Part 1
Indodian.com-Saya khawatir pada Lia. Hampir setiap hari dia menyaksikan ayah dan ibunya bertengkar mulai dari hal-hal pekerjaan sampai pada hal remeh-temeh di rumah. Tak ada damai dalam rumah. Kalaupun ada sukacita, tetapi hanya sementara saja. Setelah itu, rumah kembali menjadi arena pertengkaran yang tak kunjung usai.
***
Panggil saja dia Lia. Gadis manis, kecil, dan cantik. Sudah beberapa kali Lia meneteskan airmatanya ketika menyaksikan ayah dan ibu yang tak bisa luput dari pertengkaran.
Saat itu, Lia berusia seperti tunas pisang di atas tanah yang belum banyak pengalaman untuk membekali hidup. Hanya bisa nampak dan tumbuh kembang saja. Selebihnya tidak. Katakan saja usia Lia lima tahun dan tiga bulan ke atas. Masuk akal kalau belum mengetahui masalah. Apalagi masalah yang terjadi dalam keluarga kecilnya.
Lia adalah satu-satunya gadis dari sepasang suami istri. Bapa dan mamannya cukup muda. Berkisaran sepuluh tahun di atas saya. Kalau dihitung-hitung mungkin orang tuanya belum waktunya hidup berkeluarga. Sudahlah. Inilah jalan dari permainan cinta yang pernah kau ceritakan itu.
Ibunya Lia hanya sampai pada jenjang pendidikkan di sekolah menengah pertama. Itu pun belum tuntas. Beda dengan ayah Lia. Ayah Lia sampai pada sekolah menengah atas. Dia tidak melanjutkan sekolahnya ke tingkat yang lebih tinggi. Katanya dia mau bermain dengan caranya sendiri. Dalam suatu kesempatan, opa Lia, ayah dari bapa Lia menghadiahkan motor sebagai pengganti tidak lanjut sekolah. Memang begitu kesepakatan awalnya. Dia memberikan motor yang tentu lebih awet dan modern dari kuda yang mereka gunakan dulu.
Semasa Lia balita, kedua orangtuanya sering bertengkar. Ibu Lia sering jadi buah bibir tetangga. Begitu pula ayahnya tak jauh berbeda. Keributan ini diakibatkan dengan kondisi ekonomi cukup berkekurangan dalam keluarga.
Kata orang, mama Lia sering berhutang pada tetangga misalnya beras, kopi, apalagi uang. Hampir setiap rumah-rumah di kompleks kami penuh dengan tunggakannya. Termasuk mama saya.
Dulu dalam suatu waktu saya sempat menyaksikan pertengkaran antara mama dan bapa Lia. Pertengkaran ini lahir karena isi dompet yang kikis menipis. Begitu memang ibu Lia. Dompet tebal dia aman.
Kalau tidak salah waktu itu tengah malam. Terjadi keributan yang ruwet antara mama dan bapa Lia di dalam rumah . Tak salah kalau bunyi binatang penjaga malam berhenti mendadak. Masalah utama karena mereka kehabisan beras.
Gopah-gapah dari mama Lia terus saja menuntut. Semacam menuntut bahagia termasuk harta. Saya jatuh kasihan pada Lia. Ditinggal sendirian dalam kamar tidur. Hanya ditemani dengan cahaya kuning lampu pelita yang mungkin menerangi mimpinya di hari-hari depan.
Keributan malam itu ditutup dengan teriakkan-teriakkan dan airmata Lia. Lia menangis dalam bahasa dan cara dunia kecilnya sendiri. Kasihan Lia. Usia masih belia, dia sudah menyaksikan masalah demi masalah.
Lia kau harus tabah!!!
Part 2
Begitulah hidup Lia. Usia masih belia masalah terus saja berdatangan.
Pernah suatu kali saya mengagumi kecantikan mama Lia. Itu yang membuat mama saya marah. Mama bilang “Jangan jatuh hati pada kecantikkan. Toh itu hanya sementara. Jatuh hatilah pada hatinya. Di sana kau akan tumbuh dalam kasih dan cintanya.” “Ehh mama. Tau-tau saja urusan saya” saya menyahut dengan malu.
Kehadiran sepasang suami istri itu membuat kehangatan di kompleks kami mulai buyar. Maklum. Begitulah mulut-mulut manusia. Ada masalah baru berarti ada topik yang lebih seru.
Telah saya saksikan sendiri masalah suami istri itu. Setiap hari terasa ribet dan ruwet. Kita panggil saja bapa Lia dan mama Lia. Sudah beberapa airmata mendarat di tanah. Pernah suatu kali tangan mama Lia mendarat di pipi kanan bapa Lia. Saya kaget dan jatuh kagum pada mama Lia. Cantik-cantik begitu ternyata cukup parah. “Memang benar kata mama. Jangan jatuh hati pada kecantikkan” gumanku dalam celah-celah kekaguman.
Hubungan suami istri itu semakin lama semakin parah. Kadang-kadang damai kadang- kadang lain lagi. Kurang lebih begitu hiruk pikuk mama dan bapa Lia.
Pernah suatu kali saya memandang dengan sembunyi kepada suami istri itu. Mereka sedang mesra-mesraan dalam keluarga kecil mereka. Saya melirik sambil tersenyum dan dalam kepala ada harapan bahwa itu bukan sementara.
Tetapi siapa sangka kemesraan itu hilang secara tiba-tiba. Saya menyesal sendiri menyaksikan kebahagian yang semata itu.
Tiba-tiba suatu pagi terjadi lagi pertengkaran antara mama dan bapa Lia. Mendadak galak. Baru kemarin bahagia. Sekarang perkara lagi. Macam serigala kelaparan.
Kali ini cukup berbeda dari yang kemarin-kemarin. Sampai-sampai bukan airmata saja yang jatuh mendarat. Cacian dan makian turut menyertai. Lebih daripada itu, parang hampir ditebas di antara leher dan kepala.
Pandangan saya melotot pada Lia. Lia bermain damai dalam dunianya sendiri, ayah dan ibunya bermain dalam dunianya sendiri. Yakni tidak lain dari dari dunia pertengkaran.
Lia kau harus tabah.
Part 3
Sebelum berangkat ke lain hari, saya menyesal sendiri bila bertemu Lia. Saya masih ingat saat-saat dulu. Saat-saat masalah belum melanda keluarga kecil Lia. Mama Lia sering datang ke rumah kami. Lebih-lebih sore hari. Datang hanya bercanda walau kadang-kadang ada maksud lain di dalam dada dan kepala.
Saat itu saya melihat Lia amat bahagia. Bermain dengan yang bungsu dari keluarga kecil kami. Mereka baku kejar-kejaran. Bukan berarti pertengkaran. Lari dari ruang depan ke ruang tengah sambil tertawa mesra. Setelah itu dari ruang tengah kembali lagi ke ruang depan. Mereka tak sampai ke ruang belakang. Di sana ada mama saya dan mama Lia. Mereka bicara berdua saja. Saya menatap dari kejauhan sangat serius. Aku tak tahu pasti apa yang sedang mereka perbincangkan. Tetapi sudahlah, semoga saja jalan kanan dari masalah.
Waktu itu usia Lia tepat lima tahun. Keluarga kecilnya merayakan bersama bahagia itu. Lia diperlakukan amat istimewa. Ayah cium di pipi kanan Lia dan mama cium di pipi kiri Lia. Di tengah Lia tersenyum bahagia. Kehangatan itu abadi dalam potretan layar pintar.
Semua orang di kompleks kami senang sekali melihat itu. Termasuk saya. Walaupun ada yang memahami dalam kemungkinan bahwa kebahagian ini tak lain dari sementara. Namun harapan saya bukan demikian.
Tak jauh dari hari itu, ternyata benar kebahagian itu tak lain dari sementara. Keributan muncul lagi. Keributan kali ini bukan main. Sampai-sampai tidur beda rumah bahkan beda kampung.
Begini memang berkeluarga tanpa siap siaga. Masalah terus saja melengkapi hari-hari. Teriakan dan airmata terus saja berontak.
Kurang lebih setahun Lia tak bertemu ibunya. Tentu dalam hati tumpuk kian beribu-ribu rindu yang menggebu. Marah dan amarah ayah Lia belum juga reda-reda. Padahal masalah itu sudah kian berlalu.
Tibalah saatnya usia Lia gadis kecil dan cantik itu kian bertambah. Saat itu usia Lia menggenapi lima tahun. Kebahagian kecil ini agak lain. Suasana mulai berbeda. Kata orang saat itu Lia meneteskan air dari matanya di depan semua orang saat berdoa. Kentara sekali raut wajah yang cantik itu hilang. Mendadak luntur karena aimata.
Kalau dulu saat ulangtahun bapa Lia cium di pipi kanan. Mama Lia cium di pipi kiri. Lia tersenyum bahagia di tengah. Kali ini sudah lain. Kedua pipi Lia penuh dengan bekas bibir kasih sayang dari ayahnya. Yang lebih parah lagi ketika Lia menangis sambil menuntut ibunya cium di pipi sebelah dan ayah di pipi sebelah. Biar di tengah Lia tetap ceria dan bahagia.
Saya tak menahan kuasa melihat itu. Mata saya menjatuhkan airmata. Bukan hanya saya. Kerabat-kerabat yang lain juga ikut merasakan demikian.
Seingat saya waktu itu bapa Lia menggantikan posisi mama Lia dengan seorang gadis untuk mendampingi Lia di hari ulangtahun Lia. Katanya biar Lia terlihat masih bahagia dan ceria walau pun jauh dari ibunya. Lia di tengah. Di samping kanan dan kiri ada bapa Lia dan seorang gadis yang aku katakan tadi. Saya paham ini cara untuk bahagia yang bukan sesungguhnya. Sesungguhnya ini cara cukup parah. Ini tingkah yang salah.
Ayah Lia cium di pipi kanan Lia gadis itu cium di pipi kiri Lia. Di tengah airmata Lia membasahi pipinya. Menghanyutkan bekas-bekas bibir yang parah itu. Setelah itu Lia teriak dan berontak. Semua mendadak bisu. Ayah Lia bermuka dua. Antara sembunyi dari salah dan salah yang membuat masalah. Selebihnya pukul kepala tanda menyesal.
Kalau tidak salah waktu itu Lia mengucapkan beberapa kata. Selain harapan itu juga doa dari Lia. “Kembalikan mama saya. Kembalikan ayah saya. Kembalikan bahagia saya” Lia menyahut disertai airmata.
Saya yakin sekali teriakkan itu hanya untuk melawan teriakkan pertengkaran. Mencoba untuk mendamai. Bahwa yang keras kepala tidak bisa dilawan dengan keras kepala. Ia harus dilawan dengan airmata. Airmata yang saya maksudkan adalah airmata Lia. Airmata yang begitu tulus menguncur melunturi masalah. Lembut dan halus.
Yulianus Risky Agato. Siswa SMAK Seminari St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo.