Kematian adalah Siklus Alami Manusia
Mengutip istilah yang terkenal, “Tidak ada pesta yang tidak akan berakhir,” menurut Dhimas, topik kelas ini secara hakikatnya mengingatkan bahwa semua manusia akan mati, sama seperti orang-orang yang sudah mendahului. Ini sejalan dengan perkataan Martin Heidegger yang tertulis dalam buku Being and Time (1962), “Kematian adalah kemungkinan dari ketidakmungkinan semua keberadaan.” Jadi, kematian adalah fase normal yang akan dilalui setiap orang, jadi tidak perlu khawatir,” ujarnya.
Tetapi, seperti hasil survei di Amerika tadi, mungkin saja di antara masyarakat dewasa ini ada yang menderita karena bayangan akan kematian begitu menakutkan, lalu berusaha menyangkali kematian, seperti kata Ernest Becker dalam bukunya “The Denial of Death” yang memenangkan penghargaan Pulitzer, “Ironi dari kondisi manusia adalah kebutuhan terdalamnya untuk terbebas dari kecemasan akan kematian dan kehancuran.”
Tidak ada yang mau mati. Bahkan orang yang ingin masuk surga pun tidak ingin mati untuk mencapainya, ungkap Steve Jobs tahun 2005 dalam pidatonya di Universitas Stanford, Amerika Serikat. Bisa jadi pidato ini menyuarakan suara hati banyak orang: jika bisa, seseorang tidak perlu mengalami kematian.
Pendiri Circles itu mengatakan, Secara biologis, semua manusia adalah satu spesies yang sama: memiliki siklus dan kebutuhan biologis yang sama, mulai dari makan, minum, sampai dengan kesehatan. Anatomi manusia tidak berbeda, dan di dalam sejarah unsur biologis manusia tidak memungkinkannya hidup selamanya. Panjang umur bisa, tetapi hidup selamanya tidak.
Secara etis, manusia juga selalu mencari apa yang elok: merindukan hidup yang baik dan teratur. Atau menurut pemikiran Platon, setiap orang pada dasarnya merindukan tata kehidupan masyarakat yang yang elok dan bajik (kalos kagathos). Ketika masyarakat taat lalu lintas, prokes, itu juga demi menjaga kelangsungan hidup lebih lama.
Secara metafisis, selain memiliki tubuh, manusia memiliki jiwa yang dipengaruhi kumpulan dari beragam unsur yang membangun life structure-nya (moral, kognitif, kebutuhan, psiko-sosial, psiko-seksual, dan roh), plus jaringan sosial-kultural yang kemudian membentuk satu entitas metafisis yang unik. Ke mana jiwa manusia ini pasca kematian badani tetap menjadi perbincangan terbuka hingga kini.
Secara politis, manusia terdorong untuk hidup bersama dengan manusia lainnya. Jika tata masyarakat kacau, manusia akan cemas akan eksistensi dirinya. Komunitas politik adalah fenomena universal sejarah manusia, artinya setiap orang adalah makhluk politis, yang bersepakat hidup bersama dalam suatu wilayah dengan harmonis demi menunjang eksistensi dirinya.
Secara epistemologis, setiap manusia adalah makhluk yang berikhtiar mengetahui apa yang benar. Dalam eksistensinya, manusia mengindera dunia dan berusaha memperoleh pengetahuan yang benar-benar benar. Kerinduan untuk tahu apa yang benar dengan segenap kemampuannya membuat manusia menemukan dan terus menggali segala disiplin ilmu, termasuk medis/kesehatan demi menunjang atau memperpanjang eksistensi dirinya.
Jika menelusuri pandangan ini, Dhimas menyimpulkan bahwa manusia secara naluriah ingin bertahan hidup. Tetapi dalam realitas, pada akhirnya ia akan kembali lagi pada “titik nol” atau pada “ketiadaan” dirinya di bumi. Ini adalah siklus alami. Kalimat “memento mori” menyadarkan manusia bahwa kematian adalah siklus alami yang tak terhindarkan. Maka, ketakutan berlebihan pada kematian dasarnya irasional. Tidak ada alasan yang cukup kuat, yang bisa mendorong orang untuk takut secara berlebihan kepada kematian, ujarnya.
Halaman : 1 2 3 4 Selanjutnya