Membangun Taman Baca, Membangun Harapan Bangsa

- Admin

Minggu, 25 Juli 2021 - 17:09 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com – Membangun manusia tentu berbeda dengan membangun infrastruktur. Pembangunan infrastruktur yang masif dilakukan, hasilnya bisa secara langsung dirasakan. Namun bicara tentang membangun manusia, konsep semacam itu tentu tidak bisa disamakan. Membangun manusia memiliki konsep yang berbeda. Butuh proses yang tidak singkat, hingga hasilnya pun bisa dilihat dan dirasakan.

Konsep di atas adalah gambaran tentang bagaimana anak muda di Nusa Tenggara Timur menjaga konsistensinya untuk mendampingi generasi setelah mereka agar terus bertumbuh dan berkembang sesuai dengan masanya. Upaya mereka tampak dari bagaimana mereka membangun Taman Baca di kampungnya secara mandiri untuk memberikan wadah bermain dan belajar bagi anak – anak. 

Ada rasa dan asa, ada hati dan pemberian diri yang utuh untuk menciptakan dunia yang lebih baik bagi generasi setelah ini. Semangat ini melebihi semangat untuk bersaing dan berkompetisi satu sama lain. Sebaliknya, mereka saling memberi dukungan dan membangun kolaborasi. Lagi – lagi tujuannya hanya satu : untuk menciptakan tatanan dunia yang lebih baik.

Baca Juga : Belajar dari Ketajaman Pendengaran Kaum Difabel
Baca Juga : Bagaimana Peran Media Dalam Melawan dan Menghapuskan Kekerasan Terhadap Anak?

Gerakan ini tampaknya bisa menjadi alternatif pembelajaran yang humanis bagi anak – anak di kala pandemi Covid-19 yang masih juga belum pulih. Beberapa kalangan melihat pendemi sebagai sebuah kemunduran pendidikan bagi anak – anak di daerah terpencil. Cara belajar yang semula tatap muka harus beralih ke online. 

Baca juga :  Mengapa harus ada Negara?

Keterbatasan paket data dan koneksi internet yang kurang memadai membuat kualitas pembelajaran tidak lagi bisa diharapkan. Esensi pembelajaran anak yang fokus pada pembentukan karakter pun tidak lagi dirasakan ketika interaksi dilakukan secara virtual.

Itulah mengapa, kehadiran Taman Baca yang diinisiasi oleh penggerak – penggerak muda bisa menjadi sarana yang tetap dapat memfasilitasi kebutuhan anak-anak untuk dapat belajar dan bermain.

Para penggerak ini melakukan itu semua sebagai relawan. Istilah relawan itu sendiri selalu dimaknai sebagai sebuah kerelaan untuk mengorbankan tenaga, waktu, dan pikiran mereka tanpa imbalan materi untuk tujuan yang mengarah pada kebaikan bersama.

Tidak adanya kelekatan pada materi, tentunya membuat mereka melakukan segala sesuatunya dengan hati. Pun segala kegiatan yang dilakukan tertuju pada anak-anak. Mereka jeli untuk menggali potensi dan kebutuhan pada diri anak secara kreatif dan inovatif, seperti mengenalkan mereka pada lingkungan, kesenian, dan segala segala bentuk aktualisasi diri lainnya seperti bernyanyi, mendongeng, melukis, maupun menulis. Cara – cara ini begitu humanis karena sangat memperhatikan kondisi anak termasuk potensi dan kebutuhan yang mereka miliki.

Ada sebuah cerita menarik dari seorang penggerak Komunitas Literasi di Kabupaten Flores Timur bernama Anjelina M. Triyani Tukan. Dia menceritakan salah satu anak dampingannya di komunitas tersebut yang terbilang aktif dan memiliki kemajuan yang pesat dalam membaca.

Baca juga :  Berani untuk Percaya Diri?

Baca Juga : Menulis Menghidupkan yang Mati
Baca Juga : Sebelas Tahun dipasung, Leksi Akhirnya Lepas Pasung dan Bisa Jalan Sendiri

Dalam sebuah kesempatan untuk meminta izin ke pihak sekolah di mana anak itu belajar, Anjelina dan teman – teman relawan lainnya terkejut mendengarkan guru dari si anak berkata bahwa anak tersebut belum bisa membaca dengan baik, sehingga sang guru ingin menguji anak ini untuk membaca terlebih dahulu sebelum mendapat izin mengikuti kegiatan komunitas bersama Anjelina dan teman – teman.

Tanpa ragu, Anjelina pun memotivasi anak itu untuk tampil membaca di depan guru. Melihat betapa lancarnya anak ini membaca, sang guru hampir tidak percaya. Namun Anjelina berusaha meyakinkan guru tersebut dengan menunjukkan catatan perkembangan diri si anak selama berkegiatan di komunitas literasi. Komunitas yang awalnya dipandang sebelah mata ini pun akhirnya mulai mendapat tempat di hati banyak orang yang ada di sekitar Komunitas Literasi itu.

Ini hanya satu cerita tentang bagaimana masyarakat menginginkan bukti terlebih dahulu sebelum mereka percaya pada inisiatif atau gerakan – gerakan akar rumput yang lebih memberi ruang kreatifitas bagi anak – anak.

Ada juga cerita lain dari seorang penggerak Komunitas Literasi di Manggarai Barat bernama Maria Yohana Juita. Semangatnya untuk ikut mendukung pendidikan anak-anak lewat komunitas literasi yang dirintisnya bahkan tidak serta merta mendapat dukungan dari masyarakat atau bahkan orang tua murid. Mereka bahkan menganggap bahwa setiap kegiatan di Taman Baca hanya berorientasi untuk senang – senang, sehingga mereka tidak mendukung anak – anaknya untuk hadir.

Baca juga :  Mengembangkan Sistem Pembelajaran HOTS

Baca Juga : Pelangi di Mataku
Baca Juga : Jejak Pelayanan Transpuan di Gereja Maumere

Tanpa mental yang tangguh dan niat yang tulus, segala daya upaya orang muda ini mungkin akan berhenti begitu saja. Beberapa penggerak Taman Baca dalam sebuah kesempatan untuk berbagi bersama mengatakan bahwa mereka seperti sedang berjuang sendirian dan hampir putus asa. Namun melihat kembali esensi dan tujuan awal ketika memulai gerakan ini, semangat itu kembali hadir. Apalagi ketika saling berbagi cerita dan pengharapan bersama.

Pada akhirnya, kebutuhan untuk menciptakan pendidikan bagi anak yang lebih humanis menjadi sangat krusial. Perlu adanya pemahaman dari seluruh pihak, baik orang tua, guru, maupun masyarakat untuk mendukung terciptanya ruang ekspresi diri bagi anak – anak. Caranya sederhana saja, kita hanya perlu lebih membuka diri untuk mendengar dan mengamati apa yang menjadi kesukaan mereka dan memberi ruang bagi mereka untuk terus mengeksplor diri. Dengan begitu cinta akan bersemi kemanapun anak – anak kita pergi dan terwujudlah harapan akan dunia yang lebih baik.

Komentar

Berita Terkait

Menyontek dan Cita-Cita Bangsa
Sastra Jadi Mata Pelajaran
Kaum Muda dan Budaya Lokal
Disrupsi  Teknologi dan Dinamika Pendidikan Kita
Budaya Berpikir Kritis Menangapi Teknologi yang Kian Eksis
Stempel Meritokrasi
Urgensi Literasi Digital di Era Pasca-Kebenaran 
Pembelajaran Agama Bercoral Multikultural
Berita ini 67 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:47 WITA

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

Demokrasi dan Kritisisme

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

steroid

Understanding Oral Steroids and Their Course

Rabu, 28 Agu 2024 - 14:43 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA