Kisah Seorang Istri yang Merawat Suami Gangguan Jiwa dan Dipasung Selama 12 Tahun

- Admin

Rabu, 25 Agustus 2021 - 15:30 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Bernadeta Jenina (40) dengan tulus hati merawat suaminya, Simon Sempau (42) yang menderita gangguan jiwa dan dipasung di Kampung Nggorong-Kotak, Kabupaten Manggarai Barat, NTT

Bernadeta Jenina (40) dengan tulus hati merawat suaminya, Simon Sempau (42) yang menderita gangguan jiwa dan dipasung di Kampung Nggorong-Kotak, Kabupaten Manggarai Barat, NTT

Indodian.com – Wajah Bernadeta Jenina (40) tampak perlahan menua, tetapi masih bersemangat. Ia berpembawaan halus, sopan dan ramah. Dia berkisah dengan penuh iba akan pengorbanannya merawat suami yang menderita gangguan jiwa dan dipasung selama 12 tahun. Ia tak pernah mengeluh karena baginya merawat penderitaan suami adalah cara membuktikan janji pernikahan yang pernah mereka ikrarkan.

“Penderitaan yang dialami suami adalah penderitaan saya juga sebab kami sudah disatukan dalam ikatan perkawinan. Saya bertanggung jawab dan menjadi tulang punggung untuk merawat suami dan membiayai pendidikan empat buah hati. Sebenarnya, saya sudah pasrah dengan keadaan ini. Tetapi saya tetap bertahan, berusaha dan berjuang sampai ada yang datang menolong untuk menyembuhkan suami saya,” jelasnya.

Bernadetta bersama suaminya, Simon Sempau (42) berdomisili di kampung Nggorong-Kotak, Desa Ranggu, Kecamatan Kuwus Barat, Kabupaten Manggarai Barat, NTT. Rumah mereka sederhana dengan beberapa potong papan yang lusuh dan beralaskan tanah.

Baca Juga : Perempuan Korban Pelecehan Seksual Cenderung Bungkam, Mengapa?
Baca Juga : Profesionalisme Guru di Tengah Pandemi

Deta, demikian biasa disapa oleh suami dan anak-anaknya, menceritakan bahwa sakit yang dialami suami bermula dari kecelakaan mobil pada bulan Juni tahun 1999. Pada saat itu, suaminya dirawat di salah satu rumah sakit di Manggarai. Setelah melewati proses perawatan, suaminya membaik dan kembali ke kampung halaman untuk bekerja seperti biasa.

Selama 10 tahun kondisi suaminya membaik dan masih bisa kerja seperti biasa. Akan tetapi pada April, 2009 lalu, suaminya tiba-tiba sakit. Tampak tetesan darah keluar dari mulutnya. Deta melaporkan keadaan suaminya ini kepada tim medis di puskemas. Ketika tim medis datang, suaminya mengamuk dan merusakan semua perabot rumah. Sejak saat itu, suaminya sering merusak peralatan rumah.

Baca juga :  Musisi Difabel Mata ini Ingin Memiliki Keyboard dan Membuka Kursus Musik

Atas pertimbangan keluarga dan demi menjaga kenyamanan umum, Deta meminta warga agar memasung suaminya.

Warga Kampung Nggorong-Kotak, Desa Ranggu, Kecamatan Kuwus Barat, Kabupaten Manggarai Barat, NTT, Simon Sempau (42) sudah 12 tahun derita gangguan jiwa dan dipasung di dalam rumah berukuran 4×5 meter.

“Suami saya dipasung sejak tahun 2009”, lanjut Bernadeta.

“Dia pernah dipasung dan dilepas lagi tetapi dia tidak pernah menunjukkan perubahan. Setiap kali dilepas pasung, dia selalu merusak semua peralatan rumah. Dia bahkan menganggu ketertiban umum. Oleh karena itu, pada tahun 2012, saya meminta kelurga agar memasung suami saya. Sejak tahun 2012 sampai sekarang, dia tidak pernah lepas dari pasungannnya”.

Baca Juga : Merawat Keindonesiaan
Baca Juga : Merosotnya Nilai-Nilai Antikorupsi di Tubuh KPK

Sebagai tulang punggung keluarga, Bernadetta merawat suaminya dengan tulus selama 12 tahun. Deta selalu membagi waktu untuk menjaga suaminya di rumah dan bekerja sebagai penggarap di kebun orang yang membutuhkan jasanya. Uang yang diperolah dari pekerjaan itu digunakan untuk membeli beras dan kebutuhan lain di rumah.

Bernadette berkisah bahwa di sela-sela tugasnya untuk menjaga dan merawat suami, dia bekerja di kebun warga kampung yang membutuhkan jasanya. Dia bekerja dari pagi sampai sore dengan upah Rp. 30.000,00 rupiah perhari. Akan tetapi ketika suaminya sakit, Deta memilih untuk menjaga suami daripada bekerja di kebun.

“Saya menjadi tulang punggung untuk menghidupkan keluarga. Saya berperan sebagai istri dan suami untuk mengurus keluarga. Berat rasanya hidup ini dengan penderitaan suami saya,” jelasnya dengan mata berkaca-kaca.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, Bernadeta menjelaskan bahwa ia harus kerja harian di kebun dan sawah dari warga kampung. Selain itu, dia menjual beberapa hasil bumi untuk bisa bertahan hidup serta membiayai pendidikan anak-anaknya.

Baca juga :  "Utang Budi" Pater Thomas Krump, SVD

Saat ini, anak sulungnya sudah selesai SMA dan merantau ke Bali. Anaknya ingin melanjutkan pendidikan tetapi karena keterbatasan ekonomi, anak sulung memilih untuk bekerja di Bali. Anak kedua sedang mengenyam pendidikan di SMK Stella Maris Labuan Bajo, anak ketiga masih duduk di bangku SMP dan anak bungsu sekarang kelas empat SD.

Baca Juga : Kemerdekaan dan Upaya Jalan Pulang pada Pancasila
Baca Juga : Aku dan Kisahku

“Saya ingin agar anak sulung saya melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Akan tetapi, saya tidak sanggup lagi membiayai pendidikannya. Saya meminta dia pergi mencari uang di Bali sebab saya tidak mampu membiayai pendidikan anak-anak dan merawat suami dengan penghasilan yang sedikit”, jelasnya.

Bernadette bersama suami dan anak-anaknya tinggal di sebuah rumah sederhana. Ukuran rumahnya kecil dan beralasan tanah. Bermodalkan uang harian Rp.30.000,00 sehari dan hasil bumi secukupnya, dia membiayai pendidikan anak-anak dan merawat suaminya.

Dikunjungi Pater Avent dan Relawan KKI NTT

Bernadeta mengatakan bahwa pada tahun 2018 lalu, Pater Avent Saur, SVD, ketua relawan Kelompok Kasih Insani (KKI) bersama dengan relawan KKI Manggarai Barat, Kristoforus Tamus dan Kristianus Bahri pernah mengunjungi suaminya yang masih dipasung.

Relawan KKI memberikan beberapa obat. Sebulan sesudah kunjungan itu, kondisi suaminya sudah agak membaik. Suaminya tidak memecahkan piring, tidak merobek pakaian dan tidak merusak kasur lagi. Tetapi sejak itu sampai sekarang, suaminya tidak mengonsumsi obat karena obat sudah habis dan harga obat sangat mahal. Oleh karena itu, Deta belum berani melepas pasung suaminya hingga saat ini.

Baca juga :  Pariwisata dalam Konteks Manggarai Raya

Baca Juga : Mabuk Kuasa
Baca Juga : Menyapa Aleksius Dugis, Difabel Penerima Bantuan Kemensos RI

Relawan KKI, Kristianus Bahri menjelaskan bahwa ia sudah tiga kali mengunjungi Bapak Simon Sempau yang dipasung selama 12 tahun tersebut di kampung Nggorong-Kotak, Ranggu. Ia merasa sedih melihat kondisi bapak Simon yang dipasung selama 12 tahun dan tinggal di rumah kecil berukuran 4×5 berlantai tanah.

Berdasakan informasi dari Kristoforus Tamus, Koordinator KKI Kabupaten Manggarai Barat bahwa saat ini terdapat 130 Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang tersebar di Kecamatan Lembor, Lembor Selatan, Pacar, Kuwus, Kuwus Barat, Welak dan Komodo. Ini data yang sudah ia kunjungi dan belum rangkum data dari relawan KKI lainnya. “Saya kerja dengan sukarela saja. Hasil perjuangan ini sekitar belasan orang sudah lepas pasung karena pulih berkat konsumsi obat rutin,” jelasnya.

Pesan Bernadete

Kondisi Bapak Simon Sempau perlahan-lahan pulih karena rutin mengonsumsi obat yang diberikan relawan KKI. Satu kaki dari Bapak Simon telah dibongkar karena kedua kakinya bengkak sampai di lutut. Bernadete tetap setia merawat suaminya. Dia meminta uluran tangan kasih dari pemerintah dan semua orang yang berkehendak baik agar memperhatikan kesejahteraan suami dan keluarganya.

“Penderitaan suami saya adalah penderitaan saya juga. Saya memilih untuk merawat dan mengasihi dia dengan sepenuh hati. Saya kadang menangis melihat suami saya kedinginan karena dipasung selama 12 tahun di rumah berukuran 3×4 dan beralaskan tanah. Saya ingin membuat rumah yang layak, tetapi saya tidak memiliki uang. Uang hasil kerja di kebun orang cukup untuk makan sehari”, jelasnya merendah.

Komentar

Berita Terkait

Milenial Promotor Literasi Digital dalam Spirit Keberagaman Agama
Kasus Pasung Baru di NTT Masih Saja Terjadi
Seandainya Misa Tanpa Kotbah
Gosip
Sorgum: Mutiara Darat di Ladang Kering NTT
Tanahikong, Dusun Terpencil dan Terlupakan di Kabupaten Sikka              
Qui Bene Cantat bis Orat (Tanggapan Kritis atas Penggunaan Lagu Pop dalam Perayaan Ekaristi)
Namanya Yohana. Yohana Kusmaning Arum
Berita ini 277 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:47 WITA

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

Demokrasi dan Kritisisme

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

steroid

Understanding Oral Steroids and Their Course

Rabu, 28 Agu 2024 - 14:43 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA