Mempersiapkan Kematian Secara Rasional
Filsuf Stoa bernama Epiktetus menawarkan pemikiran: hidup adalah mempersiapkan diri menuju kematian secara rasional. Artinya, sembari menuju kematian setiap orang dituntut menggunakan akal budi atau kebijaksanaannya dalam mengelola nafsu dirinya. Sejak masa pra Masehi para biksu di India sering pergi ke tempat pemakaman untuk mengamati jenazah yang ditinggalkan di sana agar dimakan hewan liar dan serangga. Jenazah bisa berwarna hitam kelabu, dari warna hijau sampai biru kehitaman (vinayaka).
Praktik kontemplasi atas obyek yang menjijikkan ini juga dikenal sebagai Asubha kammatthana. Bagi para biksu, ini adalah cara yang sangat berharga dan menghemat waktu untuk memahami dekatnya kehidupan dengan kematian. Sebab, banyak orang harus menunggu puluhan tahun, sampai orangtua atau pasangan meninggal baru bisa menyadari bahwa kematian begitu lekat dengan kehidupan.
Perlu adanya Maraṇasati atau kesadaran akan kematian. Pada abad pertama Masehi, Seneca memiliki kesadaran semacam ini. Ia mengatakan, bahwa hidup sejatinya adalah perjalanan menuju kematian, maka setiap orang perlu berlatih mempersiapkan kematian sepanjang hidupnya. “Perlu seumur hidup untuk belajar bagaimana menjelang ajal,” ujar Seneca. Masa hidup manusia memang terbatas. Sehebat dan sekuat apa pun tubuh seseorang saat ini, suatu hari akan sakit juga, melemah, tak berdaya, lalu mati.
Tampaknya realitas ini juga yang menjadi salah satu alasan mengapa seorang penulis seperti Ryan Holiday membawa koin bertuliskan Memento Mori di sakunya. Koin itu sebagai pengingat akan kehidupan yang singkat dan semua aktivitas seseorang, sepopuler apa pun dirinya juga akan berakhir. Sekeras apa pun seseorang berusaha, ia tidak bisa lepas dari kematian. Memento mori atau mengingat kematian membawa manusia mengetahui suatu hari akan menemui babak akhir hidupnya masing-masing, walau tidak tahu dengan cara seperti apa dan kapan hari itu akan tiba.
Ernest Hemingway mengatakan, “Hidup setiap orang berakhir dengan cara yang sama. Hanya detail bagaimana dia hidup dan bagaimana dia mati yang membedakan satu orang dari yang lain.” Kematian begitu dekat dengan kehidupan, meski banyak orang yang mungkin menyangkalnya. Bahkan jika mungkin, orang ingin masuk surga tanpa harus mati untuk mencapainya. Apakah mungkin? Realitas hidup tidak sejalan dengan keinginan ini. “Dengan mengetahui kematian menanti di ujung hayat, manusia dapat belajar memandang kematian sebagai pengingat kehidupan,” ujar Dhimas.
Setiap hari adalah kesempatan lain untuk mengambil tindakan dalam hidup dan berjalan di jalan kebajikan. Nyanyian Ibrani Kuno menawarkan kebijaksanan yang lahir dari rahmat Sang Liyan, “TUHAN, tuntunlah aku dalam keadilan-Mu…; ratakanlah jalan-Mu di depanku” (Mazmur 5:8; 27:11; 86:11).
Halaman : 1 2 3 4 Selanjutnya