Tidak ada satu pun entitas politik yang kekal di dunia ini. Semuanya akan tergilas oleh entitas bernama perubahan. Bahkan, untuk sebuah perubahan sekalipun, ia akan selalu berubah, mengikuti perubahan yang terjadi. Karena sesungguhnya, perubahan adalah perubahan itu sendiri.1
Indodian.com – Proses perubahan inilah yang telah terjadi dalam fase perkembangan demokrasi Indonesia dari masa orde lama, orde baru hingga reformasi. Format politik Indonesia pasca orde baru berlangsung sangat dramatik, tetapi sebetulnya tetap sesuai dengan pola yang ditemukan dari kajian perbandingan politik yang dikenal dengan istilah transisi menuju demokrasi. Karena kesesuaian ini, ada optimisme bahwa Indonesia sedang dalam rute yang benar menuju sebuah demokrasi yang disebut Juan Linz dan Alfred Stephan sebagai “the only game in town”.2 Tidak sedikit pengamat bahkan merasa bahwa Indonesia telah sampai pada kondisi itu. Bagi mereka, agenda Indonesia adalah menuntaskan reformasi pasca orde baru, yang kemudian dikenal dengan istilah konsolidasi demokrasi.3
Baca Juga : Asal-Usul Roh Halus Menurut Kepercayaan Asli Orang Manggarai
Baca Juga : Kisah Seorang Difabel di Wodong yang Sukses Jadi Kepala Tukang
Namun demikian dalam perkembangan selanjutnya, demokrasi di Indonesia mengalami defisit. Kebebasan-kebebasan vital memang telah muncul sejak 1998 untuk menyatakan pendapat, berorganisasi, dan menyelenggarakan pemilihan umum yang bebas dan jujur.4 Namun, demokrasi belum cukup membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Berbagai kesenjangan yang terjadi di tingkat lokal menciptakan defisit demokrasi. Elite lokal memang tidak melanggar prosedur demokrasi untuk mengejar kepentingan mereka sendiri.
Namun, mereka merasa cukup puas dengan kemajuan demokratik daripada penyelesaian masalah-masalah sosial kemasyarakatan seperti kemiskinan, korupsi dan Hak Asasi Manusia. Aneka kebijakan publik dibentuk berdasarkan monopoli pemerintah yang disusun berdasarkan portofolio yang amat parsial dan cekak, nyaris tanpa terobosan besar dengan relevansi sosial yang tinggi. Akibatnya, kebijakan publik tidak sesuai dengan persoalan hidup masyarakat.
Untuk itu, dalam sistem demokrasi penelitian kebijakan publik menjadi penting bagi pemerintah dan segenap jajarannya untuk menganalisis konteks, isu, dan aspirasi masyarakat. Dalam kondisi ini, peran sebagai seorang cendekiawan yang mereproduksi pengetahuan di bidang sosial, mampu memberi kontribusi dalam menganalisis situasi sosial dan bersama pemangku kepentingan merumuskan kebijakan publik yang kontekstual. Cendekiawan dalam tulisan ini lebih difokuskan tentang peran seorang peneliti. Peneliti adalah seorang cendekiawan yang terlibat aktif dalam melakukan penelitian terhadap permasalahan sosial dan merekomendasikan hasil penelitiannya kepada pemangku kepentingan. Sasaran utamanya adalah kebijakan yang kontekstual danmembawa perubahan dalam kehidupan masyarakat.
Baca Juga : Urgensi Pendidikan Pancasila di Era Milenial
Baca Juga : Jacques Ellul tentang Masyarakat Teknologis
Penelitian dan Perumusan Kebijakan Publik
Beberapa ahli memberikan definisi tentang kebijakan publik. Menurut Chandler dan Plano, kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik pemerintahan.5 Dalam terang pemikiran yang sama, Suwitri menjelaskan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan berupa pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam rangka mencapai tujuan negara yang merupakan kepentingan publik dengan memperhatikan input yang tersedia, berdasarkan usulan dari seseorang atau kelompok orang di dalam pemerintahan atau di luar pemerintahan.6
Kebijakan publik yang strategis dan tepat sasaran mesti mempertimbangkan input dari peneliti. Perumusannya menjadi otoritas pemerintah. Pemerintah sebagai pemegang otoritas penentuan kebijakan publik memerlukan banyak informasi berkaitan dengan permasalahan masyarakat dan cara paling efektif untuk menyelesaikannya. Semua informasi terkini yang mempunyai validitas tinggi merupakan syarat bagi terciptanya kebijakan publik yang relevan. Penelitian dapat mengambil peran besar dalam proses ini, karena melalui penelitianlah berbagai informasi secara objektif dan sistematis berdasarkan bukti ilmiah yang didukung oleh berbagai teori merupakan kelebihan penelitian dibanding informasi yang diperoleh dengan cara lain.9
Baca Juga : TWK dan Skenario Pelemahan KPK
Baca Juga : Tuhan dalam Tiga Unsur Rumah Adat Ende Lio
Seorang peneliti perlu memahami benar proses pembuatan kebijakan yang berlaku, baik pada tingkat eksekutif maupun legislatif. Menurut Siswono, dewasa ini tugas peneliti semakin kompleks. Dalam masyarakat dengan keadaan sosial ekonomi dan politik yang semakin kompleks, seorang peneliti diharapkan mampu mengungkap setetes kebenaran yang tertimbun dengan rapat oleh segudang kesalahan, atau juga mampu membongkar sebercak kesalahan yang telah tertutup tumpukan kebenaran.10 Para peneliti dituntut mempunyai kemampuan untuk mengadakan pendekatan interdisipliner dalam penerapan profesinya. Dengan cara ini, diharapkan mereka mampu mencari akar permasalahan sosial yang terdapat di masyarakat, sehingga dapat mengusulkan cara-cara terbaik untuk pemecahannya.
Adapun kontribusi penelitian seturut pemikiran Court (2006) untuk konteks Indonesia dapat dibagi atas: (i) mengidentifikasi peluang dan hambatan politis; (ii) menyatakan dukungan atau penolakan; (iii) memperkenalkan paradigma baru atau mempertanyakan paradigma lama; (iv) memberikan rekomendasi inovatif terhadap kebijakan operasional; (v) menyebarluaskan temuan ke berbagai pihak; (vi) memperkenalkan pendekatan baru untuk memperbaiki, meningkatkan, menambah, atau mengubah kebijakan; (vii) monitor dan mengevaluasi kebijakan untuk perbaikan.11 Keseluruhan proses ini dan bentuk kontribusi hasil penelitian ini akan terus bersiklus, sehingga dari waktu ke waktu kebijakan publik akan makin berkualitas dan makin sesuai dengan kepentingan publik.
Hubungan Penelitian dan Kebijakan Publik
Pada hakikatnya, sasaran akhir suatu kebijakan publik adalah kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, sangatlah penting mengkaji kemungkinan keberhasilannya dalam mencapai tujuan. Suatu kebijakan yang dibuat berdasarkan intuisi atau preferensi pragmatis memiliki kemungkinan besar untuk gagal. Banyak perencanaan program di instansi pemerintah disusun berdasarkan portofolio (tupoksi) yang amat parsial dan cekak, nyaris terobosan besar dengan relevansi sosial yang teruji.12 Penyebab utamanya karena kebijakan yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat.
Baca Juga : Berani untuk Percaya Diri?
Baca Juga : Apa yang Anda Ketahui tentang Kebenaran?
Penelitian menjadi jalan metodis mendapatkan bukti-bukti di lapangan bagi pembuatan kebijakan publik (evidence-based policy making). Penggunaan hasil penelitian sebagai bahan rujukan perumusan kebijakan dapat mendorong atau memacu keberhasilan dalam kebijakan. Perubahan paradigma dalam pengambilan kebijakan berbasis bukti membuka peluang besar bagi para peneliti untuk berpartisipasi dalam penyusunan kebijakan melalui kerja sama dengan para pengambil kebijakan. Selain itu, perlu ada upaya untuk memastikan penelitian tersebut dapat diakses oleh para pembuat kebijakan, sehingga hasil penelitiannya dapat digunakan secara lebih efektif.
Hal ini penting karena keunggulan setiap negara ditentukan oleh kemampuan pemerintahnya membangun kebijakan publik yang berkualitas. Demokrasi bukan lagi menjadi faktor penentunya, karena tidak sedikit pula negara demokratis yang gagal dalam menyusun kebijakan publiknya. Sebaliknya, cukup banyak negara non-demokratis atau discounted democracy yang menjadi best practices dalam mengembangkan kebijakan unggul. Korea, China, Jepang, Taiwan, dan Hongkong menjadi contoh-contohnya.13
Ada satu kesamaan umum dapat dapat digarisbawahi. Mereka menerapkan konsep umum bahwa suatu kebijakan dibuat harus mempunyai prosedur yang standar, yaitu, sebelum ditetapkan sebagai sebuah kebijakan yang efektif, maka terlebih dahulu ditetapkan solusi yang terjustifikasi dengan proses kebijakan berkualitas. Melalui proses fact based policy, yang dihasilkan dari suatu riset sebagai inti dari kajian ilmiah kebijakan publik.
Baca Juga : Reformasi Dikorupsi dan Gerakan Kaum Muda Progresif
Baca Juga : Tak Ada Mimpi Yang Ketinggian
Di Indonesia, penggunaan penelitian sebagai dasar pembuatan kebijakan sebagai dasar pembuatan kebijakan publik belum membumi, meskipun keran peran serta para peneliti dalam penyusunan Peraturan Perundang-undangan sebagai instrumen kebijakan telah dibuka melalui Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur bahwa penyusunan peraturan perundang-undangan selain harus melibatkan perancang peraturan perundang-undangan,juga harus melibatkan peneliti.
Namun, permasalahnnya saat ini adalah relasi antara lembaga penelitian sebagai pihak penyedia data dan hasil-hasil penelitian dengan pihak pengambil kebijakan belum optimal. Penyebab utamanya adalah kurangnya kualitas dan kuantitas penelitian yang relevan dengan prioritas kebijakan pemerintah, serta belum optimalnya akses pengambilan kebijakan terhadap hasil penelitian yang relevan.
Ada jurang antara penelitian dan pengambilan kebijakan disebabkan perbedaan mendasar dalam karakteristik prosedur penelitian dan proses pengambilan kebijakan. Dunia penelitian mensyaratkan penggunaan metode ilmiah dan berdasarkan teori sehingga hasilnya benar-benar valid. Sebaliknya, dunia pembuatan kebijakan membutuhkan bukti-bukti yang relevan sesuai dengan kebutuhan. Pengambil kebijakan publik seringkali membutuhkan informasi yang relevan dan tersedia pada waktu yang tepat.
Ada beberapa jalan yang mesti ditempuh dalam mensiasati kesenjangan antara hasil penelitian dan perumusan kebijakan publik. Pertama, para peneliti perlu mensosialisasikan hasil penelitiannya secara luas, baik melalui seminar, lokakarya, atau diskusi dengan para pengambil kebijakan publik. Para peneliti juga perlu mempublikasikan hasil penelitiannya melalui media elektronik dan media massa.
Kedua, dalam rangka mempromosikan hasil penelitian, para peneliti perlu menggunakan teknologi terbaru. Salah satunya adalah pemanfaatan big data. Hal ini sudah menjadi tren untuk perumusan kebijakan dan perencanaan pembangunan. Para perumus kebijakan dengan mudah mencari referensi data. Adapun contoh penggunaan data selama ini sudah digunakan untuk perumusan kebijakan dan perencanaan pembangunan. Di Tiongkok, big data digunakan untuk memetakan kemiskinan dengan memanfaatkan Call Data Records yang menyediakan data kemiskinan dari sumber ekonomis dan berkelanjutan.14
Baca Juga : Cerita Seorang Pembohong
Baca Juga : Bias Urban dan Desa sebagai Subjek Media
Ketiga, Lembaga penelitian perlu membangun jaringan dengan birokrasi. Peneliti harus memiliki kemampuan menterjemahkan hasil-hasil penelitian agar sesuai dengan logika pembuat kebijakan sebab hasil penelitian tidak tidak dapat dengan serta merta langsung diimplementasikan. Para birokrat pengambil kebijakan mempunyai logika berpikir berbeda, sehingga harus ada pihak yang mampu menterjemahkan dan mendesain hasil-hasil penelitian ke dalam bahasa birokrasi agar dapat dituangkan dalam norma-norma kebijakan.
Pembuatan kebijakan publik berdasarkan penelitian ilmiah merupakan salah satu sumbangan terbesar kaum cendekiawan bagi kehidupan masyarakat. Kebijakan yang baik akan membawa kesejahteraan bagi kehidupan masyarakat. Kebijakan yang baik itu dibuat berdasarkan bukti ilmiah dan memiliki kemungkinan besar untuk berhasil. Kebijakan berbasis data ilmiah merupakan suatu negasi terhadap pembuatan kebijakan pemerintah yang disusun berdasarkan portofolio yang amat parsial dan cekak, nyaris tanpa terobosan besar dengan relevansi sosial yang tinggi.
Dalam masa Reformasi, ketika kebebasan dan transparansi menjadi tuntutan mendasar, pembuatan kebijakan berbasis penelitian menjadi sumber perumusan kebijakan publik. Pemerintah merancang kebijakan berdasarkan hasil penelitian ilmiah. Metode ini membuat kebijakan pemerintah membawa implikasi positif bagi kehidupan masyarakat. Namun, penggunaan penelitian untuk mendukung terciptanya kebijakan publik yang berkualitas masih sangat terbatas. Hal ini terjadi karena kaum peneliti menekankan rumusan penelitian yang ilmiah dan terukur, sedangkan pengambil kebijakan lebih banyak membuat keputusan berdasarkan kepentingan pragmatis dan intuisi pribadi.
Baca Juga : Zen, sebuah Agama Baru?
Baca Juga : Pernikahan Dini: Pandemik Yang Belum Juga Berakhir
Dilema ini membuat kebijakan publik di Indonesia tidak membawa dampak bagi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, peneliti, pemerintah, dan pemangku kepentingan perlu melakukan kerja sama. Para pemangku kepentingan perlu menghargai hasil penelitian sehingga kebijakan membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Peneliti perlu membuat penelitian yang relevan dan sesuai dengan kebutuhan pemangku kepentingan. Selain itu, hasil penelitian perlu dipublikasikan melalu media massa, media elektronik, seminar dan diskusi. Masyarakat juga perlu bertindak kritis dan mengawal tugas pemerintah dalam merancang kebijakan publik agar sasaran kebijakan membawa perubahan dalam kehidupan masyarakat.
Sumber Pendukung
1 Roby Nurhadi dan Safrizal Rambe, “Quo Vadis Format Politik Pasca Orde Baru” dalam Robi Nurhadi dan Safrizal Rambe (ed.), Profil Politik Orde Baru (Jakarta: Pusat Studi Politik Indonesia FISIP UNAS dan Pusat Studi Politik Madani Institute, 2005), hlm. 1.
2 Purwo Santoso, “Keharusan Kontekstualisasi Demokrasi” dalam AE Priyono dan Usman Hamid, (ed.), Merancang Arah Baru Demokrasi Indonesia Pasca-Reformasi (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014), hlm. 399.
3 Ibid.,
4 Gerry van Klinken,” Demokrasi Patronese Indonesia di Tingkat Provinsial”, ibid., hlm. 228.
5 Yeremias T. Keban, Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik: Konsep, Teori dan Isu, edisi kedua. Cetakan Pertama (Yogyakarta: Gaya Media, 2008), hlm. 60.
6 Falih Suaedi dan Bintoro Wardiyanto, Revitalisasi Administrasi Negara, Reformasi Birokrasi dan e-Governance (Yogyakarta: Refika Aditama, 2010), hlm. 138.
7 James A. Anderson, Public Policy Making Third Edition (USA: Hougton Miffin Company, 1992), hlm. 32.
8 Ibid.,
9 Asep Suryahadi, dkk, “Kontribusi Penelitian Kebijakan Sosial Terhadap Kehidupan Masyarakat di Indonesia”, dalam Ignas Kleden dan Taufik Abdullah, (ed.), Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial dan Humaniora di Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2017), hlm. 230.
10 Prof. Dr. Ida Bagoes Mantra, Ph.D, Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 7.
11 Op.cit., hlm. 231.
12 Robert Endi Jaweng, “Izin Penelitian”, Kompas, 5 Maret 2018, hllm. 7.
13 Riant Nugroho,” Analisis Kebijakan Publik bagi Peningkatan Mutu Penelitian” dalam Koran Opini. Com, http://www.koranopini.com/k2/analisis-kebijakan-publik-bagi-peningkatan-mutu-penelitian?showall=1, diakses pada tanggal 28 Maret 2018.
14 Strategi Nasional Keuangan Eksklusif, “Implementasi Big Data untuk Perumusan Kebijakan Publik, http://Snki.ekon.go.id/implementasi-big-data-untuk-perumusan-kebijakan-publik/, diakses pada tanggal 30 Maret 2018.