Dhimas secara tegas mengatakan, jika filsafat Yunani-Romawi memandang kematian sebagai hal yang wajar dan jiwa manusia akan kembali ke alam, maka filsafat keilahian bergerak melampaui pemahaman itu. Dalam tradisi Yudaisme misalnya, dikenal sebuah nyanyian Musa yang berbunyi, “Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana” (Mazmur 90:12). Juga perkataan Pengkhotbah, “Pergi ke rumah duka lebih baik dari pada pergi ke rumah pesta, karena di rumah dukalah kesudahan setiap manusia; hendaknya orang yang hidup memperhatikannya” (7:2).
Jauh sebelum filsafat Yunani-Romawi mengenal memento mori, Yudaisme telah mengajarkan kesadaran akan hari kematian.
Dalam tradisi Kristiani juga diketahui bahwa kematian tidak saja wajar, tetapi juga bukan akhir segalanya. Kematian akan mengantarkan jiwa manusia ke hadirat Penciptanya, “Beralih dari tubuh ini untuk menetap pada Tuhan” (2 Korintus 5:8; Filipi 1:23). Tubuh fisiknya suatu hari kelak akan dibangkitkan pada kedatangan Yesus Kristus kedua kali. Keyakinan akan kebangkitan mendorong umat Kristiani menyebut kematian fisik sebagai “tidur” (1 Korintus 15:51; 1 Tesalonika 5:10), dan menanti-nantikan masa itu, di mana “maut tidak akan ada lagi” (Wahyu 21:4). Di dalam sesi tanya-jawab Dhimas juga mempersilakan audiens memberikan tawaran dalam tradisi religius lainnya.
Filsafat keilahian memahami bahwa hidup bukanlah sekadar mempersiapkan diri menghadapi kematian secara rasional, tetapi menjalani hidup sesuai panggilan Sang Khalik yang termanifestasikan dalam hati nurani seseorang (Roma 2:14-16). Dengan kata lain, hidup manusia tak lain merupakan ikhtiar mempersiapkan diri menghadapi kematian dengan memenuhi panggilan Sang Pencipta atas hidup manusia.
Ketua Circles Indonesia menambahkan, “Setiap orang diundang untuk mengerti maksud Sang Khalik dalam hidupnya: alasan ia berada di dunia dan apa tujuan hidupnya.” Dalam tradisi Kristiani tujuan utama hidup manusia yaitu untuk memuliakan Tuhan dan bersukacita di dalam Dia.
Di akhir sesi, Dhimas menyebut bahwa “memento mori” adalah sebuah bisikan filsafati. Bukan untuk membuat takut, melainkan mengundang setiap orang memperhatikan dengan saksama, bagaimana ia hidup, tidak seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan mempergunakan waktu secara bijak.
Langkah praktis yang ditawarkan oleh pria yang studi doktoral di Oxford Center for Religion and Public Life, Inggris itu adalah setiap orang diundang menggunakan waktu yang ada secara produktif dalam mengisi kehidupan. “Nonton serial drama dan bermain game tentu wajar saja. Tapi, akan menjadi tidak sehat jika serial drama atau nge-game itu mengikat seseorang, sehingga banyak waktu yang berharga terbuang begitu saja,” kata Dhimas. Ini juga termasuk tidak menyia-nyiakan hidup dengan berusaha menjalani standar kesuksesan atau kekayaan orang lain, atau terjebak dalam kompetisi menggapai popularitas yang tiada habisnya, sambungnya.
“Layaknya sebuah perziarahan, manusia adalah musafir yang sedang melakukan sebuah perjalanan pulang menuju ke rumah yang kekal. Memento Mori,” pungkas Dhimas.