Setelah Pandemi, Kita ke Mana?

- Admin

Rabu, 4 Agustus 2021 - 12:43 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Peradaban tanpa Keberadaban

Bukan baru kali ini kita menghadapi bencana kemanusiaan yang begitu hebat. Berabad-abad sebelumnya, rentetan bencana kemanusiaan sudah mulai datang silih berganti menimpa kita. Bencana sepertinya menjadi sebuah keniscayaan dalam sejarah hidup kita. Ada sesuatu yang menarik di dalam setiap pergulatan umat manusia berhadapan dengan bencana atau krisis, yaitu ambisi untuk menata kehidupan yang lebih baik.

Setelah era kolonialisme dan imperialisme, kita merancang dunia yang ramah terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Perang dunia dan genosida pun pernah terjadi. Setelah peristiwa kelam itu, kita mewacanakan persaudaraan global. Namun entah kenapa, hingga saat ini ada jutaan manusia yang status kenegaraannya tidak diakui. Mereka tidak hanya menjadi korban genosida, tetapi juga korban apatisme global. Tidak ada yang peduli pada mereka, sebab tiap-tiap negara terlibat dalam konflik kepentingan. Tiap-tiap negara mengedepankan kepentingannya, sambil pada saat yang sama berusaha menghegemoni dunia. 

Baca juga :  Kemerdekaan dan Upaya Jalan Pulang pada Pancasila

Selain beberapa jejak buram tersebut, saat ini pun kita menghadapi krisis ekologis, terutama perubahan iklim yang akan berdampak buruk terhadap seluruh alam ciptaan. Berbagai konferensi lintas negara pun dilakukan untuk menyusun program strategis menyelamatkan ibu bumi.

Baca Juga : Berpisah Dengan Pacar Toxic Bukanlah Dosa
Baca Juga : Membangun Taman Baca, Membangun Harapan Bangsa

Namun, tidak ada perubahan yang benar-benar memuaskan. Pandemi seakan hanya menjadi jeda bagi manusia untuk mengeksploitasi alam. Bahkan di tengah pandemi, proyek-proyek pertambangan tetap berjalan lancar.Kita pun semakin sadar bahwa sebenarnya dunia baru yang kita dambakan, entah kenapa, menjadi utopia yang menghibur tiap-tiap generasi. Mengapa?

Di balik fenomena tersebut terdapat sebab utama yang melatarbelakanginya yaitu absennya prinsip-prinsip keberadaban yang menjadi fondasi laju peradaban. Kehidupan  kita selalu diukur dengan perspektif kemajuan peradaban, tetapi kita tidak pernah diukur menurut prinsip keberadaban. Peradaban semakin hari semakin maju, tetapi keberadaban kita masih tertinggal jauh. Alhasil, kondisi perekonomian kita semakin membaik, tetapi kondisi dasariah yang menopang kemanusiaan kita semakin pudar.

Baca juga :  Memento Mori: Bisikan Filsafat tentang Kematian

Gedung pencakar langit mewarnai lanskap perkotaan. Mall dan supermarket menjadi ikon tiap-tiap kota. Namun, di sudut-sudut kota, bahkan di samping gedung-gedung mewah itu orang-orang miskin melarat tiap-tiap hari. Lebih parah lagi, bantuan kemanusiaan untuk perbaikan hidup orang-orang miskin disunat demi kepentingan kaum elit dan manusia-manusia yang rakus.

Baca Juga : Belajar dari Ketajaman Pendengaran Kaum Difabel
Baca Juga : Bagaimana Peran Media Dalam Melawan dan Menghapuskan Kekerasan Terhadap Anak?

Penderitaan mereka menjadi inspirasi penyusunan program ekonomi dan politik, tetapi realisasinya jauh panggang dari api. Karena terdesak keadaan, sesama orang miskin terpaksa menindas sesamanya yang menderita. Lalu, negara dengan kuasa legalnya menghukum dan memenjarakan mereka tanpa ampun. Di pihak lain, koruptor elit dihukum seminimal mungkin dengan masa hukuman yang dipotong. Kejahatan pun beranak cucu dan menjadi elemen yang dibawa ke generasi berikutnya. Tidak ada gerak maju. Di mana-mana terjadi kemunduran luar biasa.

Baca juga :  Peluang Pendidikan Tinggi di Era Digital

Skeptisisme akan dunia kehidupan yang lebih baik pasca-pandemi Covid-19 memang merupakan sebuah keharusan. Skeptis terhadap setiap program, intensi, dan komitmen bersama yang kita miliki membantu kita untuk selalu sadar akan bahaya inkonsistensi dalam merealisasikannya. Dalam hal ini, dengan bersikap skeptis-kritis terhadap intensi perbaikan kehidupan, kita benar-benar peduli pada dunia baru yang hendak kita huni.

 Sebab itu, agar dunia pasca-pandemi menjadi dunia yang berorientasi pada pengakuan dan pengabdian terhadap nilai-nilai kemanusiaan, prinsip-prinsip keberadaban mesti menjadi bagian integral dari peradaban yang kita perjuangkan. Kita mesti menjadi manusia yang beradab, agar peradaban kita bukan sekadar peningkatan pendapatan ekonomis, tetapi juga peningkatan kesadaran akan nilai-nilai kemanusiaan. 

Komentar

Berita Terkait

Masyarakat yang Terburu-buru
Masyarakat Smombi
Masyarakat Telanjang
G.W.F. Hegel: Negara dan Sittlichkeit
Emotikon, Krisis Perhatian dan Filsafat Teknologi
ChatGPT dan Tugas Filsafat Teknologi
Neoliberalisme, Krisis Multidimensi dan Transformasi Paradigma Pembangunan
Masyarakat Informasi dan Problem Ketidakpastian
Berita ini 13 kali dibaca
Tag :

Berita Terkait

Selasa, 28 November 2023 - 23:35 WITA

Fakultas Filsafat Unwira Adakan Seminar Internasional sebagai Bentuk Tanggapan terhadap Krisis Global    

Sabtu, 11 November 2023 - 11:33 WITA

Tujuan Politik adalah Keadilan bagi Seluruh Rakyat

Jumat, 23 Juni 2023 - 07:01 WITA

Komunitas Circles Indonesia: Pendidikan Bermutu bagi Semua

Rabu, 17 Mei 2023 - 11:05 WITA

Mencerdaskan Kehidupan Bangsa melalui Kelas Belajar Bersama

Kamis, 4 Mei 2023 - 14:47 WITA

Mahasiswa Pascasarjana IFTK Ledalero Mengadakan PKM di Paroki Uwa, Palue   

Sabtu, 25 Maret 2023 - 06:34 WITA

Masyarakat Sipil Dairi Mendesak Menteri LHK Cabut Izin Persetujuan Lingkungan PT. DPM  

Sabtu, 21 Januari 2023 - 06:50 WITA

Pendekar Indonesia Menggelar Simulasi Pasangan Calon Pimpinan Nasional 2024

Selasa, 17 Januari 2023 - 23:01 WITA

Nasabah BRI Mengaku Kehilangan Uang di BRImo

Berita Terbaru

Pendidikan

Kaum Muda dan Budaya Lokal

Jumat, 15 Mar 2024 - 19:27 WITA

Politik

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Rabu, 21 Feb 2024 - 19:07 WITA

Politik

Demokrasi dan Kritisisme

Minggu, 18 Feb 2024 - 16:18 WITA