Urgensi Literasi Digital di Era Pasca-Kebenaran 

- Admin

Rabu, 2 November 2022 - 14:47 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com – Saat ini model komunikasi digital menjadi tren baru dalam masyarakat seiring berkembangnya beragam situs media sosial di internet seperti Instagram, WhatsApp, Facebook, Twitter, Myspace, Youtube, Google plus dan sebagainya. Keunggulan dari aplikasi ini ialah desainnya yang multiplatform, yaitu dapat diakses dan terhubung di berbagai perangkat digital.

Akibat kemajuan teknologi digital khususnya internet, kita kini hidup di dalam sebuah “dunia yang terhubung” (connected world) atau “zaman berjejaring” (the age of networking). Jejaring media, jejaring sosial, dan jejaring ekonomi kini merambah hingga ke sudut-sudut terjauh dan terpelosok di bumi. Dunia pun, menyitir Marshall McLuhan, seolah-olah bertransformasi menjadi sebuah desa global (Veronika Hamid, 2014:722-723).  

Akan tetapi perkembangan teknologi saat ini serentak membawa persoalan yang kompleks. Salah satu ‘limbah’ perubahan teknologi saat ini dalam kancah global adalah lahirnya era pasca-kebenaran dan masifnya pemberitaan hoaks. Pada era pascakebenaran, kebenaran rasional dipertentangkan dengan sensasi dan emosi (Mattew d’Ancona, 2017:185). Praktik politik di ruang publik kemudian dipahami sebagai zero sum game, pertengkaran emosi daripada suatu kontes ide dan diskursus bermakna.

Berhadapan dengan persoalan ini maka perlu suatu usaha merawat nalar kritis. Manusia memiliki akal budi yang mampu berpikir kritis untuk menyikapi realitas di sekitarnya. Sebagai ens rationale, manusia bisa menangkal dan sekaligus menyaring informasi yang tersebar di jagat media sosial. Ketika manusia mampu menggunakan akal budi secara memadai maka akan lahir pola pikir yang kritis untuk mempertimbangan setiap informasi dan menghindari diri dari klaim kebenaran semu.

Salah satu cara untuk menciptakan pola pikir kritis ini adalah penguatan literasi digital. Oleh karena itu, tulisan ini berusaha untuk mengembangan literasi digital agar lahir generasi yang kritis berhadapan dengan persoalan di era pasca-kebenaran. Sistematika tulisan ini akan diawali dengan pemetaan persoalan lalu dilanjutkan dengan pembahasan tentang pasca-kebenaran dan diakhiri dengan penjelasan tentang urgensi literas digital.

Memahami Pasca-Kebenaran   

Secara terminologis, pascakebenaran ini populer pada tahun 2004 ketika Ralp Keyes menerbitkan bukunya “The Post-Truth Era”. Dalam bukunya tersebut, Keyes mengartikan term pascakebenaran sebagai corak psikologis seseorang yang cenderung menggiring kebenaran dengan selera yang diinginkan meskipun hal itu tak mencerminkan sebuah kebenaran yang sesungguhnya (Ralph Keyes, 2004:3-18). Pada tataran ini, pascakebenaran adalah sebuah term yang menjelaskan suatu gejala ketika kebenaran dipinggirkan karena masyarakat secara emosional tidak menginginkannya karena lebih suka sensasi dan gosip (F. Budi Hardiman, 2015:158).   

Pada era pasckebenaran, setiap orang mengklaim kebenarannya masing-masing. Sumber utamanya adalah ketidakpercayaan terhadap metanarasi rasionalitas kebenaran dan anti-intelektualisme. Ketidakpercayaan publik terhadap rasionalitas itu terlihat jelas dari keterbatasan rasio untuk mendalami kebenaran. Sedangkan anti-intelektualisme yang dimaksud adalah bukan anti-absolutisasi melainkan kebencian terhadap kehidupan berpikir dan terhadap mereka yang merepresentasikan itu serta sikap yang terus menerus meminimalisasi nilai kehidupan.

Orang tidak perlu lagi berpikir karena berpikir identik dengan mencari kebenaran. Peter Tan (2017:12) dalam opininya “Pascakebenaran” mengutip Richard Hofstadter menyebut tiga bentuk anti-intelektualisme yaitu anti-rasionalitas, anti-elitisme yaitu penolakan terhadap standar-standar tertentu, dan instrumentalisme non-reflektif yang memicu pragmatisme dan penolakan terhadap refleksi atas nilai-nilai

Fenomena pascakebenaran sudah merambah ke seluruh dunia. Berbagai perkembangan telah menciptakan kondisi masyarakat pascakebenaran, seperti pengembangan komunikasi politik profesional yang bertujuan mengelola persepsi dan kepercayaan masyarakat yang tersegmentasi. Fenomena pascakebenaran ini semakin populer di ruang publik melalui perkembangan fitur media sosial. Corak ruang publik media sosial sangat menekankan otonomi individu. Setiap orang bisa mereproduksi kebenaran beritanya dan menyebarkan secara bebas di ruang publik.

Menurut John Prior (2017:170) dalam media sosial orang memakai teknik microtargeting yaitu menggunakan rumor dan kebohongan secara strategis. Sebagian besar media cuma mengulang-ulangi berita yang sudah disebarkan dengan sorotan yang berlebih-lebihan dan dengan perhatian penuh sensasi. Semakin banyak berita tidak lagi berasal dari pusat-pusat berita dunia yang kredibel atau dari wartawan profesional, melainkan dari pemakai media elektronik.

Dalam pascakebenaran bukan lagi fakta melainkan sensasi yang memperoleh dukungan. Pernyataan-pernyataan palsu diulang-ulangi hingga meyakinkan, sedangkan fakta nyata tidak dihiraukan karena sudah dianggap  sebagai sesuatu yang sangat sekunder, yang sesungguhnya tidak penting (Mattew d’Ancona, 2017:85). Berkaitan dengan ini, Arron Bank yang mensponsori kampanye Brexit menulis “fakta tidak berlaku. Kita harus mendekati masyarakat secara emosional. Inilah keberhasilan kandidat Trump di Amerika Serikat”.

Baca juga :  DKI Banjir, Pengamat: Saatnya Manajemen Banjir Dikelola Swasta   

Salah satu sifat dari pascakebenaran adalah bahwa politisi-politisi bersama pendukungnya terus-menerus mengulang-ulang sesuatu yang menarik perhatian rakyat, walau sudah ditemukan oleh media atau para pakar independen bahwa pernyataanya sama sekali tidak berbasis data (John Prior, 2017:168). Lugasnya dalam era pascakebenaran kebohongan menggoyangkan demokrasi, ilmu pengetahuan diludahi. Segalanya terjadi pada suatu tempat dan waktu dimana kepercayaan publik menguap, teori konspirasi tumbuh bak cendawan di hujan, otentitisitas media tidak jelas, dan emosi unggul dari pada fakta dan kebenaran.

Fenomena pascakebenaran di ruang publik mengkultuskan sentimen emosional (an emotional phenomenon) dari pada fakta. Mengutip Nietsche, kalau dipenghujung abad 19 dimaklumkan bahwa “bukan fakta yang berlaku tetapi interpretasi atasnya”, sekarang pemakluman menjadi radikal “bukan fakta yang berlaku tetapi sentimen-sentimen”. Sentimen tersebut jauh dari fakta tetapi menjadi suatu kebenaran di ruang publik.

Kita bisa melihat kemenangan Trump dalam politik Amerika dan Kasus Pak Ahok yang dipicu oleh tayangan yang disunting secara tendensius. Tetapi warga ruang publik mempercayai itu sebagai sebuah kebenaran. Fenomena ini  membenarkan Orator dan demagog ulung Joseph Goebbels, Menteri propaganda rezim Adolf Hitler, bahwa kehohongan yang terus diulang-ulang dalam waktu lama akan menjadi fakta. Bahkan pembohong bisa jadi percaya pada kehobongannya sendiri. Kebohohongan (hoaks/hoax) inilah yang menjadi karakteristik era pascakebenaran.

Urgensi Literasi Digital: Merawat Nalar Kritis    

Fenomena pascakebenaran dan masifnya hoaks telah menjadi kegelisahan dan persoalan kompleks saat ini. Istilah pascakebenaran melukiskan sebuah kondisi ketika kebenaran dianggap tidak lagi penting dalam kehidupan, tetapi hal itu sama sekali tidak berarti bahwa kebenaran itu tidak penting. Dengan mengatakan “pasca” kebenaran tidak berarti bahwa kita boleh membenarkan kelemahan karakter manusia.

Sebaliknya, istilah itu justru menunjukkan keprihatinan atasnya. Keprihatinan itu menjadi mungkin karena kebenaran merupakan nilai yang sangat penting dalam kehidupan. Peduli dengan kebenaran bukan berarti bahwa kita tidak pernah salah, melainkan justru sebaliknya, yakni kita terbuka pada kemungkinan bahwa keyakinan kita bisa salah (F. Budi Hardiman, 2021: 123).

Berhadapan dengan fenomena pascakebenaran dan hoaks ini maka perlu membudayakan nalar kritis dalam masyarakat. Nalar adalah kecakapan berpikir berdasarkan common sense. Bernalar berarti mempertimbangkan secara rasional sesuatu berdasarkan kaidah berpikir yang diterima umum (Budi Kleden, 2011:123). Setiap manusia sebagai ens rationale memiliki kemampuan untuk menggunakan nalar secara memadai. Dalam disiplin ilmu filsafat, Immanuel Kant telah menyusun kategori-kategori yang membantu manusia untuk menyusun struktur ilmu pengetahuan.

Kategori-kategori ini bersifat apriori karena ada pada subjek sebagai “struktur” yang tidak berasal dari pengalaman (Simon Petrus L. Tjahjadi, 2004:284). Menurut Kant, setiap manusia mampu mengolah informasi secara mandiri. Berkaitan dengan ini, Kant menjadi salah satu filsuf yang menganimasi pembaca untuk berpikir yang kemudian dikenal dengan diktum “Sapere Aude” yang berarti “berani berpikir sendiri”. Kemampuan kodrati manusia inilah yang menjadi dasar manusia untuk menggunakan nalar secara memadai dalam menyaring setiap informasi.

Oleh karena itu, bernalar kritis pada dasarnya merupakan kemampuan bawaaan yang ada pada setiap manusia. Nalar kritis yang dikonkretisasi dalam sikap dan disposisi tertentu akan menjadi suatu sikap kritis. Berpikir kritis tercermin dalam sikap tidak menerima begitu saja pengetahuan, teori, konsep atau pendapat umum yang datang dari luar.

Dalam hubungan dengan banjirnya informasi saat ini, kemampuan bernalar dan bersikap kritis akan membantu seseorang untuk menangkap, memilah, dan menalaah pelbagai informasi secara objektif dan empiris agar kita bisa membedakan mana informasi yang mengajak pada kebaikan bersama dan mana informasi yang sekadar mencari sensasi atau bertujuan untuk kepentingan sesaat (Fathorrahman Ghufdran, 2017:7).   

 Sikap kritis membuat kita mampu berpikir sendiri, mendeteksi kesahihan pengetahuan dan menguji batas-batas kesanggupan rasio. Rasio yang kritis menurut Filsuf Karl Popper adalah ratio falsifikasi karena rasio ini tidak menerima begitu saja sesuatu sebagai benar (Karl Popper 1992:64). Ia tidak hanya skeptik atas klaim kebenaran setiap pengetahuan tetapi juga skeptik atas dirinya sendiri.

Maka rasio ini menjangkarkan dirinya pada rasionalisme falsifikasi yaitu sikap atau semangat rasio untuk menguji dirinya sendiri dan menyelidiki kelemahan-kelamahannya sendiri. Kritik yang dibangun rasio manusia karena itu adalah pengadilan dua arah: pengadilan atas setiap klaim (doktrin religius, politis, ideologi, pengetahuan, filsafat, opini umum, dll) dan pengadilan atas rasio itu sendiri (Peter Tan, 2013:95-96).  

Baca juga :  Generasi Muda: Penentu Kemenangan Partai Golkar dalam Pemilu 2024

Metode falsifikasi Karl Popper merupakan salah satu cara yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk menanggapi realitas era pascakebenaran. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, falsifikasi pada dasarnya ingin menguji kebenaran sebuah teori melalui berbagai bukti yang dapat menyatakan bahwa kebenaran itu salah. Dalam metode falsifikasi, kebenaran sebuah teori atau informasi selalu dapat diuji dan dapat dibuktikan salah. Hal inilah yang dapat dilakukan oleh masyarakat dalam menyikapi era pascakebenaran.

Di tengah merebaknya informasi hoaks, masyarakat perlu mengecek dan meneliti kebenaran setiap informasi dengan baik. Setiap informasi dan berita yang ada perlu diuji kebenarannya dengan mencari berbagai bukti yang berkaitan dengan informasi-informasi itu (Eduardus Only Putra, 2017:95-96). Jika setiap informasi itu dapat diuji dan dibuktikan salah, maka informasi itu bukanlah informasi yang benar atau hanya merupakan sebuah berita yang palsu.

Namun, persoalan yang terjadi saat ini ialah bahwa banyak masyarakat yang belum berpikir kritis. Perkembangan teknologi yang pesat saat ini tidak dibarengi dengan kecepatan masyarakat untuk berpikir kritis terhadap perubahan yang ada.

Selain itu, penyakit masyarakat Indonesia ialah masih menilai kualitas dan kebenaran suatu opini atau argumentasi bukan dari ‘isi argumentasi’ melainkan pada ‘siapa yang mengucapkannya’ (Ignas Kleden, 1987: xvii). Begitulah ketika kita menganggap pendapat seorang presiden atau professor atau pemuka agama lebih layak diterima walaupun tidak sesuai dengan fakta atau bertendensi merusak kohesi sosial (Peter Than, 2013:89).

Berhadapan dengan persoalan ini, maka penting untuk mengembangkan literasi digital sebagai opsi solutif.  Menurut Paul Gilster dalam bukunya yang berjudul Digital Literacy (1997), literasi digital diartikan sebagai kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai bentuk dari berbagai sumber yang sangat luas yang diakses melalui piranti komputer.

Literasi digital merupakan pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum dalam rangka membina komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari. Literasi digital menjadi kian mendesak karena Indonesia sudah  memasuki di mana ruang realitas bukan semata ruang fisik, namun juga ruang digital.  

Literasi digital urgen saat ini mengingat data Digital Report 2021 dari Hootsuite dan We Are Social, hingga januari 2021, setidaknya ada 170 juta jiwa orang Indonesia yang merupakan pengguna aktif media sosial. Rata-rata dari mereka menghabiskan waktu 3 jam 14 menit di platform jejaring sosial (Kompas, 5 Maret 2021).

Namun, keadaban masyarakat Indonesia ternyata masih sangat rendah dalam aktivitasnya di dunia maya dan aplikasi media sosial. Digital Civility Index yang baru saja dirilis Microsoft pada 16.000 responden di 32 negara antara April-Mei 2020 menunjukkan Indonesia ada di peringkat 29 dengan skor 76 (semakin tinggi skor semakin rendah indeks digital civility).

Data ini menunjukkan ketidakseimbangan penggunaan media sosial dengan indeks kecakapan digital. Hal ini memperkuat mendesaknya pemahaman masyarakat akan literasi digital. Dalam Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) 2017-2020 telah diatur agar masyarakat semakin menguasai teknologi digital, memahaminya dan memanfaatkannya untuk kebaikan dan kemajuan peradaban. 

Di era globalisasi sekarang ini, dinamika perubahan terjadi begitu cepat dan serentak. Dunia yang selalu bergerak (runaway world) menurut Anthony Giddens membutuhkan kemampuan yang khusus untuk menghadapinya. Atas dasar itu, penguasaan teknologi dan profesionalisme merupakan suatu keniscayaan.

Dalam proses belajar berbasis digital itu diperlukan GNLD sebab kemerdekaan belajar di era digital itu harus dikelola agar terarah, visioner, etis dan kontruktif. Kementerian Komunikasi dan Informasi telah mencanangkan empar pilar dari Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) dalam rangka mendukung transformasi digital Indonesia. Pemerintah daerah didorong untuk merealisasikan empar pilar literasi digital yang mencakup digital skills, digital ethics, digital culture dan digital safety.

Digital skills berkaitan dengan kemampuan individu dalam mengetahui, memahami, dan menggunakan perangkat keras, perangkat lunak serta sistem operasi digital dalam kehidupan sehari-hari. Sementara digital culture merupakan bentuk aktivitas masyarakat di ruang digital dengan tetap memiliki wawasan kebangsaan, nilai-nilai Pancasila dan kebhinekaan. Digital ethics merupakan kemampuan menyadari, mempertimbangkan dan mengembangkan tata kelola etika digital dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan, digital safety adalah kemampuan masyarakat untuk mengenali, menerapkan, meningkatkan kesadaran perlindungan data pribadi dan keamanan digital.

Baca juga :  Pulau Timor, Satu Ruang Dua Tuan

Pada akhirnya, literasi digital mengarahkan masyarakat agar dapat memproses berbagai informasi, memahami pesan dan berkomunikasi efektif dengan orang lain dalam berbagai bentuk. Dalam hal ini, bentuk yang dimaksud termasuk menciptakan, mengolaborasi, mengomunikasikan, dan bekerja sesuai dengan aturan etika, dan memahami kapan dan bagaimana teknologi harus digunakan agar efektif untuk mencapai tujuan. Termasuk juga kesadaran dan berpikir kritis terhadap berbagai dampak positif dan negatif yang mungkin terjadi akibat penggunaan teknologi dalam kehidupan sehari-hari.

Literasi digital akan menciptakan tatanan masyarakat dengan pola pikir dan pandangan yang kritis-kreatif. Mereka tidak akan mudah termakan oleh isu yang provokatif, menjadi korban informasi hoaks, atau korban penipuan yang berbasis digital. Dengan demikian, kehidupan sosial dan budaya masyarakat akan cenderung aman dan kondusif.  

Kesimpulan   

Fenomena pascakebenaran di ruang publik menjadi suatu persoalan kompleks. Setiap warga menegasikan kebenaran fakta dan data dan mengkultuskan kebohongan yang diboncengi dengan sentuhan emosional. Di era pascakebenaran ini, kebenaran dan kebohongan kini saling bertautan erat. Sesuatu yang benar bisa dianggap salah dan yang salah bisa diamini sebagai sesuatu yang benar. Sementara itu, upaya mengarahkan masyarakat pada suatu tujuan politik tertentu dengan menyebarkan informasi yang penuh dengan sensasi, berbasis imajinasi, berisi fitnahan serta ujaran kebencian akan selalu memenuhi ruang publik.

Selain aksi penyebaran hoaks, politik yang lebih menekankan aspek emosional adalah salah satu ciri khas dari era pascakebenaran. Untuk dapat menghadapi ancaman dari era pascakebenaran ini, masyarakat membutuhkan suatu metode atau cara hidup yang dapat dijadikan tameng dalam menghadapi era pascakebenaran. Agar dapat menghadapi era pascakebenaran ini maka aktivitas berpikir, bernalar dan bersikap kritis terhadap informasi yang terdapat di media sosial menjadi sebuah keniscayaan.

Menghadapi fenomena hoaks yang merebak luas di Indonesia, kita ditantang untuk belajar dari Karl Popper, filsuf yang cerdas dan kritis. Melalui metode falsifikasi, Popper menekankan pentingnya berpikir kritis dan cerdas. Berpikir kritis berarti mampu melihat dan menanggapi informasi dengan teliti. Salah satu cara agar mampu berpikir kritis ialah pemanfaatan literasi digital. Dengan membudayakan nalar dan sikap kritis melalui pemanfaatan literasi digital, kita optimis bahwa fenomena pascakebenaran dan berita-berita hoaks yang kini melanda dunia secara global tidak akan dapat lagi menyeret kita terlalu jauh ke dalam jurang mautnya.    

Daftar Pustaka  

Andriadi, Fayakhun. (2016). Demokrasi di Tangan Netizen: Tantangan dan Prospek Demokrasi Digital. Jakarta: Rmbooks.

Bawden, D. 2001. “Information and Digital Literacies: A Review of Concepts“ in Journal of             Documentation, 57(2), 218-259.

D’Ancona, Mattew. (2017). The Post Truth, The New War on Truth and How to Fight Back. Amerika Serikat: Ebury Press.

Ghufran, Fathorrahman. (2017). Menyikapi Era Defisit Kebenaran, dalam Kompas, edisi 6 Januari 2017.

Hamid, Veronika. (2014). Angin Harapan Demokrasi Digital, Nostalgia Demokrasi Klasik,           Transformasi Ruang Publik dan Politisasi Media Sosial, dalam AE Priyono  dan Usman Hamid (eds), Merancang Arah Baru Demokrasi – Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta:Kepustakaan Populer Gramedia. 

Hardiman, F. Budi. (2021). Aku Klik maka Aku Ada – Manusia dalam Revolusi Digital.  Yogyakarta: Kanisius.

Hardiman, F. Budi. (2010). “Komersialisasi Ruang Publik menurut Hannah Arendt dan Jurgen  Habermas” dalam F. Budi Hardiman (ed). Ruang Publik – Melacak Partisipasi Demokratis dari Polis sampai Cyberspace. Yogyakarta: Kanisius.

Hardiman, F. Budi. (2015).  Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derida. Yogyakarta: Kanisius.  

Kleden, Paul. (2011). Menjadi Mahasiswa Bernalar dan Berilmu, dalam Jurnal Ledalero, Vol 10 (1) Juni 2011.

Kleden, Ignas. (1987). Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta : LP3ES.

Putra, Eduardus Only. (2017). Falsifikasi Karl Popper di Tengah Era Pascakebenaran dalam          Akademika, 12 (1), Agustus – Desember 2017.

Popper, Karl. (1992). The Logic of Scientific Discovery. New York: Routledge.

Prior, John. (2017). Politik Pascakebenaran. Maumere: Ledalero.

Tan, Peter. (2013). Kritisisme Falsifikasi Karl Popper:  Pendidikan Kritis dan Masyarakat Bebas Dogmatis, dalam VOX, 58 (2) Juli 2013.

Tan, Peter. (2017). Pascakebenaran, dalam Flores Pos, p. 12.

Tjahjadi, Simon Petrus L. (2004). Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan Para Filsuf  dari Zaman Yunani hingga Zaman Modern. Yogyakarta: Kanisius.

Komentar

Berita Terkait

Menyontek dan Cita-Cita Bangsa
Sastra Jadi Mata Pelajaran
Kaum Muda dan Budaya Lokal
Disrupsi  Teknologi dan Dinamika Pendidikan Kita
Budaya Berpikir Kritis Menangapi Teknologi yang Kian Eksis
Stempel Meritokrasi
Pembelajaran Agama Bercoral Multikultural
Peluang Pendidikan Tinggi di Era Digital
Berita ini 179 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:47 WITA

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

Demokrasi dan Kritisisme

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

steroid

Understanding Oral Steroids and Their Course

Rabu, 28 Agu 2024 - 14:43 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA