Peradaban tanpa Keberadaban
Bukan baru kali ini kita menghadapi bencana kemanusiaan yang begitu hebat. Berabad-abad sebelumnya, rentetan bencana kemanusiaan sudah mulai datang silih berganti menimpa kita. Bencana sepertinya menjadi sebuah keniscayaan dalam sejarah hidup kita. Ada sesuatu yang menarik di dalam setiap pergulatan umat manusia berhadapan dengan bencana atau krisis, yaitu ambisi untuk menata kehidupan yang lebih baik.
Setelah era kolonialisme dan imperialisme, kita merancang dunia yang ramah terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Perang dunia dan genosida pun pernah terjadi. Setelah peristiwa kelam itu, kita mewacanakan persaudaraan global. Namun entah kenapa, hingga saat ini ada jutaan manusia yang status kenegaraannya tidak diakui. Mereka tidak hanya menjadi korban genosida, tetapi juga korban apatisme global. Tidak ada yang peduli pada mereka, sebab tiap-tiap negara terlibat dalam konflik kepentingan. Tiap-tiap negara mengedepankan kepentingannya, sambil pada saat yang sama berusaha menghegemoni dunia.
Selain beberapa jejak buram tersebut, saat ini pun kita menghadapi krisis ekologis, terutama perubahan iklim yang akan berdampak buruk terhadap seluruh alam ciptaan. Berbagai konferensi lintas negara pun dilakukan untuk menyusun program strategis menyelamatkan ibu bumi.
Baca Juga : Berpisah Dengan Pacar Toxic Bukanlah Dosa
Baca Juga : Membangun Taman Baca, Membangun Harapan Bangsa
Namun, tidak ada perubahan yang benar-benar memuaskan. Pandemi seakan hanya menjadi jeda bagi manusia untuk mengeksploitasi alam. Bahkan di tengah pandemi, proyek-proyek pertambangan tetap berjalan lancar.Kita pun semakin sadar bahwa sebenarnya dunia baru yang kita dambakan, entah kenapa, menjadi utopia yang menghibur tiap-tiap generasi. Mengapa?
Di balik fenomena tersebut terdapat sebab utama yang melatarbelakanginya yaitu absennya prinsip-prinsip keberadaban yang menjadi fondasi laju peradaban. Kehidupan kita selalu diukur dengan perspektif kemajuan peradaban, tetapi kita tidak pernah diukur menurut prinsip keberadaban. Peradaban semakin hari semakin maju, tetapi keberadaban kita masih tertinggal jauh. Alhasil, kondisi perekonomian kita semakin membaik, tetapi kondisi dasariah yang menopang kemanusiaan kita semakin pudar.
Gedung pencakar langit mewarnai lanskap perkotaan. Mall dan supermarket menjadi ikon tiap-tiap kota. Namun, di sudut-sudut kota, bahkan di samping gedung-gedung mewah itu orang-orang miskin melarat tiap-tiap hari. Lebih parah lagi, bantuan kemanusiaan untuk perbaikan hidup orang-orang miskin disunat demi kepentingan kaum elit dan manusia-manusia yang rakus.
Baca Juga : Belajar dari Ketajaman Pendengaran Kaum Difabel
Baca Juga : Bagaimana Peran Media Dalam Melawan dan Menghapuskan Kekerasan Terhadap Anak?
Penderitaan mereka menjadi inspirasi penyusunan program ekonomi dan politik, tetapi realisasinya jauh panggang dari api. Karena terdesak keadaan, sesama orang miskin terpaksa menindas sesamanya yang menderita. Lalu, negara dengan kuasa legalnya menghukum dan memenjarakan mereka tanpa ampun. Di pihak lain, koruptor elit dihukum seminimal mungkin dengan masa hukuman yang dipotong. Kejahatan pun beranak cucu dan menjadi elemen yang dibawa ke generasi berikutnya. Tidak ada gerak maju. Di mana-mana terjadi kemunduran luar biasa.
Skeptisisme akan dunia kehidupan yang lebih baik pasca-pandemi Covid-19 memang merupakan sebuah keharusan. Skeptis terhadap setiap program, intensi, dan komitmen bersama yang kita miliki membantu kita untuk selalu sadar akan bahaya inkonsistensi dalam merealisasikannya. Dalam hal ini, dengan bersikap skeptis-kritis terhadap intensi perbaikan kehidupan, kita benar-benar peduli pada dunia baru yang hendak kita huni.
Sebab itu, agar dunia pasca-pandemi menjadi dunia yang berorientasi pada pengakuan dan pengabdian terhadap nilai-nilai kemanusiaan, prinsip-prinsip keberadaban mesti menjadi bagian integral dari peradaban yang kita perjuangkan. Kita mesti menjadi manusia yang beradab, agar peradaban kita bukan sekadar peningkatan pendapatan ekonomis, tetapi juga peningkatan kesadaran akan nilai-nilai kemanusiaan.
Halaman : 1 2