Kritik Jürgen Habermas terhadap Filsafat Kesadaran

- Admin

Kamis, 11 November 2021 - 21:08 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com – Semenjak raibnya kekuasaan abad pertengahan (middle age), dunia barat mengalami pembalikan peradaban yang begitu radikal menuju tatananan baru: ‘modernitas’.  Para ahli menyepakati, gejala modernitas mulai nampak sekitar tahun 1.500. Semenjak itu dunia mengalami perkembangan baru dan luar biasa pesat dalam pelbagai bidang kehidupan. Manusia mulai memaklumkan kebebasan pribadi, menyatakan perlawanan terhadap tradisi, mengilhami kemajuan dan melahirkan begitu banyak perubahan dalam tatanan modernitas.

Tanda-tanda khas mulai terlihat dengan dibentuknya negara-negara modern, pengakuan HAM, klaim heliosentrisme Kopernikus, penemuan hukum-hukum alam-matematik, penemuan mesin cetak, teleskop, miskroskop, listrik, mesin uap, industrialisasi, hingga pelbagai penemuan mesin dan teknologi mutakhir.1

Baca juga :  Memento Mori: Bisikan Filsafat tentang Kematian

Ironisnya, di tengah glorifikasi kebebasan, pemujaan rasionalitas, dan pelbagai penemuan manusia; aneka krisis senantiasa mengitari dinamika kehidupan modernitas. Buktinya, sejak beberapa dekade lalu perang dingin, gencatan senjata nuklir, geliat eksploitasi, dan aneka krisis kemanusiaan lainnya senantiasa merongrong kehidupan manusia modern. Maka pantaslah dimaklumi bahwa meski peradaban masyarakat semakin mantap, bencana kemanusiaan kian menghinggap.

Baca juga :  Mengenal Filsafat Ruang Henri Lefebvre

Demikian pula, di tengah kemajuan teknologi yang memuncak, aneka krisis, peperangan, konflik, penderitaan, maupun bahaya senantiasa datang mengguncang. Lantas mengapa hal seperti ini terjadi? Mengapa peradaban modern saat ini masih menyisakan duka kemanusiaan yang mendalam? Atau dengan kata lain mengapa pencerahan modernitas ‘gagal’ menghantar manusia menuju tahta kebahagiaan, kebebasan dan keadilan?

Untuk itulah, seraya mengacu pada pisau analisis Jürgen Habermas, seorang filsuf berkebangsaan Jerman, melalui artikel ini, penulis menegaskan krisis modernitas saat ini terjadi lantaran manusia masih menghidupi paradigma subjektif sebagai ‘landasan normatif’ di dalam tata kehidupannya.2

Baca juga :  Autoeksploitasi: Siapa yang Membunuh Sang Aku?

Dengan memakai kerangka epistemik Habermasian, menurut penulis krisis, pencerahan modernitas dapat diatasi mengandaikan kita beralih dari primat paradigma subjektif menuju paradigma komunikasi intersubjektif. Krisis dan kegagalan pencerahan modernitas selama ini dapat diminimalisasi dengan menempatkan komunikasi antar-pribadi sebagai landasan epistemik guna mencapai konsensus atau kesepakatan bersama.

Komentar

Berita Terkait

Tolong, Dengarkan Suara Hati! (Subjek Cinta dan Seni Mendengarkan)
Apakah Aku Selfi Maka Aku Ada?
Autoeksploitasi: Siapa yang Membunuh Sang Aku?
Masyarakat yang Terburu-buru
Masyarakat Smombi
Masyarakat Telanjang
G.W.F. Hegel: Negara dan Sittlichkeit
Emotikon, Krisis Perhatian dan Filsafat Teknologi
Berita ini 38 kali dibaca

Berita Terkait

Sabtu, 14 Oktober 2023 - 22:46 WITA

Seni Homiletika: Tantangan Berkhotbah di Era Revolusi Sibernetika

Berita Terbaru

Politik

Menanti Keberanian PDI Perjuangan Berada di Luar Pemerintahan

Selasa, 25 Jun 2024 - 08:31 WITA

Berita

SD Notre Dame Puri Indah Wisudakan 86 Anak Kelas VI

Jumat, 21 Jun 2024 - 12:13 WITA

Pendidikan

Menyontek dan Cita-Cita Bangsa

Jumat, 14 Jun 2024 - 10:52 WITA

Berita

SMP Notre Dame Wisudakan 70 anak Kelas IX

Kamis, 13 Jun 2024 - 18:26 WITA

Pendidikan

Sastra Jadi Mata Pelajaran

Rabu, 12 Jun 2024 - 20:39 WITA