Penulis Joy Rema Kamaruddin
“Bagaimana keadaannya, dok?”
Wanita berusia 39 tahun yang harap-harap cemas dan sangat khawatir itu, mengajukan pertanyaan menyambut kemunculan dokter Kim yang baru saja keluar melalui gerbang yang terbuka secara otomatis di antara tulisan tebal UGD.
Dokter Kim menghela napas berat lalu menyahut pelan, gurat keletihan tersirat jelas di balik senyuman tipisnya.
“Pasien sudah sadar, bu dan akan segera dipindahkan ke ruang inap. Benturan di kepalanya cukup keras dan kemungkinan besar pasien mengalami gegar otak. Setelah ini kami akan melakukan CT scan secara menyeluruh untuk memastikan keadaan pasien. Kita berharap, benturan ini tidak berdampak pada daya ingatnya. Ini akan memerlukan waktu yang cukup lama untuk pulih.”
Bahu wanita itu terguncang. Berita kecelakaan anaknya sudah mengangkat separuh nyawanya. Mendengar kabar bahwa Louis masih dapat diselamatkan, hatinya sudah sangat bersyukur meski ketakutan dan gelisah masih menyelimuti.
“Terima kasih, dok,” bisiknya haru.
Selesai mengurus administrasi dan mendapatkan nomor kamar inap, wanita itu mengatur langkah memasuki ruangan. Dengan ekor matanya, dia menangkap sosok pemuda yang berbaring dengan nafas teratur. Tak kuasa menahan diri, ia terisak dalam diam.
Baca Juga : Desa: Sentra Budaya dan Peradaban
Baca Juga : Zidane, Tuchel, dan Tuhan
Pertengkaran besar mereka malam sebelumnya membuat Louis keluar dari rumah, pada akhirnya mengundang nahas yang mengantarkan pemuda itu terbaring lemah. Ny. Sintia memaksa diri untuk menahan isak sambil mengusap pelan rambut anaknya.
Namun, Air matanya tak kunjung berhenti sebagai tanda penyesalan yang sangat dalam sebagai seorang ibu yang bahkan untuk menjadi seorang pendengar yang baik saja pun dia tidak bisa.
“Maafin mama, Nak.”
Terhitung dua minggu sejak Louis dirawat di Rumah Sakit dan kini pemuda itu sedang duduk sendirian di taman rumah sakit, meski dia tidak benar-benar sendiri karena di taman itu tampak beberapa pasien yang hilir mudik. Setidaknya keramaian rumah sakit ini mengambil kesunyian yang ia rasakan sejak pagi tadi. Hari ini ny. Sintia tidak dapat mengunjunginya.
“Hai, mau apel?” sebuah suara membuyarkan lamunannya lantas membuat pemuda itu menoleh. Dia meneliti seorang gadis bersurai coklat sebahu sedang menatapnya antusias. Dari penampilannya, gadis itu sudah pasti salah satu dari pasien rumah sakit ini. Tampak dari pakaiannya yang serba putih dan wajahnya yang pucat cukup untuk menguatkan dugaannya.
Saat Louis baru saja membuka mulutnya gadis itu malah terkekeh kecil sambil melanjutkan, “Maaf, aku mengagetkanmu ya?”
Louis bergeming, otaknya sakit mencerna hingga pemuda itu tersadar akhirnya menyahut gugup “Ah, aku gak apa-apa,” katanya terbata-bata.
Sebelah alis gadis itu terangkat. Ia tersenyum ringan sembari mengulurkan tangannya “Aku Lia, Malia.”
Louis tampak kebingungan, namun ia tetap membalas canggung uluran tangan gadis yang sedang berdiri di depannya. Dingin, tapi tak ditanggapinya dengan serius.
“Aku Louis.”
Baca Juga : Korupsi dan Ketidakadilan Gender
Baca Juga : Milenial dan Pendidikan Vokasi
Untuk alasan yang ambigu, darah Louis berdesir hebat dan ada sedikit perasaan membuncah dalam dirinya setelah tangan mereka bersentuhan lalu terlepas setelahnya. Beberapa pasien yang ada di taman bersamanya menatap pemuda itu heran mengeleng kepala kemudian berlalu pergi.
“Aa, ini … soal apel kenapa kau memberikannya kepadaku.”
“Itu karena kamu terlihat sedih dan sendiri jadi aku menawarkan apel. Aku suka buah apel karena ketika aku mengunyahnya rasanya seperti lebih ringan, tekanan sepertinya hilang,” jelas Malia tetap tersenyum menatap pemuda di depannya itu.
Ekspresi Louis berubah seketika. “Kenapa harus apel?”
Kini gadis itu memalingkan wajahnya lalu menjawab ketus “Yah karena aku suka apel.”
Ada sejemang jeda sebelum dia melanjutkan penjelasannya. “Karena bagiku apel itu istimewa.” Kini Malia kembali tersenyum menyisipkan kedamaian di hati Louis.
Sejak hari perkenalan itu, kini keduanya lebih kerap bertemu di taman Rumah Sakit untuk sekadar bertukar cerita, menikmati hembusan angin sepoi dan menghabiskan apel bersama.
“Lia, ceritakan bagaimana kehidupanmu, aku selalu menceritakan tentang kehidupanku. Sekarang giliranmu untuk bercerita.” Mendengar itu Malia terdiam dengan helaan nafas yang berat dia menatap Louis, sesekali dia mengumbarkan senyuman damai itu.
“Tentang siapa aku, ada waktunya kamu akan tahu.” Sejemang jeda.
“Tapi bukan sekarang.”
Louis tidak mengerti, dia ingin menanyakan lebih. Namun, melihat wajah Malia yang tampak pucat dia mengurungkan niatnya dan memilih diam. Keesokan harinya Louis berencana untuk mengunjungi ruang rawat Malia, karena dia masih sangat penasaran dengan kehidupan gadis itu.
Baca Juga : Kemenangan Barcelona di Mata Seorang Madridista Setengah Moderat
Baca Juga : Perjalanan Panjang El Barca Sebelum Buka Puasa di La Cartuja
Selain nama dan kecintaannya terhadap buah apel, Louis tidak mengetahui apa-apa lagi tentang Malia. Dia sadar ternyata kebelakangan ini Malia menjadi tempat baginya untuk menyalurkan tekanan demi tekanan yang dia alami, tidak pernah sekalipun dia memberi waktu kepada gadis itu untuk melakukan hal yang sama kepada dirinya.
Rencana Louis sepertinya tidak berjalan mulus, dia tidak menemukan gadis itu di ruangannya.
“Ah, mungkin dia sedang melakukan pemeriksaan rutin.” Gumam Louis pelan, meski dia merasa kecewa karena tidak mendapati Malia diruangannya.
Akhirnya Louis memutuskan untuk kembali ke ruangannya. Saat dia mendorong pintu tampak mamanya dengan wajah khawatir sedang ngobrol bersama dr. Kim, sepertinya mereka baru saja membahas sesuatu yang sangat penting. Tentunya ini menyangkut dengan dirinya.
“Kamu dari mana nak?” tanya Ny. Sintia tanpa basa-basi.
“Aku dari ruangan Malia, tapi tidak menemukannya di sana.” Jawab Louis sambil tersenyum paksa berusaha menyembunyikan ekspresi keterkejutannya akan kehadiran dokter Kim dan mamanya yang mendadak.
Louis tidak dapat membaca ekspresi wajah mamanya dengan tepat. Antara takut, khawatir, cemas, sedih … seakan-akan menjadi satu pada wajah wanita separuh baya itu.
Baca Juga : Catatan Pendek Pasca Pekan Berat Real Madrid
Baca Juga : Masyarakat Risiko, Terorisme, dan Kemanusiaan Kita
“Malia, teman Louis yang sering Louis ceritakan ke mama. Ingatkan?” ujar Louis menjelaskan ketika mendapati wajah mamanya sekarang tampak seperti sedang kebinggungan.
Dr. Kim yang sedari tadi memperhatikan Louis kemudian berdehem pelan lalu mendekatinya. “Louis bisa kita berbicara sebentar?”
Membuang perasaan yang mengganjal di hatinya, pemuda itu mengangguk sembari berjalan mendekati sofa maron yang terletak tak jauh dari tempat tidur pasien. Kondisi fisik Louis yang semakin pulih sempat membuat dr. Kim kagum dan terbilang cukup cepat untuk seukuran kecelakaan yang dialami oleh pemuda itu.
Pindaian CT scan yang dilakukan sudah mengeluarkan hasil, ini yang kemudian menjadi pergumulan sang dokter bersama ny. Sintia dan keberadaan Louis yang tampak berbeda dari biasanya, menjadi sampel peneltian dr. Kim secara diam-diam.
Ny. Sintia segera mengambil tempat di samping anaknya, menggengam tangan itu dengan erat. “Nak, bisa kamu menceritakan kembali tentang Malia, teman kamu itu?”
Louis mengangguk mantap, kemudian menceritakan semua tentang Malia. Dari awal mereka berjumpa di taman rumah sakit, tentang bagaimana kecintaan gadis itu terhadap buah apel hingga sekarang dia tidak menemukan keberadaan gadis itu di mana pun.
Baca Juga : Colin Crouch tentang Post-Demokrasi
Baca Juga : Menikmati Wisata Kopi DetusokoMenikmati Wisata Kopi Detusoko
Louis sangat antusias menceritakan semua tentang Malia, sampai tidak ada satu hal pun yang ia lewatkan, kemudian ada sejemang jeda menginterupsi saat Louis sampai pada akhir ceritanya.
Ny. Sintia tertunduk lemah, dia tidak mengatakan sepatah kata pun sementara dokter Kim menghela nafas berat sembari melepas kaca matanya. Louis kemudian menangkap ekspresi takut mamanya dan ekspresi khawatir dr. Kim. Dia bungkam.
Di tengah keheningan itu, pintu ruangannya tiba-tiba terbuka lebar. Bunyi gagang pintu yang diputar menarik perhatian ketiganya. Tak terduga, muncullah seorang gadis yang baru saja selesai mereka ceritakan. Malia.
Penampilannya masih tetap sama, dengan pakaian rumah sakit putih, wajah pucat dan rambut coklat sebahu yang tidak pernah diikat rapi. Louis bergeming lalu dia tersadar dengan penampilan Malia satu incipun tidak ada yang berubah sejak hari pertama mereka berjumpa. Namun, dia menepis pemikiran itu lalu tersenyum menyambut kedatangan Lia. Baru saja Louis ingin memperkenalkan gadis itu, dr. Kim tiba-tiba menginterupsi.
“Dia, Malia Charity,” ujar sang dokter. “Teman yang baru saja kamu ceritakan, Louis, dia juga salah satu dari pasien dari rumah sakit ini.”
“Aha, berarti dokter sangat mengenalinya.” Secercah harapan terbit di wajah itu. Dia hendak berdiri menyambut kedatangan Lia, tapi dokter itu melanjutkan,
“Dia, sudah meninggal sebulan yang lalu, akibat kanker lambung stadium akhir.”
Deg!
Kekuatan yang tadi menopang tubuhnya kini sirna. Seakan seluruh panca inderanya tak lagi berfungsi. Pandangannya tak kepas dari sosok gadis yang sedari tadi berdiri menungguinya di pintu kamar kini perlahan lenyap tanpa bayangan. Hanya menyisakan potongan kenangan yang mengisi hari-harinya di Rumah sakit itu.
Sebulir air mata berhasil lolos dari pelupuk pemuda itu, sementara Ny. Sintia sudah terisak perih, memeluk anaknya dengan penuh simpati.
Louis terdiam seribu bahasa.