marginalitas, masalah-masalah ini bukan menjadi masalah pribadi bagi agama tertentu yang bisa diselesaikan oleh satu agama saja, apalagi dengan membenarkan sikap fanatis yang mengklaim agama tertentu sebagai agama afdol untuk menyelesaikan masalah universal tersebut.

Baca juga :  Agama, Politik dan Kemaslahatan Bersama

Masalah kemiskinan, ketidakadilan dan marginalisasi justru akan menjadi masalah abadi jika agama-agama membangun sikap ekslusif dan paham fundamentalis. Persoalan kemanusiaan semestinya harus dipikirkan bersama-sama oleh agama-agama. Persoalan demikian mesti melibatkan seluruh agama dan perlu adanya dialog untuk mencapai tujuan itu. Persoalan kemanusiaan menjadi magnet yang menyatukan perbedaan antar agama dan mungkin setiap agama bisa duduk bersama dalam dialog dengan agama lain merancang gagasan-gagasan programatif mengatasi persoalan- kemanusiaan yang menggurita.[9] Keberhasilan agama dalam memecahkan problem sosial dapat mengembalikan entitas agama pada hakikat aslinya yakni membawa damai dan menemukan kebenaran hidup baik ragawi maupun rohani.

Agama saat ini bukan lagi memikirkan pewartaan radikal agamanya kepada sesama umat yang sudah beragama, atau agama menjadi institusi yang otoriter serta bermisi secara “kasar”, akan tetapi sekarang soal bagaimana agama bereksistensi dalam keberagamannya dan mesti membangun dialog bersama agama lain agar bisa menyelesaikan masalah sosial universal yang merajam kemanusian. Dan inilah semestinya  dikenal sebagai beragama secara moderat, yang tidak mempersoalkan perbedaan teologi dalam agama akan tetapi agama bersatu dalam dialog untuk  mengembalikan agama pada hakikat sesungguhnya.

Agama-agama adalah sebuah kekayaan rohani yang tak ternilai harganya. Di dalamnya mengandung pengalaman kerohanian yang telah mengarungi luasnya sejarah dan mengatasi batas-batas etnis dan budaya. Berhadapan dengan keberagaman agama, yang dibutuhkan adalah sebuah dialog yang dialogis dimana di dalamnya terdapat usaha saling memahami dan menyuburkan, yang mengarah kepada kesatuan dalam perbedaan atau unitas dalam pluralitas di mana antara agama-agama harus terjadi hubungan timbal balik yang saling membangun dan mendukung. Dialog yang dialogis mengandaikan setiap orang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang dalam dan luas mengenai agama partner dialog  sehingga tidak menafsirkan agama lain berdasarkan frame of referrencenya, tetapi berdasarkan frame of reference agama lain tersebut.[10]

Sikap terbuka dan toleran dalam dialog menjadi kunci bangunan hubungan sejati dan berhasil antar agama-agama di dunia. Dialog antaragama sudah menjadi suatu yang urgen untuk dilakukan oleh agama-agama di dunia di era disrupsi ini. Dialog antaragama semestinya menjadi cara berada agama, melaui dialog akan tercapai pola pikir sekaligus pola tindak terwujudnya moderasi beragama, agama yang memahami masalah sosial universal masyrakat.

Daftar Rujukan


[1] Amalorpavadas, D.S. “ Kelompok FABC: Laporan Sidang Pleno” Dalam George Kirchberger Dan John Prior (eds), Antara Bahterah Nuh dan Kapal Karan Paulus, jilid I ( Ende : 1997, Nusa Indah ), hlm.22

[2] Donatus Renggo, Pancasila dan Dialog Antaragama di Indonesia dalam EDUCARE Vol.II Edisi 2018. Hlm.172.

[3] Ibid. Hlm.173.

[4] George Kircherbrger, SVD & Jhon Mansford Prior, SVD (Editor), Antara Bahtera Nuh dan Kapal Karam Paulus Jilid II(Ende: 1997, Nusa Indah ), Hlm.217.

[5] Ibid., hlm.9.

[6] Agustinus, Pengakuan-Pengakuan (terj.:Ny. Winarsih Arifin & Dr. Th. Van den End. Yogyakarta: 2001, Kanisius dan Jakarta: BPK Gunung Mulia), hlm.287.

[7] Caputo, John D. Agama Cinta, Agama Masa Depan (terj: Martin L. Sinaga. Bandung: 2003: Mizan), hlm.79.

[8] Krispurwana Cahyadi SJ, Benediktus XVI ( Jakarta: 2019: Obor ), Hlm. 23.

[9]Dr. Max Regus & Fidelis Den (Editor), Mengutip Frans Sales Lega, Dokumen Abu Dhabi dan Implikasinya Terhadap Dialog Interreligius di Indonesia, dalam Omnia In Caritate ( Jakarta: 2020: Obor), hlm. 306.

 

Komentar

Penulis : Fidelis Roy Maleng

Editor : Rio Nanto

Berita Terkait

Seni Homiletika: Tantangan Berkhotbah di Era Revolusi Sibernetika
Berita ini 64 kali dibaca

Berita Terkait

Sabtu, 14 Oktober 2023 - 22:46 WITA

Seni Homiletika: Tantangan Berkhotbah di Era Revolusi Sibernetika

Berita Terbaru

Politik

Menanti Keberanian PDI Perjuangan Berada di Luar Pemerintahan

Selasa, 25 Jun 2024 - 08:31 WITA

Berita

SD Notre Dame Puri Indah Wisudakan 86 Anak Kelas VI

Jumat, 21 Jun 2024 - 12:13 WITA

Pendidikan

Menyontek dan Cita-Cita Bangsa

Jumat, 14 Jun 2024 - 10:52 WITA

Berita

SMP Notre Dame Wisudakan 70 anak Kelas IX

Kamis, 13 Jun 2024 - 18:26 WITA

Pendidikan

Sastra Jadi Mata Pelajaran

Rabu, 12 Jun 2024 - 20:39 WITA