Sunset yang Hilang

- Admin

Sabtu, 17 September 2022 - 18:20 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com – Sore itu, bersama seseorang, aku menatap mentari yang hendak pamit dari tugasnya setelah sepanjang hari menyinari bumi. Sang surya memanjakan mata dengan sinarnya yang cantik kemerah-merahan. Perlahan-lahan dia hilang di balik garis lautan.

“Kau lihat?” tanyanya.

“Apa kau juga tak melihat mentari yang perlahan pergi dengan cantik sinarnya?” aku melirik ke arahnya sambil sesekali mencubit lengannya.

Dia tertawa, “ah sakit”.

Aku berdiri sejenak, lalu mendekati penjual minuman. “Ini minum,” kataku sambil memberikan sebotol air mineral kepadanya.

Entah sudah berapa senja aku mengunjungi tempat ini. Kadang aku sendiri, sekadar mencari waktu entah untuk melepas penat, atau melihat hiruk pikuk para pelaut yang pulang menarik jala.

Kali ini dia mengajakku. ”Tak baik kalau manusia itu seorang diri saja,” ujarnya. Maka kutemani dia ke pantai.

Walau bukan kali pertama, aku menikmati  eloknya  surya di perbatasan antara langit dan lautan ini, cahayanya tak pernah gagal memanjakan mataku. Sungguh indah  dipandang. Bak cahaya dari surga yang membawa ketenangan dan kedamaian. Seperti lirik sebuah lagu, rasa tenang dan damai itu jatuh dari mata menuju hati. Ditambah lagi situasi tempatku berada sekarang yang indah  semakin menyejukan hati ini. Anugerah Tuhan yang tiada duanya.

Baca juga :  Ancaman Cerpen Tommy Duang

Tempat ini memang salah satu tempat favorit di kotaku. Banyak insan yang datang untuk menikmati sang surya yang sedang kembali ke balik lautan. Pasir putih yang terhampar di sepanjang pantai seolah-olah menarikku untuk duduk mengistirahatkan tubuhku di atasnya. Kicauan burung-burung di udara dan bunyi gelombang laut yang menepis pantai, mengalirkan alunan nada nan merdu ke dalam telingaku. Bayu senja mengelus kulitku dengan lembut. Benar-benar suatu perpaduan yang sempurna.

. . . . . . .

Aku terhenyak sesaat, tiba tiba kepalanya telah bersandar di pundakku. “Tidur saja,”  kataku sambil tetap menatap ke arah langit yang tetap merah dan Sang Surya yanag hampir tenggelam. “Indah ya,“ tegasnya.  Aku tersenyum. Pada saat-saat tertentu, aku lupa di sekitar kami masih terdapat banyak orang dan mengira dunia ini hanya milik kami berdua.

Baca juga :  Pesan Ibu

“Senja ini indah. Aku belum ingin pulang,” kataku padanya.

“Really? Why ?” dia sedikit mengerutkan dahinya dan menatap ke arahku.

“Karena….” Jawabku setengah-setengah untuk membangkitkan rasa penasarannya.

“Karena?!” tanyanya sekali lagi.

“Dirimu,” jawabku sambil melingkarkan tanganku melewati belakang lehernya sampai berada di sebelah tangan kanannya.

“Ah, gombal,” katanya sambil menepuk halus dadaku dengan tangan kirinya. 

Aku meneguk sedikit minumanku yang sudah hampir habis, lalu menghirup udara dalam-dalam dan menghembuskannya. Aku melihat mukanya yang memancarkan rasa penasaran.

“Aku ingin mengingat setiap detik dari sore ini, agar ketika aku kembali lagi ke sini, aku masih mengalami seperti ini,” ucapku sambil tersenyum.

. . . . . . .

Sang Surya tinggal setengah saja. Sebagiannya telah tertutup garis laut. Antara hendak pergi tapi enggan pisah. Merahnya warna langit memperindah panorama. Benar kata orang, matahari tanpa langit merah ibarat kata cinta tanpa senyuman.

Sunset ini memang sama seperti sunset di pantai lain yang pernah kusaksikan. Tetapi ada hal lain yang membuat pemandangan kepergian sang surya di tempat ini menjadi lebih indah.

Baca juga :  Surat yang Takkan Pernah Sampai

 “Pulang yuk,” ucapku sambil berdiri dan mengulurkan tanganku padanya. Ia menunjukkan senyum manisnya sambil menyambut uluran tanganku.  Aku pun menggenggam tangannya dan membantunya berdiri.

. . . . . . .

Tapi itu dulu. Zaman berganti. Peradaban dan gaya hidup manusia berubah. Hari ini adalah sepuluh tahun sejak aku membawanya ke sini. Aku masih ingat sunset di sepuluh tahun yang lalu itu. Sekarang semuanya berubah. Tempat dulu aku duduk telah berubah jadi tempat tumpukan sampah. Meskipun sunsetnya masih tampak indah, tapi apalah gunanya tanpa lingkungan yang bersih di bawahnya

Semua keindahan itu telah sirna. Pasir putih berubah jadi cokelat. Mata tak bisa lagi melihat ikan di air yang tampak mulai keruh. Ah jika saja, sepuluh tahun lalu bisa dibawa ke hari ini, namun apalah gunanya karena sesal tak pernah datang di depan.

Komentar

Berita Terkait

Suami Kekasihku
Lelaki Banyak Masalah
Teriakan-Teriakan Lia
Antara Hujan dan Air Mata
Tanpa Tanda Jasa
Seratus Jam Mencari Sintus
Perempuan Tangguh
Kita adalah Sepasang Luka
Berita ini 405 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:47 WITA

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

Demokrasi dan Kritisisme

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

steroid

Understanding Oral Steroids and Their Course

Rabu, 28 Agu 2024 - 14:43 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA