Bias Urban dan Desa sebagai Subjek Media

- Admin

Jumat, 21 Mei 2021 - 15:45 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com – Teori-teori tahun 60-an, memposisikan desa sebagai ruang kehidupan yang lebih rendah dibandingkan dengan kota. Pandangan modernisme yang berakar dalam teori-teori sosiologi klasik, mendefinisikan desa bagai wilayah tradisional dimana relasi sosial masih berbasis pada nilai-nilai lama ‘kharismatis’, mekanistis, dengan pembagian kerja ekonomi yang masih sangat sederhana serta kehidupan budaya yang homogen. Sementara kota diposisikan sebagai ruang kehidupan yang modern, berciri rasional, relasi sosial yang lebih kompleks, dengan pembagian kerja yang lebih terspesialisasi, serta problem kebudayaan yang beragam. Kebudayaan populer kita juga tumbuh dengan pembelahan ini.

Seiring dengan munculnya teori-teori pembangunan yang lebih kritis, terutama yang terpengaruh oleh ekonomi-politik neo-marxis dan teori-teori antropologi, tantangan terhadap pandangan modernis yang memandang desa sebagai ruang kehidupan lebih rendah akhirnya muncul. Salah satu kritik misalnya, muncul dari pandangan teori ketergantungan yang meletakkan sejarah dan struktur ketergantungan sebagai dasar dari relasi yang timpang antara wilayah-wilayah core dan wilayah periphery.

Baca Juga : Zen, sebuah Agama Baru?
Baca Juga : Pernikahan Dini: Pandemik Yang Belum Juga Berakhir

Teori ketergantungan memandang hubungan antara desa dan kota sebagai replikasi dari hubungan antara negara-negara satelit bekas jajahan yang bergantung secara ekonomi dan teknologi dan sumber daya dengan negara-negara pusat. Dengan ini, teori-teori ini menganjurkan untuk memutus cara pandang yang memposisikan relasi desa-kota yang lama, yang memandang desa sebagai wahana produksi dan kota sebagai wahana konsumsi, desa sebagai penyedia tenaga kerja dan kota sebagai penyedia teknologi dan modal.

Kritik terhadap pandangan peyoratif terhadap desa, makin mengemuka dengan munculnya kritik dari ekonom pembangunan Michael Lipton di tahun 1977. Lipton melakukan studi komparasi atas 63 negara miskin di dunia untuk menjawab pertanyaan pokok mengapa ‘under conditions of economic development, “poor people stay poor”. Mengapa meski sama-sama ada di dalam pembangunan orang miskin tetap miskin?

Di sinilah Lipton kemudian mengajukan satu istilah, apa yang dikenal sekarang dengan “bias urban”. Urban bias adalah ‘the tendency of public authorities and private persons to allocate, and their disposition to justify, for large urban areas, proportions of developmental or welfare-generating resources in excess of any reasonable norm of either efficiency or well-being’ (Lipton, 1977).

Baca Juga : Cerita Wartawan di NTT Dapat Sinyal 4G di Pohon Jambu
Baca Juga : Media Siber dan Demokrasi di Era Milenial

Bias urban adalah praktek kebijakan yang diskriminatif. Para pembuat kebijakan dan pengambil keputusan cenderung mengalokasikan dan menjustifikasi disposisi untuk memberikan porsi pembangunan dan kesejahteraan serta penciptaan kesejahteraan di daerah urban. Dua indikator yang paling mencolok dalam bias urban adalah ketersediaan makanan yang lebih murah dan infrastruktur perkotaan seperti transportasi publik, air bersih –yang dalam kasus beberapa negara sebagian dibiayai melalui pendapatan eksport agrikultur.

Dengan itu, bias urban menghasilkan orang kota yang lebih sehat, lebih fit dan superior.  Orang-orang kota bisa menghasilkan lebih banyak kesejahteraan untuk diri mereka dan masyarakatnya. Ringkasnya, bias urban menghasilkan ketaksetaraan yang permanen antara orang desa dan orang kota (Jane Dixon dan Philiipe Mcmicheal, 2015). Parahnya, terlepas ada tidaknya keterkaitan yang langsung, ketidaksetaraan akibat bias urban berelasi dengan keterbelakangan ekonomi desa dibandingkan kota.

Baca juga :  Reproduksi Ruang di Kampung Nelayan

Seiring dengan laju urbanisasi yang tak tertahankan, banyak ahli beranggapan bahwa dengan menyelesaikan masalah kemiskinan di perkotaan maka secara tidak langsung berkontribusi pada pengentasan kemiskinan secara keseluruhan. Pandangan ini tidak sepenuhnya benar.

Data memperlihatkan, sementara populasi terus membesar di perkotaan, kemiskinan juga bertahan di pedesaan. Kota memang memiliki slum-slum dimana penduduk miskin berjuang bertahan hidup. Namun, orang miskin terbanyak selalu ada di perdesaan. Dominasi penduduk perkotaan (urban population) terhadap jumlah penduduk di Indonesia meningkat setiap tahunnya.

Baca Juga : Wajib Tahu! Enam (6)Tahap Penting dalam Menulis
Baca Juga : Sore Nanti, Kita ke Pantai

Worldometers  mencatat pada 2019 jumlah penduduk perkotaan di Indonesia sebanyak 150,9 juta jiwa atau 55,8% dari total penduduk Indonesia yang sebesar 270,6 juta jiwa. Dominasi tersebut meningkat 0,7% dari tahun sebelumnya yang sebesar 147,6 juta jiwa atau 55,1% dari total penduduk Indonesia yang sebesar 267,7 juta jiwa. Tingkat kemiskinan pedesaan selalu lebih tinggi dibanding perkotaan sejak 1993. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, proporsi kemiskinan pedesaan saat itu mencapai 13,8 persen dari populasi sementara perkotaan hanya 13,4 persen. Meningkatnya industrialisasi yang banyak menciptakan lapangan kerja di kota-kota besar membuat angka kemiskinan perkotaan lebih rendah dari pedesaan.

Pada September 2017, jumlah penduduk miskin pedesaan berkurang sekitar 970 ribu jiwa menjadi 26,58 juta jiwa sehingga proporsi kemiskinannya turun 49 basis poin (bps) menjadi 13,47 persen dari September tahun sebelumnya. Sementara jumlah penduduk miskin perkotaan menyusut sekitar 220 ribu jiwa menjadi 10,27 juta jiwa. Alhasil, persentase kemiskinan penduduk perkotaan turun 47 bps menjadi 7,26 persen (katadata.co.id, 2018).

Bias urban dan keterbelakangan yang terus menerus di desa, memperlihatkan adanya relasi yang langsung antara orientasi pembangunan yang mengutamakan urban, posisi desa yang periferal dan tingkat kemiskinan di desa. Dengan itu, meski dualisme ekonomi yang menjadi pralambang ketergantungan desa terhadap kota ditolak dan dihilangkan dalam sejarah ekonomi di Indonesia namun ketimpangan dan pembedaan sosial ekonomi antara desa dan kota tak pernah bisa diselesaikan dalam sejarah ekonomi Indonesia.

Dulu, produksi (buah-buahan misalnya) identik dengan desa dan petaninya, sementara kota identik dengan konsumsi (pembeli) yang dihubungan secara relasional dengan produk. Maka kini desa sebagai spasial produksi tidak lagi terhubung dengan kota sebagai spasial konsumsi, karena globalisasi menginterupsi barang-barang komoditi pertanian lama ini dengan kehadiran produk-produk impor baru.

Baca Juga : Metafora Perang dalam Penanganan Covid
Baca Juga : Mencintai Wanita dengan Tanda Lahir di Bibir

Ringkasnya, kalau anda beli buah di sekitar trotoar di sepanjang jalan sekitaran pusat kota, anda sudah tidak merasa lagi membeli sesuatu yang memiliki asal dan tradisi desa. Desa dan kota berjalan dalam logika masing-masing, sekalipun relasi keterbelakangan terus berlanjut. Konsumsi kota nyaris tak lagi bergantung pada produksi di desa.        

Baca juga :  Menyoal  Pembagian Bibit Kopi di Mano

Baiknya juga kita melihat sekilas contoh dan perbandingan dari tempat lain. Amerika di tahun 1979, Washington DC dikagetkan dengan pawai dan demo puluhan traktor. Sebagian besar traktor-traktor itu dikendari sendiri oleh para petani, yang menempuh perjalanan 14 hari 14 malam dari desa ke Washington. Protes petani tahun 1979 di Amerika itu dipicu oleh kemiskinan sehingga mendorong petani untuk mendesak pemerintah menetapkan harga komoditas produk pertanian yang lebih layak. Di sini, petani Amerika memiliki kekuatan untuk menekan kebijakan pemerintahnya, sekaligus memperlihatkan desakan dan relevansi terhadap kota sebagai spasial konsumsi.

Dengan protes itu, orang desa memperlihatkan daya tawarnya yang kuat terhadap kota. Salah satu kunci kekuatan petani Amerika saat itu, mereka tergaung dalam apa yang disebut dengan America Agricultural Movement (AAM). Asosiasi petani yang mandiri dan otonom menjadi kunci dari kekuatan petani. Asosiasi dan kehidupan organisasi semacam ini yang kiranya kurang tumbuh saat ini. Akibatnya, artikulasi kepentingan petani lebih banyak disalurkan ke dalam saluran-saluran yang lebih luas dan rancu seperti partai politik. Ketidakhadiran asosiasi-asosiasi petani yang kuat dan otonom memberikan kesulitan bagi transformasi desa sebagai sebuah lived space yang setara.

Baca Juga : Malia
Baca Juga : Desa: Sentra Budaya dan Peradaban

Desa sebagai Subjek Media

Jika kita menelisik ke belakang, desa selalu diposisikan sebagai objek pemberitaan saja. Kehadiran teknologi informasi dan komunikasi memungkinkan desa untuk menjadi pusat jurnalisme dan informasi. Kemudahan mengakses internet yang tidak terbatas ruang dan waktu membantu desa untuk show up. Adanya teknologi saat ini memungkinkan desa untuk menjadi pusat jurnalisme dan  informasi. Salah satunya dengan membentuk media desa, entah dalam bentuk media cetak seperti koran desa, website atau bahkan media sosial.

Media desa bisa menjadi salah satu media profesional berbasis komunitas yang independen. Media desa menjadi sarana interaksi berbagai unsur masyarakat pedesaan untuk saling memahami antara berbagai elemen dan aspek-aspek kehidupan masyarakat desa. Dalam kaitannya dengan fungsi dan peran jurnalisme, media desa menjadi wadah informasi berbagai peristiwa yang terjadi di masyarakat desa, baik antar kelompok masyarakat maupun antara masyarakat dengan pemerintah.

Baca Juga : Zidane, Tuchel, dan Tuhan
Baca Juga : Korupsi dan Ketidakadilan Gender

Di lain sisi, media desa juga berfungsi untuk memotret berbagai peristiwa di berbagai lembaga pemerintahan yang menyangkut kepentingan masyarakat desa. Hadirnya media desa bisa menjadi platform yang mewadahi aspirasi masyarakat untuk berbagai persoalan sosial, budaya, hukum, ekonomi, birokrasi, pendidikan, olahraga, hiburan, dan lain sebagainya. Media desa sebagai ruang transaksi dialog atau gagasan akan turut memperkuat clean and good government melalui praktik-praktik langsung pemerintah desa yang berdasar pada local wisdom.

Nama rubrik, jenis dan format konten yang ada di media desa bisa beragam, disesuaikan dengan konteks masyarakat desa setempat. Berikut saya coba merekomendasikan beberapa nama rubrik atau program yang (semoga) bisa dipakai dalam media desa.

  1. Kecil Bergerak, rubrik khusus untuk menyajikan aneka konten tentang berbagai kegiatan perekonomian masyarakat desa, seperti profil pengusaha UMKM desa atau aneka kegiatan ekonomi kreatif lainnya.
  2. Jaga Rasa, berisi berbagai liputan tentang kegiatan sosial masyarakat desa dalam membangun kehidupan yang demokratis berdasarkan kearifan lokal. Berbagai peristiwa yang bisa dijadikan konten dalam rubrik ini misalnya kegiatan gotong-royong, pernikahan dan kegiatan sosial berbagai institusi termasuk pemerintah desa.
  3. Pendopo Desa, memberitakan berbagai peristiwa hukum dan politik masyarakat desa. Misalnya, peristiwa atau kasus di pengadilan/kepolisian juga pemilihan Kepala Desa atau pengurus di berbagai institusi atau komunitas yang ada di desa.
  4. Rembug Asa, merupakan rubrik yang memuat opini atau liputan tentang berbagai peristiwa/kegiatan budaya dan pendidikan masyarakat desa. Kegiatan kebudayaan, sejarah desa kegiatan pendidikan yang menyangkut kepentingan masyarakat desa bisa dimasukkan dalam rubrik ini.
  5. Desa Berdaulat, merupakan rubrik khusus tentang pertanian, perkebunan, perikanan serta kekayaan hasil bumi yang dimiliki desa serta bagaimana pengelolaan sumber daya alam yang ada di desa, termasuk kedaulatan pangan desa.
  6. Desa Global, merupakan rubrik tentang berbagai persoalan, perkembangan atau kemajuan yang dilakukan desa-desa di seluruh Indonesia yang juga menampilkan berbagai wacana desa di berbagai belahan dunia.
Baca juga :  Dicky Senda, Model Cendekiawan Milenial dalam Pembangunan NTT

Nama media dan format rubrik di atas hanyalah contoh umum. Setiap desa bebas menentukan platform, jenis konten dan segmentasi kontennya masing-masing. Namun yang pasti bahwa ketika membahas soal media desa, bukan hanya sebatas proses pertukaran informasi di desa, tetapi bagaimana merawat ingatan dan menyusun arsip tentang berbagai hal menarik dan sarat nilai yang selama ini luput dari sorotan media konvensional.

Untuk meminimalisir bias urban dan mendobrak ketidaksetaraan antara kota dan desa yang selama ini terpampang nyata di hadapan kita adalah dengan memberdayakan desa untuk mengeksplor dan memproduksi juga mendistribusikan informasi tentang desa itu sendiri.

Desa sebagai subyek media bisa menjadi salah satu implementasi inklusi sosial yang menawarkan cara pandang tentang relasi pinggiran dan pusat. Pendekatan inklusi sosial adalah proses membangun hubungan sosial yang menghormati individu maupun komunitas agar mereka bisa berpartisipasi pada ranah sosial, politik, hukum dan budaya serta bisa mengakses sumber daya untuk menikmati standar kesejahteraan komunitasnya.

Dengan demikian, desa tidak dilihat sebagai sebuah space yang dihuni kelompok masyarakat yang terpinggirkan juga bukan sebagai sampah pembangunan. Justru dengan menjadikan desa sebagai subyek media, maka selanjutnya mereka dapat berpartisipasi aktif dalam pengambilan putusan. Ketika masyarakat desa dirangkul dan didukung oleh hadirnya media yang berorientasi pada kepentingan masyarakat pedesaan, maka kita bisa membangun suatu peradaban baru yang lebih ramah pada seluruh elemen.

Komentar

Berita Terkait

Reproduksi Ruang di Kampung Nelayan
Menyoal  Pembagian Bibit Kopi di Mano
Dicky Senda, Model Cendekiawan Milenial dalam Pembangunan NTT
Optimalisasi Layanan Pelabuhan Podor dalam Meningkatkan PADes Desa Lewohedo
Desa: Sentra Budaya dan Peradaban
Berita ini 244 kali dibaca
Tag :

Berita Terkait

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:47 WITA

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

Demokrasi dan Kritisisme

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

steroid

Understanding Oral Steroids and Their Course

Rabu, 28 Agu 2024 - 14:43 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA