Indodian.com – Asap mengepul dari cerutu, berbaur dengan udara segar di teras rumah. Sambil ditemani seduhan kopi Manggarai yang nikmat, aku mengobrol sejenak dengan pikiranku; mencoba menggali ide yang bakal dituangkan dalam novelku yang keenam. Gampang-gampang susah. Apalagi tema yang ingin kuangkat kali ini adalah “Guruku, Pahlawanku”. Gampang, karena guruku memang pahlawanku. Tanpa dia aku mungkin akan menghabiskan hari-hari di bawah kolong jembatan bersama tikus-tikus got kotor yang katanya mirip dengan diriku tempo dulu.
Ayah suara mungil yang biasa memecah keheningan menyapa dari kejauhan. Anakku, Karlos, baru pulang dari sekolah. Sebelum sapaan itu dilanjutkan, aku sudah tahu, setelahnya pasti akan ada topik tentang guru Agama di sekolahnya. Adalah Pak Tarno, guru Agama yang terkenal satu sekolah karena sifat humoris dan keakrabannya dengan siswa.
Setiap siswa pasti suka dengannya, bukan saja karena humoris tetapi karena tidak ada prasasti tangannya di pipi para murid. Pak Tarno tidak suka kekerasan. Pokoknya jabatan killer sangat jauh darinya. Kalau dia sampai menampar, berarti kenakalan siswa tersebut sudah kebablasan.
Wajar bila sifat Tarno demikian. Kepribadian itu diturunkan dari ayahnya. Buah memang tidak jatuh jauh dari pohonnya. Pak Budi, ayah Tarno, adalah guruku saat SMA dulu. Orangnya tinggi, tegap. Badannya kekar. Kulit hitam dan janggut keriting yang dilepas tumbuh lebat di dagu membuat siapa saja yang bertemu dengannya pasti akan gentar dan gemetar. Banyak yang mengira dirinya adalah teroris.
Akan tetapi bak langit dan bumi, kepribadiannya bertolak belakang dengan perawakannya. Dia adalah salah seorang guru yang paling disukai para murid. Bukan sekadar karena dia humoris, tetapi karena sikapnya yang lemah lembut. Semua siswa tahu, kalau didapati Pak Budi membolos sekolah, paling-paling akan disuruh menimba air untuk mengisi bak wc sekolah. Tak pernah ada kabar dia memukul murid. Bahkan kabar burung sekalipun!
Seperti anak lain, aku juga menyukai Pak Budi yang lemah lembut itu. Namun sebenarnya aku meremehkannya. Meski waktu itu aku masih duduk di bangku kelas dua SMA, tetapi bibit-bibit nakal sudah ada dalam diriku. Kata orang diturunkan dari ayahku.
Siapa tidak kenal dengan Markus. Itulah diriku. Ketika ada siswa bermasalah, pasti namaku selalu berada pada urutan pertama. Cukup dengan mereka mengeja suku kata depan namaku saja Mar, orang sudah tahu kalau itu adalah diriku. Semua tinggal menyambung Kus. Maka terbentuklah Markus. Markus ya, jangan ganti Mar itu dengan ti”, meski jujur kuakui aku memang mirip tikus; kecil, kumal, juga lincah.
Meski terkenal nakal, aku tetap punya jadwal. Jadwal kapan harus nakal, dan kapan harus bersikap munafik. Aku hanya berani membolos atau melakukan hal-hal aneh lainnya saat Pak Budilah yang bertugas piket. Di luar itu, aku juga berani sih, tetapi agak sedikit berhati-hati. Nyaliku tidak seteguh kalau Pak Budi yang bertugas. Aku memegang teguh prinsip: “strategi itu penting untuk mencapai kesuksesan.”
Pertimbangan tentang konsekuensi yang paling ringan hanya diperoleh kalau Pak Budi yang bertugas. Paling-paling kalau kedapatan aku cuma disuruh menimba air.
Lama kelamaan aku keenakkan dengan perlakuan ini. Perlahan tapi pasti profesionalitasku sebagai pembolos semakin terasah. Roster bolos mulai dilanggar. Hampir setiap hari aku terus membolos. Bukan hanya Pak Budi yang kini kupandang sebelah mata, semua guru tidak masuk dalam daftarku sekarang.
Prestasiku kemudian menurun. Padahal waktu duduk di kelas satu aku adalah juara kelas. Tapi ya sudahlah, menanggalkan nama sebagai juara kelas tidak berpengaruh apa-apa terhadap ketenaranku. Toh namaku masih dikenal di mana-mana, meski dengan predikat berbeda Markus si tukang bolos.
Predikat itu sepertinya akan melegenda di sekolahku. Mungkin akan ada sebuah tugu dengan prasasti khusus yang dibuat untukku; Pahlawan dan teladan para pembolos. Harapan itu hampir terwujud sampai suatu saat Pak Jony mulai mengajar di tahun terakhirku bersekolah. Perawakannya biasa saja. Dengan tinggi pas-pasan, kaca mata klasik mirip milik Bung Hatta, kulit putih bersih, wajah tampan seperti artis korea dan rambut yang disisir belah tengah membuat siapapun tidak akan menduga kalau dia adalah atlet nasional beladiri Judo!
Pak Jony kemudian diangkat menjadi kaur kesiswaan. Kami semua senang. Pandangan pertama membuat kami berkesimpulan orangnya pasti tak suka main tangan. Tidak mudah main tangan. Banyak geng sekolah yang merayakan perisitiwa itu. Termasuk diriku. Aku yakin nama Markus akan semakin fenomenal.
Prediksiku memang tepat. Bulan-bulan pertama, sekolah serasa tempat berpiknik. Angka membolos semakin tinggi. Aku juga termasuk orang yang membuat grafik itu naik. Kedapatan? Sering, bahkan selalu. Tapi biarlah kupikir, semakin sering namaku disebut, elektabilitasku juga akan semakin naik. Bangga.
Prok..prak..prok..prak. Meja di ruangan kaur kesiswaan terjungkir balik. Semua orang langsung mengerumuni ruangan. Kegaduhan itu bukan karena ada pencuri yang terciduk seperti dikira orang, melainkan anggota gengku yang baru saja merasakan keganasan Pak Jony. Dia lepas kendali karena kami terus ngeyel ketika ditanya tentang alasan membolos…lagi. Kemarahannya tak tertahankan karena tidak satupun di antara kami berempat yang menaruh respek padanya. Bahkan Deri, wakil gengku, menjawab pertanyaan Pak Jony dengan asap rokok yang masih mengepul dan kaki yang direntangkan di atas meja meja. Dalam sekali libas kami berempat tumbang. Darah bergelayutan di janggut tipisku. Tidak ada perlawanan. Siapa mau ambil resiko? Melawan berarti sedang melakukan testing mayat.
Tendangan Pak Johny saat itu serasa petir di siang bolong. Sakitnya lebih parah ketimbang tertusuk kawat duri pagar sekolah. Kami tidak pernah mengalami yang seperti itu. Walau sering bolos, kami tidak pernah terlibat tawuran. Tendangan itu sekaligus membuat bakal tugu dan prasastiku berubah tema; Pahlawan dan Motivator bagi Pembangkang yang mau bertobat.
Asap masih mengepul dari cerutuku yang sudah mulai menipis. Kopi menyisakan ampas. Satu jam telah berlalu. Mengenang masa lalu memang selalu punya kenikmatan tersendiri. Setelah peristiwa kekerasan atas nama cinta itu aku langsung bertobat. Aku bersyukur menerima tendangan itu, karena jika tidak aku tidak mungkin menjadi penulis sukses seperti sekarang ini. Hanya saja karena peristiwa itu, Pak Jony harus dipenjara karena melanggar UU Perlindungan Anak. Tidak peduli dengan motif dan dampak tindakannya, kekerasan tidak punya tempat di sekolah. Kasihan Pak Jony, dia memang pahlawanku, tapi tidak bagi negeri ini. Dia dianggap penjahat, karena melakukan tindak kekerasan. Sebenarnya kupikir, terkadang untuk orang-orang sepertiku yang tingkat membangkangnya sudah kelewat batas, perlu diberi shock terapy. Namun entahlah, itu urusan pemerintah, mereka tahu mana yang terbaik.
Ayah hari ini Pak Tarno menamparku, karena kedapatan membolos lagi. Pipiku masih terasa sakit hingga sekarang Karlos melapor sambil meringis kesakitan.
“Apa? Kurang ajar. Guru biadab, ayo ikut ayah, kita lapor polisi.
Penulis : Guru di SMP dan SMA Seminari Pius XII Kisol, Manggarai Timur-Flores-NTT