Menjadi “Gentleman”?: Silang Pendapat Locke dan Rousseau tentang Pendidikan

- Admin

Kamis, 10 Juni 2021 - 22:07 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi

Ilustrasi

John Locke (1632-1704) dan Jean Jacques Rousseau (1712-1778) dikenal sebagai dua filsuf modern yang menggagaskan teori kontrak sosial. Mereka mengedepankan kekuatan akal budi dan kebebasan sebagai elemen penting suatu masyarakat politik. Selain di bidang filsafat politik, mereka juga memiliki gagasan tentang pendidikan yang tetap dikagumi dan relevan. Gagasan mereka tak hanya saling berhubungan tetapi juga berbeda dan bertentangan.

Pandangan Locke tentang Pendidikan

Dasar filosofis seluruh bangunan pemikiran Locke tentang pendidikan terletak pada tesisnya bahwa seorang anak, sejak dilahirkan, ibarat suatu kertas kosong tanpa tulisan apapun (tabula rasa). Secara bertahap, kertas kosong itu ditorehkan dengan berbagai data yang diperoleh dari pengalaman. Gagasan ini menentang anggapan kaum rasionalis pada zamannya bahwa seorang anak memiliki ide bawaan sejak lahir.

Menurut Locke, pada awal kehidupannya, seorang anak tidak memiliki idea bawaan, serta pengetahuan intuitif dan spontan tentang nilai-nilai moral fundamental.  Sebaliknya, seluruh pengetahuan manusia diperoleh melalui sensasi dan refleksi: “Nihil in intellectu, nisi quod prius in sensu” (tak ada sesuatupun dalam pikiran/tanggapan tanpa melewati panca indera terlebih dahulu).

Baca Juga : Cerita Pensiunan Guru di Pelosok NTT yang Setia Mendengarkan Siaran Radio
Baca Juga : Urgensi Penelitian Sosial terhadap Pembentukan Kebijakan Publik

Dengan menekankan pengalaman, Locke sering disebut sebagai filsuf empiris. Selain pengalaman, Locke juga menekankan kemampuan akal budi seorang anak. Menurutnya, pendidikan harus membimbing seorang anak agar sanggup menjinakkan perasaan dan nafsunya dengan pikiran.

Menurut Locke, pendidikan sangat penting karena menentukan seorang individu hendak menjadi manusia seperti apa di masa depan. Perbedaan perilaku dan kemampuan individu lebih ditentukan oleh perbedaan pendidikan mereka daripada oleh hal-hal lain (§ 32).  Tujuan pendidikan adalah membimbing seorang anak menjadi “gentleman”.  “Gentleman” artinya seorang yang sanggup berpikir rasional, dapat diandalkan secara moral, serta memberikan kontribusi sosial dan politik bagi masyarakat.

Dengan kata lain, pendidikan mesti mempersiapkan anak-anak untuk tanggung jawab yang akan dipikul seorang pria dewasa. Setiap pendidikan yang berorientasi membentuk “gentleman” harus memiliki empat elemen utama yaitu kebajikan, kebijaksanaan, kehormatan dan pembelajaran.  Seorang anak pertama dan terutama diajari akhlak yang baik, lalu bagaimana membuat keputusan yang baik, bagaimana mendapatkan kehormatan dari pengakuan sosial, dan bagaimana mempelajari pengetahuan akademis. Locke lebih menekankan akhlak (kepribadian) daripada pengetahuan, sehingga pendidikan formal lebih diutamakan daripada pendidikan material.

Tujuan itu dapat dicapai di bawah tuntunan penuh orang tua dan pengasuh yang kompeten. Locke sangat menekankan peran aktif orang tua dan pengasuh dalam pendidikan anak. Mereka tidak boleh membiarkan seorang anak memecahkan sendiri masalah yang dihadapinya. Mereka juga perlu menanamkan semua kebiasaan yang baik kepada anak-anak melalui pengulangan dan contoh.

Baca Juga : Asal-Usul Roh Halus Menurut Kepercayaan Asli Orang Manggarai
Baca Juga : Kisah Seorang Difabel di Wodong yang Sukses Jadi Kepala Tukang

Locke menolak cara-cara otoriter dan disiplin keras sebab menurutnya kebebasan anak harus dihargai. Kebebasan yang dimaksud bukan tidak ada ikatan sama sekali melainkan kemandirian dalam bertindak. Anak-anak ingin menunjukkan bahwa tindakan mereka berasal dari diri sendiri dan bahwa mereka bebas (§ 73).  Dia juga menolak pemberian hadiah dan hukuman fisik, karena dapat membuat anak munafik. Dia menganjurkan cara-cara yang lunak, disiplin batin yang kuat, dan pendekatan-pendekatan yang sesuai dengan usia dan karakter individu seperti diakui juga dalam pedagogi modern.

Selain menekankan pendidikan rohani seperti pembentukan akhlak, Locke juga menekankan pendidikan jasmani sebab “dalam tubuh yang sehat terdapat pikiran/jiwa yang kuat”. Ungkapan Latinnya berbunyi: “Mens sana in corpore sano”. Menurut Locke, ungkapan ini adalah “deskripsi singkat namun lengkap tentang kebahagiaan di dunia ini” (§ 1).  Sebaliknya, tubuh yang tidak sehat sama buruknya dengan pikiran yang tidak terstimulasi. Locke menegaskan: “Dia yang pikirannya tidak bijaksana tidak akan menemukan cara bertindak yang benar, dan dia yang tubuhnya lemah tidak akan bisa maju”(§ 1).

Baca juga :  Sastra Jadi Mata Pelajaran

Dia menganjurkan, tubuh tidak boleh terlalu dilindungi tetapi harus dilatih agar kuat. Disiplin fisik yang keras ini menimbulkan kesan, Locke mempromosikan pendidikan Spartan. Kesan itu keliru karena pendidikan Spartan menekankan latihan fisik saja, sedangkan Locke menekankan keseimbangan pendidikan rohani dan jasmani, sehingga lebih dekat dengan pendidikan Yunani kuno.

Terkait pendidikan di sekolah, Locke menganjurkan latihan praktis bahasa asing, pelajaran membaca, aritmatika, geometri, ilmu bumi, sejarah dan pekerjaan tangan. Semua pengajaran harus dilakukan secara bertahap, induktif (berdasarkan pengalaman) dan menggunakan metode permainan.

Pandangan Rousseau tentang Pendidikan

Rousseau mengagumi ajaran Locke tentang pendidikan, tapi kemudian mengkritiknya lalu membangun teorinya sendiri yang dituangkan dalam buku  Emile, oude l’education. Tesis dasar yang menopang seluruh ajaran Rousseau tentang pendidikan adalah “semua yang datang dari tangan Sang Pencipta pada dasarnya baik, tapi menjadi rusak begitu sampai ke tangan manusia”.

Menurutnya, manusia dari kodratnya baik, tapi menjadi rusak karena kebudayaan. Karena itu, dia menyerukan untuk kembali ke alam. Kembali ke alam yang dimaksud bukan kembali ke hutan atau peradaban kuno melainkan kepada kodrat asali manusia yaitu kehendak dan perasaannya.  Pendidikan ideal adalah pendidikan yang kembali ke alam, yang berarti pendidikan yang memperhatikan bukan saja rasio tapi terutama kehendak dan perasaan anak. Pendidikan alamiah membiarkan naluri-naluri alamiah seorang anak berkembang bebas. Dengan demikian, tujuan pendidikan menurut Rousseau adalah membentuk manusia mandiri yang tumbuh secara alami dan bebas dari segala kebusukan masyarakat.

Baca Juga : Kisah Seorang Difabel di Wodong yang Sukses Jadi Kepala Tukang
Baca Juga : Urgensi Pendidikan Pancasila di Era Milenial

Dalam menggapai tujuan itu, Rousseau menekankan kemandirian anak untuk belajar dari pengalamannya. Anak-anak dibiarkan menyelesaikan sendiri masalah yang dihadapi. Mereka tidak boleh diarahkan oleh siapapun. Jika seorang anak melakukan kesalahan, kesalahan itu adalah guru yang mengajarkan hal yang baik dan benar. Contohnya, seorang anak belajar untuk lebih hati-hati membawa sepeda setelah dia jatuh dari sepeda. Dengan kata lain, lebih baik anak-anak dituntun oleh kesalahan yang dilakukannya sendiri daripada oleh berbagai kode moral universal, kotbah dan aturan-aturan yang hanya menghambat pertumbuhannya secara alamiah.

Dalam Emile, Rousseau menyebut novel berjudul Robinson Crusoe sebagai contoh bagus tentang pendidikan alamiah. Robinson Crusoe tinggal sendiri di suatu pulau dan tidak diajarkan siapapun. Dia belajar sendiri dengan metode trial and error.

Rousseau juga menekankan kehendak dan kebutuhan anak. Ketika seorang anak memiliki kebutuhan untuk mengetahui sesuatu, dia akan terdorong untuk mencari jalan keluarnya. Menurutnya, seorang anak mengejar pengetahuan demi kebutuhan, bukan demi pengetahuan belaka.  Rousseau sangat menekankan manfaat praktis suatu pengajaran dan pengetahuan bagi kehidupan seorang anak. Dengan menekankan manfaat praktis, pendidikannya bersifat pragmatis dan utilitarian.

Dia juga mengatakan bahwa dalam pendidikan alamiah, kehendak seorang anak jauh lebih penting dan efektif daripada kebiasaan. Kebiasaan dibentuk oleh pengekangan, tapi begitu pengekangan hilang, kebiasaan ikut lenyap dan alam kembali menegaskan dirinya dalam bentuk kehendak bebas.

Rousseau menekankan keseimbangan aspek rohani dan jasmani. Dalam aspek rohani, sesudah 15 tahun seorang anak harus diberikan pendidikan akhlak dan agama serta pendidikan susila guna membina suara hati. Dalam bidang jasmani, Rousseau menekankan fisik yang tangguh dan sehat. Perawatan fisik melalui pantangan dan disiplin yang keras sangat diperlukan. Panca indera juga perlu dirawat dan dilatih sebab Rousseau juga mengakui prinsip “nihil in intellectu, nisi quod prius in sensu“.

Baca Juga : Jacques Ellul tentang Masyarakat Teknologis
Baca Juga : TWK dan Skenario Pelemahan KPK

Titik Temu dan Perbedaan

Berdasarkan uraian di atas, terdapat beberapa titik temu dan perbedaan ajaran mereka. Titik temu tersebut antara lain: Pertama, baik Locke maupun Rousseau menekankan kekuatan akal budi seorang anak. Locke menekankan agar pendidikan mengarahkan anak untuk memakai akal budinya dalam menundukkan nafsu. Rousseau juga berpendapat, yang terutama dalam pengajaran adalah kemampuan anak untuk menggunakan pikirannya. Dia menganjurkan agar dalam pendidikan agama, hal-hal yang tak dapat diterima akal budi tidak boleh diajarkan kepada anak-anak.

Baca juga :  Literasi Menuju Moderasi Agama

Kedua, baik Locke maupun Rousseau menekankan kebebasan anak dalam pendidikan. Mereka tidak menyetujui paksaan, sikap otoriter dan kekerasan. Ketiga, baik Locke maupun Rousseau menekankan pendidikan yang seimbang antara aspek rohani dan jasmani. Selain menekankan pembentukan akhlak dan kesusilaan yang baik, mereka juga menekankan tubuh yang sehat dan panca indera yang terawat.

Baca Juga : Tuhan dalam Tiga Unsur Rumah Adat Ende Lio
Baca Juga : Berani untuk Percaya Diri?

Keempat, baik Locke maupun Rousseau menekankan pendidikan berbasis pengalaman. Locke berbicara tentang anak sebagai “kertas kosong” yang secara bertahap dibentuk oleh pengalaman. Rousseau menekankan kehendak bebas dan kebutuhan anak untuk belajar sendiri dari pengalaman dan lingkungan.

Di samping titik temu, terdapat sejumlah perbedaan. Pertama, perbedaan pandangan filosofis tentang manusia. Menurut Locke, sejak dilahirkan, seorang anak ibarat “kertas kosong”, yang berarti tidak memiliki pengetahuan intuitif apapun. Rousseau sebaliknya berpandangan, anak bukan “kertas kosong” sebab sejak lahir, alam telah melengkapinya dengan dorongan-dorongan alamiah seperti intuisi, kehendak, dan perasaan.

Kedua, tujuan pendidikan menurut Locke adalah membentuk “gentleman”, yaitu seorang individu yang berguna bagi masyarakat. Sebaliknya, Rousseau menghendaki pendidikan yang mampu membebaskan anak-anak dari kebusukan masyarakat.

Ketiga, Locke sangat menekankan peran aktif orang tua dan pengasuh, sehingga kemandirian anak berkurang. Sedangkan Rousseau sangat menekankan kemandirian anak, dan mengecilkan peran orang tua dan pengasuh.

Baca Juga : Apa yang Anda Ketahui tentang Kebenaran?
Baca Juga : Reformasi Dikorupsi dan Gerakan Kaum Muda Progresif

Keempat, menurut Locke, cara orang tua mencintai anaknya dengan bijaksana ialah dengan tidak membiarkan anak-anaknya melakukan kesalahan. Rousseau sebaliknya berpendapat, kesalahan yang dilakukan anak adalah guru yang terbaik.

Kelima, Locke menekankan akumulasi pengalaman dan pengetahuan dalam pengajaran. Rousseau lebih menekankan manfaat praktis pengetahuan sesuai kebutuhan anak.

Keenam, Locke berpandangan ajarannya tentang pendidikan berlaku bagi pria dan wanita. Menurut Rousseau, pria dan wanita memiliki peran berbeda sehingga harus dididik secara berbeda pula. Pendidikan perempuan dikonsentrasikan pada pengembangan skill yang diperlukan untuk merawat suami, anak-anak dan rumah. Pendidikan pria dikonsentrasikan pada pengembangan intelek.

Catatan Kritis

Pandangan kedua pemikir ini sangat relevan dan penting, namun tidak luput dari sejumlah kritik. Pertama, Locke sangat menekankan pendidikan rasional agar anak mampu menundukkan perasaan dengan rasionya. Benarkah pendidikan ideal seperti itu? Jika Locke mengutamakan akhlak anak daripada pengetahuan, bukankah itu berarti kematangan perasaan atau afeksi juga sangat penting? Bukankah banyak orang berakhlak buruk tidak karena kurang rasional melainkan karena emosinya tak matang dan tak sehat?

Menurut saya, Locke gagal melihat bahwa selain rasio, ada banyak aspek yang perlu dimatangkan dalam membentuk kepribadian seorang “gentleman”. Di antaranya ialah perasaan. Selain itu, penekanan Locke pada pendekatan rasional juga membuatnya gagal melihat nilai estetik dan artistik, bakat dan kreativitas manusia, yang dapat diakses melalui perasaan.

Baca Juga : Reformasi Dikorupsi dan Gerakan Kaum Muda Progresif
Baca Juga : Tak Ada Mimpi Yang Ketinggian

Kedua, Locke berpandangan, sejak lahir seorang anak tidak lebih dari kertas kosong. Benarkah demikian? Saya sepakat bahwa sebagian besar kemampuan manusia diperoleh melalui pengalaman, kerja keras, ketekunan belajar dan interaksi selama hidup. Tapi menurut saya, gagasan “tabula rasa” berlebihan. Para ahli koginitif telah menemukan bahwa keterampilan dan kemampuan telah ada dalam otak manusia sejak lahir. Kemampuan dan bakat seorang anak tidak mungkin ada tanpa kontribusi genetik yang mendahului pengalaman dan lingkungan. Lagipula, dengan gagasan “tabula rasa” ini, Locke akhirnya melihat anak-anak sebagai pribadi yang pasif. Kelemahan pandangan ini ialah anak tidak dilatih untuk mandiri dalam belajar sehingga otoaktivitas dan kreativitasnya tidak berkembang.

Baca juga :  Komunitas Circles Indonesia: Pendidikan Bermutu bagi Semua

Ketiga, saya setuju dengan Locke bahwa orangtua dan guru memiliki tanggung jawab besar dalam pendidikan anak. Namun, dalam kenyataan, peran orang tua dan guru yang terlalu dominan cenderung mengarah ke sikap otoriter dan kaku sehingga sulit dibedakan antara “tanggung jawab yang besar” dan “dominasi yang memasung kebebasan dan kreativitas anak”.

Selain terhadap Locke, ada beberapa kritik terhadap Rousseau. Pertama, menurut Rousseau, tujuan pendidikan ialah menghindarkan anak-anak dari pengaruh jahat masyarakat. Karena itu, anak-anak harus diisolasi dari masyarakat sampai dia dewasa dan mampu menangkal kebusukan masyarakat. Dalam konteks sekarang, gagasan Rousseau ini diungkapkan dengan cara yang lebih khusus. Demi menghindari pengaruh buruk media sosial dan pergaulan sosial, banyak orang tua mengontrol dengan ketat apa yang harus ditonton, didengar dan dibaca oleh anaknya, atau kepada siapa saja dia boleh bergaul.

Baca Juga : Cerita Seorang Pembohong
Baca Juga : Bias Urban dan Desa sebagai Subjek Media

Gagasan ini penting tapi bukan tanpa masalah. Mengisolasi anak-anak dari masyarakat bertentangan dengan hakekat manusia sebagai makhluk sosial. Hal ini dapat menghambat kecerdasan sosial anak sebagai salah satu aspek penting perkembangan normal manusia. Rousseau benar bahwa anak-anak bisa belajar dari kesalahannya sendiri. Tetapi bukan itu saja. Anak-anak juga bisa belajar dari kesalahan orang lain. Syaratnya, anak itu harus terlibat dalam masyarakat, bukan menghindarinya.

Kedua, Rousseau membagi bukunya ke dalam lima bagian berdasarkan gagasan bahwa anak-anak hanya dapat mempelajari hal-hal tertentu pada usia tertentu. Benarkah demikian? Kenyataan menunjukkan, perkembangan seorang anak tidak saja ditentukan oleh usia tapi juga oleh banyak faktor seperti lingkungan dan metode pendidikan. Beberapa anak pada usia yang sama bisa mempelajari berbagai hal berbeda dan berkemampuan berbeda karena pengaruh lingkungan atau metode pendidikan yang berbeda. Dengan pertimbangan ini, klasifikasi pendidikan anak berdasarkan usia yang dibuat Rousseau kurang tepat.

Ketiga, Rousseau membebaskan orang tua dari tanggung jawab mendidik anak dan melimpahkan tanggung jawab itu kepada pengasuh yang kompeten. Hari ini, pandangan Rousseau ini tercermin dalam anggapan bahwa mendidik anak adalah tugas guru di sekolah, bukan tugas orang tua di rumah. Anggapan ini dan pandangan Rousseau tersebut keliru. Pendidikan anak bukan hanya tugas guru melainkan juga tugas orang tua. Pandangan Rousseau ini mungkin merefleksikan kehidupannya sendiri: setelah dia mempunyai lima anak, kelima anak itu dia serahkan ke panti asuhan

Baca Juga : Zen, sebuah Agama Baru?
Baca Juga : Pernikahan Dini: Pandemik Yang Belum Juga Berakhir

Keempat, pandangan Rousseau tentang perbedaan pendidikan laki-laki dan perempuan, dan tugas perempuan sebagai perawat suami, anak-anak dan rumah, adalah sebuah pandangan diskriminatif. Kesadaran tentang kesetaraan perempuan dan laki-laki dewasa ini membuat pandangan  ini  tidak relevan dan tak dapat diterima.

Akhirnya, pokok-pokok pikiran Locke dan Rousseau tentang pendidikan tetap penting dan relevan dalam teori maupun praktek pendidikan saat ini. Persoalan tentang kebebasan anak, peran orang tua dan guru, metode-metode yang baik dalam pendidikan, tujuan pendidikan, pembentukan kecerdasan dan akhlak (kepribadian) yang baik, kedisiplinan, aturan, merupakan isu-isu penting dalam wacana tentang pendidikan dewasa ini. Kritik-kritik yang dikemukakan di atas tidak mengurangi kecemerlangan dan relevansi gagasan mereka tentang pendidikan. *

Daftar Pustaka:

Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern. Jakarta: Gramedia, 2007.

Locke, John. An Essay Concerning Human Understanding. Vol. 1. Oxford: Clarendon Press, 1894.

————–.Some Thoughts Concerning Education. London: J and R. TON SON, 1692.

Olsson, A. “Views on Childern, Chilhood and Education,” in Bachelor Degree Essay, Lund University, 2011.

Prof. Alex Lanur. “Filsafat Pendidikan,” Bahan Kuliah Pasca-Sarjana, 2021.

Rousseau. Emile, or on Education. Translated by. Allan Bloom. USA: Basic Book, 1979.

Komentar

Berita Terkait

Menyontek dan Cita-Cita Bangsa
Sastra Jadi Mata Pelajaran
Kaum Muda dan Budaya Lokal
Disrupsi  Teknologi dan Dinamika Pendidikan Kita
Budaya Berpikir Kritis Menangapi Teknologi yang Kian Eksis
Stempel Meritokrasi
Urgensi Literasi Digital di Era Pasca-Kebenaran 
Pembelajaran Agama Bercoral Multikultural
Berita ini 137 kali dibaca
Tag :

Berita Terkait

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:47 WITA

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

Demokrasi dan Kritisisme

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

steroid

Understanding Oral Steroids and Their Course

Rabu, 28 Agu 2024 - 14:43 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA