Berdasarkan kriteria dalam menjalankan praktik kekuasaan, dibedakan tiga bentuk negara yakni monarki, oligarki dan demokrasi. Di samping itu prinsip umum berlaku bahwa politik dengan pijakan pada undang-undang dipandang lebih baik daripada anarkisme.
Atas dasar prinsip ini, lahirlah sebanyak tiga bentuk negara. Bentuk negara terbaik adalah monarki atau kekuasaan tunggal yang berpijak pada undang-undang, yang terburuk adalah tirani atau kekuasaan tunggal tanpa hukum. Urutan kedua terbaik adalah aristokrasi atau pemerintahan oleh kaum bangsawan dan bentuk negara kedua terburuk adalah oligarki atau pemerintahan oleh segelintir orang kaya. Sedangkan urutan ketiga terbaik adalah negara hukum demokratis dan keempat terbaik negara demokratis tanpa hukum.
Kedua, utilitarisme. Secara etimologis utilitarisme diambil dari akar kata Latin utilis yang berarti “bermanfaat”. Suatu perbuatan dikatakan baik jika mendatangkan manfaat. Manfaat tidak dimengerti secara egoistis dalam arti manfaat untuk satu dua orang saja melainkan masyarakat secara keseluruhan. Karena itu, utilitarisme berpijak pada prinsip moral the greatest happiness of the greatest number, kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar.
Untuk kaum utilitarian misalnya, melestarikan lingkungan hidup dipandang baik karena membawa manfaat paling besar untuk umat manusia sebagai keseluruhan, termasuk generasi yang akan datang. Kita tentu bisa meraih banyak manfaat dengan menguras sampai habis kekayaan alam di Flores dan Lembata lewat industri pertambangan, tetapi dengan demikian kita merugikan anak-cucu kita. Maka, menurut utilitarisme prinsip pembangunan berkelanjutan atau sustainable development merupakan tanggung jawab moral kita.
Baca Juga : Tata Kelola Pandemi: Zombinasi dan Politik Ketakutan
Baca Juga : Kisah Seorang Istri yang Merawat Suami Gangguan Jiwa dan Dipasung Selama 12 Tahun
Utilitarisme sebagai prinsip etika dasar memiliki beberapa prinsip dasar : pertama, kualitas etis suatu perbuatan tidak ditentukan oleh perbuatan itu sendiri (etika deontologis) melainkan oleh konsekuensi atau hasilnya. Karena itu etika utilitarisme juga dikenal dengan nama “konsekuensialisme”. Perbuatan itu adalah baik andaikata dipandang membawa manfaat suatu paling besar, seperti memajukan kemakmuran, kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat.
Sebaliknya perbuatan yang memang bermaksud baik tetapi tidak menghasilkan apa-apa, menurut utilitarisme tidak pantas disebut baik. Bukan menepati janji an sich adalah baik secara moral, tapi karena hasil baik yang dicapai dengan perbuatan itu. Demikianpun mengingkari janji, berbohong atau mencuri dianggap buruk secara etis karena akibat buruk yang dibawakannya, bukan karena suatu sifat buruk dari perbuatan-perbuatan itu.
Kedua, kriteria tujuan sebuah tindakan adalah manfaat atau prinsip kegunaan bagi sejumlah besar orang. Prinsip kegunaan dipandang sebagai sebuah kebaikan dalam dirinya. Dengan ini utilitarisme menolak relativisme etis.
Ketiga, nilai tertinggi dan yang baik dalam dirinya adalah pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dan interese manusia serta kebahagiaan. Pemahaman tentang apa itu kebahagiaan bergantung pada masing-masing individu. Namun sebuah tindakan membahagiakan jika menciptakan kesenangan dan mengurangi penderitaan.
Keempat, bukan kebahagiaan individu atau kelompok orang tertentu yang menentukan melainkan kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar. Bertentangan dengan egoisme, utilitarisme menjadikan kesejahteraan bersama sebagai cita-citanya. Utilitarisme membenarkan secara etis pengorbanan kepentingan atau kenikmatan pribadi demi orang lain.
Dalam diskursus politik, pertimbangan ulitilitarian tentang akibat dari sebuah keputusan memiliki relevansi yang sangat terbatas. Tak seorang pun akan membuat pengakuan kepada publik tentang perhitungan untung rugi dalam relasi interpersonal serta mengambil begitu saja hak milik pribadi seseorang agar diberikan kepada yang lebih membutuhkannya. Prosedur seperti ini bertentangan dengan intuisi moral dan terlalu memberi penekanan pada pertimbangan teknokratis.
Ketiga, model kontrak sosial berbasis rasionalitas strategis. Model ini berpijak pada konsep rasionalitas strategis. Model teori kontrak sudah dikenal pada zaman Yunani Antik seperti diuraikan oleh kaum sofis. Epikur (341 –271 SM) mempertahankan model ini secara argumentatif dan kemudiaan dikembangkan lebih lanjut oleh Agustinus (354-430 M). Kendatipun demikian, teori kontrak sebagai model pendirian negara baru dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1588-1679). Kreativitas dan originalitas Hobbes ditunjukkan lewat tesisnya bahwa negara didirikan atas dasar pertimbangan rasionalitas strategis.
Halaman : 1 2 3 4 Selanjutnya