Indodian.com – Wajah Bernadeta Jenina (40) tampak perlahan menua, tetapi masih bersemangat. Ia berpembawaan halus, sopan dan ramah. Dia berkisah dengan penuh iba akan pengorbanannya merawat suami yang menderita gangguan jiwa dan dipasung selama 12 tahun. Ia tak pernah mengeluh karena baginya merawat penderitaan suami adalah cara membuktikan janji pernikahan yang pernah mereka ikrarkan.
“Penderitaan yang dialami suami adalah penderitaan saya juga sebab kami sudah disatukan dalam ikatan perkawinan. Saya bertanggung jawab dan menjadi tulang punggung untuk merawat suami dan membiayai pendidikan empat buah hati. Sebenarnya, saya sudah pasrah dengan keadaan ini. Tetapi saya tetap bertahan, berusaha dan berjuang sampai ada yang datang menolong untuk menyembuhkan suami saya,” jelasnya.
Bernadetta bersama suaminya, Simon Sempau (42) berdomisili di kampung Nggorong-Kotak, Desa Ranggu, Kecamatan Kuwus Barat, Kabupaten Manggarai Barat, NTT. Rumah mereka sederhana dengan beberapa potong papan yang lusuh dan beralaskan tanah.
Baca Juga : Perempuan Korban Pelecehan Seksual Cenderung Bungkam, Mengapa?
Baca Juga : Profesionalisme Guru di Tengah Pandemi
Deta, demikian biasa disapa oleh suami dan anak-anaknya, menceritakan bahwa sakit yang dialami suami bermula dari kecelakaan mobil pada bulan Juni tahun 1999. Pada saat itu, suaminya dirawat di salah satu rumah sakit di Manggarai. Setelah melewati proses perawatan, suaminya membaik dan kembali ke kampung halaman untuk bekerja seperti biasa.
Selama 10 tahun kondisi suaminya membaik dan masih bisa kerja seperti biasa. Akan tetapi pada April, 2009 lalu, suaminya tiba-tiba sakit. Tampak tetesan darah keluar dari mulutnya. Deta melaporkan keadaan suaminya ini kepada tim medis di puskemas. Ketika tim medis datang, suaminya mengamuk dan merusakan semua perabot rumah. Sejak saat itu, suaminya sering merusak peralatan rumah.
Atas pertimbangan keluarga dan demi menjaga kenyamanan umum, Deta meminta warga agar memasung suaminya.
“Suami saya dipasung sejak tahun 2009”, lanjut Bernadeta.
“Dia pernah dipasung dan dilepas lagi tetapi dia tidak pernah menunjukkan perubahan. Setiap kali dilepas pasung, dia selalu merusak semua peralatan rumah. Dia bahkan menganggu ketertiban umum. Oleh karena itu, pada tahun 2012, saya meminta kelurga agar memasung suami saya. Sejak tahun 2012 sampai sekarang, dia tidak pernah lepas dari pasungannnya”.
Baca Juga : Merawat Keindonesiaan
Baca Juga : Merosotnya Nilai-Nilai Antikorupsi di Tubuh KPK
Sebagai tulang punggung keluarga, Bernadetta merawat suaminya dengan tulus selama 12 tahun. Deta selalu membagi waktu untuk menjaga suaminya di rumah dan bekerja sebagai penggarap di kebun orang yang membutuhkan jasanya. Uang yang diperolah dari pekerjaan itu digunakan untuk membeli beras dan kebutuhan lain di rumah.
Bernadette berkisah bahwa di sela-sela tugasnya untuk menjaga dan merawat suami, dia bekerja di kebun warga kampung yang membutuhkan jasanya. Dia bekerja dari pagi sampai sore dengan upah Rp. 30.000,00 rupiah perhari. Akan tetapi ketika suaminya sakit, Deta memilih untuk menjaga suami daripada bekerja di kebun.
“Saya menjadi tulang punggung untuk menghidupkan keluarga. Saya berperan sebagai istri dan suami untuk mengurus keluarga. Berat rasanya hidup ini dengan penderitaan suami saya,” jelasnya dengan mata berkaca-kaca.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, Bernadeta menjelaskan bahwa ia harus kerja harian di kebun dan sawah dari warga kampung. Selain itu, dia menjual beberapa hasil bumi untuk bisa bertahan hidup serta membiayai pendidikan anak-anaknya.
Saat ini, anak sulungnya sudah selesai SMA dan merantau ke Bali. Anaknya ingin melanjutkan pendidikan tetapi karena keterbatasan ekonomi, anak sulung memilih untuk bekerja di Bali. Anak kedua sedang mengenyam pendidikan di SMK Stella Maris Labuan Bajo, anak ketiga masih duduk di bangku SMP dan anak bungsu sekarang kelas empat SD.
Baca Juga : Kemerdekaan dan Upaya Jalan Pulang pada Pancasila
Baca Juga : Aku dan Kisahku
“Saya ingin agar anak sulung saya melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Akan tetapi, saya tidak sanggup lagi membiayai pendidikannya. Saya meminta dia pergi mencari uang di Bali sebab saya tidak mampu membiayai pendidikan anak-anak dan merawat suami dengan penghasilan yang sedikit”, jelasnya.
Bernadette bersama suami dan anak-anaknya tinggal di sebuah rumah sederhana. Ukuran rumahnya kecil dan beralasan tanah. Bermodalkan uang harian Rp.30.000,00 sehari dan hasil bumi secukupnya, dia membiayai pendidikan anak-anak dan merawat suaminya.
Dikunjungi Pater Avent dan Relawan KKI NTT
Bernadeta mengatakan bahwa pada tahun 2018 lalu, Pater Avent Saur, SVD, ketua relawan Kelompok Kasih Insani (KKI) bersama dengan relawan KKI Manggarai Barat, Kristoforus Tamus dan Kristianus Bahri pernah mengunjungi suaminya yang masih dipasung.
Relawan KKI memberikan beberapa obat. Sebulan sesudah kunjungan itu, kondisi suaminya sudah agak membaik. Suaminya tidak memecahkan piring, tidak merobek pakaian dan tidak merusak kasur lagi. Tetapi sejak itu sampai sekarang, suaminya tidak mengonsumsi obat karena obat sudah habis dan harga obat sangat mahal. Oleh karena itu, Deta belum berani melepas pasung suaminya hingga saat ini.
Baca Juga : Mabuk Kuasa
Baca Juga : Menyapa Aleksius Dugis, Difabel Penerima Bantuan Kemensos RI
Relawan KKI, Kristianus Bahri menjelaskan bahwa ia sudah tiga kali mengunjungi Bapak Simon Sempau yang dipasung selama 12 tahun tersebut di kampung Nggorong-Kotak, Ranggu. Ia merasa sedih melihat kondisi bapak Simon yang dipasung selama 12 tahun dan tinggal di rumah kecil berukuran 4×5 berlantai tanah.
Berdasakan informasi dari Kristoforus Tamus, Koordinator KKI Kabupaten Manggarai Barat bahwa saat ini terdapat 130 Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang tersebar di Kecamatan Lembor, Lembor Selatan, Pacar, Kuwus, Kuwus Barat, Welak dan Komodo. Ini data yang sudah ia kunjungi dan belum rangkum data dari relawan KKI lainnya. “Saya kerja dengan sukarela saja. Hasil perjuangan ini sekitar belasan orang sudah lepas pasung karena pulih berkat konsumsi obat rutin,” jelasnya.
Pesan Bernadete
Kondisi Bapak Simon Sempau perlahan-lahan pulih karena rutin mengonsumsi obat yang diberikan relawan KKI. Satu kaki dari Bapak Simon telah dibongkar karena kedua kakinya bengkak sampai di lutut. Bernadete tetap setia merawat suaminya. Dia meminta uluran tangan kasih dari pemerintah dan semua orang yang berkehendak baik agar memperhatikan kesejahteraan suami dan keluarganya.
“Penderitaan suami saya adalah penderitaan saya juga. Saya memilih untuk merawat dan mengasihi dia dengan sepenuh hati. Saya kadang menangis melihat suami saya kedinginan karena dipasung selama 12 tahun di rumah berukuran 3×4 dan beralaskan tanah. Saya ingin membuat rumah yang layak, tetapi saya tidak memiliki uang. Uang hasil kerja di kebun orang cukup untuk makan sehari”, jelasnya merendah.