Masyarakat Risiko, Terorisme, dan Kemanusiaan Kita

- Admin

Jumat, 16 April 2021 - 12:49 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Sumber: Feliz Rychlec (2017)

Sumber: Feliz Rychlec (2017)

Melkisedek Deni
 (Mahasiswa STFK Ledalero)

Pandemi covid-19 berhasil mendaruratkan dunia sepanjang 2020 dan paruh 2021 ini. Covid-19 menyerang hampir seluruh sektor kehidupan manusia; ekonomi, politik, agama, pendidikan, kebudayaan, dan sistem ide masyarakat dunia. Alih-alih menghindar, mengantisipasi dan menghentikan serangan misterius covid-19, masyarakat dunia justru dilabrak oleh kejahatan-kejahatan kemanusiaan (terorisme) yang membelenggu dan menghancurkan kemanusiaan universal.

Terorisme di Indonesia

Akhir-akhir ini ruang publik Indonesia dan masyarakat dunia dikejutkan oleh bom bunuh diri di pintu gerbang Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan pada Minggu (28/3/2021). Bom bunuh diri tersebut melukai sekitar 14 orang dan dua pelaku meninggal di tempat. Dalam waktu yang relatif singkat, seorang wanita bernama Zakiah Aini (26) melakukan teror di Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia Jakarta. Rentetan aksi terror tersebut didugai bagian dari aksi terorisme.  

Di tengah pandemi, aksi-aksi kejahatan seperti gerakan terorisme tak menyusut. Berdasarkan laporan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BPNT), sepanjang tahun 2020 Polri telah melakukan pencegahan aksi-aksi terorisme di beberapa wilayah dengan menangkap sebanyak 228 tersangka teroris. BPNT belum melaporkan hasil temuan atau tangkapan kasus tersangka teroris selama tahun 2021 ini, tetapi gerakan terorisme tetap potensial.

Baca Juga : Menikmati Wisata Kopi Detusoko
Baca Juga : Menikmati Wisata Kopi Detusoko

Praktik kejahatan kemanusiaan tersebut di atas terus dilakukan dan selalu luput dari perhatian publik. Atau pun disaksikan, tetapi tidak bisa angkat bicara karena tidak punya modal, dan karena itu dibisukan secara murah.

Tindak kejahatan kemanusiaan tidak sedikit dan secara potensial dipraktikkan secara rahasia oleh kelompok-kelompok rahasia di tempat-tempat rahasia – tidak sedikit terjadi di ruang publik. Ketika praktik kejahatan kemanusiaan terus dilakukan, dan media pun rutin memberitakannya, maka tidak sedikit orang memandang kejahatan kemanusiaan sebagai sesuatu yang banal seolah-olah menjadi lazim.

Teror (isme): Tipe Masyarakat Risiko

Pada abad ke-21 ini perang senjata nuklir mungkin tidak terjadi lagi, tetapi motif-motif kejahatan kemanusiaan lainnya selalu mungkin, dan seolah-olah harus terjadi. Terorisme adalah kejahatan termutakhir abad ini, selain kejahatan-kejahatan lainnya. Terorisme identik dengan bom bunuh diri, sebab dengan meledakkan bom bunuh diri, pelaku bom bunuh diri meneror dan menebarkan ketakutan kepada publik.

Baca juga :  Perempuan dan Pemilu Serentak 2024

Tidak sedikit orang memutuskan untuk bergabung ke dalam gerakan-gerakan kejahatan (terorisme), karena didorong oleh rasa panik, dilema, frustrasi akut, kelaparan, kemiskinan, dan ketimpangan sosial-ekonomi yang dialami selama pandemi ini. Jaringan-jaringan kejahatan menjadi tempat pelarian dan seolah-olah menjadi jalan keluar satu-satunya dari permasalahan hidup. Permasalahan psikologis dan ketimpangan sosial-ekonomi menimbulkan begitu banyak risiko yang membelenggu dan mematikan.

Baca Juga : Tubuh Dan Persetubuhan Itu Suci
Baca Juga : Colin Crouch tentang Post-Demokrasi

Terorisme adalah proyek ekonomi politik dan agama digunakan sebagai alat justifikasi. Terorisme sengaja diciptakan oleh kelompok bermodal besar dan elite pragmatis. Kaum bermodal memproduksi risiko-risiko besar pada wilayah-wilayah tertentu, dan pada saat yang sama mereka mempekenalkan parameter-parameter risiko baru yang sebagian besar, atau sama sekali, tidak dikenal pada era-era sebelumnya (Anthony Giddens, 1991:3-4).

Abad ini segala jenis kejahatan, menurut saya, memuncak ke publik dan menghancurkan tidak sedikit orang, karena didorong oleh persaingan pasar bebas – pemberhalaan komoditas. Bom bunuh diri adalah satu-satunya tekad terakhir yang kepadanya orang-orang lemah dan orang-orang super kaya juga dapat menjadi korban. Pelaku bom bunuh diri dengan tekad menghancurkan dan mengakhiri kehidupannya sendiri dan orang lain tanpa rasa bersalah, karena tidak ada jalan lain baginya untuk bertahan hidup di tengah persaingan hidup (pasar) yang keras dan perdagangan kompetitif. 

Kaum bermodal dapat membeli keselamatan dan bebas dari risiko (Ulrich Beck, 1992:35), sedangkan kaum miskin, marjinal, dan terpinggirkan digunakan sebagai alat untuk mencapai keselamatan dan kebebasan oleh kaum bermodal. Kaum bermodal menggaet keuntungan dari risiko yang mereka sendiri ciptakan lewat nyawa orang-orang tak berdaya dengan menciptakan dan menjual teknologi-teknologi canggih untuk mendeteksi gerakan kejahatan (terorisme). Atau kaum bermodal akan membayar, menawarkan, dan menjual jasa para ahli (yang harus dibayar mahal oleh negara atau pihak korban risiko yang diciptakan oleh kaum bermodal) untuk mengamati, meneliti, menangani, dan mewaspadai risiko-risiko lebih besar pada masa depan.

Baca juga :  Peluang Pendidikan Tinggi di Era Digital

Akal sehat pelaku bom bunuh diri dicuci oleh kaum bermodal untuk menggaet kepentingan-kepentingan ekonomi pasar semata. Agama digunakan oleh pengajar agama yang bermodal besar untuk meloloskan dan melegitimasi gerakan-gerakan kejahatan, meskipun dengan memperdayakan orang-orang lemah, kaum miskin, dan para penganggur. Hal ini selaras dengan kerinduan terbesar manusia di dunia. Ketika dunia kini saat ini tidak lagi memberikan dan menjamin kebahagiaan dan keadilan, tidak sedikit orang mendambakan kebahagian dan keadilan di dunia akhirat.

Di tengah kondisi pandemi ini, potensi kejahatan dalam diri manusia dinyatakan keluar oleh orang-orang yang tidak lagi memiliki pengharapan, rasa kemanusiaan, ketuhanan, integritas, dialektika diri, dan keadilan universal. Kejahatan menjadi aktualitas yang destruktif timbul dari dalam diri orang-orang yang kehilangan harapan akan kebahagiaan, ataupun pijar-pijar harapan ada, tetapi tidak diperjuangkan keluar.

Pijar-pijar harapan itu kemudian dicuci (cuci otak) dan diakumulasi oleh kelompok pemilik modal demi kepentingan-kepentingan tertentu, sehingga meskipun mereka memiliki harapan, harapan itu melampaui realitas fisis di dunia ini. Orang-orang itu dicuci otak dan pengharapannya oleh pemilik modal dengan janji-janji kebahagiaan pascakematian. Artinya mereka harus mati dulu, meskipun dengan cara tragis (meledakkan bom dunuh diri dan meneror), agar bisa merasakan kebahagiaan abadi di surga sebagaimana yang diajarkan dalam agama-agama.

Meluhurkan Kemanusiaan

Semua agama memang melarang dan mengutuk segala aksi kejahatan (terorisme), tetapi tidak menutup kemungkinan agama digunakan sebagai alat justifikasi segala bentuk kejahatan (terorisme) oleh kelompok tertentu demi kepentingan-kepentingan kelompok.

Di tengah pandemi ini, gerakan untuk menghormati, mengakui, dan mengembangkan spirit kemanusiaan universal mesti mendapat perhatian pemerintah, aparat negara, dan negara. Negara menjamin dan turut mengambil bagian di dalamnya demi terciptanya keadilan sosial, keluhuran kemanusiaan, dan peradaban negara lebih maju. Negara mencegah, memberantas, mengusut tuntas, dan mewapadai segala bentuk kejahatan atas nama agama atau apapun.

Baca Juga : Ancaman Cerpen Tommy Duang
Baca Juga : Merawat Simpul Empati

Kita tentu ingat perkataan Mahatma Gandhi: “Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan.” Dalam konteks pluralitas keyakinan, kebudayaan, dan agama di Indonesia, kita dapat berkata: “Kita semua berketuhanan, tetapi agama kita adalah kemanusiaan”. Atau dapat dirumuskan secara terbalik; kemanusiaan adalah agama kita. Kita tidak punya pilihan selain menerima, mengakui, dan menghormati kemanusian universal.

Baca juga :  Profesionalisme Guru di Tengah Pandemi

Perikemanusiaan adalah keutamaan kita, selebihnya hanya sebagai pelengkap. Diskursus tentang rancangan kebijakan ekonomi politik, pendidikan, kebudayan, dan keagamaan mesti bersumber dari, oleh, dan untuk kemanusiaan universal. Ketuhanan dan kemanusiaan saling mengandaikan. Namun, perikemanusiaan tidak dapat bertumbuh subur dan menjadi keutamaan dalam hidup manusia Indonesia, jika ketuhanan tidak berurat akar dalam diri manusia Indonesia. Ketuhanan tidak akan berurat akar, jika manusia Indonesia tidak menanam dan mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan universal.

Dengan kesadaran akan kemanusiaan universal (sila ke-2 Pancasila: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab), semakin jelaslah bahwa Pancasila yang terus diagung-agungkan, digaungkan, dan diperuangakan oleh negara Indonesia menjadi aktual dan tepat sasar. Pancasila akan merangkum, mengatur, dan mengendalikan segala bentuk ekspresi keanekaragaman ideologis, baik ideologi yang berdimensi membela dan meluhurkan kemanusiaan universal maupun ideologi radikal yang menghancurkan dan memusnahkan manusia.

Sebagai manusia Indonesia, kita harus berani menghentikan gerakan-gerakan kejahatan (terorisme) dan jaringan-jaringannya sampai ke akar-akarnya dengan melihat pluralitas agama, keyakinan, kebudayaan dan etnisitas sebagai kearifan Indonesia. Prinsip kemanusiaan universal senantiasa dialektis dan komunikatif berdaya transformatif. Jadi tidak boleh ada kesenjangan antara kaum bermodal besar dan kaum miskin; antara pemimpin agama dan umat; antara pemimpin dan yang dipimpin.

Prinsip-prinsip kemanusiaan dialektis dan komunikatif, justru ketika kita melihat manusia lain dengan latar belakang yang berbeda sebagai sesama. Di dalam diri setiap manusia Indonesia, ada nilai-nilai luhur dan keutamaan yang mesti dimuliakan dan diluhurkan yakni kemanusiaan. Dalam kesadaran akan kemanusiaan universal, tak kurang sedikit pun ciri kemanusiaan dan hakikat manusia kita menemukan nila-nilai terluhurnya.

Perikemanusiaan begitu luhur. Kegagalan mencapai dan tinggal di dalam nilai-nilai kemanusiaan universal serta tidak mampu memperjuangkannya begitu merisaukan, dan akhirnya mematikan. Dan kasihan sekali manusia Indonesia yang tidak memiliki kesadaran akan kemanusiaan universal.

Komentar

Berita Terkait

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi
Demokrasi dan Kritisisme
Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?
Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?
Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit
Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024
Pemimpin: Integritas, bukan Popularitas
Politik dan Hukum Suatu Keniscayaan
Berita ini 29 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 30 Januari 2023 - 23:16 WITA

Menalar Sikap Gereja terhadap Kaum Homosekual

Rabu, 8 Desember 2021 - 12:16 WITA

Misoginis Si “Pembunuh” Wanita

Jumat, 19 November 2021 - 11:45 WITA

Memahami Term ‘Pelacur’

Jumat, 20 Agustus 2021 - 16:04 WITA

Perempuan Korban Pelecehan Seksual Cenderung Bungkam, Mengapa?

Senin, 26 Juli 2021 - 12:57 WITA

Berpisah Dengan Pacar Toxic Bukanlah Dosa

Jumat, 23 Juli 2021 - 12:42 WITA

Bagaimana Peran Media Dalam Melawan dan Menghapuskan Kekerasan Terhadap Anak?

Jumat, 16 Juli 2021 - 16:27 WITA

Jejak Pelayanan Transpuan di Gereja Maumere

Jumat, 25 Juni 2021 - 17:34 WITA

Perempuan, Iklan dan Logika Properti

Berita Terbaru

Pinterest

Filsafat

Autoeksploitasi: Siapa yang Membunuh Sang Aku?

Senin, 22 Apr 2024 - 23:34 WITA

Cerpen

Suami Kekasihku

Kamis, 18 Apr 2024 - 23:46 WITA

Pendidikan

Kaum Muda dan Budaya Lokal

Jumat, 15 Mar 2024 - 19:27 WITA