Setelah Pandemi, Kita ke Mana?

- Admin

Rabu, 4 Agustus 2021 - 12:43 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com Covid-19 memang tetap menjadi ancaman aktual saat ini. Aktualitasnya tidak hanya melalui kurva statistik korban yang belum juga melandai, tetapi juga melalui kondisi dunia kehidupan yang masih jauh dari ‘stabil’. Sejak awal kedatangannya, ia telah mendisrupsi dunia kehidupan kita secara radikal. Kita hampir-hampir kehilangan asa, sebab Covid-19 begitu lama menetap sambil menelan jutaan nyawa. Bahkan ia telah mereplikasi diri melalui varian virus baru yang kini telah menyasar sejumlah negara, termasuk Indonesia.

Betapa pun demikian, Covid-19 pasti akan berakhir. Ya, suatu waktu pada saat-saat mendatang. Meskipun kapan itu terjadi adalah sesuatu yang berada di luar kesanggupan spekulasi-logis kita, Covid-19 tetap merupakan sebuah fenomena dan/atau realitas yang mewaktu. Bahkan, ketika kita menyebutnya sebagai krisis, justru pada saat itu kita sadar akan temporalitas kehadirannya.

Kemewaktuan (temporalitas) berarti terbuka kesempatan dan kemungkinan bagi manusia untuk merekonstruksi hidupnya agar tidak kolaps bersamaan dengan berakhirnya Covid-19. Kesadaran akan kemewaktuan Covid-19 ini juga memungkinkan kita berpikir tentang upaya-upaya strategis untuk mereorientasi dunia kehidupan baik secara personal maupun komunal. Dengan demikian, kemewaktuan Covid-19 menghantar kita pada harapan dunia baru setelah pandemi.Sebab itu, di tengah pandemi, kita berani berharap akan penghabisannya dan bertanya, setelah pandemi, kita ke mana?

Baca Juga : Cerita Tuna Penjaga Mata Air
Baca Juga : Pesan Ibu

Baca juga :  Kemerdekaan dan Upaya Jalan Pulang pada Pancasila

Di balik pertanyaan tersebut terdapat sebuah ikhtiar untuk formasi kehidupan secara holistik. Namun, kita ke mana? adalah sebuah pertanyaan yang selalu terbuka pada berbagai interpretasi. Sebab itu, pertanyaan demikian tidak dimaksudkan untuk menemukan sebuah jawawan definitif-dogmatis. Ia menghendaki sebuah kreativitas budi, sebab umat manusia hidup dalam dan dari keberagaman perspektif.

Kita memang harus memikirkannya sejak saat ini, di tengah pandemi, sebab barangkali ia berakhir lebih awal dari yang kita bayangkan. Dengan secara dini merenungkannya, kita bersiap diri masuk pada tatanan sosial, politik, ekonomi, budaya, agama, dan peradaban yang lebih baik.

Baca juga :  Kritik Jürgen Habermas terhadap Filsafat Kesadaran

Memang, Covid-19 telah memorakporandakan segala yang kita rancangkan, tetapi kita toh tetap exist dan kita tidak kehilangan cara untuk mengada di dunia. Dalam hal ini, pandemi Covid-19 bisa dimengerti sebagai koreksi terhadap cara mengada kita di dunia. Itulah sebabnya, orang mendaulatnya sebagai rekoleksi atau retret agung dunia.

Pandemi membuat kita berhenti sejenak untuk melihat relasi aku dengan diriku sendiri, aku dan engkau, aku dan Tuhan, dan aku dan dunia lingkungan. Permenungan itu mesti bermuara pada transformasi kehidupan. Dengan referensi perspektif demikian, kita membangun sebuah optimisme kemanusiaan, bahwa kita bisa bangkit. Dunia tidak akan kolaps!

Namun, setelah pandemi kita mungkin tidak akan bergerak ke mana-mana. Kita tetap di tempat! Karena itu, pertanyaan tersebut dapat dimaknai sebagai representasi kehendak untuk segera beralih dari situasi krisis ini dan kembali kepada aku/kita sebagaimana aku/kita sebelum kedatangan Covid-19.

Baca Juga : Penyakit Era Digital Menurut Jürgen Habermas
Baca Juga : Optimalisasi Layanan Pelabuhan Podor dalam Meningkatkan PADes Desa Lewohedo

Baca juga :  Masyarakat Risiko, Terorisme, dan Kemanusiaan Kita

Alih-alih merestorasi dunia kehidupan yang lebih baik setelah pandemi, kita justru membawa dan menghadirkan aku/kita yang sama ke dalam dunia baru tersebut. Hasil akhirnya: tidak ada dunia baru! Dunia baru yang kita bangun setelah pandemi tidak lebih dari sekadar dunia yang sama seperti sebelum pandemi. Kita perlu skeptis, sehingga kita benar-benar yakin akan autentisitas intensi yang kita miliki.

Bersikap skeptis-pesimis adalah sesuatu yang rasional. Sebab bukan baru kali ini kita mewacanakan dunia baru yang lebih baik. Setelah Perang Dunia I & II kita juga mewacanakan dunia baru tanpa praktik penghisapan manusia oleh manusia(exploitation de l’homme par l’homme). Namun, hingga kini, bahkan sejak kelahirannya, manusia sudah menjadi komoditas eksploitasi. Karena itu, terhadap pertanyaan besar di atas – setelah pandemi, kita ke mana? – kita bisa ajukan gugatan kritis kita.

Komentar

Berita Terkait

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!
Tolong, Dengarkan Suara Hati! (Subjek Cinta dan Seni Mendengarkan)
Apakah Aku Selfi Maka Aku Ada?
Autoeksploitasi: Siapa yang Membunuh Sang Aku?
Masyarakat yang Terburu-buru
Masyarakat Smombi
Masyarakat Telanjang
G.W.F. Hegel: Negara dan Sittlichkeit
Berita ini 39 kali dibaca
Tag :

Berita Terkait

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:47 WITA

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

Demokrasi dan Kritisisme

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

steroid

Understanding Oral Steroids and Their Course

Rabu, 28 Agu 2024 - 14:43 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA